Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi autoimun


sistemik yang ditandai dengan temuan autoantibodi pada jaringan dan kompleks imun
sehingga mengakibatkan manifestasi klinis diberbagai sistem organ.1,2 Faktor genetik,
imunologik dan hormonal serta lingkungan berperan dalam patofisiologi penyakit LES.2
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik utama
di dunia.1 Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus per 100.000
penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per 100.000 penduduk.3 Di
Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara
Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.4 Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari
total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada
tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien
yang berobat ke poliklinik reumatologi.3
90% pasien LES adalah perempuan usia muda dengan insiden puncak pada usia
15-40 tahun selama masa reproduksi.1 Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-
laki adalah 9:1.3 Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi.3
Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan
108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3
Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif dan memiliki risiko kematian yang
tinggi, oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang
tepat.1 Untuk menegakkan diagnosis LES dilakukan melalui kriteria yang ditetapkan
oleh American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997, ditegakkan bila
ditemukan 4 dari 11 kriteria.1 Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif
meliputi non medika mentosa dan medika mentosa. Untuk penatalaksanaan awal pasien
LES yang baru terdiagnosis, penyuluhan dan intervensi psikologis sangat diperlukan.1
Sedangkan untuk pemilihan terapi ditentukan berdasarkan derajat beratnya LES dengan
tujuan terapi yaitu untuk mengontrol serangan akut, severe flare, dan mengontrol gejala
sehingga bisa ditoleransi oleh pasien.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik adalah
gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan
hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang komponen
sitoplasma dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis,
nefritis, pleuritis, pericarditis, leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik,
lesi organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam dan berbagai gejala
konstitusional lainnya.5 Sedangkan menurut buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, LES
adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap
komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang
luas.1 Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai dengan periode
tenang dan eksaserbasi.6
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari
bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah
merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar
rash.4

2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik
utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga kali
lipat karena kemajuan ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis
LES melalui kriteria ACR.1,7 Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu
52 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per
100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3
kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai negara dengan prevalensi
tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu
sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki
insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.4

2
Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh
wilayah Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
ditemukan 37,7 % kasus LES pada tahun 1998-1990.1 Data tahun 2002 di RSUP
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun
2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien
yang berobat ke poliklinik Reumatologi.3
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia
16 tahun dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES adalah perempuan
usia muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.1,7
Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1.3 Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes, dilaporkan prevalensi LES pada
perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi
1.4-5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-laki 0.8-7.0 kasus per 100.000
penduduk dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap tahunnya.4
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana
angka kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
populasi umum.3 Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah
88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3
Sedangkan berdasarkan usia, angka survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-
20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%.3 Hasil
studi yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012 menyatakan survival rate
LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun.4
Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis Penyebab
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-Pasifik yaitu
30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40% keterlibatan
kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.4
Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis LES
tampak lebih baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam 5 tahun),

3
Hong Kong (survival rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10 tahun), Korea
Selatan (survival rate 94% dalam 5 tahun), akan tetapi di negara Australia survival
rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.4

2.3 Etiologi
Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai
etiologi LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan
hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor
lingkungan yang dianggap sebagau pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar
ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental maupun fisik.8
a) Antibodi Antinuklear (ANA)9
ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori:
1. Antibodi terhadap DNA
2. Antibodi terhadap histon
3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA
4. Antibodi terhadap antigen nucleolus
b) Faktor Genetik 7,9
1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan
kembar dizigotik (1-3%).
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita
LES dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis
tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara
kandung memiliki risiko 30 kali lebih besar untuk menderita penyakit
LES.

3. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat hubungan


positif antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-
DQ.
4. Beberapa pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi komponen
komplemen yang diturunkan. Kekurangan komplemen akan mengganggu

4
pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi
jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.

Tabel 2.1 Antibodi Antinuklear Pada Berbagai Penyakit Autoimun

Sumber : Vinay Kumar, 2007.

c) Faktor Lingkungan 2,7,9


Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat
tertentu, seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu
ekspresi dari sel T CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan
menstimulus ekspresi antigen LFA-1 sehingga memicu autoreaktivasi pada

5
LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita yang diobati dengan
prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA disertai
gambaran LES yang muncul 15% - 20% pada pasien tersebut.
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien
LES akan mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar
ultraviolet dapat meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan
meningkatkan jejas jaringan yang akan melepaskan pembentukan kompleks
imun DNA / anti-DNA yang dapat menstimulus respon autoimun pada LES.
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat
meningkatkan terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan
menstimulus interferon α (IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik
yang akan memicu respon imun. Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam
amino yang menyerupai untaian asam amino manusia yang akan
menstimulus respon autoimun pada LES.
d) Faktor Imunologis 9
Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B
pada pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai
penyebab. Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda
member petunjuk bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan
acak sel B aktif poliklonal, tetapi lebih banyak berasal dari respon sel-B
oligoklonal yang lebih selektif terhadap antigennya sendiri. Sebagai contoh,
antibodi anti-DNA pathogen pada pasien LES adalah kationik, sedangkan
antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal adalah
anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas pada
LES telah beralih ke sel T helper CD4+.

e) Faktor Hormonal 2
Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal
ini disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis
antibodi. Perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat
kandungan estrogen atau yang menggunakan hormone replacement therapy

6
memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES. Estradiol akan berikatan pada
reseptor sel T dan sel limfosit B, meningkatkan aktivasi sel T dan sel
limfosit B tersebut.

Gambar 2.1 Keterkaitan antara factor genetik, epigenetic dan lingkungan


pada LES.
Sumber : Ellen M.G, 2014.

2.4 Patogenesis
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan
toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat
merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks
imun. Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host
yang tidak spesifik terhadap organ.9 Proses ini diawali dengan faktor pencetus
yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.
Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu 8:
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

7
c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen kerena adanya mimikri molekuler

Gambar 2.2 Model pathogenesis LES

Sumber : Vinay Kumar, 2009.

Akibat proses tersebut, maka


terbentuk berbagai macam antibodi di
dalam tubuh yang disebut autoantibodi.
Selanjutnya antibodi tersebut akan
membentuk kompleks imun. Kompleks
imun tersebut akan terdeposisi pada
jaringan atau organ yang akhirnya

8
menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.8

Karakteristik patogenesis dari LES


yaitu sistem imun yang menyerang nuklear
endogen yang dianggap sebagai
autoantigen. Autoantigen dikeluarkan oleh
sel yang mengalami apoptosis kemudian
akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke
sel T. Sel T mensekresikan sitokin yaitu
interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang
mengaktivasi sel B untuk memproduksi
antibodi. Nukleosome endogen dapat
berikatan dengan molekular patogen
reseptor dan dapat menstimulus
pengeluaran interferon α (IFN α) sehingga
memicu terjadinya inflamasi. Selain itu
juga nucleosome dapat berikatan dengan
reseptor permukaan sel seperti BCR (B
cell antigen reseptor) dan TLR (Toll like
reseptor). Pada pasien dengan SLE yang
aktif terdapat peningkatan ekspresi TLR9.7
Gambar 2.3 Tiga tahap patogenesis
penyakit kompleks imun sistemik
Sumber : Vinay Kumar, 2009

Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung


menyerang kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome,
nukleolar RNA, spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut
bermigrasi ke permukaan sel dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi
autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T dan sel limfosit B pada LES ditandai
dengan meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan CD40L. Hasil akhir dari ini

9
yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi
di jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang
diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3)
pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi
jaringan.2

Gambar 2.4 Patogenesis pada LES


Sumber : George Berstias, 2012.

10
2.5 Patofisiologi

Gambar 2.5 Mekanisme sistemik pada LES


Sumber : Simanta Pathak, 2011

Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a)


meningkatnya serum antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b)
terbentuknya kompleks imun pada organ target yang menyebabkan kerusakan
organ.11 Defek mekanisme regulasi imun seperti klirens apoptosis dan kompleks
imun merupakan kontributor pada LES. LES ditandai dengan adanya produksi
autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan aktivasi komplemen yang tidak
terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen dan faktor lingkungan
sehingga menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari
hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi
gangguan mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun
abnormal. 2

11
Gambar 2.6 Patofisiologi LES
Sumber : Harrison, 2011

Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa


gangguan klirens kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun
dalam hati dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan
ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dan terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi
inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau
gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,
kulit dan sebagainya.2

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit
dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam
tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun
diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.12

12
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5
tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. 12
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling
sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,
limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-
menerus. 13
B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa athralgia
(90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat
terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa
sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi
dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada
tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang
berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah
dalam pengobatan kortikosteroid. 13
C. Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.

1). Lesi Kulit Akut


Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada
hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu
termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada
erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam
mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena
sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal
dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan.

13
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas.13

Gambar 2.7 Lupus eritematosus kutaneus akut


Sumber : George, 2012

2). Lesi Kulit Sub Akut

Gambar 2.8 Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

Sumber : George, 2012

3). Lesi Diskoid


Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun.
Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun,
sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium
menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam diskoid
adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung,
dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter

14
5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3 tahap,
yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai
bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak.
Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari LES
daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari
semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.14

Gambar 2.9 Facial discoid

Sumber : George, 2012

4). Livido Retikularis


Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk
kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema
periungual.13

Gambar 2.10 A) Livido retikularis B) eritema periungual.


Sumber : George, 2012

Referat Lupus Eritomatosus Sistemik |Afiati 18


5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis.14
D. Kelainan pada Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun
pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus
nefritis adalah:
i. Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
ii. Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
iii. Kelas III: focal lupus nephritis
iv. Kelas IV: diffuse lupus nephritis
v. Kelas V: membranous lupus nephritis
vi. Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus LES. Manifestasi paling sering
ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis
pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.
Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak
sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai
dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan
penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.2,13

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)


Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan
radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura
lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura.
Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.13
F. Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering
tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap
lanjut.13
G. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut
abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis
intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan yang adekuat. 13
H. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang
disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau
kembali normal. 13
I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya
berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar
parotis membesar pada 60% kasus LES. 13
J. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.
Biasanya bersifat sementara. 15
K. Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan
kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan
kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi
untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.
Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid.
Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya
ditemukan bersamaan dengan gejala aktif LES pada sistem-sistem
lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala
khas kelainan organik otak.10 Kejang-kejang yang timbul biasanya
termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah
korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis,
pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global,
melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme
terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor
yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin
di pleksus koroideus. 15
L. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis
trombositopenia, dan lekopenia. 13
M. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh
darah dan aktivasi komplemen lokal. 13
N. Kardiovaskuler

LES dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya


dapat mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina
pektoris, valvulitis, vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa
manifestasi lainnya.13

2.7 Diagnosis

Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of


Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika
ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.3
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifiitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.3

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan anemia


nomositer, leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang cepat,
hiperglobulinemia dan bila terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah.
Biasanya kelainan faal hepar dan penurunan komplemen serum juga ada.
Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria, merupakan gejala penting. Faktor
rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa untuk mengetahui adanya
protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya
komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES. Berikut
pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
LES3 :
1. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila diperlukan
pemeriksaan kreatinin darah
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)
4. PT dan aPTT
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4
6. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)

Rekomendasi 3
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE

Fenomena Sel S.E dan tes sel S.E


Sel L.E terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan nuclear
basofilik yang telah difagositosis, segmen nuklearnya berpindah ke perifer.
Fenomena ini disebabkan oleh factor antinuclear (factor L.E dan yang lain) yang
menyerang bahan nuclear di dalam sel yang rusak. Bahan nuclear yang berubah
dikelilingi neutrofil (bentuk rosette) yang memfagositosis bahan tersebut. Tes sel
L.E kini tidak penting karena pemeriksaan antibodi antinuclear lebih sensitif.
Antibodi antinuclear (ANA)
Pada pemeriksaan imunofluoresensi tak langsung dapat ditunjukkan (ANA)
pada 90% kasus.12 Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody
yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi
adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody
spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di
bawah lampu ultraviolet.13 Terdapat 4 pola ANA ialah membranosa (anular,
peripheral), homogen, berbintik dan nuclear. Yang dianggap spesifik untuk L.E.S
ialah pola membranosa, terutama jika titernya tinggi. Pola berbintik juga umum
terdapat pada L.E.S. Pada homogen kurang spesifik.16
Lupus band test
Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung dapat dilihat pita terdiri atas deposit
granular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut epidermal-
dermal yang disebut lupus band. Caranya disebut lupus band test, specimen diambil
dari kulit yang normal. Tes tersebut positif pada 90-100% kasus L.E.S dan 90-95%
kasus L.E.D.16

Anti-ds-DNA

Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk
S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai
hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan kadar
komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau
proteinuria.16

Anti-Sm
Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm,
tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada
penyakit lain.16

2.9 Diagnosis Banding3


Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes
laboratorium yang serupa dengan LES yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis reumatoid dini
h. Vaskulitis
Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-gejala
yang dapat menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik,
dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.12

 Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi
hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada
persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Awitannya biasanya akut,
bilateral, dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi
hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.14
 Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik.
Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak
putih kekuning-kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu
disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti skleroderma sirkumskripta tetapi secara
berturut-turut mengenai alat-alat viseral.12
 Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka (terutama
pada palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah ungu kadang-
kadang juga livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai paralisi otot-
otot ekstraokular. Pada fase berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan yang
menetap dan menyerupai Lupus Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke
leher, toraks, lengan bawah, dan lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul
Gottron yaitu papul keunguan di bagian dorsolateral sendi interfalangeal dan
atau metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam intermiten, takikardi,
hiperhidrosis, dan penurunan berat badan.12
 Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom
Moschowite dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan
susunan saraf pusat. Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa
ekimosis, ikterus, pembesaran limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis,
fenomena Raynaud, nyeri perut, dan pembesaran hati.15
2.10 Derajat Berat Ringannya LES
 Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
 Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
 Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi. mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
thrombosis vena atau arteri.
2.11 Pengelolaan
Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan
dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah
a)mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit
seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar
aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik adalah 1) Edukasi dan konseling,
2)Program rehabilitasi, 3) Pengobatan medikamentosa (OAINS, Anti malaria,
steroid, Imunosupresan / Sitotoksik).3
Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.3

a. Pengobatan LES Ringan

Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan


berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di
atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan

- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.


- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi
ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin
250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat
awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara
hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang
setara .
- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor sekurang-
kurangnya 15 (SPF 15).3

b. Pengobatan LES Sedang

Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter:
20 mg / hari prednison atau yang setara.

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum pada bagan .3
Gambar 2.12 Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat beratnya.
Sumber : Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011

Tabel 2.1 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE

Jenis Obat Dosis Jenis Evaluasi Pemantauan


Toksisitas Awal
Klinis Laboratorik

OAINS Tergantung Perdarahan Darah rutin, Gejala Darah rutin,


OAINS saluran cerna, kreatinin, gastro- kreatinin,
hepatotoksik, urin rutin, intestinal AST/ALT
sakit kepala, AST/ALT setiap 6 bulan.
hipertensi,
aseptic,
meningitis,
nefrotoksik.

Kortiko- Tergantung Cushingoid, Gula darah, Tekanan Glukosa


steroid derajat SLE hipertensi, profil lipid, darah
dislipidemi, DXA,
ostoenekrosis, tekanan
hiperglisemia, darah
katarak,
osteoporosis.

Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Fundusk


(3,5-4 keluhan GIT, mata, G6PD opi dan
mg/kgBB/ rash, mialgia, pada pasien lapangan
hari) sakit kepala, berisiko pandang
anemi mata
Hidrosiklor 200-400mg/ hemolitik setiap 3-
o- kuin hari dengan 6 bulan.
defisiensi
G6PD.

Azatioprin 50-150 mg Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi


per hari, , lengkap, mielo- lengkap tiap 1-
dosis hepatotoksik, kreatinin, supresif 2 minggu dan
terbagi 1-3, gangguan AST/ALT selanjutnya 1-3
tergantung limfoprolifera bulan interval.
berat badan tif AST tiap tahun
dan pap smear
secara teratur.

Siklofosfamid Per oral; 50- Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per , gangguan lengkap, mielo- lengkap dan
hari. IV : limfoprolifera hitung jenis supresif, urin lengkap
500-750 tif, leukosit, hematuri tiap bulan,
mg/m2 keganasan, urin a dan sitologi urin
dalam imunosupresi lengkap. infertilita dan pap smear
Dextrose f, sistitis s. tiap tahun
250 ml, hemoragik, seumur hidup.
infuse infertilitas
selama sekunder.
1jam.

Metotreksat 7,5-20 mg/ Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi


minggu, , fibrosis lengkap, mielo- lengkap,
dosis hepatic, foto toraks, supresif, terutama
tunggal atau sirosis, serologi sesak hitung
terbagi 3. infiltrate hepatitis nafas, trombosit tiap
Dapat pulmonal dan B&C, AST, mual dan 4-8 minggu,
diberikan fibrosis. fungsi hati muntah, AST/ALT dan
pula melalui kreatinin. ulkus albumin tiap 4-
injeksi. mulut. 8 minggu, urin
lengkap dan
kreatinin.
Siklosporin 2,5-5 Pembengkaka Darah tepi Gejala Kreatinin,
A mg/kgBB n, nyeri gusi, lengkap, hipersens LFT, Darah
atau sekitar peningkatan kreatinin, itifitas tepi lengkap.
100-400 mg TD, urin terhadap
per hari peningkatan lengkap castor oil
dalam 2 pertumbuhan LFT. (bila obat
dosis rambut, diberikan
tergantung gangguan injeksi),
berat badan. fungsi ginjal, TD,
nafsu makan fungsi
menurun, hati dan
tremor. ginjal.

Mikofenolat 1000-2000 Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi


mofetil mg dalam 2 leukopenia. lengkap, gastroint lengkap
dosis. feses estinal; terutama
lengkap. mual, leukosit dan
muntah. hitung
jenisnya.

Kortikortikosteroid

Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.


Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid
tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi dan imunosupresi.
Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi.

Indikasi Pemberian Kortikortikosteroid ;

Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana kasus


rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis
sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi
pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus,
lupus cerebral.Efek samping kortikortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu,
dengan meminimalkan jumlah kortikortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko efek
samping.3
Obat Imunosupresan atau Sitotoksik

Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa


digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin,
mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis,
perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikortikosteroid dan imunosupresan /sitotoksik karena memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik.3

Pencegahan17
Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang
sangat dingin dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan
adalah:

 Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah


 Memakai pakaian yang menutup ekstremitas
 Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.
 Istirahat
 Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus diobati
dengan segera.
 Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress
oksidatif
 Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.
 Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya
mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan
aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.
 Hindari Merokok
 Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
 Hindari stres dan trauma fisik
 Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
 Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
 Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen.
BAB III
KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit inflamasi autoimun


sistemik, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi penyakit LES
merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor imunologis, faktor lingkungan, dan
faktor hormonal. Pada LES interaksi antar keempat faktor tersebut merespon tubuh
untuk membentuk autoantibodi, selanjutnya membentuk kompleks imun yang
terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.
Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Diagnosis LES menurut American College of Rheumatology (ACR) ditegakkan bila
terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash, bercak
diskoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf,
gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuklear.
Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non
medika mentosa dan medika mentosa. Tujuan dari terapi LES yaitu untuk meningkatkan
kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan dini dan pengobatan yang
paripurna.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku


ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper
D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012.
H 2724-35.
3. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.
4. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus
erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical
features, and mortality. Americam College of rheumatology 2012; 64(2) : 159-
68.
5. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28th ed. Hartanto YB, editor.
Jakarta: EGC; 2012.
6. Rosani S. Lupus eritematosus sistemik dalam kapita selekta kedokteran ed IV.
Jakarta : Media Aesculapius; 2014.h 842-45.
7. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical
features. Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.
8. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas
Airlangga; 2007. h 235-41.

9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed. Jakarta:
EGC; 2009.

10. Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of north
America. Elsevier 2010; 36(1).
11. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus erythematosus:
lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) : 1-9.

12. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family
physician 2003; 68(11) : 1-6.
13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
14. Bartels C, et al. Systemic lupus erythematosus (SLE) [Internet]. Medscape; 2014
[cited 2017 Februari 19]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview
15. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus
Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
16. Budianti WK. Lupus eritemarosus kutan dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin
Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.300-302.
17. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5th edition.
2005. h 384-7.

Anda mungkin juga menyukai