PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik adalah
gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan
hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang komponen
sitoplasma dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis,
nefritis, pleuritis, pericarditis, leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik,
lesi organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam dan berbagai gejala
konstitusional lainnya.5 Sedangkan menurut buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, LES
adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap
komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang
luas.1 Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai dengan periode
tenang dan eksaserbasi.6
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari
bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah
merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar
rash.4
2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik
utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga kali
lipat karena kemajuan ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis
LES melalui kriteria ACR.1,7 Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu
52 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per
100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3
kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai negara dengan prevalensi
tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu
sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki
insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.4
2
Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh
wilayah Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
ditemukan 37,7 % kasus LES pada tahun 1998-1990.1 Data tahun 2002 di RSUP
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun
2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien
yang berobat ke poliklinik Reumatologi.3
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia
16 tahun dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES adalah perempuan
usia muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.1,7
Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1.3 Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes, dilaporkan prevalensi LES pada
perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi
1.4-5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-laki 0.8-7.0 kasus per 100.000
penduduk dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap tahunnya.4
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana
angka kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
populasi umum.3 Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah
88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3
Sedangkan berdasarkan usia, angka survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-
20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%.3 Hasil
studi yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012 menyatakan survival rate
LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun.4
Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis Penyebab
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-Pasifik yaitu
30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40% keterlibatan
kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.4
Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis LES
tampak lebih baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam 5 tahun),
3
Hong Kong (survival rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10 tahun), Korea
Selatan (survival rate 94% dalam 5 tahun), akan tetapi di negara Australia survival
rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.4
2.3 Etiologi
Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai
etiologi LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan
hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor
lingkungan yang dianggap sebagau pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar
ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental maupun fisik.8
a) Antibodi Antinuklear (ANA)9
ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori:
1. Antibodi terhadap DNA
2. Antibodi terhadap histon
3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA
4. Antibodi terhadap antigen nucleolus
b) Faktor Genetik 7,9
1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan
kembar dizigotik (1-3%).
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita
LES dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis
tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara
kandung memiliki risiko 30 kali lebih besar untuk menderita penyakit
LES.
4
pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi
jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.
5
LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita yang diobati dengan
prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA disertai
gambaran LES yang muncul 15% - 20% pada pasien tersebut.
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien
LES akan mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar
ultraviolet dapat meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan
meningkatkan jejas jaringan yang akan melepaskan pembentukan kompleks
imun DNA / anti-DNA yang dapat menstimulus respon autoimun pada LES.
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat
meningkatkan terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan
menstimulus interferon α (IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik
yang akan memicu respon imun. Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam
amino yang menyerupai untaian asam amino manusia yang akan
menstimulus respon autoimun pada LES.
d) Faktor Imunologis 9
Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B
pada pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai
penyebab. Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda
member petunjuk bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan
acak sel B aktif poliklonal, tetapi lebih banyak berasal dari respon sel-B
oligoklonal yang lebih selektif terhadap antigennya sendiri. Sebagai contoh,
antibodi anti-DNA pathogen pada pasien LES adalah kationik, sedangkan
antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal adalah
anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas pada
LES telah beralih ke sel T helper CD4+.
e) Faktor Hormonal 2
Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal
ini disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis
antibodi. Perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat
kandungan estrogen atau yang menggunakan hormone replacement therapy
6
memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES. Estradiol akan berikatan pada
reseptor sel T dan sel limfosit B, meningkatkan aktivasi sel T dan sel
limfosit B tersebut.
2.4 Patogenesis
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan
toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat
merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks
imun. Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host
yang tidak spesifik terhadap organ.9 Proses ini diawali dengan faktor pencetus
yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.
Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu 8:
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
7
c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen kerena adanya mimikri molekuler
8
menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.8
9
yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi
di jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang
diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3)
pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi
jaringan.2
10
2.5 Patofisiologi
11
Gambar 2.6 Patofisiologi LES
Sumber : Harrison, 2011
12
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5
tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. 12
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling
sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,
limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-
menerus. 13
B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa athralgia
(90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat
terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa
sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi
dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada
tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang
berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah
dalam pengobatan kortikosteroid. 13
C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.
13
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas.13
Gambar 2.8 Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
14
5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3 tahap,
yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai
bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak.
Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari LES
daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari
semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.14
2.7 Diagnosis
Rekomendasi 3
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE
Anti-ds-DNA
Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk
S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai
hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan kadar
komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau
proteinuria.16
Anti-Sm
Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm,
tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada
penyakit lain.16
Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi
hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada
persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Awitannya biasanya akut,
bilateral, dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi
hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.14
Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik.
Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak
putih kekuning-kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu
disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti skleroderma sirkumskripta tetapi secara
berturut-turut mengenai alat-alat viseral.12
Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka (terutama
pada palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah ungu kadang-
kadang juga livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai paralisi otot-
otot ekstraokular. Pada fase berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan yang
menetap dan menyerupai Lupus Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke
leher, toraks, lengan bawah, dan lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul
Gottron yaitu papul keunguan di bagian dorsolateral sendi interfalangeal dan
atau metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam intermiten, takikardi,
hiperhidrosis, dan penurunan berat badan.12
Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom
Moschowite dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan
susunan saraf pusat. Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa
ekimosis, ikterus, pembesaran limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis,
fenomena Raynaud, nyeri perut, dan pembesaran hati.15
2.10 Derajat Berat Ringannya LES
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi. mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
thrombosis vena atau arteri.
2.11 Pengelolaan
Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan
dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah
a)mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit
seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar
aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik adalah 1) Edukasi dan konseling,
2)Program rehabilitasi, 3) Pengobatan medikamentosa (OAINS, Anti malaria,
steroid, Imunosupresan / Sitotoksik).3
Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.3
Obat-obatan
Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter:
20 mg / hari prednison atau yang setara.
Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum pada bagan .3
Gambar 2.12 Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat beratnya.
Sumber : Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011
Tabel 2.1 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE
Siklofosfamid Per oral; 50- Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per , gangguan lengkap, mielo- lengkap dan
hari. IV : limfoprolifera hitung jenis supresif, urin lengkap
500-750 tif, leukosit, hematuri tiap bulan,
mg/m2 keganasan, urin a dan sitologi urin
dalam imunosupresi lengkap. infertilita dan pap smear
Dextrose f, sistitis s. tiap tahun
250 ml, hemoragik, seumur hidup.
infuse infertilitas
selama sekunder.
1jam.
Kortikortikosteroid
Pencegahan17
Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang
sangat dingin dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan
adalah:
9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed. Jakarta:
EGC; 2009.
10. Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of north
America. Elsevier 2010; 36(1).
11. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus erythematosus:
lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) : 1-9.
12. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family
physician 2003; 68(11) : 1-6.
13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
14. Bartels C, et al. Systemic lupus erythematosus (SLE) [Internet]. Medscape; 2014
[cited 2017 Februari 19]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview
15. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus
Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
16. Budianti WK. Lupus eritemarosus kutan dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin
Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.300-302.
17. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5th edition.
2005. h 384-7.