Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi
autoimun sistemik yang ditandai dengan temuan autoantibodi pada jaringan dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan manifestasi klinis diberbagai sistem
organ.1,2 Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan berperan dalam
patofisiologi penyakit LES.2

Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik
utama di dunia.1 Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus per
100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per 100.000
penduduk.3 Di Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000
penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per
100.000 penduduk.4 Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik
reumatologi.3
Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif dan memiliki risiko kematian
yang tinggi, oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan dini serta
penatalaksanaan yang tepat.1 Untuk menegakkan diagnosis LES dilakukan melalui
kriteria yang ditetapkan oleh American College of Rheumatology (ACR) revisi
tahun 1997, ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria.1 Penatalaksanaan LES
dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika mentosa dan medika
mentosa. Untuk penatalaksanaan awal pasien LES yang baru terdiagnosis,
penyuluhan dan intervensi psikologis sangat diperlukan.1 Sedangkan untuk
pemilihan terapi ditentukan berdasarkan derajat beratnya LES dengan tujuan terapi
yaitu untuk mengontrol serangan akut, severe flare, dan mengontrol gejala sehingga
bisa ditoleransi oleh pasien.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. Lupus Eritematosus Sistemik (LES )


2.1. Definisi

Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik adalah


gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan
hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang komponen
sitoplasma dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis, nefritis,
pleuritis, pericarditis, leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik, lesi
organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam dan berbagai gejala
konstitusional lainnya.4 Sedangkan menurut buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, LES
adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap
komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang
luas.1 Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai dengan periode
tenang dan eksaserbasi.5

Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari
bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah
merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar
rash.6

2.2. Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan
pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).
Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 11. Beberapa
data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat dirumah sakit. Dari 3

2
peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada periode 1969-1990
didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan. Insidensi di
Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan, sedangkan di
Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000 perawatan1.

2.3. Etiologi
Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai
etiologi LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan
hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor
lingkungan yang dianggap sebagai pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar
ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental maupun fisik.7
a) Antibodi Antinuklear (ANA)9
ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori:
1. Antibodi terhadap DNA
2. Antibodi terhadap histon
3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA
4. Antibodi terhadap antigen nucleolus
b) Faktor Genetik 8,9
1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan kembar
dizigotik (1-3%).
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita LES
dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena
dapat menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara kandung memiliki
risiko 30 kali lebih besar untuk menderita penyakit LES.
3. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat hubungan positif
antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA- DQ.
4. Beberapa pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi komponen komplemen
yang diturunkan. Kekurangan komplemen akan mengganggu pembersihan
kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi jaringan, yang
menimbulkan jejas jaringan.
3
2,8,9
c) Faktor Lingkungan
Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat
tertentu, seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu ekspresi
dari sel T CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan menstimulus ekspresi
antigen LFA-1 sehingga memicu autoreaktivasi pada LES. Oleh karena itu,
sebagian besar penderita yang diobati dengan prokainamid selama lebih dari 6
bulan akan menghasilkan ANA disertai gambaran LES yang muncul 15% - 20%
pada pasien tersebut.
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien LES
akan mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet
dapat meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan meningkatkan jejas
jaringan yang akan melepaskan pembentukan kompleks imun DNA/anti-DNA yang
dapat menstimulus respon autoimun pada LES.
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat
meningkatkan terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan
menstimulus interferon α (IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik yang
akan memicu respon imun. Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam amino yang
menyerupai untaian asam amino manusia yang akan menstimulus respon autoimun
pada LES.
d) Faktor Imunologis 9
Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B
pada pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai
penyebab. Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda memberi
petunjuk bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan acak sel B aktif
poliklonal, tetapi lebih banyak berasal dari respon sel-B oligoklonal yang lebih
selektif terhadap antigennya sendiri. Sebagai contoh, antibodi anti-DNA pathogen
pada pasien LES adalah kationik, sedangkan antibodi yang dihasilkan oleh sel B
yang teraktivasi secara poliklonal adalah anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu,
tanggung jawab autoimunitas pada LES telah beralih ke sel T helper CD4+.
4
e) Faktor Hormonal 2
Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi.
Perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan estrogen
atau yang menggunakan hormone replacement therapy memiliki risiko 2 kali lipat
terkena LES. Estradiol akan berikatan pada reseptor sel T dan sel limfosit B,
meningkatkan aktivasi sel T dan sel limfosit B tersebut.

2.4. Patofisologi

Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan


toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat
merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks
imun. Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host
yang tidak spesifik terhadap organ.9 Proses ini diawali dengan faktor pencetus
yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.
Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu 7:
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain
• Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di
kompleks imun maupun sitokin di dalam tubuh
• Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

• Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul


tubuh sebagai antigen kerena adanya mimikri molekuler

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam


tubuh yang disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan membentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada jaringan atau
organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.7
Karakteristik patogenesis dari LES yaitu sistem imun yang menyerang nuklear

5
endogen yang dianggap sebagai autoantigen. Autoantigen dikeluarkan oleh sel yang
mengalami apoptosis kemudian akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T.
Sel T mensekresikan sitokin yaitu interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang
mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Nukleosome endogen dapat
berikatan dengan molekular patogen reseptor dan dapat menstimulus pengeluaran
interferon α (IFN α) sehingga memicu terjadinya inflamasi. Selain itu juga
nucleosome dapat berikatan dengan reseptor permukaan sel seperti BCR (B cell
antigen reseptor) dan TLR (Toll like reseptor). Pada pasien dengan SLE yang
aktif terdapat peningkatan ekspresi TLR9.
Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung
menyerang kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome,
nukleolar RNA, spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut
bermigrasi ke permukaan sel dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi
autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T dan sel limfosit B pada LES ditandai
dengan meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan CD40L. Hasil akhir dari ini yaitu
produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi di
jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang diselubungi
Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3) pengeluaran
kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi jaringan.2
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan
terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi
komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi inflamasi.
Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan ataugejala pada
organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan
sebagainya.2

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat
dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan
klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode
6
aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai
LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak
terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan
nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh
manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya
akan memenuhi kriteria LES.
• Manifestasi konstitusional1
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada anemia,
meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti perdnison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.

Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini disebabkan
oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 400C tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
• Manifestasi Muskuloskeletal1

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling sering


terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi berupa nyeri otot
(myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana tampak jelas
bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi Artritis
Rematoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada LES tidak
ditemukan adanya deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan
sebagainya. Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit
dan terapi steroid.

7
• Manifestasi Kulit9
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas, butterfly
rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform dan lain
sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis
kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
• Manifestasi Paru9
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang
interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal, atau
perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut secara
kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan
mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun
pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.
Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik terhadap pemberian streroid.
• Manifestasi Kardiologis1,9
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.

Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif.
Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia muda dengan jangka
penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.
• Manifestasi Renal1
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum
terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal
pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
• Manifestasi Gastrointestinal1,9
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, secara
klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric valkulitis,
inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat berupa
8
hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik. Selain
itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap
kemungkinan hepatitis autoimun.
• Manifestasi Hemopoetik9
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus.
Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada
LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran
trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES
setelah ditemukan gambaran LES yang lain.
• Manifestasi Susunan Saraf9
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada
10% kasus.

Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering


ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga
dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak
memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik.
CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.

2.6 Diagnosis 3
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
9
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi)
dan penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali 10.Hematologi: anemia, leukopenia, dan
trombositopenia
11.Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan laboraturium.


American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1997, mengajukan 11 kriteria
untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis LES dapat
ditegakan (lihat tabel 1).

3,10
Tabel 1.Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
No Kriteria Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar
1. Ruam malar
dan
Plak eritematidak
Cenderung menonjol dengan
melibatkan keratotik
lipat dan sumbatan
nasolabial.
2. Ruam diskoid
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
3. fotosensitivitas
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter mulut
Ulkus pemeriksa.
atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
4. Ulkus mulut
oleh dokter pemeriksa.
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
5. Artitritis
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.

10
No Kriteria Batasan

6. Serositis
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang
a. Pleuritis
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura. dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub
Terbukti
b. Perikarditis
atau terdapat bukti efusi perikardium
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
7. Gangguan renal
dilakukan
Silinder seluler
pemeriksaan : - dapat atau
kuantitatif. berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular,
tubular
a. atauyang
Kejang campuran.
bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
8. Gangguan neurologi gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit). atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
9. Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. atau
hematologi
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih.
c. atau
Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih.
d. atau
Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan
10. Gangguan a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
imunologik yang abnormal. Atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm.
Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang
didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi lis
sekurang- kurangnya
selama 6 bulan dan dikonfi rmasi dengan test imobilisasi
Treponema
pallidum
11. Antibodi antinuklear Titer atau tes
abnormal fluoresensi
dari absorpsi an•berdasarkan
antibodi anti-nuklear bodi treponema.
positif (ANA) pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifitas
85% dan spesifitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap
11 yang
kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat
diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang
diinduksi obat.
positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya
tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan
observasi jangka panjang diperlukan.

2.7 Pemeriksaan penunjang


Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan anemia
nomositer, leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang cepat,
hiperglobulinemia dan bila terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah.
Biasanya kelainan faal hepar dan penurunan komplemen serum juga ada.
Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria, merupakan gejala penting. Faktor
rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa untuk mengetahui adanya
protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya
komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES. Berikut
pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
3
LES :

a) Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)


b) Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila
diperlukan pemeriksaan kreatinin darah
c) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)
d) PT dan aPTT
e) Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4
f) Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)

Antibodi antinuclear (ANA)

Pada pemeriksaan imunofluoresensi tak langsung dapat ditunjukkan (ANA)


pada 90% kasus.11 Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody
yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi

12
adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody
spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa
dibawah lampu ultraviolet. Terdapat 4 pola ANA ialah membranosa (anular,
peripheral), homogen, berbintik dan nuclear yang dianggap spesifik untuk L.E.S
ialah pola membranosa, terutama jika titernya tinggi. Pola berbintik juga umum
terdapat pada L.E.S. Pada homogen kurang spesifik.

Anti-ds-DNA

Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik
untuk S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini
mempunyai hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan
kadar komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan
atau proteinuria.

Anti-Sm

Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah
anti-Sm, tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan
pada penyakit lain.

Rekomendasi 3

a) Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
b) Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
c) Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak menyingkirkan diagnosis SLE

2.8 Diagnosis Banding3


Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes
laboratorium yang serupa dengan LES yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease

b. Sindroma Sjögren

13
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis reumatoid dini
h. Vaskulitis

Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-gejala


yang dapat menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik,
dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.11

 Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering


di pagi hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah
mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki.
Awitannya biasanya akut, bilateral, dan simetris. Persendian dapat
teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih
dari 30 menit.11
 Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik.
Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-
bercak putih kekuning-kuningan dan keras yang seringkali mempunyai
halo ungu disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti skleroderma
sirkumskripta tetapi secara berturut-turut mengenai alat-alat viseral.12
 Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka
(terutama pada palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna
merah ungu kadang-kadang juga livid. Pada palpebra terdapat
telangiektasis, disertai paralisi otot- otot ekstraokular. Pada fase
berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan yang menetap dan
menyerupai Lupus Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke leher,
toraks, lengan bawah, dan lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul
Gottron yaitu papul keunguan di bagian dorsolateral sendi
interfalangeal dan atau metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam
14
intermiten, takikardi, hiperhidrosis, dan penurunan berat badan.12
 Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom
Moschowite dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan
gangguan susunan saraf pusat. Gejala yang timbul adalah demam,
purpura berupa ekimosis, ikterus, pembesaran limpa, disfungsi ginjal,
artritis, pleuritis, fenomena Raynaud, nyeri perut, dan pembesaran hati. 12

2.9 Derajat Berat Ringannya LES

Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama


menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan
ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES. Penyakit LES dapat dikategorikan
ringan atau berat sampai mengancam nyawa11
• Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:
• Secara klinis tenang
• Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
• Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.

• Kriteria LES Derajat Sedang adalah:


• Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
• Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
• Serositis mayor

• Kriteria LES derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:


• Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
• Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
15
• Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
• Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
• Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh
(blister).

• Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke.

• Hematologi : anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),


trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.

2.10 Penatalaksanaan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui
pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE
adalah a) mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas
penyakit seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi
organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup
yang optimal. Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik adalah 1) Edukasi
dan konseling, 2) Program rehabilitasi, 3) Pengobatan medikamentosa (OAINS,
Anti malaria, steroid, Imunosupresan / Sitotoksik).3

Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.3

a. Pengobatan LES Ringan


Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di
atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
16
potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet
klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa
mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan,
sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400
mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau
yang setara .
- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor
sekurang- kurangnya 15 (SPF 15).3

b. Pengobatan LES Sedang


Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter:
20 mg / hari prednison atau yang setara.

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa


Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum pada bagan .3

17
Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat beratnya.
Sumber : Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011

Kortikortikosteroid
Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan
SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping,
kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi
dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi.

Indikasi Pemberian Kortikortikosteroid :


Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana kasus
rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang.
Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi
18
dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas,
nephritis lupus, lupus cerebral.Efek samping kortikortikosteroid tergantung kepada
dosis dan waktu, dengan meminimalkan jumlah kortikortikosteroid, akan
meminimalkan juga risiko efek samping.3

Obat Imunosupresan atau Sitotoksik


Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan/sitotoksik yang biasa
digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin,
mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis,
perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikortikosteroid dan imunosupresan/sitotoksik karena memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik.3

19
BAB III

RANGKUMAN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit inflamasi


autoimun sistemik, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi
penyakit LES merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor imunologis, faktor
lingkungan, dan faktor hormonal. Pada LES interaksi antar keempat faktor
tersebut merespon tubuh untuk membentuk autoantibodi, selanjutnya membentuk
kompleks imun yang terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Diagnosis LES menurut American College of Rheumatology (ACR) ditegakkan
bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash,
bercak diskoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal,
gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuklear.
Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non
medika mentosa dan medika mentosa. Tujuan dari terapi LES yaitu untuk
meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan dini dan
pengobatan yang paripurna.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio H, Albar Z, I Yoga, “Lupus Eritematous Sistemik” in Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
P. 256-2677
2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S.,
Kasper D.L, Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 18.
United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012. P. 2724-2735.
3. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia.
2011.
4. Dorland WAN. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 28th ed. Hartanto YB,
editor. Jakarta: EGC; 2012. P.1218.

5. Rosani S. Lupus Eritematosus Sistemik in Kapita Selekta Kedokteran ed


IV. Jakarta : Media Aesculapius; 2014. P. 842-845.
6. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus
erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical
features, and mortality. Americam College of rheumatology; 2012 P.159-
168.
7. Tjokoprawiro A. “Lupus Eritematous Sistemik” in Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit
Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya). Surabaya : Universitas Airlangga;
2007. P. 235-241.
8. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical
features. Eular textbook of rheumatic disease;2012. P. 476-505.
9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Robbins. 7th ed.
Jakarta: EGC; 2009. P. 289-299
10. Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of
north America. Elsevier 2010. P 36(1).

21
11. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family
physician 2003; 68(11) : P.1-6.
12. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus
erythematosus: lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13)
P: 1-9.

22

Anda mungkin juga menyukai