Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

CKD DENGAN CAPD

I. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)


 Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan kondisi kerusakan ginjal yang progresif
yang tidak dapat pulih kembali, dimana ginjal tidak mampu memelihara metabolisme
dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam
basa dalah darah ( Timby & Smith, 2009)
 Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah).
 Chronic Kidney Disease (CKD)adalah suatu proses penurunan fungsi ginjal yang
progresif dan pada umumnya pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap berupa dialisis dan transplantasi ginjal (Aru A. Sudoyo, 2011).
 Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan
reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia (Suzanne C.Smeltzer,
2011).

II. Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD)


1. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal.
Selama stadium ini kreatinine serum dan kadar BUN normal dan pasien
asimtomatik. Homeostsis terpelihara.Tidak ada keluhan.Cadangan ginjal residu 40 % dari
normal.
2. Stadium II : Insufisiensi Ginjal
Penurunan kemampuan memelihara homeotasis, Azotemia ringan, anemi.Tidak
mampu memekatkan urine dan menyimpan air, Fungsi ginjal residu 15-40 % dari normal,
GFR menurun menjadi 20 ml/menit. (normal : 100-120 ml/menit). Lebih dari 75 %
jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal), kadar BUN
meningkat, kreatinine serum meningkat melebihi kadar normal. Dan gejala yang timbul
nokturia dan poliuria (akibat kegagalan pemekatan urine)
3. Stadium III : Payah ginjal stadium akhir
Kerusakan massa nefron sekitar 90% (nilai GFR 10% dari normal). BUN
meningkat, klieren kreatinin 5- 10 ml/menit.Pasien oliguria.Gejala lebih parah karena
ginjal tak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam
tubuh.Azotemia dan anemia lebih berat, Nokturia, Gangguan cairan dan elektrolit,
kesulitan dalam beraktivitas.
4. Stadium IV
Tidak terjadi homeotasis, Keluhan pada semua sistem, Fungsi ginjal residu kurang
dari 5 % dari normal.

III. Etiologi Chronic Kidney Disease (CKD)


1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
2. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,
stenosis arteria renalis
3. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa,sklerosis sistemik progresif
4. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus
ginjal
5. Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
6. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
7. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
8. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis

IV. Manifestasi Klinik Chronic Kidney Disease (CKD)


 Kelainan hemapoetik
1) Anemia
 Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoetis pada
sumsum tulang menurun
 Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrisit dalam suasana uremia
toksik
 Defisiensi besi, asam folat dan lain-lain akibat nafsu makan yang berkurang
 Perdarahan saluran cerna dan kulit
 Abrosis sum-sum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder.
2) Purpura / diatesis hemoragic trombositopenia
 Kelainan saluran cerna
1) Mual, muntah, anoreksia dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan
metabolism bakteri usus seperti ammonia dan metal quinidin seperti lembarnya
membrane mukosa usus.
2) Fosfor uremik disebabkan ureum yang berlebihan pada air liur, diubah oleh bakteri
di mulut manjadi ammonia sehingga nafas berbau ammonia, akibat lain adalah
timbulnya stomatitis dan parotitis.
3) Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui
4) Gastritis, erosive, ulkus peptikum dan colitis uremik
 Kelainan kulit
1) Pruritus / gatal – gatal dengan ekskuriasi akibat toksin uremia dan pengendapan
kalsium di pori-pori kulit.
2) Uremic frost akibat kristalisasi yang ada pada keringat (jarang di jumpai)
3) Kulit berwarna pucat akibat uremia dan kekuning-kuningan akibat timbunan
urokrom.
4) Bekas – bekas garukan karena gatal.
 Kelainan kardiovaskuler
1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam / peningkatan aktivitas system
rennin angiotensin – aldosteron.
2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit jantung
koroner akibat aterosklerosis dini akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
3) Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, akibatkan penimbunan cairan
dan hipertensi
4) Edema akibat penimbunan cairan
 Kelainan neurologi
1) Retless leg syndrome. Penderita merasa gatal ditungkai bawah dan selalu
menggerakkan kakinya.
2) Burning feet syndrome. Rasa kesemutan seperti terbakar terutama di telapak kaki.
3) Ensefalopati metabolic
a. Lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi
b. Tremor, asteriksis, miokionus
c. Kejang-kejang
d. Miopat
e. Kelemahan dan hipotropi otot – otot ekstremitas proksimal
 Disfungsi endokrin. Gangguan seksual, gangguan toleransi glukosa, gangguan
metabolic lemak dan gangguan metabolism vitamin D
 Kelainan respiratori. Infeksi paru, efusi pleura, tachypnea, edema pulmonal, kusmaul
respirasi
 Kelaianan Urinaria. Poliuria, nocturia, oliguria, anuria, proteinuria, hematonuria.
 Kelainan Muskuloskletal. Nyeri tulang, fraktur patogik, osteodistropi ginjal,
kelemahan otot dan kram.

V. Patofisiologi Chronic Kidney Disease (CKD)


Penyebab dari gagal ginjal kronik biasanya dipengaruhi oleh penyakit sistemik
seperti diabetes melitus, glumerulonefritis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dikontrol,
obtruksi traktus urinarius, penyakit ginjal polikistik, infeksi dan agen toksik. fungsi renal
menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya dieksresikan kedalam urine)
tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh, semakin
banyak yang timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berarti dan akan membaik
setelah dialisis. Banyak permasalahan yang muncul pada ginjal sebagai akibat dari
penurunan glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan clearens substansi
darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.

VI. PATHWAY Chronic Kidney Disease (CKD)


(TERLAMPIR)

VII.Pemeriksaan Penunjang Chronic Kidney Disease (CKD)


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien CKD untuk mengetahui penyebab
dan daerah yang terkena menurut Doenges (1999), Suzanne C. Smeltzer (2001) adalah
sebagai berikut :
1. Urine
Volume kurang dari 40 ml / 24 jam ( oliguria ), warna keruh, berat jenis kurang
dari 1.015, osmolalitas kurang dari 350 m.osn/kg, klirens kreatinin agak menurun
kurang 10 ml / menit, natrium lebih dari 40 mEq/L, proteinuria.
2. Darah
BUN/kreatinin meningkat lebih dari 10 mg/dl, Ht menurun, Hb kurang dari 7 –
8 gr/dl, SDM waktu hidup menurun, AGD (pH menurun dan terjadi asidosis metabolic
(kurang dari 7.2), natrium serum rendah, kalium meningkat 6,5 mEq atau lebih besar,
magnesium/fosfat meningkat, kalsium menurun, protein khususnya albumin menurun.
3. Osmolalitas serum
Lebih besar dari 285 nOsm/kg, sering sama dengan urine.
4. KUB Foto
Menunjukkan ukuran finjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi (batu).

5. Elektrokardiografi (ECG)
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda – tanda perikarditis,
aritmia dan gangguan elektrolit (hiperkalemia dan hipokalsemia).
6. Ultrasonografi (USG)
Menilai bentuk dan besar ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan paremkim ginjal,
ureter proximal, kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari
adanya faktor yang reversibel, juga menilai apakah proses sudah lanjut.
7. Foto polos abdomen
Sebaiknya tampa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal,
menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
8. Pielografi Intravena (PIV)
Pada PIV, untuk CKD tak bermanfaat lagi olah karena ginjal tidak dapat
mengeluarkan kontras, saat ini sudah jarang dilakukan.
9. Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
10. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda – tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial.
11. Pemerikasaan Kardiologi tulang
Mencari osteoditrofi (terutama tulang atau jari) dan klasifikasi metastatik.

VIII. Penatalaksanaan
Untuk mendukung pemulihan dan kesembuhan pada klien yang mengalami CKD
maka penatalaksanaan pada klien CKD terdiri dari penatalaksanan medis/farmakologi,
penatalaksanan keperawatan dan penatalaksanaan diet.Dimana tujuan penatalaksaan adalah
untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin.

1. Penatalaksanaan medis
a. Cairan yang diperbolehkan adalah 500 samapai 600 ml untuk 24 jam atau dengan
menjumlahkan urine yang keluar dalam 24 jam ditamnbah dengan IWL 500ml, maka
air yang masuk harus sesuai dengan penjumlahan tersebut.
b. Pemberian vitamin untuk klien penting karena diet rendah protein tidak cukup
memberikan komplemen vitamin yang diperlukan.
c. Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida mengandung alumunium
atau kalsium karbonat, keduanya harus diberikan dengan makanan.
d. Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif dan control volume
intravaskuler.
e. Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tampa gejala dan tidak
memerlukan penanganan, namun demikian suplemen makanan karbonat atau dialisis
mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis metabolic jika kondisi ini memerlukan
gejala.
f. Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat disertai
pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada
seluruh medikasi oral maupun intravena. Pasien harus diet rendah kalium kadang –
kadang kayexelate sesuai kebutuhan.
g. Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan epogen (eritropoetin manusia
rekombinan). Epogen diberikan secara intravena atau subkutan tiga kali seminggu.
h. Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokkan ginjal yang sehat ke pembuluh darah pasien CRF
maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru. Ginjal yang sesuai harus
memenuhi beberapa persaratan, dan persyaratan yang utama adalah bahwa ginjal
tersebut diambil dari orang/mayat yang ditinjau dari segi imunologik sama dengan
pasien. Pemilihan dari segi imunologik ini terutama dengan pemeriksaan HLA .

i. Dialisis
Dasar dialisis adalah adanya darah yang mengalir dibatasi selaput semi
permiabel dengan suatu cairan (cairan dialisis) yang dibuat sedemikiam rupa sehingga
komposisi elektrolitnya sama dengan darah normal. Dengan demikian diharapkan
bahwa zat-zat yang tidak diinginkan dari dalam darah akan berpindah ke cairan dialisis
dan kalau perlu air juga dapat ditarik kecairan dialisis. Tindakan dialisis ada dua
macam yaitu hemodialisis dan peritoneal dialysis (CAPD) yang merupakan tindakan
pengganti fungsi faal ginjal sementara yaitu faal pengeluaran/sekresi, sedangkan
fungsi endokrinnya tidak ditanggulangi.
IX. CAPD
1. Definisi
CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode pencucian
darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus
organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh
darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam
rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding
perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga
limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut,
kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru (Surya
Husada, 2008). Peritoneal Dialisis
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja
sebagai penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable
yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute
yang berisi racun yang akan dibuang.
2. Anatomi Membran Peritoneum
Rongga peritoneum adalah bagian dari perut yang membungkus organ-organ,
seperti lambung, ginjal, usus, dan lain-lain. Di dalam rongga perut ini terdapat banyak
pembuluh darah kecil (kapiler) yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum
dan cairan dialysis pada sisi yang lain.
Rongga peritoneum berisi sekitar 100ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi /
pelicin dari membran peritoneum.Pada orang dewasa normal, rongga peritoneum dapan
mentoleransi cairan > 2 liter tanpa menimbulkan gangguan.Membran peritoneum
merupakan lapisan tipis bersifat semi permeable. Luas permukaannya kurang lebih
1,55m2 yang terdiri dari 2 bagian, yaitu:
a. Bagian yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal peritoneum),
merupakan 20% dari total luas membran peritoneum.
b. Bagian yang menutup organ di dalam perut (vasceral peritoneum), merupakan 80%
dari luas total membran peritoneum.
Total suplai darah pada membran peritoneum dalam keadan basal adalah 60 –
100 ml/mnt.
3. Tujuan CAPD
Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah
metabolik, mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan
cairan yang berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.
4. Indikasi CAPD
 pasien yang tidak mampu atau yang tidak mau menjalani hemodialisa
 Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat
(hemodinamik yang tidak stabil)
 Penyakit ginjal stadium terminal yang terjdai akibat penyakit diabetes
 Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik
 Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
 Adanya penyakit CV yang berat
 Disamping itu, hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang
tidak responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.
5. Kontraindikasi CAPD
 Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)
 Adhesi abdominal
 Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainanpada discus
intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialis dalam
abdomenyang kontinyu
 Pasien dengan imunosupresi
6. Cara Kerja CAPD
a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat
keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam
rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam
rongga perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar.
Lokasi dimana sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut “exit site”.
b. Pemasukan Ciran Dialisat
Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus
untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama
4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam
darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan
dialisat.
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan
dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai
“alat penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi.

Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan


untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini
disebut Ultrafiltrasi.

7. Prosedur CAPD
Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu singkat
(± 30 menit). Terdiri dari 3 langkah:
1. Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan
dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses
pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.

2. Memasukkan cairan
Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter. Proses ini
hanya berlangsung selama 10 menit.

3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut
selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter.
Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4
kali sehari), 7 hari dalam seminggu.

8. Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis
lainnya, yaitu: difusi dan osmosis.
 Difusi
Membrane peritoneum menyaring solute dan air dari darah ke rongga peritoneum
dan sebaliknya melalui difusi. Difusi adalah proses perpindahan solute dari daerah
yang berkonsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah, dimana proses ini
berlangsung ketika cairan dialisat dimasukkan ke dalam rongga peritoneum.
Konsentrasi cairan CAPD lebih rendah dari plasma darah, karena cairan plasma
banyak mengandung toksin uremik.Toksin uremik berpindah dari plasma ke cairan
CAPD.
 Osmosis
Osmosis adalah perpindahan air melewati membrane semi permeable dari daerah
solute yang berkonsentrasi rendah (kadar air tinggi) ke daerah solute berkonsentrasi
tinggi (kadar air rendah). Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan
hidrostatik antara darah dan cairan dialisat. Osmosis pada peritoneum terjadi karena
glukosa pada cairan CAPD menyebabkan tekanan osmotic cairan CAPD lebih
tinggi (hipertonik) dibanding plasma, sehingga air akan berpindah dari kapiler
pembuluh darah ke cairan dialisat (ultrafiltrasi) Kandungan glucose yang lebih
tinggi akan mengambil air lebih banyak. Cairan melewati membrane lebih cepat
dari pada solute. Untuk itu diperlukan dwell time yang lebih panjang untuk menarik
solute.
 Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi :
•Kualitas membrane
•Ukuran & karakteristik larutan
•Volume dialisat
 Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan :
1. Tekanan osmotic
2. Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam
pembuluh kapiler
Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air akan
diultrafiltrasi dari plasma ke dialisat, sehingga meningkatkan volume cairan intra
peritoneal. Peningkatan volume cairan intraperitoneal berbanding lurus dengan
konsentrasi glukosa dari cairan dialisat.
 Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD:
 Na (132 meq /lt)
 Cl ( 102 meq /lt)
 Mg (0,5 meq /lt)
 K (0 meq /lt)
CAPD merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah
nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil. Nilainya tergantung pada
fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk
limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada CAPD tidak
bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten karena
proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada
dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang
semakin baik.Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang
signifikan.Dengan CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat
molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis
daripada molekul berukuran sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih
lambat daripada selama hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat
dialysis peritonial dicapai dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang
memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi sehingga tercipta gradient osmotic.
Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan bebepara ukuran
volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml sehingga memungkinkan
pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan
fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradient
osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara
memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung
secara kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien
melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari
(misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00
malam).Dan dapat tidur pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya
memerlukan waktu 30-60 menit atau lebih; lamanya proses ini tergantung pada
lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri
atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan dialisat), 20 menit periode
drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit
atau lebih.
9. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian
a. Efektifitas CAPD
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih
hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih
tersisa dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD
adalah cara penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui
rongga peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah
selaput/membran. Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke
dalam rongga perut melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut.
Teknik ini memanfaatkan selaput rongga perut untuk menyaring dan membersihkan
darah. Ketika cairan dialisis berada dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan
dibersihkan, juga kelebihan air akan ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30
menit, dilakukan di rumah oleh pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang
menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan
setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto,
2010).
b. Keuntungan CAPD dibandingkan HD :
 Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
1. Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya
saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk
membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah
mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon
seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-
fungsi tersebut.
2. Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis
pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai
usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis
peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
3. Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas
kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
 Keuntungan tambahan yang lain yaitu:
1. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
2. Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
3. Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
4. Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD
5. Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
6. Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
7. Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
8. Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama

c. Kelemahan CAPD :
1. Resiko infeksi
 Peritonitis
2. BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).
10. Komplikasi CAPD
 Peritonitis
Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling
serius. Komplikasi ini terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani
dialysis peritoneal. Sebagian besar kejadian peritonitis disebabkan oleh
kontaminasi staphylococcus epidermis yang bersifat aksidental. Kejadian ini
mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya baik. Meskipun demikian,
peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan angka morbiditas yang
lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama.
Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila
terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan peritoneal dan
bila mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis
mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen
yang difus.
Gejala klinis dari peritonitis
- Tampaknya gejala dapat cepat, minimal 6-12 jam, biasanya 24-48 jam (touch
contamination)
- Setelah dimulai terapi antibiotik, gejala-gejala akan berkurang dan hilang
dalam 2-3 hari.
- Gejala- gejala yang berkepanjangan menunjukkan adanya komplikasi atau
mungkin organisme tidak berespon dengan antibiotik yang digunakan dan
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Diagnosis klinis peritonitis pada Peritonial Dialisis
Definisi praktis tersebut memerlukan 2 kriteria di bawah ini :

 Adanya organisme pada pewarnaan Gram atau kultur dari dari cairan PD
 Cairan keruh (hitung > 100 sel dengan > 50% polymorphonuclear cells)
 Tanda-tanda peradangan peritonium (nyeri,nyeri tekan lepas)
Media masuknya kuman akibat peritonitis
- Melalui ujung konektor dari pasien ke Twinbag selama proses pertukaran
cairan.
- Melalui exit site

Perjalanan infeksi pada pasien CAPD


- Eksogen – melalui lumen kateter (Transluminal)
Pertukaran kantong.
Mengganti transfer set.
Injeksi obat2an
Kontaminasi udara
Kerusakan PD systems
Kecelakaan saat mengganti
Cairan PD terinfeksi
Infeksi melalui air
- Eksogen – melalui dinding abdomen (periluminal)
Infeksi Exit site
Infeksi pada tunnel
Water borne infection
- Endogen
Transcolonic migration of bacteria
Intra-abdominal infected viscera
Female genital tract

Faktor – faktor yang berpengaruh terjadinya peritonitis

Pencegahan Peritonitis
- Sambungan yang steril
 Mengamati kondisi yang steril selama proses pertukaran cairan
 Memakai desinfektan pada semua area yang terpapar yang
memungkinkan terjadinya kontaminasi
 Memakai masker, cuci tangan
 Membuat prosedur protokol yang baik
 Hati2 dalam memberi training pada pasien

- Seleksi pasien
 kepatuhan
 Kemampuan intelektual yang baik
 Dukungan keluarga yang baik
Peritonitis yang menetap dan berulang
- Resisten antibiotik
- Dosis tidak adekuat atau lama terapi
o Inadequate peritoneal/ serum/ tissue concentration
o Excessive dosing interval
o Effect of residue renal function
- Localized infection
o Tunnel infection
o Intra-abdominal abscess
o Biofilm
Komplikasi Peritonitis
- Perforasi Intestinal dan diverticulitis
- Adhesions, sclerosing peritonitis
- Malnutrisi protein berat and muscle wasting
- Kematian
Indikasi melepas kateter selama peritonitis
- Indikasi Absolut
o Sering berulang peritonitis
o Kambuh dengan organisme yang sama
o Peritonitis menetap setelah 5-7 hari dengan terapi yang adekuat
o Tunnel infection with peritonitis
o Intraperitoneal abscess
o Faecal peritonitis
- Indikasi Relatif
o Fungal peritonitis
o Tuberculous peritonitis
Penanganan

Hmj

11. Fase persiapan sebelum dilakukan CAPD


1. Persiapan Bagi Klien yang akan menjalani CAPD
Persiapan bagi klien dan keluarga yang menjalani CAPD tergantung dari
status fisik dan psikologis klien, tingkat kesadaran, pengalaman sebelumnya tentang
terapi dialysis dan pemahaman serta adaptasi klien terhadap prosedur tersebngut.
Mungkin klien yang akan menjalani hemodialis peritoneal berada dalam kondisi akut
sehingga memerlukan terapi jangka pendek untuk memperbaiki kondisi yang berat
pada status cairan dan elektrolit.
Prosedur dialisi peritoneal perlu dijelaskan terlebih dahulu kepada pasien dan
surat persetujuan (inform consent) yang sudah ditandatangani harus sudah diperoleh
sebelum prosedur tersebut dilaksanakan. data dasar mengenai tanda-tanda vital, berat
badan dan kadar elektrolit serum harus dicatat. pengosongan kandung kemih dan
usus diperlukan untuk memperkecil resiko tertusuknys organ-organ internal. perawat
juga harus mengkaji rasa cenas klien dan memberikan dukngan serta petunjuk
mengenai prosedur yang akan dilaksanakan. Kateter untuk dialysis peritoneal harus
dipasang di kamar operasi, sehingga hal ini harus dijelaskan kepada klien dan
keluarganya.
2. Persiapan Peralatan untuk Dialysis Peritoneal
Disamping merakit peralatan untk dialysis peritoneal, perawat harus
berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan konsentrasi larutan dialisat yang akan
digunakan dan obat-obatan yang akan ditambahkan pada dialisat tersebut. Heparin
dapat ditambahkan untk mencegah pembentukan bekuan fibrin yang dapat
menyembut kateter peritoneal.Kalium klorida dapat diresepakn untk mencegah
hipokalemia.antibiotic dapat diberikan untk mengobati peritonitis.
sebelum menambahkan obat-obatan ini, larutan dialisat dihangatkan hingga
mencapai suhu tubuh untuk mencegah gangguan rasa nyaman nyeri dan nyeri
abdomen, selain itu tindakan-tindakan ini dapat menyebabkan dilatasi pembuluh-
pembuluh darah peritoneum sehingga meningkatkan klierens ureum. Larutan yang
terlalu dingin menyebabkan nyeri dan vasokonstriksi dan menurunkan klirens.larutan
yang terlalu panas dapat membakar peritoneum. peralatan yang digunakan untuk
menghangatkan larutan dialisat harus dipantau dengan cermat untuk menjamin suhu
yang diinginkan.
Sesaat sebelum dialysis dimulai, peralatan dan selang untuk dialysis
dirakit.selang tersebut diisi dengan larutan dialisat yang sudah dipersiapkan untuk
mengurangi jumlah udara yang masuk kedalam kateter serta kavum peritoneal, yang
dapat menyebabkan gangguan rasa nyaman pada abdomen dan mengganggu
penetesan serta pengaliran keluar cairan dialisat tersebut.
3. Pemasangan Kateter untuk Dialysis Peritoneal
Idealnya, kateter peritoneal dipasang dalam kamar operasi untuk
mempertahankan teknik aseptic dan memperkecil kemungkinan kontaminasi.sebuah
kateter stylet dapat digunakan jika diperkirakan dialisi peritoneal akan dilakukan
dalam waktu singkat. Sebelum prosedur ini dilakukan, kulit abdomen dibersihkan
dengan larutan aseptic lokal untuk mengurangi jumlah bakteri pada kulit dan untuk
mengurangi resiko kontaminasi seta infeksi pada lokasi pemasangan kateter. Dokter
melakukan penyuntikan infiltrasi anestesi local ke dalam kulit dan jaringan subkutan
pasien sebelum prosedur pemasangan keteter dilakukan.Insisi kecil atau sebuah
tusukan dilakukan pada abdomen bagian bawah, 3 hingga 5 cm dibawah umbilicus,
di daerah ini relative tidak mengandung banyak pembuluh darah besar sehingga
perdarahan yang terjadi tidak begitu besar. Sebuah trokar (sebuah alat yang berujung
tajam) digunakan untk menusuk peritoneum sementara pasien mengencangkan otot
abdomennya dengan cara menganggkat kepalanya. Keteter dimasukkan melalui
trokar dan kemudian diatur posisisnya.caiaran yang sudah disiapkan diinfuskan ke
dalam cavum peritoneal dengan mendorong omentum (lapisan peritoneal yang
membentang dari organ-organ abdomen) menjauhi kateter. sebuah jahitan dapat
dibuat untuk mempertahankan kateter pada tempatnya
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Hitung intake dan output yaitu cairan : 500 cc ditambah urine dan hilangnya cairan
dengan cara lain (kasat mata) dalam waktu 24 jam sebelumnya.
b. Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu natrium dan kalium. Natrium dapat diberikan
sampai 500 mg dalam waktu 24 jam.

3. Penatalaksanaan Diet
a. Kalori harus cukup : 2000 – 3000 kalori dalam waktu 24 jam.
b. Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk mencegah terjadinya katabolisme protein
c. Lemak diberikan bebas.
d. Diet uremia dengan memberikan vitamin : tiamin, riboflavin, niasin dan asam folat.
e. Diet rendah protein karena urea, asam urat dan asam organik, hasil pemecahan
makanan dan protein jaringan akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat
gagguan pada klirens ginjal. Protein yang diberikan harus yang bernilai biologis tinggi
seperti telur, daging sebanyak 0,3 – 0,5 mg/kg/hari.

X. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengakajian
a. Identitas klien
b. Riwayat Penyakit
c. Riwayat penyakit infeksi
d. Riwayat penykit batu/obstruksi
e. Riwayat pemakaian obat-obatan
f. Riwayat penyakit endokrin
g. Riwayat penyakit vaskuler
h. Riwayat penyakit jantung
i. Data interdialisis (klien hemodialisis rutin)
j. Data interdialisis meliputi :
 Berat badan kering klien atau Dry Weight, yaitu : berat badan di mana klien merasa
enak, tidak ada udema ekstrimitas, tidak merasa melayang dan tidak merasa sesak
ataupun berat, nafsu makan baik, tidak anemis.
 Berat badan interdialisis : Berat badan hemodialisis sekarang – Berat badan post
hemodialisis yang lalu (Kg).
 Kapan terakhir hemodialisis.
k. Keadaan umum klien
 Data subjektif : lemah badan, cepat lelah, melayang.
 Data objektif : nampak sakit, pucat keabu-abuan, kurus, kadang – kadang disertai
edema ekstremitas, napas terengah-engah.

l. Pemeriksaan Fisik
 Kepala: Retinopati, Konjunktiva anemis, Sclera ikteric dan kadang – kadang, disertai
mata merah (red eye syndrome), rambut ronok, muka tampak sembab, bau mulut
amoniak
 Leher: Vena jugularis meningkat/tidak, Pembesaran kelenjar/tidak,
 Dada: Gerakkan napas kanan/kiri seimbang/simetris, Ronckhi basah/kering, Edema
paru,
 Abdomen: Ketegangan, Ascites (perhatikan penambahan lingkar perut pada
kunjungan berikutnya), Kram perut, Mual/munta
 Kulit: Gatal-gatal, Mudah sekali berdarah (easy bruishing), Kulit kering dan
bersisik, keringat dingin, lembab, perubahan turgor kulit
 Ekstremitas: Kelemahan gerak, Kram, Edema (ekstremitas atas/bawah)
 Ekstremitas atas : sudahkah operasi untuk akses vaskuler
 System kardiovaskuler
Data subjektif : sesak napas, sembab, batuk dengan dahak/riak, berdarah/tidak.
Data objektif : hipertensi, kardiomegali, nampak sembab dan susah bernapas.
 System pernapasan
Data subjektif : merasa susah bernapas, mudah terengah-engah saat beraktifitas.
Data objektif : edema paru, dispnea, ortopnea, kusmaul.
 Sistem pencernaan
Data subjektif napsu makan turun, mual/muntah, lidah hilang rasa, cegukan, diare
(lender darah, encer) beberapa kali sehari.
Data objektif : cegukan, melena/tidak.
 Sistem Neuromuskuler
Data subjektif : tungkai lemah, parestesi, kram otot, daya konsentrasi turun, insomnia
dan gelisah, nyeri/sakit kepala.
Data objektif : neuropati perifer, asteriksis dan mioklonus, nampak menahan nyeri.
 Sistem genito – urinaria
Data subjektif : libido menurun, noktoria, oliguria/anuria, infertilitas (pada wanita).
Data objektif : edema pada system genital.
 System psikososial
Integritas ego
Stressor : financial, hubungan dan komunikasi
Merasa tidak mampu dan lemah
Denial, cemas, takut, marah, mudah tersinggung
Perubahan body image
Mekanisme koping klien/keluarga kurang efektif
Pemahaman klien dan keluarga terhadap diagnosis, penyakit dan perawatannya,
kadang masih kurang.
Interaksi social
Denial, menarik diri dari lingkungan
Perubahan fungsi peran dikeluarga dan masyarakat.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan CAPD adalah:
a. Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient osmotik,
retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen, distensi usus,
peritonitis dan jaringan parut peritonium). aatau masukan peroral berlebihan.
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat hipertonik
sehingga pembuangan cairan berlebihan.
c. resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.

3. Rencana Asuhan Keperawata


Dx. 1.Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient osmotik,
retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen, distensi
usus, peritonitis dan jaringan parut peritonium).aatau masukan peroral
berlebihan.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kelebihan volume
caiaran.
Kriteria Hasil :
1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
2. Tidak mengalami peningkatan BB secara cepat, edema dan kongesti paru.
3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar.
4. Tidak terjadi nyeri perut
5.
Intervensi Rasional
1. Catat volume cairan yang masuk, keluar 1. Jumlah aliran harus sama atau lebih dari
dan kumulasi keseimbangan caiaran. yang dimasukkan. Keseimbangan positif
menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih
lanjut.
2. Menimbang berat badan pasien sebelum 2. Indikator akurat status keseimbangan
dan sesudah menjalani dialisat cairan. keseimbangan positif dengan
peningkatan BB menunjuuakn retensi
cairan.
3. Kaji patensi kateter, kesulitan drainase, 3. Melambatnya kecepatan aliran/adanya
perhatikan adanya lembaran atau plak fibrin menunjukkan hambatan keter
fibrin. parsial yang perlu dievaluasi.
4. Tinggikan kepala tempat tidur, lakukan 4. dapat meningkatkan aliran bila kateter
tekanan perlahan pada abdomen. salah posisi/obstruktif oleh omentum.
5. Perhatikan adanya ddistensi abdomen 5. Distensi abdomen/konstipasi dapat
sehubungan dengan penurunan bising mempengaruhi keseimbangan cairan.
usus, perubahan konsistensi feses,
keluhan konstipasi.
6. Observati TTV, perhatikan adanta 6. Peningkatan nadi menunjukkan
hipertensi berat, nadi kuat, distensi JVD. hipovolume. Peningkatan kelebihan
edema perifer. cairan berpotensi Gjk./edema paru.
7. Evaluasi adanya takipnea, dispnea, 7. Distensi abdomen/kompresi diafragma
peningkatan upaya pernapasan. dapat mengganggu napas.
Kolaborasi:
8. Perubahan program dialisat sesuai 8. perubahan mungkin diperlukan dalam
indikasi konsentrasi glukosa atau natrium untuk
memudahkan efisiensi dialysis.
9. Awasi natrium serum 9. Hipernatremia dapat terjadi, meskipun
kadar serum dapat menunjukkan efek
pengenceran dari kelebihan cairan.

10. Tambahkan heparin pada dialisat awal, 10. mencegah dalam pembentukan fibrin
bantu irigasi kateter dengan garam faal yang dapat menghambat kateter

heparinasi peritoneal.

11. Pertahankan pembatasan cairan sesuai 11. Pembatasan caiaran dapat dilanjutkan
dengan indikasi untuk menurunkan kelebihan volume
cairan.

Dx. 2 Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat hipertonik
sehingga pembuangan cairan berlebihan.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kekurangan volume
caiaran.
Kriteria Hasil :
1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
2. Tidak mengalami penurunan BB secara cepat.
3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar (kseimbangan negatif).
4. TTV dalam batas normal.
5. Tidak mengalami tanda-tanda dehidrasi.
Intervensi Rasional
1. Catat volume cairan yang masuk, keluar 1. Memberikan informasi tentang status
dan kumulasi keseimbangan caiaran. keseimbangan cairan pada akhir setip
pertukaran.
2. Berikan jadwal untuk pengaliran dialisat 2. Waktu tinggal lama, khususnya bila
dari abdomen. menggunakan cairan glukosa 4,5 dapat
menyebabkan kehilangan cairan
berlebihan.

3. Menimbang berat badan pasien sebelum 3. Mendeteksi kecepatan pembuangan


dan sesudah menjalani dialisat. cairan dengan membandingkan dengna
berat badan dasar.

4. Awasi TD dan nadi. Perhatikan tingginya 4. Penurunan TD, hipotensi postural dan
pulsasi jugular. takikardi adalah tanda didi hipovolemia.

5. Perhatikan keluhan pusing, mual, 5. Dapat menunjukkan hipovolemia.


peningkatan rasa haus.
6. Inspeksi kelembapan mukosa, turgor kulit, 6. Indikator dehidrasi dan membutuhkan
nadi perifer dan CRT. peningkatan pemasukan /perubahan
dalam kekuatan dialisat.

7. Kolaborasi: 7. Caiaran hipertonik dapat menyebabkan

Awasi pemeriksaan laboratorium sesuai hipernatremia dan membuang lebih

indikasi: natrium serum dan kadar banyak air daripada natrium.. Selain itu

glukosa. glukosa dapat diabsorbsi dri dialisat


sehingga meningkatkan glukosa serum.

8. Kadar kalium serum. 8. Hipokalemia dapat terjadi dan dapat


menyebabkan disritmia jantung.

Dx. 3 Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, tidak terjadi injuri pada rongga
peritoneum.
Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda terjadi injuri pada rongga peritoneum
2. Klien tidak mengeluh nyeri pada abdomen.
Intervensi Rasional
1. Biarkan klien mengosonkan kandung 1. Kandung kemih kososng lebih jauh dari
kemih, usus untuk menghindari tempat pemasukan kateter dan mlam
penusukan organ interna enurunkan kemungkinan tertusuk saat
pemasangan kateter.
2. Fiksasi keteter dengan plester. Tekankan 2. Menurunkan resiko trauma dengan
pentingnya pasien menghindari penarikan manipulasi kateter.
atau pendorongan kateter.
3. Perhatikan adanya fekal dalam dialisat 3. Menduga perforasi usus dengan
atau dorongan kuat untuk defikasi, disertai percampuran dialisat dan isi usus.
diare berat.
4. Perhatikan keluhan tiba-tiba ingin 4. Menunjukkan perforasi kandung kemih
berkemih, atau haluaran urine besar dengan kebocoran dialista dalam
menyertai berjalannya dialysis awal. kandung kemih. Adanya kandungan
glukosa dalam dialisat, akan
meninggikan kadar glukosa urine.
5. Hentikan dialysis bila terjadi perforasi 5. Tindakan cepat akan mencegah cidera
usus/kandung kemih. Biarkan kateter selanjutnya. Bedah perbaikan segera
dialysis pada tempatnya. dibutuhkan. Membiarkan kateter pada
tempatnya memudahkan diagnosa /lokasi
perforasi.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta : EGC

Corwin, E.J. 2001. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology: Clinical concept
of disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical
Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;

Anda mungkin juga menyukai

  • Asuhan Keperawatan 2 Oprasi
    Asuhan Keperawatan 2 Oprasi
    Dokumen6 halaman
    Asuhan Keperawatan 2 Oprasi
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan Print
    Laporan Pendahuluan Print
    Dokumen19 halaman
    Laporan Pendahuluan Print
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Pendar Ah An
    Pendar Ah An
    Dokumen4 halaman
    Pendar Ah An
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • LK Ruangan Ok Iran Rs Kota
    LK Ruangan Ok Iran Rs Kota
    Dokumen10 halaman
    LK Ruangan Ok Iran Rs Kota
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Ayumuliadewi
    Ayumuliadewi
    Dokumen26 halaman
    Ayumuliadewi
    azrin
    Belum ada peringkat
  • LK Ruangan Ok Iran Rs Kota
    LK Ruangan Ok Iran Rs Kota
    Dokumen42 halaman
    LK Ruangan Ok Iran Rs Kota
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • LK Ruangan Ok Iran Rs Kota
    LK Ruangan Ok Iran Rs Kota
    Dokumen42 halaman
    LK Ruangan Ok Iran Rs Kota
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • LP Cva Trombosis
    LP Cva Trombosis
    Dokumen34 halaman
    LP Cva Trombosis
    kelompok14rssa
    100% (4)
  • Per Masala Han
    Per Masala Han
    Dokumen5 halaman
    Per Masala Han
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Per Masala Han
    Per Masala Han
    Dokumen5 halaman
    Per Masala Han
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Makro
    Makro
    Dokumen12 halaman
    Makro
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan Print
    Laporan Pendahuluan Print
    Dokumen12 halaman
    Laporan Pendahuluan Print
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • BARU
    BARU
    Dokumen12 halaman
    BARU
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • LK KGD PJT
    LK KGD PJT
    Dokumen43 halaman
    LK KGD PJT
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Rudi 16
    Rudi 16
    Dokumen41 halaman
    Rudi 16
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • LP CA Ovarium
    LP CA Ovarium
    Dokumen26 halaman
    LP CA Ovarium
    Muladi
    Belum ada peringkat
  • Wan Gunawan Combuce
    Wan Gunawan Combuce
    Dokumen34 halaman
    Wan Gunawan Combuce
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan Wan Gunawann
    Laporan Pendahuluan Wan Gunawann
    Dokumen13 halaman
    Laporan Pendahuluan Wan Gunawann
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Askep Keluarga
    Askep Keluarga
    Dokumen17 halaman
    Askep Keluarga
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Asuhan Keperawatan RUDY
    Asuhan Keperawatan RUDY
    Dokumen12 halaman
    Asuhan Keperawatan RUDY
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan
    Laporan Pendahuluan
    Dokumen26 halaman
    Laporan Pendahuluan
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • LP CKD Dengan Anemia
    LP CKD Dengan Anemia
    Dokumen52 halaman
    LP CKD Dengan Anemia
    Nano Jayadi Zls
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan
    Laporan Pendahuluan
    Dokumen26 halaman
    Laporan Pendahuluan
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN PENDAHULUAN Hipertensi
    LAPORAN PENDAHULUAN Hipertensi
    Dokumen23 halaman
    LAPORAN PENDAHULUAN Hipertensi
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Proposal Terapi Bermain
    Proposal Terapi Bermain
    Dokumen27 halaman
    Proposal Terapi Bermain
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Anemia Dengan CKD
    Anemia Dengan CKD
    Dokumen14 halaman
    Anemia Dengan CKD
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Fick Kopolo
    Fick Kopolo
    Dokumen18 halaman
    Fick Kopolo
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Mp-Asi 2
    Mp-Asi 2
    Dokumen14 halaman
    Mp-Asi 2
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat
  • Pengkajian Emy Hcu
    Pengkajian Emy Hcu
    Dokumen24 halaman
    Pengkajian Emy Hcu
    Mas Rudi Hartono Wongjowo
    Belum ada peringkat