5. Elektrokardiografi (ECG)
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda – tanda perikarditis,
aritmia dan gangguan elektrolit (hiperkalemia dan hipokalsemia).
6. Ultrasonografi (USG)
Menilai bentuk dan besar ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan paremkim ginjal,
ureter proximal, kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari
adanya faktor yang reversibel, juga menilai apakah proses sudah lanjut.
7. Foto polos abdomen
Sebaiknya tampa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal,
menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
8. Pielografi Intravena (PIV)
Pada PIV, untuk CKD tak bermanfaat lagi olah karena ginjal tidak dapat
mengeluarkan kontras, saat ini sudah jarang dilakukan.
9. Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
10. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda – tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial.
11. Pemerikasaan Kardiologi tulang
Mencari osteoditrofi (terutama tulang atau jari) dan klasifikasi metastatik.
VIII. Penatalaksanaan
Untuk mendukung pemulihan dan kesembuhan pada klien yang mengalami CKD
maka penatalaksanaan pada klien CKD terdiri dari penatalaksanan medis/farmakologi,
penatalaksanan keperawatan dan penatalaksanaan diet.Dimana tujuan penatalaksaan adalah
untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin.
1. Penatalaksanaan medis
a. Cairan yang diperbolehkan adalah 500 samapai 600 ml untuk 24 jam atau dengan
menjumlahkan urine yang keluar dalam 24 jam ditamnbah dengan IWL 500ml, maka
air yang masuk harus sesuai dengan penjumlahan tersebut.
b. Pemberian vitamin untuk klien penting karena diet rendah protein tidak cukup
memberikan komplemen vitamin yang diperlukan.
c. Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida mengandung alumunium
atau kalsium karbonat, keduanya harus diberikan dengan makanan.
d. Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif dan control volume
intravaskuler.
e. Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tampa gejala dan tidak
memerlukan penanganan, namun demikian suplemen makanan karbonat atau dialisis
mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis metabolic jika kondisi ini memerlukan
gejala.
f. Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat disertai
pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada
seluruh medikasi oral maupun intravena. Pasien harus diet rendah kalium kadang –
kadang kayexelate sesuai kebutuhan.
g. Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan epogen (eritropoetin manusia
rekombinan). Epogen diberikan secara intravena atau subkutan tiga kali seminggu.
h. Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokkan ginjal yang sehat ke pembuluh darah pasien CRF
maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru. Ginjal yang sesuai harus
memenuhi beberapa persaratan, dan persyaratan yang utama adalah bahwa ginjal
tersebut diambil dari orang/mayat yang ditinjau dari segi imunologik sama dengan
pasien. Pemilihan dari segi imunologik ini terutama dengan pemeriksaan HLA .
i. Dialisis
Dasar dialisis adalah adanya darah yang mengalir dibatasi selaput semi
permiabel dengan suatu cairan (cairan dialisis) yang dibuat sedemikiam rupa sehingga
komposisi elektrolitnya sama dengan darah normal. Dengan demikian diharapkan
bahwa zat-zat yang tidak diinginkan dari dalam darah akan berpindah ke cairan dialisis
dan kalau perlu air juga dapat ditarik kecairan dialisis. Tindakan dialisis ada dua
macam yaitu hemodialisis dan peritoneal dialysis (CAPD) yang merupakan tindakan
pengganti fungsi faal ginjal sementara yaitu faal pengeluaran/sekresi, sedangkan
fungsi endokrinnya tidak ditanggulangi.
IX. CAPD
1. Definisi
CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode pencucian
darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus
organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh
darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam
rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding
perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga
limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut,
kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru (Surya
Husada, 2008). Peritoneal Dialisis
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja
sebagai penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable
yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute
yang berisi racun yang akan dibuang.
2. Anatomi Membran Peritoneum
Rongga peritoneum adalah bagian dari perut yang membungkus organ-organ,
seperti lambung, ginjal, usus, dan lain-lain. Di dalam rongga perut ini terdapat banyak
pembuluh darah kecil (kapiler) yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum
dan cairan dialysis pada sisi yang lain.
Rongga peritoneum berisi sekitar 100ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi /
pelicin dari membran peritoneum.Pada orang dewasa normal, rongga peritoneum dapan
mentoleransi cairan > 2 liter tanpa menimbulkan gangguan.Membran peritoneum
merupakan lapisan tipis bersifat semi permeable. Luas permukaannya kurang lebih
1,55m2 yang terdiri dari 2 bagian, yaitu:
a. Bagian yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal peritoneum),
merupakan 20% dari total luas membran peritoneum.
b. Bagian yang menutup organ di dalam perut (vasceral peritoneum), merupakan 80%
dari luas total membran peritoneum.
Total suplai darah pada membran peritoneum dalam keadan basal adalah 60 –
100 ml/mnt.
3. Tujuan CAPD
Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah
metabolik, mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan
cairan yang berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.
4. Indikasi CAPD
pasien yang tidak mampu atau yang tidak mau menjalani hemodialisa
Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat
(hemodinamik yang tidak stabil)
Penyakit ginjal stadium terminal yang terjdai akibat penyakit diabetes
Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik
Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
Adanya penyakit CV yang berat
Disamping itu, hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang
tidak responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.
5. Kontraindikasi CAPD
Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)
Adhesi abdominal
Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainanpada discus
intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialis dalam
abdomenyang kontinyu
Pasien dengan imunosupresi
6. Cara Kerja CAPD
a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat
keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam
rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam
rongga perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar.
Lokasi dimana sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut “exit site”.
b. Pemasukan Ciran Dialisat
Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus
untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama
4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam
darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan
dialisat.
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan
dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai
“alat penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi.
7. Prosedur CAPD
Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu singkat
(± 30 menit). Terdiri dari 3 langkah:
1. Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan
dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses
pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.
2. Memasukkan cairan
Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter. Proses ini
hanya berlangsung selama 10 menit.
3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut
selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter.
Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4
kali sehari), 7 hari dalam seminggu.
8. Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis
lainnya, yaitu: difusi dan osmosis.
Difusi
Membrane peritoneum menyaring solute dan air dari darah ke rongga peritoneum
dan sebaliknya melalui difusi. Difusi adalah proses perpindahan solute dari daerah
yang berkonsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah, dimana proses ini
berlangsung ketika cairan dialisat dimasukkan ke dalam rongga peritoneum.
Konsentrasi cairan CAPD lebih rendah dari plasma darah, karena cairan plasma
banyak mengandung toksin uremik.Toksin uremik berpindah dari plasma ke cairan
CAPD.
Osmosis
Osmosis adalah perpindahan air melewati membrane semi permeable dari daerah
solute yang berkonsentrasi rendah (kadar air tinggi) ke daerah solute berkonsentrasi
tinggi (kadar air rendah). Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan
hidrostatik antara darah dan cairan dialisat. Osmosis pada peritoneum terjadi karena
glukosa pada cairan CAPD menyebabkan tekanan osmotic cairan CAPD lebih
tinggi (hipertonik) dibanding plasma, sehingga air akan berpindah dari kapiler
pembuluh darah ke cairan dialisat (ultrafiltrasi) Kandungan glucose yang lebih
tinggi akan mengambil air lebih banyak. Cairan melewati membrane lebih cepat
dari pada solute. Untuk itu diperlukan dwell time yang lebih panjang untuk menarik
solute.
Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi :
•Kualitas membrane
•Ukuran & karakteristik larutan
•Volume dialisat
Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan :
1. Tekanan osmotic
2. Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam
pembuluh kapiler
Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air akan
diultrafiltrasi dari plasma ke dialisat, sehingga meningkatkan volume cairan intra
peritoneal. Peningkatan volume cairan intraperitoneal berbanding lurus dengan
konsentrasi glukosa dari cairan dialisat.
Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD:
Na (132 meq /lt)
Cl ( 102 meq /lt)
Mg (0,5 meq /lt)
K (0 meq /lt)
CAPD merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah
nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil. Nilainya tergantung pada
fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk
limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada CAPD tidak
bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten karena
proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada
dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang
semakin baik.Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang
signifikan.Dengan CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat
molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis
daripada molekul berukuran sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih
lambat daripada selama hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat
dialysis peritonial dicapai dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang
memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi sehingga tercipta gradient osmotic.
Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan bebepara ukuran
volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml sehingga memungkinkan
pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan
fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradient
osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara
memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung
secara kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien
melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari
(misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00
malam).Dan dapat tidur pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya
memerlukan waktu 30-60 menit atau lebih; lamanya proses ini tergantung pada
lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri
atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan dialisat), 20 menit periode
drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit
atau lebih.
9. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian
a. Efektifitas CAPD
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih
hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih
tersisa dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD
adalah cara penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui
rongga peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah
selaput/membran. Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke
dalam rongga perut melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut.
Teknik ini memanfaatkan selaput rongga perut untuk menyaring dan membersihkan
darah. Ketika cairan dialisis berada dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan
dibersihkan, juga kelebihan air akan ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30
menit, dilakukan di rumah oleh pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang
menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan
setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto,
2010).
b. Keuntungan CAPD dibandingkan HD :
Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
1. Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya
saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk
membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah
mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon
seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-
fungsi tersebut.
2. Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis
pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai
usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis
peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
3. Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas
kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Keuntungan tambahan yang lain yaitu:
1. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
2. Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
3. Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
4. Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD
5. Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
6. Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
7. Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
8. Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama
c. Kelemahan CAPD :
1. Resiko infeksi
Peritonitis
2. BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).
10. Komplikasi CAPD
Peritonitis
Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling
serius. Komplikasi ini terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani
dialysis peritoneal. Sebagian besar kejadian peritonitis disebabkan oleh
kontaminasi staphylococcus epidermis yang bersifat aksidental. Kejadian ini
mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya baik. Meskipun demikian,
peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan angka morbiditas yang
lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama.
Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila
terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan peritoneal dan
bila mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis
mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen
yang difus.
Gejala klinis dari peritonitis
- Tampaknya gejala dapat cepat, minimal 6-12 jam, biasanya 24-48 jam (touch
contamination)
- Setelah dimulai terapi antibiotik, gejala-gejala akan berkurang dan hilang
dalam 2-3 hari.
- Gejala- gejala yang berkepanjangan menunjukkan adanya komplikasi atau
mungkin organisme tidak berespon dengan antibiotik yang digunakan dan
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Diagnosis klinis peritonitis pada Peritonial Dialisis
Definisi praktis tersebut memerlukan 2 kriteria di bawah ini :
Adanya organisme pada pewarnaan Gram atau kultur dari dari cairan PD
Cairan keruh (hitung > 100 sel dengan > 50% polymorphonuclear cells)
Tanda-tanda peradangan peritonium (nyeri,nyeri tekan lepas)
Media masuknya kuman akibat peritonitis
- Melalui ujung konektor dari pasien ke Twinbag selama proses pertukaran
cairan.
- Melalui exit site
Pencegahan Peritonitis
- Sambungan yang steril
Mengamati kondisi yang steril selama proses pertukaran cairan
Memakai desinfektan pada semua area yang terpapar yang
memungkinkan terjadinya kontaminasi
Memakai masker, cuci tangan
Membuat prosedur protokol yang baik
Hati2 dalam memberi training pada pasien
- Seleksi pasien
kepatuhan
Kemampuan intelektual yang baik
Dukungan keluarga yang baik
Peritonitis yang menetap dan berulang
- Resisten antibiotik
- Dosis tidak adekuat atau lama terapi
o Inadequate peritoneal/ serum/ tissue concentration
o Excessive dosing interval
o Effect of residue renal function
- Localized infection
o Tunnel infection
o Intra-abdominal abscess
o Biofilm
Komplikasi Peritonitis
- Perforasi Intestinal dan diverticulitis
- Adhesions, sclerosing peritonitis
- Malnutrisi protein berat and muscle wasting
- Kematian
Indikasi melepas kateter selama peritonitis
- Indikasi Absolut
o Sering berulang peritonitis
o Kambuh dengan organisme yang sama
o Peritonitis menetap setelah 5-7 hari dengan terapi yang adekuat
o Tunnel infection with peritonitis
o Intraperitoneal abscess
o Faecal peritonitis
- Indikasi Relatif
o Fungal peritonitis
o Tuberculous peritonitis
Penanganan
Hmj
3. Penatalaksanaan Diet
a. Kalori harus cukup : 2000 – 3000 kalori dalam waktu 24 jam.
b. Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk mencegah terjadinya katabolisme protein
c. Lemak diberikan bebas.
d. Diet uremia dengan memberikan vitamin : tiamin, riboflavin, niasin dan asam folat.
e. Diet rendah protein karena urea, asam urat dan asam organik, hasil pemecahan
makanan dan protein jaringan akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat
gagguan pada klirens ginjal. Protein yang diberikan harus yang bernilai biologis tinggi
seperti telur, daging sebanyak 0,3 – 0,5 mg/kg/hari.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan CAPD adalah:
a. Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient osmotik,
retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen, distensi usus,
peritonitis dan jaringan parut peritonium). aatau masukan peroral berlebihan.
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat hipertonik
sehingga pembuangan cairan berlebihan.
c. resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.
10. Tambahkan heparin pada dialisat awal, 10. mencegah dalam pembentukan fibrin
bantu irigasi kateter dengan garam faal yang dapat menghambat kateter
heparinasi peritoneal.
11. Pertahankan pembatasan cairan sesuai 11. Pembatasan caiaran dapat dilanjutkan
dengan indikasi untuk menurunkan kelebihan volume
cairan.
Dx. 2 Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat hipertonik
sehingga pembuangan cairan berlebihan.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kekurangan volume
caiaran.
Kriteria Hasil :
1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
2. Tidak mengalami penurunan BB secara cepat.
3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar (kseimbangan negatif).
4. TTV dalam batas normal.
5. Tidak mengalami tanda-tanda dehidrasi.
Intervensi Rasional
1. Catat volume cairan yang masuk, keluar 1. Memberikan informasi tentang status
dan kumulasi keseimbangan caiaran. keseimbangan cairan pada akhir setip
pertukaran.
2. Berikan jadwal untuk pengaliran dialisat 2. Waktu tinggal lama, khususnya bila
dari abdomen. menggunakan cairan glukosa 4,5 dapat
menyebabkan kehilangan cairan
berlebihan.
4. Awasi TD dan nadi. Perhatikan tingginya 4. Penurunan TD, hipotensi postural dan
pulsasi jugular. takikardi adalah tanda didi hipovolemia.
indikasi: natrium serum dan kadar banyak air daripada natrium.. Selain itu
Dx. 3 Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, tidak terjadi injuri pada rongga
peritoneum.
Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda terjadi injuri pada rongga peritoneum
2. Klien tidak mengeluh nyeri pada abdomen.
Intervensi Rasional
1. Biarkan klien mengosonkan kandung 1. Kandung kemih kososng lebih jauh dari
kemih, usus untuk menghindari tempat pemasukan kateter dan mlam
penusukan organ interna enurunkan kemungkinan tertusuk saat
pemasangan kateter.
2. Fiksasi keteter dengan plester. Tekankan 2. Menurunkan resiko trauma dengan
pentingnya pasien menghindari penarikan manipulasi kateter.
atau pendorongan kateter.
3. Perhatikan adanya fekal dalam dialisat 3. Menduga perforasi usus dengan
atau dorongan kuat untuk defikasi, disertai percampuran dialisat dan isi usus.
diare berat.
4. Perhatikan keluhan tiba-tiba ingin 4. Menunjukkan perforasi kandung kemih
berkemih, atau haluaran urine besar dengan kebocoran dialista dalam
menyertai berjalannya dialysis awal. kandung kemih. Adanya kandungan
glukosa dalam dialisat, akan
meninggikan kadar glukosa urine.
5. Hentikan dialysis bila terjadi perforasi 5. Tindakan cepat akan mencegah cidera
usus/kandung kemih. Biarkan kateter selanjutnya. Bedah perbaikan segera
dialysis pada tempatnya. dibutuhkan. Membiarkan kateter pada
tempatnya memudahkan diagnosa /lokasi
perforasi.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta : EGC
Corwin, E.J. 2001. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology: Clinical concept
of disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical
Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;