Anda di halaman 1dari 10

Diagnosis pada Pasien Penderita Kusta

Calvin Augurius

102016074/E6

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat korespondensi: Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Email: calvin.2016fk074@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Lepra atau penyakit yang lebih dikenal kusta penyakit granulomatosa kronis terutama
mempengaruhi kulit dan sistem saraf perifer. Kusta disebabkan oleh infeksi mycobacterium
leprae. Kusta memiliki dua tipe utama, yaitu tuberkuloid (TT) dan lepromatous (LL);
sebenarnya masih ada tipe lain seperti tipe BL, BB, BT yang merupakan bagian diantara tipe
TT dan LL. Meskipun jauh meningkat dalam 25 tahun terakhir, pengetahuan tentang
patogenesis, kursus, pengobatan, dan pencegahan kusta terus berkembang. Dengan
mempelajari epidemiologi, etiologi, patogenesis, gejal klinis, anamnesis pemeriksaan fisik dan
penunjang, diferensial diagnosis, tatalaksana, prognosis dan komplikasi penyakit lepra.
Dengan mempelajari hal ini diharapkan kompetensi mahasiswa kedokteran dapat menangani
dan meningkatkan kualitas hidup dari pasien penderita lepra.

Kata kunci: lepra, diagnosis, tatalaksana

Abstract

Leprosy or a disease known as leprosy chronic granulomatous diseases primarily affect the
skin and peripheral nervous system. Leprosy is caused by mycobacterium leprae infection.
Leprosy has two main types, namely tuberculoid (TT) and lepromatous (LL); actually there are
other types such as type BL, BB, BT which is part between type TT and LL. Despite
considerably increased in the past 25 years, knowledge of pathogenesis, course, treatment, and
prevention of leprosy continues to grow. By studying epidemiology, etiology, pathogenesis,
clinical symptoms, anamnesis physical examination and support, differential diagnosis,
management, prognosis and leprosy complications. By studying this it is expected that the
competence of medical students can handle and improve the quality of life of patients with
leprosy.

Keywords: leprosy, diagnosis, management

Pendahuluan

Kusta merupakan penyakit infeksi granulomatosa yang bersifat kronik progresif, mula-mula
menyerang saraf perifer, kemudian terdapat manifestasi klinis yang khas pada kulit. Kusta juga
dapat memiliki disebut morbus hansen disease, leprosy atau lepra pada berbagai referensi.
Kusta memiliki dua tipe utama, yaitu tuberkuloid (TT) dan lepromatous (LL); sebenarnya
masih ada tipe lain seperti tipe BL, BB, BT yang merupakan bagian diantara tipe TT dan LL.
Kusta memiliki ciri klinis yang cukup umum sehingga memilki diagnosis banding yang cukup
banyak terhadap penyakit lainnya, tetapi hal yang paling mencolok untuk dapat dibedakan dari
penyakit lainnya adalah manifestasi klinis pada kulit; yang akan dibahas pada pembuatan
makalah ini.

Pada pembuatan makalah ini hal-hal penting yang akan dibahas yaitu: epidemiologi, etio-
patogenesis, gejala klinis, cara melakukan anamnesis, pemerikasaan kulit pada lepra,
pemeriksaan penunjang, diagnosa banding, diagnosa kerja (working diagnosis), tatalaksana,
prognosis dan komplikasi pada lepra. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar
menambah wawasan mengenai penyakit umum yaitu lepra kepada masyarakat awam maupun
pembaca serta agar dapat lebih waspada dan dapat menangani kasus penyakit ini dengan baik
sebagai seorang dokter.

Epidemiologi

Prevalensi lepra di seluruh dunia dilaporkan hanya kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk.
Kebanyakan orang yang terkena dampaknya tinggal di daerah tropis dan subtropis. Enam
negara besar di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan belum mencapai tujuan eliminasi (<1 kasus
per 10.000 penduduk). Sekitar 95% kasus yang dilaporkan ditemukan di 16 negara:
Bangladesh, Brasil, Cina, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, India, Indonesia, Pantai
Gading (ivory coast), Madagaskar, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, Sudan Selatan, Sri
Lanka, dan Republik Bersatu Tanzania. Secara keseluruhan, prevalensi kusta telah menurun
sejak diperkenalkannya multidrug therapy (MDT) jangka pendek pada tahun 1982. Tingkat
deteksi tahunan global untuk lepra meningkat sedikit pada tahun 2012, kemungkinan hasil dari
metode penemuan kasus yang lebih baik.

Lepra terjadi pada orang-orang dari semua ras. Orang Afrika memiliki insidensi tinggi dari
bentuk tuberkuloid kusta (TT). Orang dengan kulit terang dan orang Cina cenderung terkena
lepra tipe lepromatosa (LL). Kusta adalah endemik di Asia, Afrika, cekungan Pasifik, dan
Amerika Latin (tidak termasuk Chili). Kusta lebih merupakan penyakit pedesaan daripada
perkotaan. Sedangkan pada faktor usia, Kusta memiliki distribusi usia dengan puncak pada
usia 10-14 tahun dan 35-44 tahun. Kusta jarang terjadi pada bayi. Anak-anak tampaknya paling
rentan terhadap kusta dan cenderung memiliki bentuk tuberkuloid. Pada orang dewasa, tipe
lepra lepromatosa lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita setelah pubertas,
dengan rasio pria-wanita 2: 1.1

Etio-patogenesis

Penyakit lepra disebabkan oleh mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae merupakan


famili dari mycobacteriaceae, termasuk dalam basil tahan asam, memilki panjang 1-8 mikron,
dan lebar 0,2-0,5 mikron. Kuman ini berbentuk globus, ada yang berkelompok dan tersebar
satu-satu, juga merupakan parasit obligat intraseluler. Penularan lepra ditularkan dari penderita
multi basiler melalui udara berupa droplet, dapat juga pada suhu dingin, melalui pakaian,
tempat tidur, serta lingkungan yang kurang bersih karena kuman dapat tahan diluar tubuh. Masa
inkubasi dari 6 bulan hingga 40 tahun.2

Patogenesis dari awal hingga terdapat manifestasi klinis pada lepra sebenarnya ada 2 hal yang
mencolok, yaitu adanya lesi kulit dan respon imun seperti radang, positif atau negatifnya tes
lepromin. Awal patogenesis dimulai dari penularan dari udara berupa droplet penderita
kemudian terkena ke nasal dan mukosa oral, anterior mata, dan testis (cenderung ke bagian
tubuh yang suhunya dingin). Kemudian mycobacterium leprae berafinitas (daya gabung) ke
makrofag dan sel schwann (berikatan pada domain G dari rantai alfa laminin 2 yang ditemukan
di saraf perifer) di lamina basalis dan menyebakan demielinisasi. Selanjutnya replikasi lambat
terutama pada sel schwann menstimulasi respon imun berperantara sel, yang menciptakan
peradangan kronis. Setelah itu, Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu
basil kusta dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua)
aspek yaitu imunitas non-spesifik dan spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit dan
membersihkan dari semua yang tidak dikenali (non-self).2 Sampai tahap ini sudah timbul gejala
klinis.

Gejala Klinis

Gejala klinis pada penyakit lepra cukup bervariasi dikarenakan lepra memiliki jenis dan
terdapat respon imun yang sama bekerja tetapi menimbulkan reaksi yang berbeda. Pada fase
awal yaitu adanya bercak putih berskuama (sisik) halus pada bagian tubuh, tidak gatal,
kemudian membesar dan tersebar luas. Jika saraf sudah terkena akibat demielinisasi sel
schwann, maka penderita akan mengeluh adanya baal atau mati rasa pada bagian tertentu serta
adanya kesukaran menggerakkan anggota badan yang berlanjut dengan kekakuan sendi.3

Gejala klinis pada jenis tertentu seperti tipe tuberkuloid (TT) yaitu adanya makula eritematosa
(bercak rata dan kemerahan) yang bulat, permukaan kulit kering, berbatas tegas dengan kulit
di sekitarnya, anestesi, atrofi, adanya bagian tengah yang menyembuh (central healing).
Sedangkan gejala klinis pada tipe lepramatosa (LL) dan borderline lepramatosa (BL) lesinya
ada fase akut berupa demam, mengigigil, nyeri sendi, adanya eritema, nodul; jika nodul dapat
menimbulkan ulkus yang biasa disebut eritema nodosum leprosum yang memilki predileksi di
lengan, tungkai, dan dinding perut. Tipe BL dan LL memiliki ciri permukaan mengkilat,
infiltrat nodul difus yang bersimetri, pembengkakan dan saraf terasa sakit, anestesi. Berikut
gambaran gejala klinis tipe LL dan TT.3

Gambar 1 dan 2. Tipe tuberkuloid (kiri) dan lepramatosa (kanan).3

Anamnesis

Anamnesis pada pasien penderita lepra dilakukan dengan melakuan prosedur seperti biasa
yaitu: identitas, keluhan utama, bagaimana karakter lesi, onset dan lain-lain, riwayat penyakit
dahulu (RPD), riwayat penyakit keluarga (RPK), riwayat pribadi dan sosial, riwayat alergi.
Pada aspek keluhan utama tanyakan apakah ada gatal, adanya ulkus (luka), dampak terhadap
aktivitas sehari-hari, dan hal-hal yang memperingan maupun memperberat seperti riwayat
adanya pengobatan sebelumnya. Pada aspek RPD tanyakan apakah ada terkena penyakit seperti
eksim (dermatitis), psoriasis, asma alergi, atopi, dan penyakit umum lainnya. Pada aspek RPK
hal penting yang perlu ditanyakan yaitu adanya penyakit kulit dan riwayat alergi di keluarga.
Pada aspek riwayat pribadi dan sosial tanyakanlah ada pajanan bahan di temat kerja, hobi atau
di rumah.4

Pada pasien penderita lepra biasanya pasien mengeluh adanya mati rasa (baal) yang biasanya
muncul beberapa tahun sebelumnya sebelum adanya lesi kulit, tidak dapat merasakan
temperatur panas maupun dingin. Sensasi berikutnya yang hilang adalah sentuhan ringan,
kemudian rasa sakit, dan akhirnya, tekanan yang dalam. Kerugian ini sangat jelas di tangan dan
kaki; oleh karena itu, keluhan utama bisa berupa luka bakar atau ulkus pada ekstremitas yang
mengalami anestesi. Bagian lain dari tubuh yang mungkin terpengaruh lepra yang dikeluhkan
pasien adalah area yang dingin, yang dapat mencakup saraf perifer dangkal, ruang anterior
mata, testis, dagu, eminensia malar, telinga, dan lutut. Dari tahap lepra ini, kebanyakan lesi
berevolusi menjadi tipe tuberkuloid, borderline, atau lepromatosa.4

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang wajib dilakukan sebelum masuk dalam pemeriksaan kajian kuit yaitu
pemeriksaan tanda-tanda vital (TTV) untuk mengetahui keadaan umum pasien, setelah itu
barulah dilakukan pemeriksaan fisik kulit. Umumnya penyakit lepra ketika dilakukan
pemeriksaan fisik terdapat bercak kulit yang berwarna putih (makula
hipopigmentasi/eritomatosa) yang khas yaitu 5A. 5 hal tersebut adalah akromia (tidak
berpigmen), anestesia (mati rasa atau baal), atrofi (kulit mengkerut), alopesia (tanpa rambut),
dan anhidrosis (tanpa keringat).

Pada pemeriksaan fisik perlu dikaji tanda-tanda fisik lepra di 3 area umum: lesi kulit, neuropati,
dan mata. Untuk lesi kulit, nilai jumlah dan distribusi lesi kulit. Makula hipopigmentasi dengan
batas yang diangkat sering merupakan lesi kulit pertama. Plakat juga umum. Lesi mungkin
hipoestik. Mengenai neuropati, nilai untuk area hypoesthesia (sentuhan ringan, cocokan peniti,
suhu dan anhidrosis), terutama batang saraf perifer dan saraf kutaneus. Saraf yang paling sering
terkena adalah saraf tibialis posterior. Saraf lain yang biasanya rusak adalah ulnaris, median,
lateral popliteal, dan saraf wajah. Selain kehilangan sensorik, pasien mungkin berhubungan
dengan nyeri tekan dan kehilangan motorik. Palpasi saraf, tes monofilamen, dan tes otot
sukarela adalah tes klinis yang paling berguna untuk mendeteksi kerusakan saraf. Kerusakan
saraf yang biasa terjadi adalah adanya penebalan saraf, gangguan sensoris (baal atau mati rasa),
motorik (paresis atau paralisis), dan otonom (kulit kering retak karena anhidrosis, edema dan
alopesia).5

Grading klinis dari ketebalan, kelembutan, dan nyeri saraf harus dicatat untuk melacak
perubahan dari waktu ke waktu dan dengan terapi. Kerusakan mata paling sering terlihat pada
lesi wajah. Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata), temuan akhir pada orang
dengan lepra lepromatosa, hasil dari keterlibatan cabang zygomatik dan temporal dari saraf
wajah (saraf kranial VII). Keterlibatan cabang mata dari saraf trigeminal (saraf kranial V) dapat
menyebabkan berkurangnya refleks kornea, meninggalkan mata kering dan mengurangi
kedipan.

Untuk tes anestesi di Indonesia dilakukan 3 hal, yaitu tes rasa nyeri, suhu, dan perabaan kasar
maupun halus dengan peniti dan bulu sikat. Selain itu ada tes khusus untuk penilaian
anhidrosis, yaitu potlot gunawan.5 pemeriksaan ini dilakukan dimana bagian lesi di gambar
lingkaran lalu kemudian pasien diminta untuk melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan
keringat seperti olahraga. Pada lesi tidak terdapat keringat dibanding dengan kulit yang
normal.5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis maupun menyingkirkan diferensial


diagnosis lepra dapat digunakan pemeriksaan. Pemeriksaan bakterioskopik (bakteri di
laboratorium), pemeriksaan ini digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen. Pemeriksaan bakteri
negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung mycobacterium
leprae. Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling padat
oleh bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk
pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling merah di kulit dan infiltratif.4,6
Kedua, pemeriksaan histopatologi (jaringan sel abnormal) diagnosis penyakit kusta biasanya
dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada
sebagian kecil kasus bila diagnosis masih meragukan, pemeriksaan histopatologis dapat
membantu. Pemeriksaan ini sangat membantu khususnya pada anak-anak bila pemeriksaan
saraf sensoris sulit dilakukan, juga pada lesi dini contohnya pada tipe indeterminat, serta untuk
menentukan tipe yang tepat.

Yang ketiga, pemeriksaan serologis Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mycobacterium
leprae mengakibatkan diagnosis serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan.
Beberapa tes serologis yang banyak digunakan untuk mendiagnosis kusta adalah: tes
flourescent leprosy antibody absorption (FLA-ABS), tes ELISA, tes MLPA untuk mengukur
kadar antibodi Ig G yang telah terbentuk di dalam tubuh pasien, titer dapat ditentukan secara
kuantitatif dan kualitatif.4, 6

Diferensial Diagnosis

Diferensial diagnosis pada penderita lepra diperlukan sebagai pembeda dengan penyakit
lainnya yang memiliki manifestasi klinis yang hampir sama. Mulai dari lesi kulit, efloresensi,
peningkatan atau penurunan hasil laboratorium seperti leukosit, darah rutin dan lain-lain.
Berikut tabel diferensial diagnosis penyakit lepra.

Penyakit Pasien pada Predileksi Gejala klinis Keterangan lain


Pitiriasis versikolor Menyerang Tempat yang Makula Wood’s light berwarna
semua umur, tidak tertutup hiper/hipopigmentasi kuning- hijau/kuning
pria dan wanita pakaian seperti (coklat dan abu-abu emas, lesi tidak berpendar
wajah dan leher batas tegas,
asimtomatik, kadang
terdapat skuama halus,
folikulitis
Pitiriasis alba Usia 3-16 tahun Wajah, terutama Skuama, patch- samar Ada riwayat ruam, asma,
pipi, lengan atas, eritematosa, dermatitis atopik; wood’
leher hipopigmentasi, gatal, light berwarna terang
papul hipokromik
vitiligo Banyak pada Kulit jari tangan, Makula Pada histopatologi
usia 20-40 siku, fleksura hipopigmentasi, batas melanositnya berkurang,
tahun, lebih pergelangan jelas, berbentuk sel langerhans mirip
sering pada tangan dan kaki, konkaf, sekitar lesi ada dengan melanosit
wanita kelopak mata hiperpigmentasi

Tabel 1. Diferensial diagnosis pada penyakit lepra.3, 7, 8

Pada pitiriasis versikolor disebabkan Malaize furfur. Patogenesisnya berhubungan dengan flora
normal tubuh oleh bakteri Pitysporum orbiculare bulat atau oval. Malaize furfur merupakan
fase spora dan miselium. Sementara pada pitiriasis alba belum diketahui penyebabnya.
Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang serta
meninggalkan area yang depigmentasi. Terakhir yaitu vitiligo yang memilki tanda berupa
makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel melanosit.
Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang dapat
meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral,
hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.3, 8

Tatalaksana

Pengobatan pada penyakit lepra bervariasi, bergantung tipenya. Pada pengobatan


medikamentosa untuk lepra secara umum pengobatannnya yaitu dapson (suatu antagonis folat)
50-100 mg per hari. Dapson memiliki waktu paruh yang panjang, yaitu 24 jam; maka dari itu
pemberiannya hanya diberi satu kali dalam sehari. Obat ini aman bahkan aman digunakan pada
wanita hamil walaupun merupakan antagonis folat. Obat ini diberikan kira-kira 6-9 bulan.
Untuk efek sampingnya relatif jarang tetapi ada berupa hemolisis, agranulositosis, hepatitis,
dan dermatitis eksfoliatif. Biasanya pada tipe I, BT dan TT dikombinasikan dengan rifampisin
berupa 600 mg per bulan yang penggunaannya seminggu hanya 1-2 kali karena harganya yang
mahal dan kebanyakan pasien di negara berkembang tidak mampu membelinya. Pada tipe LL,
BB, dan BL kombinasi yang bisa digunakan berupa dapson dengan rifampisin atau kombinasi
salah satu obat tersebut dengan lamprene (klofasimin) dengan dosis 50-200 mg per hari dengan
waktu paruh 70 hari. Untuk reaksi kusta seperti eritema nodosum leprosum dapat diberi
antipiretik dan analgesik berupa prednison 60-120 mg per hari, atau dengan talidomid (tidak
boleh pada wanita hamil) dengan dosis 200 mg dua kali sehari dengan dosis yang diturunkan
50-100 mg sampai pasien terlihat keaadan compos mentis. Bila pengobatan tidak berhasil maka
dapat dirujuk ke dokter spesialis sesuai keluhan maupun komplikasi yang dialami pada pasien.9

Tatalaksana pada non-medikamentosa berupa edukasi agar menjaga higiene sehari-hari seperti
penggantian pakaian dan pakaian dalam, penggunaan masker di lingkungan yang kotor, mandi
dua kali dalam sehari, cuci tangan dan kaki dan lain-lain. Adapun vaksin sebagai profilaksis
lepra yaitu vaksin BCG.9

Prognosis

Dengan adanya terapi obat kombinasi, penggunaan dan efek obat menjadi lebih sederhana,
baik, dan lebih singkat. Maka dari itu prognosis dari penyakit ini baik. Jika terdapat kontrakur
dan ulkus atau dari lesi kulit belum dapat ditentukan tipe apakah lepra tersebut, maka prognosis
menjadi kurang baik. Pada tipe BT, BB dan BL dapat terjadi reaksi pembalikan/ rekuren; hal
maupun faktor yang berperan pada ini adalah sistem imunologis seluler dari penderita tersebut.3

Komplikasi

Terminologi reaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan mengenai pelbagai gejala dan
tanda radang akut lesi pasien kusta, yang dapat dianggap sebagai kelaziman pada perjalanan
penyakit atau bagian komplikasi penyakit kusta. Komplikasi penyakit kusta yang paling
mungkin adalah:2
1. Komplikasi jaringan akibat invasi masif mycobacterium leprae.
2. Komplikasi akibat reaksi.
Ada dua tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya
 Reaksi lepra tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas selular. Menurut Jopling
reaksi lepra tipe 1 merupakan delayed hipersensitivity reaction seperti halnya
reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Sebagai hasil reaksi
tersebut dapat terjadi upgrading/reversal apabila menuju kearah bentuk
tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS), atau down grading apabila menuju kebentuk
lepromatosa (terjadi penurunan SIS).
 Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral yang dikenal dengan
nama eritema nodosum leprosum (ENL). ENL merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe III menurut Coombs dan Gell. Antigen berasal dari produk kuman yang telah
mati dan bereaksi dengan antibodi membentuk kompleks Ag-Ab. Kompleks Ag-
Ab ini akan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL merupakan
reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks imun.2

Kesimpulan

Pada dasarnya, penyakit lepra harus dapat ditentukan terlebih dahulu tipe apa melalui
anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang yang tepat, setelah itu menentukan prognosis dan
komplikasi dari penaykit lepra agar dapat menentukan tatalaksana yang benar sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.

Daftar Pustaka

1. Lewis FS. Dermatologic manifestation of leprosy. 2016. Diunduh dari


https://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#a6 pada 15 April 2018.
2. Wilson LM. Patologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2004: h.1257-9.
3. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2014: h. 10, 156-61, 254.
4. Graham-brown R, Bourke J, Cunliffe T. Dermatologi dasar untuk praktik klinik.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; h. 310-9.
5. Djuanda A. Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:
FKUI; 2011: h.73-88.
6. Wiryadi BE, Danny, Widodo G, Widyanto, Hernayati, Anggraini, Chadijah, et al. Skin
& integumen. Jakarta: 2018: h. 24-6, 289.
7. Miller RA. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokeran EGC; 2017: h. 808-12, 975.
8. Samiadi LA. Apa itu vitiligo. Diunduh dari https://hellosehat.com/penyakit/vitiligo/
pada 15 April 2018.
9. Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Farmakoterapi aplikasi. Edisi ke-1. Jakarta: FK Ukrida; 2016: h. 100-1.

Anda mungkin juga menyukai