Anda di halaman 1dari 4

Menghadapi Anak dengan Retardasi Mental

6 Februari 2015 Pijar Psikologi Mental Retardasi, Mental Retardation Care, Pengasuhan Tuna
Grahita, Tuna Grahita, Tuna Grahita Bisa
16

Anak dengan retardasi mental seringkali dianggap sebagai pribadi yang inferior (lebih rendah)
dibandingkan dengan anak normal seusianya. Hal ini tampak dari bagaimana orang-orang di
sekitarnya memberikan ruang gerak yang terbatas pada kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu
kurangnya penerimaan dari orang tua tak jarang menyebabkan perkembangan mereka semakin
terhambat. Padahal dengan latihan yang cukup dan dukungan yang kuat, penyandang retardasi
mental dapat hidup secara mandiri dan berkontribusi bagi lingkungan di sekitarnya. Karena
itulah, langkah awal yang paling mudah adalah dengan belajar memahami kondisi mereka. Yuk,
kita simak sedikit ulasan tentang retardasi mental!

Apa sih Retardasi Mental itu?

Istilah “retardasi mental” masih cukup asing di telinga sebagian besar masyarakat kita. Di dunia
pendidikan Indonesia, retardasi mental lebih dikenal sebagai “tuna grahita”. Retardasi mental
adalah sebuah kondisi di mana kemampuan intelektual seseorang di bawah rata-rata (IQ di
bawah 70) dan terdapat gangguan dalam perilaku adaptif 1. Perilaku adaptif merupakan
kemampuan seseorang dalam membina hubungan sosial dan menyelesaikan permasalahan
kehidupan sehari-hari (seperti menggunakan transportasi umum, menggunakan uang untuk
berbelanja, dsb). Dalam beberapa kasus, penyandang retardasi mental biasanya memiliki
gangguan lainnya, seperti misalnya down syndrome, fragile-x syndrome, dsb.

Nah, jika dilihat dari hasil tes IQ, penyandang retardasi mental dapat dibagi menjadi kategori
sebagai berikut:

1. Retardasi Mental Ringan (IQ 50-69)

Pada kategori ini, kesulitan utama yang ditemui adalah tugas-tugas akademik di sekolah.
Sebagian besar anak dengan retardasi mental memiliki perkembangan bahasa yang cukup untuk
aktivitas berbicara sehari-hari. Meskipun terbilang lambat tapi anak dapat mencapai ketrampilan
praktis dan rumah tangga untuk bisa hidup mandiri secara penuh.

2. Retardasi Mental Sedang (IQ 35-49)

Mengalami perkembangan bahasa yang bervariasi. Ada yang mencapai kemampuan komunikasi
secara sederhana. Ada pula yang hanya mampu berkomunikasi seadanya untuk kebutuhan dasar
saja. Selain itu, cenderung memiliki prestasi akademik yang rendah.

3. Retardasi Mental Berat (IQ 20-34)


Memiliki kemampuan yang sama dengan kategori retardasi mental sedang. Umumnya menderita
gangguan fisik motorik (gerakan) yang mencolok.

4. Retardasi Mental Sangat Berat (IQ di bawah 20)

Pemahaman dan penggunaan kata sangat terbatas. Dengan latihan dan pengawasan yang tepat,
anak dengan retardasi mental dapat melakukan tugas praktis dan rumah tangga yang sederhana.

Anak dengan Retardasi Mental dapat Hidup Mandiri!

Dulunya, banyak pakar yang percaya bahwa anak dengan retardasi mental tidak dapat
mengalami peningkatan kemampuan dan sama sekali tidak bisa disembuhkan. Namun, saat ini
anggapan tersebut perlahan-lahan mulai diubah. Penanganan dan pendampingan yang tepat akan
anak dengan retardasi mental dapat bertindak secara mandiri. Bahkan tidak menutup
kemungkinan bahwa anak dengan retardasi mental kategori ringan dapat dilatih untuk mencapai
kemampuan layaknya orang normal.

Beberapa ahli mengatakan bahwa baik-buruknya perkembangan kemampuan anak dengan


retardasi mental sangat bergantung pada lingkungan di sekitarnya. Dalam hal ini, keluarga
memiliki peran paling besar untuk membantu anak menjadi mandiri. Orang tua dan saudara
harus mampu menerima kondisi keterbatasan anak untuk menerapkan pengasuhan yang tepat
sesuai kebutuhan mereka. Misalnya saja, anak dengan retardasi mental kategori ringan dapat
terus dilatih untuk bisa hidup mandiri sehingga anak tidak perlu bergantung. Terlalu
memanjakan anak tanpa membekali kemampuan apapun justru dapat menjadi bumerang bagi
masa depan anak.

Lalu, apa saja yang perlu diperhatikan?

Berbicara mengenai kebutuhan dari anak dengan retardasi mental, sebenarnya akan berkaitan
dengan kategori retardasi dan kemampuan yang mereka miliki. Untuk itulah, sangat dianjurkan
untuk pergi menemui psikolog anak guna melihat sejauh mana potensi dari anak. Akan tetapi,
ada beberapa hal umum yang bisa dijadikan acuan mengenai apa yang harus diperhatikan oleh
keluarga:

1. Pemilihan Sekolah

Dengan kemampuan di bawah rata-rata normal, kadangkala anak dengan retardasi mental
kategori ringan tidak tampak mengalami gangguan. Gangguan akan mulai terdeteksi ketika anak
mengalami masalah dalam bidang akademik. Untuk itulah, cari rujukan dari psikolog mengenai
sekolah terbaik yang sesuai dengan kebutuhan anak. Jangan merasa gengsi untuk memasukkan
anak di Sekolah Luar Biasa karena sebenarnya itulah yang dibutuhkan oleh anak. Memaksakan
anak untuk sekolah di sekolah normal dapat menimbulkan masalah lain seperti bullying dan
gangguan emosional.

2. Melatih Kemampuan Berbahasa


Secara berkala, ajari anak untuk melatih kemampuan berbahasa. Secara perlahan, ajarkan
kosakata yang dapat membantu dia berinteraksi dengan dunia sekitar. Tekankan pada kata-kata
yang dia butuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Mengajari Anak Untuk Aktif

Di kehidupan sehari-hari, anak dengan retardasi mental memiliki pilihan yang sangat terbatas
mengenai aktivitas yang bisa dia lakukan. Kebanyakan anak dengan retardasi mental hanya
menghabiskan waktu dengan menonton TV atau mendengarkan radio. Hal ini bisa menyebabkan
perilaku pasif pada anak. Ajarkan anak kegiatan-kegiatan yang dapat membuat dia berinteraksi
dengan orang lain. Anak juga bisa dituntun untuk memiliki hobi yang menguntungkan seperti
memasak, melukis, dsb.

4. Perkembangan Seksual

Masalah seksual juga perlu mendapat perhatian serius. Ajari anak untuk memahami masalah-
masalah pubertas yang mungkin muncul, seperti menstruasi atau mimpi basah. Anak juga harus
diberikan pengertian tertentu agar tidak terjebak pada pelecehan seksual. Sangat disarankan
untuk menemui dokter atau psikolog yang bisa memberikan anjuran mengenai penanganan
masalah seksual anak.

5. Persiapan Untuk Masa Depan

Bekali anak dengan keterampilan-keterampilan hidup yang akan membantu ia untuk tidak terlalu
bergantung pada keluarga. Ajarkan pula cara berkomunikasi dengan baik, etika ketika berada di
tempat umum, ketepatan waktu, hingga kemampuan untuk berkarir di pekerjaan sederhana.
Sadari orang tua atau keluarga tidak bisa selamanya menjaga hidup anak. Salah satu cara yang
efektif untuk meningkatkan kemandirian anak adalah dengan menempatkan anak pada sekolah
yang tepat, sekolah yang berfokus pada peningkatan life-skill anak.

Tentu saja masih banyak sekali toleransi dan dedikasi yang harus diberikan dari orang-orang
sekitar untuk membantu kehidupan anak dengan retardasi mental. Akan tetapi, kelima hal tersebt
bisa dijadikan langkah awal untuk memberikan perawatan yang sesuai bagi kebutuhan anak.
Perbanyak berdiskusi dengan ahli yang berkompeten dan biasa menangani kasus-kasus semacam
ini. Semangat mengasuh anak dengan retardasi mental, kalian semua tidak sendiri.

1
Kampert, A. L., & Goreczny, A. (2007). Community involvement and socialization among
individuals with mental retardation . Research in Developmental Disabilities , 278-286.
2
Hallahan, D. P., Kauffman, J. M., & Pullen, P. C. (2012). Exceptional Learners. Upper Saddle
River : Paerson .

Berikut beberapa sumber pustaka lain yang dapat digunakan terkait retardasi mental :
Maslim, R. (2001). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa . Jakarta : PT Nuh Jaya .

Shea, S. E. (2006 ). Mental Retardation in Children Ages 6 to 16. Seminar in Pediatric


Neurology , 1-9.

By: Anggrelika Putri K.

Image Credit : http://www.psikologiku.com/wpcontent/uploads/2014/11/Karakteristik-Anak-


Tunagrahita.jpg

Anda mungkin juga menyukai