Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Psikososial merupakan suatu perilaku dimana seseorang dapat menemukan identitas
dirinya dan bersosialisasi sesuai dengan tahap kembangnya, psikososial juga dapat memicu
terjadinya perilaku kekerasan, jika seseorang itu tidak bisa menemukan identitas dirinya dan
tidak bisa memenuhi kebutuhannya
Perilaku kekerasan biasa disebut juga dengan perilaku yang bersifat agresif yang
menimbulkan suatu perilaku kasar atau kata-kata yang menggambarkan perilaku permusuhan,
mengamuk dan potensi untuk merusak secara fisik yang dapat menimbulkan kerusakan dan
membahayakan baik bagi diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Masalah yang ditimbulkan dari perilaku kekerasan ini selain merusak dirinya sendiri,
juga merusak orang lain dan lingkungan, contoh dari merusak orang lain, misalnya memukuli
orang lain, menciderai orang lain dan memandang tajam orang tersebut seperti memandang
orang tersebut sebagai musuh terbesarnya, kemudian contoh dari lingkungan, misalnya merusak
dan mengotori lingkungan tersebut juga termasuk dalam perilaku kekerasan.
Klien yang biasa datang ke unit psiakatri, biasanya datang dalam keadaan mekanisme
koping yang tidak adekuat. Selama masa-masa stress klien, sering terjadi perilaku agresif dan
melukai. Oleh karena itu, peran perawat sangatlah penting dalam melakukan pencegahan dan
penanganan perilaku kekerasan, dikarenakan perawat lebih banyak menghabiskan waktunya
bersam klien disbanding dengan profesi lain. Namun hal ini lebih beresiko pula pada perawat
untuk menjadi korban dari perilaku klien. Karena alasan tersebut, maka kita sebagai calon
perawat, harus dapat mengkaji klien dengan beresiko perilaku kekerasan dan mengintervensinya
secara efektif.
Perawat perlu menjalin hubungan terapeutik kepada klien agar terjalin hubungan saling
percaya antara klien dan perawat. Sehingga memudahkan perawat untuk mendapatkan data
tentang apa yang dirasakan klien sehingga membuat klien marah. Sebagaimana yang telah kita
ketahui bahwa marah merupakan salah satu respon yang memicu terjadinya perilaku kekerasan.

B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu memahami konsep dasar dan asuhan keperawatan pada klien perilaku
kekerasan secara teoritis.
2. Tujuan Khusus :
a. Menjelaskan tentang konsep dasar perilaku kekerasan
b. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan perilaku kekerasan secara teoritis.
C. RUANG LINGKUP PENULISAN
Ruang lingkup dari penulisan makalah ini, yaitu asuhan keperawatan pada klien dengan
perilaku kekerasan yang mencakup konsep dasar dan asuhan keperawatan perilaku kekerasan
secara teoritis

D. METODE PENULISAN
Metode penulisan pada makalah ini dengan metode deskriptif dan melalui pengumpulan
literatur dari berbagai sumber. Dalam penyampaian ini kami menggunakan metode presentasi
supaya audient dapat dengan mudah mencerna materi ini
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan pada makalah ini yaitu :
Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, runag lingkup penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Teoritis tentang pengertian, mekanisme terjadinya perilaku kekerasan,
penatalaksanaan perilaku kekerasan, dan asuhan keperawatan perilaku kekerasan
BAB III : Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A KONSEP DASAR PERILAKU KEKERASAN
1. Pengertian

Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan
(panic). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai suatu
rentang, dimana agresif verbal disuatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) disisi yang lain.
(Yosep, 2008: 146)
Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang, yang
ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai orang lain secara
fisik maupun psikologis.(Berkowitz (2000, dikutip oleh Yosep 2008: 245),
Menurut Particia D. Barry(1998, dikutip oleh Yosep 2008 : 145), Perilaku kekerasan adalah
suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini
didasari keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan
emosional kita yang dapat diproyeksikan kelingkingan, kedalam diri atau secara destruktif.
Perilaku kekerasan merupakan suatu perilaku yang identik yang biasanya ditujukan ke
orang lain dengan karekteristik bertindak marah, kebencian dan permusuhan yang membawa
ancaman yang bahaya bagi orang lain dalam konteks yang tidak dapat diterima oleh orang lain.
(Martin, 1998 hal : 26 )
Jadi, berdasarkan definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku kekerasan dalah
suatu perilaku yang menggambarkan keadaan marah, agresif verbal maupun nonverbal, serta
perasaan benci yang dapat menimbulkan bahaya pada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan.
2. Mekanisme terjadinya Perilaku Kekerasan
Mekanisme terjadinya perilaku kekerasan terdiri dari predisposisi, presipitasi, penilaian
terhadap stressor, sumber koping, mekanisme koping, dan rentang respon.
a. Predisposisi
Menurut Townsend ( 1998 : 387 ), ada 3 faktor yang berkaitan dengan timbulnya perilaku
kekerasan :
1) Faktor biologi
a) Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbic otak dapat mempengaruhi perilaku
agresif pada beberapa individu
b) Pengaruh biokimia. Macam-macam dari neurotransmitter (mis: epinefrin,neropinefrin, dopamine
) dapat memainkan peranan dan memudahkan dan menghambat impuls-impuls agresif
c) Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan menyatakan bahwa factor heriditer sebagai
komponen perilaku agresif
d) Kelainan otak. Berbagai kelainan otsk misalnya trauma, tomor, dan kelainan otak tertentu juga
dapat memicu atau dapat menimbulkan perilaku agresif
2) Faktor psikologis
a) Teori psikoanalitik. Berbagai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresi dan
kekerasan adalah ekspresi ketidakberdayaan atau harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan-
kebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi
b) Teori pembelajaran. Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif dipelajari dari model peran
yang berwibawa dan berpengaruh.

3) Teori sosikultural. Individu yang tidak bisa mengedalikan hasrat untuk memenuhi apa yang
diinginkannya, sehingga ia menggunakan cara kejahatan untuk memenuhi apa yang inginnya.

Sedangkan Menurut Yosep (2008: 145), ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya
perilaku kekerasan, yaitu:
1) Faktor biologis
a) Neurologic factor, beragam komponendari sistem syaraf seperti synap, neurotransmitter, dendrit,
axon terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan
yang akan memengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi
timbulnya respon agresif.
b) Genetic factor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi perilaku
agresif.
c) Cyrcardian Rhytm(irama sirkandian tubuh), memeran peranan pada individu. Menurut penelitian
pada jam-jam tertentu manusia mengalami peninkatan cortisol terutama pada jam-jam sibul
seperti mennjelang masuk kerja dan menjelang berakhir pekerjaan.
d) Biochemistry factor (faktor biokimia tubuh) seperti neurotranmitter diotak (epineprin,
nonepineprin, dopamin, dan serotonin) sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui
sistem persyarafan dalam tubuh, adanya menstimulasi dari luar tubuh yang dianggap mengancam
atau membahayakan akan dihantar melalui impuls nuerotranmitter keotak dan merespon melalui
serabut efferent.
e) Brain Area Disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak organik,
tumor otak, trauma otak, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan
tindakan kekerasan
2) Faktor Psikologis
a) Teori psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang
(life span history). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2
tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup
cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi
adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman
dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Perilaku
agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
b) Imitation, modeling, and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang mentolelir
kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar
memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak
dikumpulkan untuk menonton tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif pula
(makin keras pukulannya akan diberi coklat), anak lain menonton tayangan cara mengasihi dan
mencium boneka tersebut dengan reward positif pula (makin baik belaiannya mendapat hadiah
coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak berperilaku
sesuai dengan tontonan yang pernah dialaminya.
c) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan terdekatnya. Ia
mengamati bagaimana respons ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana
respons ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa agresivitas lingkungan sekitar menjadi peduli,
bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan.

3) Faktor Sosial Budaya


Social-learning theory, Teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini
mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon lain. Agresi dapat dipelajari
melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya
secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa eksternal atau
internal. Contoh internal, oang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film
erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut. Seseorang
anak marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti
marah. Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang
diinginkan. Contoh eksternal, seorang anak menunjukkan perilaku agresif setelah melihat
seseorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan
sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya
perilaku kekerasan. Hal ini dipicu juga dengan maraknya demonstrasi, film-film kekerasan,
mistik, tahayul dan perdukunan dalam tayangan telivisi. Emosi marah sering merangsang
kemarahan dari orang lain, dan menimbulkan penolakan dari orang lain. Sebagian klien
menyalurkan kemarahan dengan nilai dan mengkritik tingkah laku orang lain, sehingga orang
lain merasa sakit hati. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri menjauhkan diri dari
orang lain.
4) Faktor Spiritual
Dalam tinjauan spiritual, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan dan bisikan
setan yang sangat menyukai kerusakan agar manusia menyesal (Devil Support). Semua bentuk
kekerasan adalah bisikan setan melalui pembuluh darah ke jantung, otak, dan organ vital
manusia lain yang dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya
terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal (ego) dan norma agama (super
ego)
b. Presipitasi
Menurut Yosep (2008: 247), Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan
seringkali berkaitan dengan :
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah
konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog
untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidak siapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan dirinya
sebagai seorang yang dewasa
5) Adanya riwayat perilaku antisosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak
mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan ,
atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
c. Penilaian terhadap Stressor
Penilaian stessor melibatkan makna dan pemahaman dampak dari situasi stres bagi
individu. itu mencakup kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan respon sosial. Penilaian adalah
evaluasi tentang pentingnya sebuah peristiwa dalam kaitannya dengan kesejahteraan seseorang.
Stressor mengasumsikan makna, intensitas, dan pentingnya sebagai konsekuensi dari interpretasi
yang unik dan makna yang diberikan kepada orang yang berisiko (Stuart & Laraia, 2005, hal :
67).

Respon perilaku adalah hasil dari respons emosional dan fisiologis, serta analisis kognitif
seseorang tentang situasi stres. Caplan (1981, dalam Stuart & Laraia, 2005, hal : 67)
menggambarkan empat fase dari respon perilaku individu untuk menghadapi stress, yaitu:

1) Perilaku yang mengubah lingkungan stres atau memungkinkan individu untuk melarikan diri
dari itu
2) Perilaku yang memungkinkan individu untuk mengubah keadaan eksternal dan setelah mereka
3) Perilaku intrapsikis yang berfungsi untuk mempertahankan rangsangan emosional yang tidak
menyenangkan
4) Perilaku intrapsikis yang membantu untuk berdamai dengan masalah dan gejala sisa dengan
penyesuaian internal.
d. Sumber Koping
Menurut Stuart & Laraia (2005, hal : 68) , sumber koping dapat berupa aset ekonomi,
kemampuan dan keterampilan, teknik defensif, dukungan sosial, dan motivasi. Hubungan antara
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sangat berperan penting pada saat ini. Sumber
koping lainnya termasuk kesehatan dan energi, dukungan spiritual, keyakinan positif,
keterampilan menyelesaikan masalah dan sosial, sumber daya sosial dan material, dan
kesejahteraan fisik.

Keyakinan spiritual dan melihat diri positif dapat berfungsi sebagai dasar harapan dan dapat
mempertahankan usaha seseorang mengatasi hal yang paling buruk. Keterampilan pemecahan
masalah termasuk kemampuan untuk mencari informasi, mengidentifikasi masalah, menimbang
alternatif, dan melaksanakan rencana tindakan. keterampilan sosial memfasilitasi penyelesaian
masalah yang melibatkan orang lain, meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan kerjasama
dan dukungan dari orang lain, dan memberikan kontrol sosial individu yang lebih besar.
akhirnya, aset materi berupa barang dan jasa yang bisa dibeli dengan uang. Sumber koping
sangat meningkatkan pilihan seseorang mengatasi di hampir semua situasi stres. Pengetahuan
dan kecerdasan yang lain dalam menghadapi sumber daya yang memungkinkan orang untuk
melihat cara yang berbeda dalam menghadapi stres. Akhirnya, sumber koping juga termasuk
kekuatan ego untuk mengidentifikasi jaringan sosial, stabilitas budaya, orientasi pencegahan
kesehatan dan konstitusional.

e. Mekanisme Koping
Menurut Stuart & Laraia (2005, hal : 69), mekanisme koping yang dipakai pada klien marah
untuk melindungi diri antara lain :

1) Sublimasi, yaitu menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa marah.
2) Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya.
3) Represi, yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan
tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua
merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya
dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4) Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya
seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5) Displacement, yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang
tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya
anak berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena
menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.

f. Rentang Respon
Menurut Yosep (2008: 146 & 248), rentang respon marah adalah sebagai berikut:
Adaptif Maldaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


1) Asertif
Klien mampu mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan
kelegaan
2) Furstasi
Klien gagal mencapai tujuan dan kepuasan/saat marah dan tidak dapat menemukan
alternatif.
3) Pasif
Klien merasa tidak dapat mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya dan menyerah.
4) Agresif
Klien mengekspresikan secara fisik, tapi masih terkontrol, mendorong orang lain dengan
ancaman
5) Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol, disertai amuk dan
merusak lingkungan
3. Penatalaksanaan Perilaku Kekerasan
Penatalaksanaan pada klien dengan perilaku kekerasan meliputi penatalaksanaan
keperawatan dan penatalaksanaan medis.
a. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan melalui proses pendekatan keperawatan dan
terapi modalitas.
1) Pendekatan proses keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dilakukan berdasarkan proses keperawatan, yaitu
meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan serta
evaluasi.
2) Terapi Modalitas
Terapi kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan terkini dalam perawatan kesehatan
dan reimbursement, seperti pada semua area kedokteran, keperawatan, dan disiplin ilmu keshatan
terkait. Bagian ini secara singkat menjelaskan modalitas terapi yang saat ini digunakan baik pada
lingkungan, rawat inap, maupun rawat jalan (Videbeck, 2001, hlm. 69).
a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan lingkungan bagi semua klien
ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok yang
direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan mendiskusikan sebuah film, atau diskusi
informal memberikan klien kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu ketika klien
tenang. Aktivitas juga melibatkan klien dalam proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian perawat yang tulus
terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah, pikiran, serta perasaan klien.
Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman klien (Videbeck, 2001, hlm.
259).
b) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi bersama kelompok individu. Para
anggota kelompok bertujuan sama dan diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok untuk
membantu yang lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan
dan harus dipatuhi oleh semua anggota kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok klien
dapat, mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping atau menyelesaikan masalah
dan juga membantunya mempelajari keterampilan interpersonal yang penting (Videbeck, 2001,
hlm. 70).
c) Terapi keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang mengikutsertakan klien dan anggota
keluarganya. Tujuannya ialah memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi
psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional keluarga, merestrukturisasi
gaya perilaku keluarga yang maladaptif, dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah
keluarga (Steinglass, 1995 dalam Videbeck, 2001, hlm. 71).
d) Terapi individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan perubahan pada individu dengan cara
mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal
antara ahli terapi dan klien. Tujuan dari terapi individu yaitu, memahami diri dan perilaku
mereka sendiri, membuat hubungan personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau
berusaha lepas dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan
perawat-klien: introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh
organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat
klien ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi
(Videbeck, 2001, hlm. 69).
b. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu metode psikofarmakologi dan
metode psikososial.
1) Metode Biologik
Berikut adalah beberapa metode biologik untuk penatalaksanaan medis klien dengan perilaku
kekerasan yaitu:
a) Psikofarmakologi
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan neurobiologi. Obat-
obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya
memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi. (Videbeck, 2001, hlm. 22).
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 643), beberapa kategori obat yang digunakan untuk
mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
Antianxiety dan Sedative Hipnotics
Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam
dan Clonazepam, sering digunakan didalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan
perlawanan klien. Tapi obat ini direkomendasikan untuk dalam waktu lama karena dapat
menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk gejala depresi.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari Benzodiazepines dapat
mengakibatkan peningkatan perilaku agresif. Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam
mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini
ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala,
demensia dan developmental disability.
Antidepressant
Penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku agresif klien yang berkaitan
dengan perubahan mood. Amitriptyline dan Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas
yang berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.
Mood Stabilizers
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian lithium efektif untuk agresif karena manik. Pada
beberapa kasus, pemberiannya menurunkan perilaku agresif yang disebabkan oleh gangguan lain
seperti retardasi mental, cedera kepala, Skizofrenia, gangguan kepribadian. Pada klien dengan
epilepsi lobus temporal, bisa meningkatkan perilaku agresif. Pemberian Carbamazepines dapat
mengendalikan perilaku agresif pada klien dengan kelainan EEG (electroencephalogram).
Antipsychotic
Obat-obatan ini biasanya dipergunakan untuk perawatan perilaku agresif. Bila agitasi terjadi
karena delusi, halusinasi atau perilaku psikotik lainnya, maka pemberian obat ini dapat
membantu, namun diberikan hanya untuk 1-2 minggu sebelum efeknya dirasakan.
Medikasi lainnya
Banyak kasus menunjukkan bahwa pemberian Naltrexone (anatagonis opiat), dapat
menurunkan perilaku mencedrai diri. Betablockers seperti Propanolol dapat menurunkan
perilaku kekerasan pada anak dan pada klien dengan gangguan mental organik.

b) Pemeriksaan diagnostik
Meskipun pemeriksaan diagnostik merupakan pemeriksaan penunjang, tetapi peranannya
penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi neurobiologis, memilih pengobatan,
dan memonitor respon klinis (Maramis, 2009, hlm. 205).
Menurut Doenges (1995, hlm. 253), pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk penyakit fisik
yang dapat menyebabkan gejala reversibel seperti kondisi defisiensi/toksik, penyakit neurologis,
gangguan metabolik/endokrin. Serangkaian tes diagnostik yang dapat dilakukan pada Skizofrenia
Paranoid adalah sebagai berikut:
Computed Tomograph (CT) Scan
Hasil yang ditemukan pada pasien dengan Skizofrenia berupa abnormalitas otak seperti atrofi
lobus temporal, pembesaran ventrikel dengan rasio ventrikel-otak meningkat yang dapat
dihubungkan dengan derajat gejala yang dapat dilihat.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberi gambaran otak tiga dimensi, dapat memperlihatkan gambaran yang lebih
kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofi lobus temporal (terutama hipokampus, girus
parahipokampus, dan girus temporal superior).
Positron Emission Tomography (PET)
Alat ini dapat mengukur aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan dapat menyatakan
aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal, terutama pada area prefrontal dari korteks
serebral.
Regional Cerebral Blood Flow (RCBF)
Alat yang dapat memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas aktivitas pada daerah
otak yang bervariasi
Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
Alat yang dapat menunjukkan respon gelombang otak terhadap ransangan yang bervariasi
disertai dengan adanya respons yang terhambat dan menurun, kadang-kadang di lobus frontal
dan sistem limbik.
Addiction Severity Index (ASI)
ASI dapat menentukan masalah ketergantungan (ketergantungan zat), yang mungkin dapat
dikaitkan dengan penyakit mental, dan mengindikasikan area pengobatan yang diperlukan.
Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil yang mungkin abnormal, menunjukkan ada atau luasnya
kerusakan organik pada otak.

2) Metode psikososial
Psikoterapi ialah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seseorang pasien yang
dilakukan oleh seseorang yang terlatih dalam hubungan profesional secara sukarela, dengan
maksud hendak menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala yang ada,
mengoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara
positif (Maramis, 2009, hlm. 478).
Menurut Hawari (2001, hlm. 111), Terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu
kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu
mandiri, tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan
masyarakat. Terapi psikoreligious juga dapat menjadi alternatif bagi penderita gangguan jiwa
seperti kegiatan ibadah

B ASUHAN KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN SECARA TEORITIS


1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan menurut Keliat (1999 : 3-4
dan 21), adalah sebagai berikut:
a. Pada pengkajian biodata atau identitas klien dapat kita kaji meliputi: nama, umur, jenis kelamin
(l/p), nomor cm, ruang rawat, tanggal masuk MRS.
b. Penanggung Jawab klien meliputi: orang tua, wali, atau,orang lain
c. Tanda dan gejala perilaku kekerasan
Menurut Yosep (2008: 1250-1251), perawat dapat mengidentifikasikan tanda dan gejala
perilaku kekerasan :
1) Fisik
Ciri- ciri pada penampilan fisik dapat ditandai dengan : muka merah dan tegang, mata
melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, postur tubuh kaku, dan jalan
mondar-mandir.
2) Verbal
Penampilan verbal yang tampak meliputi : bicara kasar, suara tinggi, membentak atau berteriak,
mengancam secara verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata kotordan ketus
3) Perilaku
Perilaku yang biasa ditunjukan biasanya : melempar atau memukul benda/orang lain, menyerang
orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain, merusak lingkungandan amuk/agresif
4) Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, bermusuhan,
mengamuk, menyalahkan dan menuntut.
5) Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan sarkasme.
6) Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung perasaan
orang lain, tidak peduli dan kasar.
7) Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.

8) Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, dan penyimpangan seksual.

d. Pengkajian perilaku asertif, pasif, dan agresif/kekerasan


Menurut Yosep (2008: 249), perawat perlu memahami dan membedakan berbagai perilaku
yang ditampilkan klien. Hal ini dapat dianalisa dari perbandingan berikut :
Aspek Pasif Asertif Agresif
Isi Negatif, Positif Menyombongkan
pembicaraan merendahkan menawarkan diri, diri,
diri, misalnya misalnya : merendahkan
: Saya mampu, orang lain,
Bisakah saya bisa, anda misalnya :
saya boleh, anda Kamu pasti
melakukan dapat tidak bisa, kamu
hal itu? selalu
Bisakah anda melanggar, kamu
melakukannya tidak pernah
? menurut, kamu
tidak akan bisa
Tekanan Lambat, Sedang. Keras ngotot.
suara mengeluh.
Posisi badan Menundukkan Tegap dan Kaku, condong
kepala santai. kedepan.
Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan
dengan sikap jarak yang jarak akan
mengabaikan nyaman. menyerang orang
. lain.
Penampilan Loyo, tidak Sikap tenang. Mengancam,
dapat tenang. posisi
menyerang.
Kontak Sedikit/sama Mempertahankan Mata melototot
mata sekali tidak. kontak mata dan
sesuai dengan dipertahankan.
hubungan.
e. Perilaku kekerasan ( agresif )
Bertujuan untuk mengetahui hal apa saja yang dapat menimbulkan rasa marah, efek dari
perilaku agresif (kekerasan), serta dari manakah sumber rasa marah, amuk dan agresif itu timbul
apakah dari diri sendiri maupun orang lain.

f. Support yang tersedia


Bertujuan untuk mengidentifikasikan tersedianya dan kesediaan keluarga dalam memberi
motivasi, dorongan dan nasehat kepada klien agar dapat mengontrol dan bahkan mencegah
terjadinya amuk atau perilaku kekerasan
g. Mekanisme koping keluarga
Bertujuan untuk menggambarkan kemampuan keluarga dalam memberikan support yang
positif dan nasehat kepada pasien agar tidak merusak dan berperilaku kekerasan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain.
h. Ketakutan dan kecemasan keluarga
Bertujuan untuk mengidentifikasikan apakah keluarga mengalami suatu perasaan gangguan
fisiologis ataupun emosional yang berhubungan dengan suatu sumber yang dapat diidentifikasi
yang dirasakan membahayakan pasien dan orang lain saat pasien melakukan perilaku kekerasan.

2. Pohon masalah
Menurut Stuart dan Sudden (1997, dalam buku Yosep 2008, hal : 250) menindentifikasi pohon
masalah perilaku kekerasan sebagai berikut :

Resiko tinggi menciderai diri sendiru, orang lain dan lingkungan


Berduka disfungsional
Isolasi sosial
Koping keluarga tidak efektif
Perubahan persepsi sensori : halusinasi
Perilaku kekerasan
Inefektif proses terapi
Gangguan harga diri kronis

3. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang dapat diambil pada klien dengan perilaku kesehatan menurut Townsend
(1998 : 355-357) dan Keliat (1999 : 21-26), adalah sebagai berikut :
a. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
b. Perilaku kekerasan; harga diri rendah
4. Rencana Asuhan Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan yang dapat dibahas berdasarkan dua diagnosa yang ada diatas
berdasarkan Townsend (1998 : 355-357) dan Keliat (1999 : 21-26), adalah sebagai berikut :
a. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Tujuan umum : klien tidak mencederai diri / orang lain / lingkungan.

Tujuan khusus :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya
2) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
3) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
4) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan.
5) Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
6) Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif.
7) Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.
8) Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
9) Klien dapat menggunakan obat yang benar.
Intervensi
1) Bina hubungan saling percaya. Salam terapeutik, perkenalan diri, beritahu tujuan interaksi,
kontrak waktu yang tepat, ciptakan lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal
dan non verbal, bersikap empati.
Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan sebagai dasar
untuk intervensi selanjutnya.
2) Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.
Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu kien dalam menyelesaikan
masalah yang konstruktif.
3) Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal
Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam akan
menolong pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan.
4) Anjurkan klien mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel.
Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian masalah yang
konstruktif pula.
5) Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan untuk
intervensi.
6) Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien.
Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
7) Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
8) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.
9) Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan masalahnya.
10) Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
11) Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
Rasional : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan marah.
12) Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat.
Rasional : menambah pengetahuan klien tentang koping yang konstruktif.
13) Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri klien.
14) Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.
Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol kemarahan klien.
15) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
16) Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.
Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
17) Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.
Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.
18) Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
19) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel / marah.
Rasional : mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.
20) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan
keluarga terhadap klien selama ini.
Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien.
21) Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan dalam perubahan perilaku
klien.
22) Jelaskan cara-cara merawat klien. Terkait dengan cara mengontrol perilaku kekerasan secara
konstruktif..
Rasional : meningkatkan pengetahuan keluarga dalam merawat klien secara bersama.
23) Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien.
Rasional : mengetahui sejauh mana keluarga menggunakan cara yang dianjurkan.
24) Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi
Rasional : mengetahui respon keluarga dalam merawat klien.
25) Jelaskan pada klien dan keluarga jenis-jenis obat yang diminum klien seperti : CPZ, haloperidol,
Artame.
Rasional : menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang obat dan fungsinya.
26) Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizin dokter.
Rasional : memberikan informasi pentingnya minum obat dalam mempercepat penyembuhan.
b. Perilaku kekerasan; harga diri rendah
Tujuan umum : klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang
lain
Tujuan khusus :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang dimiliki.
3) Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
4) Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.
5) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
6) Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik
Rasional: hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada perawat dan sebagai dasar
untuk intervensi selanjutnya.
2) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
3) Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.
Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam hidupnya.
4) Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif klien.
Rasional: meningkatkan harga diri klien.
5) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.
6) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
7) Berikan pujian.
Rasional: meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.
8) Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.
Rasional: agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan yang dimiliki.
9) Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh.
Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan.
10) Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional: meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.
11) Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.
Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.
12) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
Rasional: tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya menggunakan respon
koping mal adaptif dengan yang lebih adaptif.
13) Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional: meningkatkan harga diri klien.
14) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah.
Rasional: mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.
15) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah.
Rasional: meningkatkan pengetahuan keluarg a dalam merawat klien secara bersama.
16) Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
Rasional: meningkatkan peran serta keluarga dalam membantu klien meningkatkan harga diri
rendah.
17) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
Rasional: memotivasi keluarga untuk merawat klien.
5. Evaluasi
Menurut Yosep (2008: 153), evaluasi yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi situasi yang dapat membangkitkan agresif klien
b. Bagaimana keadaan klien saat marah dan benci pada orang tersebut
c. Sudahkah klien menyadari akibat dari perilaku kekerasan dan pengaruhnya pada yang lain
d. Buatlah komentar yang kritikal
e. Apakah klien sudah mampu mengekspresikan sesuatu yang berbeda
f. Klien mampu menggunakan aktivitas secara fisik untuk mengurangi perasaan marahnya
g. Mampu mentoleransi rasa marahnya sehingga tidak menimbulkan agresif
h. Konsep diri klien sudah meningkat
i. Kemandirian dalam berfikir dan aktivitas meningkat

BAB III
STRATEGI PELAKSANAAN
PADA KLIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN
A. Identitas klien
Nama : Ny. J
Umur : 25 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jln. Panglima Aim
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
No RM : 15012011
Nama perawat pelaksana : Khairunnisyah

B. Proses keperawatan
1. Kondisi klien
Data subjektif :
Klien mengatakan kesal sama sikap suaminya yang suka selingkuh
Klien mengatakan ia sangat kesal sama sekretaris suaminya yang sangat dekat dengan suaminya
Klien juga mengatakan ia akan membunuh atau memukuli perempuan yang berani mendekati
suaminya
Klien mengatakan ia tidak percaya dengan suaminya dan ia sangat mencurigai suaminya
selingkuh dengan perempuan lain
Menurut informasi dari suaminya klien sering dating kekantor suaminya dan memukuli
sekretaris suaminya
Klien juga sering marah-marah dirumah dan melempari barang-barang apabila suaminya pulang
larut malam

Data objektif :
Muka klien tampak kesal
Mata klien melotot
Tangan klien mengepal
Cara bicara klien kasar dan cepat
2. Diagnose keperawatan : resiko tinggi perilaku kekerasan
3. Tujuan
Tujuan umum :
Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan baik secara verbal, social, spiritual, dan terapi
psikoformatika
Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien dapat mengindentifikasi perilaku kekerasan
c. Klien dapat mengindentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
d. Klien dapat mengindentifikasi akibat perilaku kekerasan
e. Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan
f. Klien dapat mempraktekkan cara mengatasi perilaku kekerasan
4. Tindakan
a. Bina hubungan saling percaya
b. Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan marahnya
c. Bantu klien mengungkapkan penyebab kemarahannya
d. Bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dialamninya
e. Diskusikan kepada klien mengenai dampak negatif yang diakibatkan oleh marahnya
f. Tanyakan kepada klien apakah klien bisa mengontrol marahnya
g. Tawarkan kepada klien tentang teknik yang akan digunakannya
h. Ajarkan kepada klien tehnik mengatasi marah, salah satunya memukul bantal
i. Evaluasi apakah klien mengerti tentang teknik yang diajarkan kepadanya
j. Kontrak selanjutnya untuk tindakan teknik mengatasi marah yang lainnya
C. Strategi pelaksanaan
1. Orientasi
Assalamualaikum, selamat pagi ibu, perkenalkan saya suster nisa, apakah benar ini ibu Jamaliya,
ibu senangnya dipanggil ibu apa?
2. Evaluasi/ Validasi
Kalau saya boleh tahu, Ibu sudah berapa lama disini?
Apakah ibu ingat siapa yang membawa ibu kemari?
Bagaimana perasaan ibu hari ini?
Kalau saya lihat ibu tampak ingin marah ya, ibu kesalnya kenapa?
3. Kontrak waktu
Ibu bagaimana kalau hari ini kita bercakap-cakap tentang hal-hal yang membuat ibu marah, gak
lama kok bu sekitar 15 menit aja kok, ibu maunya kita bicara disini atau ditempat lain misalnya
ditaman.
Baiklah ibu berarti kita berbincangnya disini aja ya bu
4. Kerja
Nah, sekarang coba ibu ceritakan apa yang membuat ibu sangat kesal dan membuat ibu marah?
Oh gitu ya bu, apakah suami ibu sudah lama seperti ini?
Sebelumnya udah ibu tanyakan penyebab suami ibu sering pulang malam?
ibu kesal ya,,, kalau ibu kesal biasanya ibu merasa gak kalau jantung ibu tuc berdebar-debar dan
rasa ingin mengamuk,
kalau ibu marah biasanya apa yang ibu lakukan?
Kalau seperti itu akan banyak dampak negative yang akan diakibatkan oleh marah ibu?
Bagaimana kalau kita belajar mengatasi marah ibu dan tidak menimbulkan dampak negative,
disini saya punya 4 cara yang bisa mengatasi marah ibu yaitu :
1. Tarik nafas dalam, agar ibu lebih rileks
2. Memukul bantal supaya ibu bisa melampiaskan marah ibu dengan objek bantal
3. Ibu bercerita dengan orang ibu percaya agar terasa lebih lega
4. Spiritual , yakni dengan mendekatkan diri kepada allah, agar hati ibu lebih tenang
5. Minum obat penenang, agar ibu merasa tenang,
bagaimana ibu, dari ke 5 cara tersebut mana yang ingin ibu lakukan
memukul bantal ya ibu, ayo kita ambil bantalnya dan anggap aja bantal itu orang yang paling ibu
benci, terus ibu pukul sampai ibi merasa puas.
5. Terminasi
a. Evaluasi subjektif dan objektif :
bagaimana ibu perasaan ibu sekarang, apakah udah terasa lega ibu
ya, saya juga lihat ibu juga sekarang sudah tampak rilek,
b. Tindak lanjut :
Nah, bagaimana kalau latihan ini kita masukkan kedalam kegiatan sehari-hari ibu, truz ibu
maunya kita latihan ini setiap hari dan pada jam berapa?
Kalau ibu marah, ibu bisa melakukan teknik ini untuk melampiaskan kemarahan ibu,,
c. Kontrak lanjut
Nah, tindakan yang kita lakukan tadi itu merupakan salah satu tindakan teknik mengatasi marah,
bagsimana kalau nanti siang sekitar jam 12 siang, kita mempelajari teknik napas dalam, agar ibu
bisa melakukannya setiap ibu marah.
Ok ibu, saya permisi dulu ya ibu, dan kita akan bertemu lagi nanti siang ya bu,,assalamualaikum
ibu..
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perilaku kekerasantimbul karena adanya campuran perasaan frustasi dan benci atau
marahyang bersatu dalam suatu keadaan emosi yang secara mendalam dari setiap orang sebagai
bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan. Akibat yang ekstrim yang
ditimbulkan dari perilaku kekerasan adalah amarah atau ketakutan (panic). Perilaku agresif dan
perilaku kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai suatu rentangyang dapat menimbulkan
kerusakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Sebagai perawat ataupun tenaga kesehatan lain hendaknya memberikan saran, motivasi
bahkan cara yang dapat meminimalkan dan bahkan mencegah terjadinya amuk dan perilaku
kekerasan pada klien sehingga klien dapat menyalurkan kemarahannya pada tempat dan situsai
yang benar dan positif sehingga tidak membahayakan pasien sendiri maupun orang lain. Perawat
juga bisa memberikan aktivitas ataupun kegiatan yang dapat mengurangi dari tingkat amuk dan
kemarahan klien sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Oleh sebab itulah peran
dari setiap aspek dan orang terdekat klien sangat berpengaruhpada timbulnya perilaku kekerasan
yang dilakukan oleh klien.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka kelompok mengambil saran dalam rangka
meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan. Saran-saran adalah sebagai berikut :

1. Untuk Keluarga

Apabila sudah mengetahui dan memahami akibat yang akan dilakukan oleh klien yang
melakukan perilaku kekerasan, maka sebagai orang terdekat / keluarga harus memberikan
motivasi dan nasehat agar pasien dapat mengontrol marah, frustasi dan kekerasannya.
2. Untuk Perawat

Bagi seorang perawat sebaiknya harus memahami dan mengerti baik secara teoritis maupun
praktek tentang perilaku kekerasan agar dapat memberikan nasehat, motivasi, dorongan dan
memantau ketat pada klien yang melakukan perilaku kekerasan agar tidak terjadi hal-hal yang
membahayakan klien sendiri ataupun orang lain dan memberikan dorongan serta support positif
kepada keluarga yang mungkin mengalami stress, cemas, dan takut akan kondisi klien dan
tindakan yang dilakukan klien.

3. Untuk Rumah Sakit

Bagi rumah sakit hendaknya memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan membuat
suasana lingkungan menjadi lebih nyaman agar klien tidak melakukan perilaku kekerasan
kepada pihak rumah sakit beserta petugas lainnya. Usahakan memberikan saran, nasehat dan
motivasi kepada klien agar klien mendapatkan cara tentang bagaimana mengontrol frustasi,
marah dan perilaku kekerasannya.

DAFTAR PUSTAKA

Budiana, Keliat .1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC


Hawari, Dadang. 2001. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta : FKUI
Stuart, Gail W & Laraia, Michele T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing 8th Edition.
Mosby, Inc. All right reserved
Tucker, Susan Martin. (1998). Standar Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Townsend, Mary C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Videbeck, Sheila.L. 2001. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Alih bahasa: Renata Komalasari. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Yosep, Iyus. 2008. Keperawatan Jiwa. Jakarta : Refli

Anda mungkin juga menyukai