BAB I
PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan isu terpenting baik permasalahan di tingkat
nasional, regional maupun internasional. Sejak dideklarasikannya Universal Declaration
on Human Rights (DUHAM) penghormatan akan hak asasi manusia gencar ditegakkan.
Manusia semenjak lahir memiliki sebuah hak yang melekat sebagai hak kodrati atau
alamiah yang pemenuhannya tidak dapat dikurangi (non-derogable). Pada tahun 1966,
Majelis Umum PBB melalui Resolusinya membagi HAM menjadi dua macam yaitu Hak-
hak Sipil dan Politik serta Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dengan disahkannya
ICCPR dan ICESCR. Hak sipil dan politik adalah hak yang harus dipenuhi peme-
nuhannya oleh pemerintah/negara. Dalam hak-hak sipil terdapat hak kebebasan beragama
dan berkeyakinan (freedom of religion and concience).
1
Pada tanggal 10-11 Juli 2013, Komite Hak Asasi Manusia sebagai Pengawas
pelaksanaan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) mengadakan dialog mengenai
laporan Indonesia terkait implementasi ICCPR. Dalam dialog tersebut banyak persoalan
yang dibahas didalamnya, antara lain Komite memandang di samping mengakui ber-
bagai kemajuan penegakan HAM di tanah air, Komite juga mencatat terdapatnya
berbagai peristiwa yang dianggap kurang sejalan dengan komitmen Indonesia. Hal ini,
menurut Komite, perlu ditangani dengan baik agar tidak menghambat berbagai kemajuan
tersebut. Namun demikian, Komite juga menegaskan bahwa tantangan tersebut meru-
pakan hal yang umum dihadapi Negara Pihak ICCPR lainnya, bahkan Negara Maju
sekalipun.
Dari latar belakang diatas, dapat ditarik poin-poin pertanyaan sebagai berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
Setelah perang dunia kedua, terdapat kesepakatan luas di dunia internasional untuk
adanya perlindungan manusia oleh masyarakat internasional. Sejarah menunjukkan telah
terjadi berbagai kekejaman terhadap manusia, kelompok tertentu, yang memperlihatkan
bahwa suatu negara gagal dalam melaksanakan kewajibannya untuk melidungi warga
negaranya. Bahkan diberbagai negara, justru negara dan aparatusnya yang menjadi pelaku
berbagai kekejaman tersebut. Berdasarkan pada pelajaran tersebut, negara-negara yang
tergabung dalam PBB meminta Hak Asasi Manusia dimasukkan dalam Piagam PBB.
Langkah pertama adalah menyusun the Universal Declaration of Human Rights, yang
diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948.1
Pada saat itu, negara-negara barat dan negara-negara sosialis belum begitu yakin
kegunannya, namun dukungan diberikan oleh negara-negara dunia ketiga yang meminta
mereka untuk menyetujui hasil dari proses negosiasi yang berlangsung berlarut-larut.
Terdapat sejumlah perdebatan dalam proses pembentukan Kovenan ini, diantaranya soal
jaminan untuk menentukan nasib sendiri3, perumusan tentang pasal terkait dengan hak
milik, dan masalah sistem pengawasan terhadap Kovenan.
1
Kansil, C.S.T., Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta: DJAMBATAN. 2003. hlm 14
2
Resolusi PBB No. 543 (VI), 4 Februari 1952.
3
Perdebatan ini, antara negara-negara sosialis dan dunia ketiga dengan negara-negara barat, yang diantaranya
soal apakah rights of self determination merupakan suatu prinsip politik atau hak.
3
Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum PBB mengadopsi dua Kovenan,
dengan cara konsensus tanpa ada yang abstain.4 Kedua Kovenan tersebut adalah the
International Covenant on Civil and Political Rights dan the International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights. Sampai dengan Agustus 2012, 167 negara telah
meratifikasi ICCPR.
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada dasarnya memuat
ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara,
khususnya aparatur represif negara yang menjadi negara-negara pihak (state parties)
ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak –
hak negatif (negative rights). Artinya, hak – hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya
akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila
negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di
dalamnya akan dilanggar oleh negara.
Ada dua klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam
ICCPR. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak
yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara
4
Kovenan diadopsi Majelis Umum PBB dengan Resolusi 2200A (XXI), 16 16 Desember 1966. Berlaku pada 23
Maret 1976.
4
pihak. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam
jenis ini adalah :
Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang
boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Hak dan
kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah :
5
Higgins, Rosalyn, “Derogations under Human Rights Treaties”, London: British Yearbook of International
Law, 1979. hlm. 281-320.
5
Tanggung-jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan
yang dijanjikan di dalam Kovenan ini adalah di pundak Negara, khususnya yang menjadi
Negara Pihak pada ICCPR. Hal ini ditegaskan pada Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan,
Negara-negara Pihak diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui
dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua induvidu yang berada di dalam
wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa diskriminasi macam apa pun. Kalau hak
dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yurisdiksi suatu
negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau
tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu (Pasal 2 ayat
(2)). Prinsip-prinsip nondiskriminasi ini terdapat dalam sejumlah ketentuan dalam
ICCPR; pertama, menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini
bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya,
tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status
lainnya.
Kedua, menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk
menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan (Pasal 3). Ketiga,
semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum
yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi
apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap
diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain
(Pasal 26).
6
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial. Kemudian, pasal 20 ayat (2)
mewajibkan negara-negara Pihak untuk secara hukum melarang segala tindakan yang
menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan
untuk melakukan diskriminasi.
Dari uraian ringkas di atas tampaklah bahwa, Kovenan ini tidak mengandung
sesuatu yang bersifat “subversif” yang bakal menyulitkan Negara-negara yang menjadi
Pihak pada Kovenan tersebut. Termasuk ketentuan mengenai hak menentukan nasib
sendiri (right of self-determination) (Pasal 1), dan ketentuan mengenai kewajiban negara
untuk mengizinkan kelompok minoritas (etnis, agama atau bahasa) “untuk menikmati
kebudayaan mereka, menyatakan atau mempraktekkan agama meraka atau menggunakan
bahasan mereka sendiri” dalam komunitasnya (Pasal 27). Kovenan ini jelas tidak dapat
digunakan sebagai dasar untuk mensubversi integritas wilayah suatu negara. Karena itu,
sulit bagi kita menerima alasan mengapa sampai hari ini kita belum menjadi Negara
Pihak dari perjanjian multilateral yang sangat penting ini.7
6
Makalah yang berjudul “Sedikit Tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik” disampaikan oleh Ifdhal Kasim
(Mantan Ketua Komnas HAM RI) di Hotel Grand Angkasa Medan, 2-5 Mei 2011 hlm. 3-4
7
Ibid.
8
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2009. hlm. 343
7
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Negara didasarkan pada teori Trias Politica;
c. Pemerintah diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur);
d. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menganani kasus per-
buatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overgheidsdaad)9.
Pengakuan dan perlindungan HAM kini telah diatur di dalam UUD 1945.
Sebelum Amandemen, pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945
sangatlah terbatas yaitu hanya 7 butir pasal. Pengaturan tersebut tidak lepas dari sejarah
perdebatan pembentukan UUD 1945 antara Mr. Seopomo dan Bung Karno dengan M.
Yamin dan Bung Hatta antara memasukkan ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia atau
tidak. Yang pada akhirnya disepakati untuk memberikan pengaturan tentang HAM yang
sangat terbatas yaitu Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat
(1), Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 34 UUD 1945. Namun, jika diperhatikan dengan
sungguh-sungguh, hanya satu ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan
jaminan konstitusional atas Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 29 ayat (2).10
9
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia PU. 2008. hlm. 57
10
Asshiddiqie, Jimly, Op. Cit., hlm. 352
11
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka. 2010. hlm 52
8
1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.12
Amandemen UUD 1945 dilakukan, salah satu langkah pertama merubah sistem
dari otoriter menuju kebebasan yang dibatasi peraturan. Sehingga, ketentuan mengenai
Hak Asasi Manusia (human rights) dimasukkan sebagai pengakuan negara terhadap suatu
hak warga negara yang harus diakui dan dilindungi keberadaannya. Pengaturan mengenai
HAM di dalam konstitusi di adopsi dari UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Puncaknya
Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dengan
di sahkan menjadi UU No. 12 tahun 2005 yang mulai diaksesi tanggal 26 Februari 2006.
Akan tetapi realitas penegakan instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia tersebut dalam
kehidupan masyarakat, belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini tercermin dari
beberapa kasus yang terjadi dimana-mana pelanggaran hak sipil dan politik di dalamnya.
Penerapan Hak Asasi Manusia (HAM) di indonesia sampai pada saat ini
belumlah mencapai hasil yang maksimum. Karena masih banyaknya kasus-kasus yang
terjadi di Indonesia yang belum diselesaikan dengan sebaik mungkin. Padahal negara
Indonesia adalah negara hukum, sebuah negara yang bisa dikatakan bermoral tinggi.
Namun sagatlah disayangkan, karena masih banyaknya warga negara yang belum
merasakan haknya yang sepenuhnya.
Secara hukum, istilah HAM di indonesia diatur dalam UUD 1945, UU No. 39
tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.13 HAM
berbeda dengan hak-hak manusia. HAM dan Hak-hak Manusia sering dianggap sama
padahal hakikat dan jangkauannya berbeda. Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) secara
jelas diatur dalam UUD 1945 yang diamandemenkan, tapi bukan berarti sebelum itu
UUD 1945 tidak memuat HAM.
12
M. Gaffar, Janedjri, Demokrasi Konstitusional. Jakarta: Konstitusi Press. 2012. hlm. 193
13
Qamar, Nurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Makassar: Sinar Grafika. 2013, hlm. 79
9
Jika kita merujuk dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang
berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali” serta pada Pasal 28E ayat
(2) UUD 1945, menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. undang-
undang ini disempurnakan pula dengan Pasal 29 ayat (2) yang menyebutkan: Negara
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap
Penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Undang-undang yang baru disebutkan diatas pada prinsipnya sudah
cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika
ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak
kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk
mengekspresikan pikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.
Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan
yang dijanjikan di dalam ICCPR ada di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara
Pihak ICCPR. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR yang menyebutkan
bahwa: “Setiap negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati dan
menjamin hak yang diakui dalam kovenan ini bagi semua individu yang berada di dalam
wilayahnya dan berada di wilayah yuridiksinya, tanpa pembedaan jenis apapun, seperti
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan
lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status
lainnya.” juga menurut Article 18 dalam the Universal Declaration of Human Rights
(UDHR 1948) menuangkan adanya pengakuan bahwa “freedom of thought, conscience,
religion and belief as a non-derogatable human right”. Perlindungan dan pemenuhan
kewajiban hak-hak dan kebebasan dalam ICCPR oleh negara adalah bersifat mutlak dan
harus segera dijalankan (immediately) atau justiciable.
10
of others” (Kemerdekaan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya
hanya dapat dibatasi oleh Undang-Undang dan dalam rangka menjamin keselamatan
umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau nilai-nilai moral atau hak-hak dasar
dan kebebasan orang lain).
Namun demikian, melihat fenomena yang dicontohkan beberapa kasus yang telah
disebutkan sebelumnya, agaknya jaminan konstitusi terhadap hak-hak tersebut belum
terimplementasi dengan baik. Jika saja undang-undang ini terimplementasi dengan baik,
barangkali tidak akan ada kelompok yang diklaim sebagai aliran sesat, dan atau jikapun
ada, setidaknya mereka yang dinilai sesat masih bebas menikmati haknya untuk tetap
hidup dan tumbuh di negeri ini. Bukan sebaliknya, perlakuan terhadap mereka yang
dinilai sesat justru mencerminkan penghakiman terhadap keyakinan yang bersumber dari
hati nurani mereka.
11
yang ada di dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Batasan-batasan untuk kebebasan
beragama dan beribadah antara lain tergambar berbagai kasus dibawah ini:
Pembatasan 5 dan atau 6 agama yang diakui di Indonesia tentu menjadi ancaman
serius terhadap masa depan kebebasan beragama. Apabila pembatasan ini mutlak
dipahami dan dipegang teguh oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, akan
sangat wajar jika agama-agama lain diluar agama yang diakui tersebut sulit untuk di
terima hidup di negeri ini, bahkan agama-agama lokal sekalipun yang memang lahir dan
tumbuh dari tradisi asli bangsa Indonesia, seperti agama Kaharingan di Kalimantan,
Sunda Wiwitan di daerah Jawa, dan agama Parmalin yang terdapat di Tanah Batak
Sumatera Utara, yang kerap dipandang sebagai kebudaya belaka. Lebih dari itu,
pembatasan ini sangat jelas bertentangan dengan jaminan konstitusi terhadap kebebasan
beragama yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia, khususnya yang
termaktub pada Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun
1945.
Gereja HKBP di Karawang, Jawa Barat, ditutup oleh polisi pada tanggal 24
Januari 2010 setelah gereja tersebut di demonstrasi oleh anggota-anggota organisasi
Muslim radikal. Pada masa akhir laporan ini gereja tersebut telah melakukan kegiatannya
secara normal kembali dengan perizinan dari pemerintah setempat.
12
menyatakan bahwa Al-Qur'an telah dirubah isinya. Dan kejadian tersebut kembali
terulang pada November 2012.
Pada tahun 2008, beberapa ratus demonstran dari komunitas Muslim Sasak
menyerang Pura Sangkarean di Keru, Lombok Barat sehingga menyebabkan kerusakan
kecil dan menghentikan kegiatan renovasi tempat ibadah umat Hindu tersebut. Walaupun
polisi telah menahan beberapa orang untuk penyerangan ini, mereka segera dibebaskan
setelahnya. Berdasarkan interpretasi yang berbeda dari perizinan pembangunannya,
beberapa pejabat setempat merasa bahwa pihak pengelola pura harus memiliki surat izin
dan persetujuan dari warga masyarakat setempat sebelum dapat memulai kegiatan
renovasi. Para pengelola pura merasa bahwa renovasi, berbeda dengan pembangunan
baru, bisa dilakukan tanpa persetujuan pemerintah daerah dan warga setempat. Dalam
masa laporan ini dibuat, para umat Hindu berhenti menggunakan pura tersebut untuk
kegiatan keagamaan setelah mendapatkan ancaman dari kelompok-kelompok yang tidak
dikenal.
Antara bulan Juni dan Desember 2009, aparat pemerintah setempat melarang
Gereja Baptis Kristen Jakarta di Tangerang, Banten, untuk melakukan kegiatan ibadah
hari Minggu di tanah milik mereka. Pelarangan ini diduga atas tekanan kelompok-
kelompok radikal.
13
Pemerintah membiarkan diskriminasi dan pelecehan atas kelompok Ahmadiyah,
dengan tidak menentang atau menolak fatwa MUI dari tahun 2007 yang mengutuk
kelompok-kelompok Islam seperti Ahmadiyah. Pemerintah juga gagal menentang fatwa
MUI tahun 2005 yang secara jelas-jelas melarang Ahmadiyah, dan juga berbagai
peraturan daerah yang serupa. Pihak penegak hukum juga gagal menghentikan ataupun
menyelelidiki kasus-kasus pengrusakan berbagai fasilitas milik Ahmadiyah yang terjadi
dalam kurun waktu laporan ini. Berbagai laporan menyebutkan jumlah mesjid
Ahmadiyah yang diserang atau ditutup.
Pada tanggal 2 Juni 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa
Lia Eden, pemimpin kelompok Jamaah Salammulah, berasalah atas tuduhan penodaan
agama serta memicu kebencian antara umat beragama lewat penyebaran ajaran-ajarannya
ke lembaga-lembaga pemerintah, termasuk ke Istana Negara. Lia Eden dijatuhi hukuman
dua tahun dan enam bulan di penjara. Pengikut Eden, Wahyu Wibisono, dijatuhi dua
tahun penjara karena menulis dan menerbitkan ajaran-ajaran keagaaman Eden. Eden dan
ke 23 pengikutnya ditahan pada bulan Desember 2008 atas tuduhan penodaan agama. Ini
adalah kali keduanya Eden diadili untuk penodaan agama. Tahun 2006 dia dijatuhi
hukuman dua tahun penjara, namun dibebaskan pada bulan Oktober 2007setelah
menjalani 16 bulan masa hukumannya. Pada bulan November 2007, Mahkamah Agung
menjatuhi hukuman tiga tahun pada Abdul Rahman, putra Eden, yang mengklaim bahwa
dia adalah titisan Nabi Muhammad.
14
BAB III
Kesimpulan
Kembali kepada semboyan Negara kita yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang
artinya “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Semboyan tersebut mewakilkan
keberagaman suku, agama, ras, aliran, bahasa, dan lain-lain yang berbeda namun dapat
bersatu menjadi Indonesia. Semoga lambat laun kasus-kasus atau pelanggaran-
pelanggaran HAM khususnya Kebebasan Beragama dapat segera terselesaikan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C.S.T., Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta: DJAMBATAN. 2003
Higgins, Rosalyn, “Derogations Under Human Rights Treaties”, London: British Yearbook
of International Law, 1979
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2009
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia PU. 2008
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pusaka. 2010
M. Gaffar, Janedjri, Demokrasi Konstitusional. Jakarta: Konstitusi Press (Konpress). 2012
Qamar, Nurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Makassar: Sinar
Grafika. 2013
Karya Ilmiah:
Makalah yang berjudul “Sedikit Tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik” disampaikan
oleh Ifdhal Kasim (Mantan Ketua Komnas HAM RI) di Hotel Grand Angkasa Medan, 2-5
Mei 2011
Peraturan Perundang-undangan:
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Website:
http://ekomarhaendy.wordpress.com/2007/12/20/kebebasan-beragama-dan-implementasi-
ham-di-indonesia/ diakses hari Jumat 6 Desember 2013 pukul 13.30
http://www.kalyanamitra.or.id/2013/06/8-tahun-implementasi-konvensi-hak-sipil-dan-politik/
diakses hari Jumat 6 Desember 2013 pukul 13.31
https://docs.google.com/document/d/1NK4z7uNEZDSGmszWJ8E462idfRigxNbguOcC2VH
oA/edit?pli=1 diakses hari Jumat 6 Desember 2013 pukul 13.31
16