Anda di halaman 1dari 16

PENERAPAN KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN

POLITIK TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA DAN


BERKEYAKINAN DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan isu terpenting baik permasalahan di tingkat
nasional, regional maupun internasional. Sejak dideklarasikannya Universal Declaration
on Human Rights (DUHAM) penghormatan akan hak asasi manusia gencar ditegakkan.
Manusia semenjak lahir memiliki sebuah hak yang melekat sebagai hak kodrati atau
alamiah yang pemenuhannya tidak dapat dikurangi (non-derogable). Pada tahun 1966,
Majelis Umum PBB melalui Resolusinya membagi HAM menjadi dua macam yaitu Hak-
hak Sipil dan Politik serta Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dengan disahkannya
ICCPR dan ICESCR. Hak sipil dan politik adalah hak yang harus dipenuhi peme-
nuhannya oleh pemerintah/negara. Dalam hak-hak sipil terdapat hak kebebasan beragama
dan berkeyakinan (freedom of religion and concience).

Konstitusi Indonesia mengatur tentang kebebasan beragama dan semenjak tahun 26


Februari 2006 Indonesia telah meratifikasi ICCPR dengan mengesahkan menjadi UU No.
12 tahun 2005. Di dalam ICCPR kebebasan beragama diatur dimana hak tersebut
termasuk hak yang tidak boleh disimpangi pemenuhannya oleh setiap negara yang
meratifikasinya. Dalam penerapannya, kebebasan beragama di Indonesia masih auh dari
harapan. Tindakan diskriminasi, pelanggaran-pelanggaran dan pembatasan-pembatasan
kebebasan beragama terjadi dimana-mana, yang mana seharusnya keamanan akan
kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah dijamin oleh Undang-undang.
Misalnya kasus kaum Syiah di Sampang Madura, kasus pembangunan Gereja HKBP
(Huria Kristen Batak Protestan) di Bekasi, dan kasus lainnya. Sebuah kejadian yang
sangat bertolak belakang dengan semangat semboyan Indonesia yakni “Bhinneka Tunggal
Ika” yang artinya “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Namun, berbagai upaya terus
dilakukan oleh Pemerintah guna mengatasi permasalahan yang terkait dengan HAM
khususnya kebe-basan beragama dan keyakinan di Indonesia.

1
Pada tanggal 10-11 Juli 2013, Komite Hak Asasi Manusia sebagai Pengawas
pelaksanaan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) mengadakan dialog mengenai
laporan Indonesia terkait implementasi ICCPR. Dalam dialog tersebut banyak persoalan
yang dibahas didalamnya, antara lain Komite memandang di samping mengakui ber-
bagai kemajuan penegakan HAM di tanah air, Komite juga mencatat terdapatnya
berbagai peristiwa yang dianggap kurang sejalan dengan komitmen Indonesia. Hal ini,
menurut Komite, perlu ditangani dengan baik agar tidak menghambat berbagai kemajuan
tersebut. Namun demikian, Komite juga menegaskan bahwa tantangan tersebut meru-
pakan hal yang umum dihadapi Negara Pihak ICCPR lainnya, bahkan Negara Maju
sekalipun.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, dapat ditarik poin-poin pertanyaan sebagai berikut:

1. Terkait dengan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik:


a. Bagaimanakah sejarah terbentuknya Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik pada tahun 1966 sampai saat ini diratifikasi oleh lebih dari 120 negara?
b. Substansi materi apa saja yang diatur di dalam ketentuan Kovenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik?
2. Terkait dengan Penerapan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik di
Indonesia:
a. Bagaimanakah sejarah pemberlakuan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik di Indonesia?
b. Bagaimana pula pengaturan mengenai kebebasan beragama, berkeyakinan di
Indonesia?
3. Terkait dengan berbagai contoh permasalahan-permasalahan kebebasan beragama di
Indonesia:
a. Bentuk-bentuk pembatasan seperti apa saja yang terkait dengan kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia? serta
b. Bentuk-bentuk pelanggaran-pelanggaran seperti apa saja yang terkait dengan
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR 1966)

2.1.1. Sejarah Pembentukan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

Setelah perang dunia kedua, terdapat kesepakatan luas di dunia internasional untuk
adanya perlindungan manusia oleh masyarakat internasional. Sejarah menunjukkan telah
terjadi berbagai kekejaman terhadap manusia, kelompok tertentu, yang memperlihatkan
bahwa suatu negara gagal dalam melaksanakan kewajibannya untuk melidungi warga
negaranya. Bahkan diberbagai negara, justru negara dan aparatusnya yang menjadi pelaku
berbagai kekejaman tersebut. Berdasarkan pada pelajaran tersebut, negara-negara yang
tergabung dalam PBB meminta Hak Asasi Manusia dimasukkan dalam Piagam PBB.
Langkah pertama adalah menyusun the Universal Declaration of Human Rights, yang
diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948.1

Dengan maksud untuk memastikan pelaksanaan perlindungan kehidupan manusia


dan negara, tidak cukup dengan adanya pernyataan deklarasi, namun perlu diterjemahkan
dalam bentuk hukum yang kuat dengan suatu perjanjian internasional (international
treaty/convention). Mejelis Umum PBB memerintahkan Komisi HAM untuk mem-
persiapkan dua perjanjian internasional; kovenan untuk hak-hak sipil dan politik dan
kovenan untuk hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.2

Pada saat itu, negara-negara barat dan negara-negara sosialis belum begitu yakin
kegunannya, namun dukungan diberikan oleh negara-negara dunia ketiga yang meminta
mereka untuk menyetujui hasil dari proses negosiasi yang berlangsung berlarut-larut.
Terdapat sejumlah perdebatan dalam proses pembentukan Kovenan ini, diantaranya soal
jaminan untuk menentukan nasib sendiri3, perumusan tentang pasal terkait dengan hak
milik, dan masalah sistem pengawasan terhadap Kovenan.

1
Kansil, C.S.T., Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta: DJAMBATAN. 2003. hlm 14
2
Resolusi PBB No. 543 (VI), 4 Februari 1952.
3
Perdebatan ini, antara negara-negara sosialis dan dunia ketiga dengan negara-negara barat, yang diantaranya
soal apakah rights of self determination merupakan suatu prinsip politik atau hak.

3
Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum PBB mengadopsi dua Kovenan,
dengan cara konsensus tanpa ada yang abstain.4 Kedua Kovenan tersebut adalah the
International Covenant on Civil and Political Rights dan the International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights. Sampai dengan Agustus 2012, 167 negara telah
meratifikasi ICCPR.

ICCPR mempunyai dua protocol tambahan; pertama, Optional Protocol to the


International Covenant on Civil and Political Rights, yakni protocol tambahan untuk
mekanisme komplain individu. Protokol ini mengakui kompetensi Komite HAM untuk
mempertimbangkan komplain dari individu atau kelompok yang menyatakan bahwa hak-
hak mereka yang dijamin dalam ICCPR telah dilanggar. Kedua, protokol untuk mengatur
lebih lanjut mengenai hukuman mati, yaitu Second Optional Protocol to the International
Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty
(protokol opsional kedua tambahan yang betujuan untuk penghapusan hukuman mati).

2.1.2. Substansi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik

Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada dasarnya memuat
ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara,
khususnya aparatur represif negara yang menjadi negara-negara pihak (state parties)
ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak –
hak negatif (negative rights). Artinya, hak – hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya
akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila
negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di
dalamnya akan dilanggar oleh negara.

Inilah yang membedakannya dengan model legislasi Kovenan Internasional Hak-


Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (biasanya disingkat ICESCR) yang justru menuntut
peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya
apabila negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus. ICESCR
karena itu sering juga disebut sebagai hak – hak positif (positive rights).

Ada dua klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam
ICCPR. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak
yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara

4
Kovenan diadopsi Majelis Umum PBB dengan Resolusi 2200A (XXI), 16 16 Desember 1966. Berlaku pada 23
Maret 1976.

4
pihak. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam
jenis ini adalah :

1. hak atas hidup (rights to life).


2. hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture).
3. hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery).
4. hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian.
5. hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut (hak sebagai subjek hukum).
6. hak atas kebebasan berpikir, kenyakinan dan agama.

Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis


ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran
serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).

Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang
boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Hak dan
kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah :

1. hak atas kebebasan berkumpul secara damai.


2. hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota
serikat buruh.
3. hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan
mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan
tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan).

Negara-negara Pihak ICCPR diperbolehkan mengungangi atau mengadakan


penyimpangan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpangan
itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak
bersifat diskriminatif, yaitu demi: (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum
atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang
lain. Prof. Rosalyn Higgins menyebut ketentuan ini sebagai ketentuan “clawback”, yang
memberikan suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara.5 Untuk menghindari
hal ini, ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari
yang ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain diharuskan juga menyampaikan alasan-alasan
mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua Negara Pihak pada ICCPR.

5
Higgins, Rosalyn, “Derogations under Human Rights Treaties”, London: British Yearbook of International
Law, 1979. hlm. 281-320.

5
Tanggung-jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan
yang dijanjikan di dalam Kovenan ini adalah di pundak Negara, khususnya yang menjadi
Negara Pihak pada ICCPR. Hal ini ditegaskan pada Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan,
Negara-negara Pihak diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui
dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua induvidu yang berada di dalam
wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa diskriminasi macam apa pun. Kalau hak
dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yurisdiksi suatu
negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau
tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu (Pasal 2 ayat
(2)). Prinsip-prinsip nondiskriminasi ini terdapat dalam sejumlah ketentuan dalam
ICCPR; pertama, menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini
bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya,
tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status
lainnya.

Kedua, menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk
menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan (Pasal 3). Ketiga,
semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum
yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi
apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap
diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain
(Pasal 26).

Bahwa non-diskriminasi, bersama dengan kesetaraan di depan hukum dan


perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi, merupakan prinsip dasar dan
umum sehubungan dengan perlindungan hak asasi manusia. Mewajibkan setiap Negara
Pihak untuk menghormati dan menjamin bagi semua orang yang berada di wilayahnya
dan menjadi subyek yurisdiksinya hak-hak yang diakui oleh Kovenan tanpa pembedaan
atas dasar apapun.

Walaupun pasal 4 ayat (1) mengizinkan Negara-negara Pihak untuk mengambil


langkah-langkah yang menyimpang dari kewajiban mereka berdasarkan Kovenan dalam
situasi darurat publik. Namun, pasal yang sama juga mewajibkan, antara lain, bahwa
langkah-langkah tersebut tidak diskriminatif yang hanya berdasarkan pada ras, warna

6
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial. Kemudian, pasal 20 ayat (2)
mewajibkan negara-negara Pihak untuk secara hukum melarang segala tindakan yang
menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan
untuk melakukan diskriminasi.

Perlu diketahui, tanggung-jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang


terbit dari ICCPR ini, adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately).
Singkatnya hak-hak yang terdapat dalam ICCPR ini bersifat “justiciable”. Inilah yang
membedakannya dengan tanggung-jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban
yang terbit dari ICESCR, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi
secara bertahap (progressively), dan karena itu bersifat “non-justiciable”.6

Dari uraian ringkas di atas tampaklah bahwa, Kovenan ini tidak mengandung
sesuatu yang bersifat “subversif” yang bakal menyulitkan Negara-negara yang menjadi
Pihak pada Kovenan tersebut. Termasuk ketentuan mengenai hak menentukan nasib
sendiri (right of self-determination) (Pasal 1), dan ketentuan mengenai kewajiban negara
untuk mengizinkan kelompok minoritas (etnis, agama atau bahasa) “untuk menikmati
kebudayaan mereka, menyatakan atau mempraktekkan agama meraka atau menggunakan
bahasan mereka sendiri” dalam komunitasnya (Pasal 27). Kovenan ini jelas tidak dapat
digunakan sebagai dasar untuk mensubversi integritas wilayah suatu negara. Karena itu,
sulit bagi kita menerima alasan mengapa sampai hari ini kita belum menjadi Negara
Pihak dari perjanjian multilateral yang sangat penting ini.7

2.2. Penerapan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik di Indonesia

2.2.1. Sejarah Keberlakuan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

Indonesia adalah Negara Hukum, ketentuan tersebut telah terejawantahkan dalam


Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hal tersebut menimbulkan
sebuah konsekuensi bahwa negara Indonesia wajib mengakui dan melindungi hak asasi
setiap warga negaranya. Seperti konsep yang dikemukakan oleh Frederich Julius Stahle
dengan konsep Negara Hukumnya yaitu Rechtstaat8. Stahle mengemukakan konsepnya
yang ditandai oleh empat unsur pokok, yaitu:

6
Makalah yang berjudul “Sedikit Tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik” disampaikan oleh Ifdhal Kasim
(Mantan Ketua Komnas HAM RI) di Hotel Grand Angkasa Medan, 2-5 Mei 2011 hlm. 3-4
7
Ibid.
8
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2009. hlm. 343

7
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Negara didasarkan pada teori Trias Politica;
c. Pemerintah diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur);
d. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menganani kasus per-
buatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overgheidsdaad)9.

Pengakuan dan perlindungan HAM kini telah diatur di dalam UUD 1945.
Sebelum Amandemen, pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945
sangatlah terbatas yaitu hanya 7 butir pasal. Pengaturan tersebut tidak lepas dari sejarah
perdebatan pembentukan UUD 1945 antara Mr. Seopomo dan Bung Karno dengan M.
Yamin dan Bung Hatta antara memasukkan ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia atau
tidak. Yang pada akhirnya disepakati untuk memberikan pengaturan tentang HAM yang
sangat terbatas yaitu Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat
(1), Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 34 UUD 1945. Namun, jika diperhatikan dengan
sungguh-sungguh, hanya satu ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan
jaminan konstitusional atas Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 29 ayat (2).10

Pada hakikatnya, hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum, sedangkan


kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk
dipenuhi.11 Sehingga Hak Asasi Manusia adalah hak yang tidak dapat disimpangi (non-
derogable rights) seperti yang dijelaskan diatas. Mengingat era Orde Baru, masyarakat
Indonesia serasa terbelenggu dengan situasi pemerintahan yang Otoritarian (sentralistis).
Masyarakat selalu dihantui oleh rasa ketakutan terhadap pemerintah. Sampai pada
akhirnya, tahun 1998 mahasiswa berhasil menumbangkan zaman yang penuh kegelapan
yaitu Orde Baru menuju era politik baru yaitu Reformasi. Tumbangnya pemerintahan
Orde Baru membawa sejarah besar perjalanan Negara Indonesia. Kebebasan menjadi
tujuan utama.

Penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia mulai


membaik dengan ditandai adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39 Tahun

9
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia PU. 2008. hlm. 57
10
Asshiddiqie, Jimly, Op. Cit., hlm. 352
11
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka. 2010. hlm 52

8
1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.12

Amandemen UUD 1945 dilakukan, salah satu langkah pertama merubah sistem
dari otoriter menuju kebebasan yang dibatasi peraturan. Sehingga, ketentuan mengenai
Hak Asasi Manusia (human rights) dimasukkan sebagai pengakuan negara terhadap suatu
hak warga negara yang harus diakui dan dilindungi keberadaannya. Pengaturan mengenai
HAM di dalam konstitusi di adopsi dari UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Puncaknya
Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dengan
di sahkan menjadi UU No. 12 tahun 2005 yang mulai diaksesi tanggal 26 Februari 2006.
Akan tetapi realitas penegakan instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia tersebut dalam
kehidupan masyarakat, belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini tercermin dari
beberapa kasus yang terjadi dimana-mana pelanggaran hak sipil dan politik di dalamnya.

2.2.2. Pengaturan Hak Kebebasan Beragama di Indonesia

Penerapan Hak Asasi Manusia (HAM) di indonesia sampai pada saat ini
belumlah mencapai hasil yang maksimum. Karena masih banyaknya kasus-kasus yang
terjadi di Indonesia yang belum diselesaikan dengan sebaik mungkin. Padahal negara
Indonesia adalah negara hukum, sebuah negara yang bisa dikatakan bermoral tinggi.
Namun sagatlah disayangkan, karena masih banyaknya warga negara yang belum
merasakan haknya yang sepenuhnya.

Bila dilihat dari banyaknya hukum ataupun perundang-undangan yanh berlaku di


indonesia, harusnya negara indonesia adalah negara yang damai dan sejahtera. Namun
semua itu masih saja menjadi harapan belaka, karena sampai saat ini, yang satu agamapun
belum juga ada rasa persatuan dan kesatuan, bagaimana dengan agama yang lain.

Secara hukum, istilah HAM di indonesia diatur dalam UUD 1945, UU No. 39
tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.13 HAM
berbeda dengan hak-hak manusia. HAM dan Hak-hak Manusia sering dianggap sama
padahal hakikat dan jangkauannya berbeda. Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) secara
jelas diatur dalam UUD 1945 yang diamandemenkan, tapi bukan berarti sebelum itu
UUD 1945 tidak memuat HAM.

12
M. Gaffar, Janedjri, Demokrasi Konstitusional. Jakarta: Konstitusi Press. 2012. hlm. 193
13
Qamar, Nurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Makassar: Sinar Grafika. 2013, hlm. 79

9
Jika kita merujuk dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang
berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali” serta pada Pasal 28E ayat
(2) UUD 1945, menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. undang-
undang ini disempurnakan pula dengan Pasal 29 ayat (2) yang menyebutkan: Negara
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap
Penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Undang-undang yang baru disebutkan diatas pada prinsipnya sudah
cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika
ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak
kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk
mengekspresikan pikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.

Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan
yang dijanjikan di dalam ICCPR ada di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara
Pihak ICCPR. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR yang menyebutkan
bahwa: “Setiap negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati dan
menjamin hak yang diakui dalam kovenan ini bagi semua individu yang berada di dalam
wilayahnya dan berada di wilayah yuridiksinya, tanpa pembedaan jenis apapun, seperti
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan
lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status
lainnya.” juga menurut Article 18 dalam the Universal Declaration of Human Rights
(UDHR 1948) menuangkan adanya pengakuan bahwa “freedom of thought, conscience,
religion and belief as a non-derogatable human right”. Perlindungan dan pemenuhan
kewajiban hak-hak dan kebebasan dalam ICCPR oleh negara adalah bersifat mutlak dan
harus segera dijalankan (immediately) atau justiciable.

Kemudian dalam Deklarasi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi


Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on the Elimination of All Forms of
Intolerance and of Discrimination Based on Religion and Belief) Tahun 1981, pada Pasal
1 Ayat (3) juga dinyatakan sebagai berikut: “Freedom to manifest one’s religion or
beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary
to protect public safety, order, health, or morals, or the fundamental rights and freedoms

10
of others” (Kemerdekaan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya
hanya dapat dibatasi oleh Undang-Undang dan dalam rangka menjamin keselamatan
umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau nilai-nilai moral atau hak-hak dasar
dan kebebasan orang lain).

Namun demikian, melihat fenomena yang dicontohkan beberapa kasus yang telah
disebutkan sebelumnya, agaknya jaminan konstitusi terhadap hak-hak tersebut belum
terimplementasi dengan baik. Jika saja undang-undang ini terimplementasi dengan baik,
barangkali tidak akan ada kelompok yang diklaim sebagai aliran sesat, dan atau jikapun
ada, setidaknya mereka yang dinilai sesat masih bebas menikmati haknya untuk tetap
hidup dan tumbuh di negeri ini. Bukan sebaliknya, perlakuan terhadap mereka yang
dinilai sesat justru mencerminkan penghakiman terhadap keyakinan yang bersumber dari
hati nurani mereka.

Fenomena yang paling menggelitik adalah, jaminan konstitusi terhadap kebebasan


beragama di Indonesia seolah hanya merupakan “macan kertas” yang tidak memiliki
kekuatan (power) mengikat sedikitpun. Terbukti, tindakan kurang adil yang dilakukan
pemerintah (juga mayoritas masyarakat) terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat
ini bukan didasarkan pada konstitusi yang berlaku secara legal-universal, malah tindakan
tersebut dipicu oleh keputusan yang masih bisa diperdebatkan (fatwa MUI misalnya),
tentu keputusan yang dikeluarkan lembaga semacam ini tidak dapat diberlakukan secara
universal. Pada akhirnya konstitusi yang semestinya bersifat legal-universal menyangkut
kebebasan beragama di negeri ini mengalami kerapuhan dengan sendirinya, jika tidak
dikatakan kurang berguna, atau justru tidak berguna sama sekali.

2.3. Permasalahan-Permasalahan Kebebasan Beragama di Indonesia

2.3.1. Batasan-batasan Kebebasan Beragama

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia.


Penduduk-penduduk tersebutpun memiliki agama dan keyakinan masing-masing sesuai
dengan tradisi di daerah masing-masing. Namun, dalam kenyataannya kebebasan
memeluk agama dan keyakinan sesuai dengan tradisi tersebut telah terjadi diskriminasi
terhadap pemenuhannya. Bukan hanya sekali terjadi, tapi sudah berkali-kali masyarakat
adat (daerah) kesulitan beribadah, ada yang dianggap aliran sesat, menyimpang dengan
syariat Islam, dan lain-lain. Sesuatu yang sama sekali bertolak belakang dengan ketentuan

11
yang ada di dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Batasan-batasan untuk kebebasan
beragama dan beribadah antara lain tergambar berbagai kasus dibawah ini:

Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 477/74054/


BA.012/4683/95 tertanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang
diakui pemerintah ada lima: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, meskipun
belakangan Konghucu diakui kembali sejak masa pemerintahan Presiden K.H.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Pembatasan 5 dan atau 6 agama yang diakui di Indonesia tentu menjadi ancaman
serius terhadap masa depan kebebasan beragama. Apabila pembatasan ini mutlak
dipahami dan dipegang teguh oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, akan
sangat wajar jika agama-agama lain diluar agama yang diakui tersebut sulit untuk di
terima hidup di negeri ini, bahkan agama-agama lokal sekalipun yang memang lahir dan
tumbuh dari tradisi asli bangsa Indonesia, seperti agama Kaharingan di Kalimantan,
Sunda Wiwitan di daerah Jawa, dan agama Parmalin yang terdapat di Tanah Batak
Sumatera Utara, yang kerap dipandang sebagai kebudaya belaka. Lebih dari itu,
pembatasan ini sangat jelas bertentangan dengan jaminan konstitusi terhadap kebebasan
beragama yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia, khususnya yang
termaktub pada Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun
1945.

Pada tanggal 2 April 2010, Kecamatan Parung di Bogor mengeluarkan sebuah


surat yang melarang Perayaan Paskah di Gereja Santo Johannes Baptista. Berbagai
individu juga terus menekan pemimpin-pemimpin daerah untuk menghalangi
pembangunan sebuah gereja.

Gereja HKBP di Karawang, Jawa Barat, ditutup oleh polisi pada tanggal 24
Januari 2010 setelah gereja tersebut di demonstrasi oleh anggota-anggota organisasi
Muslim radikal. Pada masa akhir laporan ini gereja tersebut telah melakukan kegiatannya
secara normal kembali dengan perizinan dari pemerintah setempat.

Pada tanggal 10 Oktober 2009, ratusan orang, termasuk pemimpin-pemimpin


agama dari Desa Karang Gayam di Sampang, Madura, Jatim, mendatangi kantor polisi
setempat untuk meminta agar orang-orang yang menyebarkan ajaran “Tajul Muluk”
segera ditindak. Menurut mereka ajaran tersebut telah menghujat agama Islam dengan

12
menyatakan bahwa Al-Qur'an telah dirubah isinya. Dan kejadian tersebut kembali
terulang pada November 2012.

Pada tahun 2008, beberapa ratus demonstran dari komunitas Muslim Sasak
menyerang Pura Sangkarean di Keru, Lombok Barat sehingga menyebabkan kerusakan
kecil dan menghentikan kegiatan renovasi tempat ibadah umat Hindu tersebut. Walaupun
polisi telah menahan beberapa orang untuk penyerangan ini, mereka segera dibebaskan
setelahnya. Berdasarkan interpretasi yang berbeda dari perizinan pembangunannya,
beberapa pejabat setempat merasa bahwa pihak pengelola pura harus memiliki surat izin
dan persetujuan dari warga masyarakat setempat sebelum dapat memulai kegiatan
renovasi. Para pengelola pura merasa bahwa renovasi, berbeda dengan pembangunan
baru, bisa dilakukan tanpa persetujuan pemerintah daerah dan warga setempat. Dalam
masa laporan ini dibuat, para umat Hindu berhenti menggunakan pura tersebut untuk
kegiatan keagamaan setelah mendapatkan ancaman dari kelompok-kelompok yang tidak
dikenal.

Antara bulan Juni dan Desember 2009, aparat pemerintah setempat melarang
Gereja Baptis Kristen Jakarta di Tangerang, Banten, untuk melakukan kegiatan ibadah
hari Minggu di tanah milik mereka. Pelarangan ini diduga atas tekanan kelompok-
kelompok radikal.

2.3.2. Pelanggaran-pelanggaran Kebebasan Beragama

Bukan hanya pembatasan-pembatasan kebebasan begarama saja, namun juga


pelanggaran-pelanggaran (dalam arti yang lebih ringan) kebebasan beragama yang
tercatat lebih dari 200 insiden menurut sebuah survei. Angka tertinggi terjadi di Jawa
Barat dan Jakarta. Dalam masa laporan ini, pemerintah secara langsung maupun tidak
langsung membatasi kebebasan beragama kelompok-kelompok yang dirasakan menganut
aliran Islam yang tidak sepaham dengan kelompok mayoritas.

Anggota kelompok radikal menyerang SMA Katolik Saint Bellarminus di


Jatibening, Bekasi, Jabar, tanggal 7 Mei 2010. Para demonstran mengklaim bahwa aksi
mereka dipicu oleh sebuah tulisan anti-Islam di internet oleh salah seorang siswa sekolah
tersebut. Sang siswa yang berusia 16 tahun saat ini menghadapi dakwaan penghujatan
agama dengan tuntutan hukuman penjara maksimal dua tahun.

13
Pemerintah membiarkan diskriminasi dan pelecehan atas kelompok Ahmadiyah,
dengan tidak menentang atau menolak fatwa MUI dari tahun 2007 yang mengutuk
kelompok-kelompok Islam seperti Ahmadiyah. Pemerintah juga gagal menentang fatwa
MUI tahun 2005 yang secara jelas-jelas melarang Ahmadiyah, dan juga berbagai
peraturan daerah yang serupa. Pihak penegak hukum juga gagal menghentikan ataupun
menyelelidiki kasus-kasus pengrusakan berbagai fasilitas milik Ahmadiyah yang terjadi
dalam kurun waktu laporan ini. Berbagai laporan menyebutkan jumlah mesjid
Ahmadiyah yang diserang atau ditutup.

Selain kelompok Ahmadiyah, Undang-Undang Penodaan Agama juga dikenakan


pada kelompok-kelompok lainnya yang mengaku masih berhubungan dengan Islam
namun dianggap sebagai “ajaran/aliran sesat.”

Pada tanggal 2 Juni 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa
Lia Eden, pemimpin kelompok Jamaah Salammulah, berasalah atas tuduhan penodaan
agama serta memicu kebencian antara umat beragama lewat penyebaran ajaran-ajarannya
ke lembaga-lembaga pemerintah, termasuk ke Istana Negara. Lia Eden dijatuhi hukuman
dua tahun dan enam bulan di penjara. Pengikut Eden, Wahyu Wibisono, dijatuhi dua
tahun penjara karena menulis dan menerbitkan ajaran-ajaran keagaaman Eden. Eden dan
ke 23 pengikutnya ditahan pada bulan Desember 2008 atas tuduhan penodaan agama. Ini
adalah kali keduanya Eden diadili untuk penodaan agama. Tahun 2006 dia dijatuhi
hukuman dua tahun penjara, namun dibebaskan pada bulan Oktober 2007setelah
menjalani 16 bulan masa hukumannya. Pada bulan November 2007, Mahkamah Agung
menjatuhi hukuman tiga tahun pada Abdul Rahman, putra Eden, yang mengklaim bahwa
dia adalah titisan Nabi Muhammad.

Pemerintah juga melakukan berbagai tindakan hukum pada kelompok Al-Qa'ida


Al-Islamiyah. Pada tanggal 2 Mei 2008, Pengadilan Negeri Padang menjatuhi hukuman
tiga tahun penjara pada kedua aktivis kelompok ini, Dedi Priadi dan Gerry Lufthi
Yudistira, untuk tuduhan penodaan agama. Pada tanggal 23 April 2008, Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan menjatuhi hukuman empat tahun penjara untuk penodaan agama
pada Ahmad Moshaddeq atas tuduhan mengaku sebagai seorang nabi.

14
BAB III
Kesimpulan

Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik


(ICCPR 1966) dengan mengesahkan UU No. 12 tahun 2005. Hal itu memberikan
konsekuensi kepada Indonesia sebagai peserta untuk mematuhi, menjalankan dan
menghindari segala sesuatu yang diatur di dalamnya.

Pengaturan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan telah ada semenjak


disahkan UUD 1945 sebagai Dasar Negara. Dan setelah ICCPR 1966 diratifikasi menjadi
UU maka semakin kuatlah pengakuan Indonesia terhadap adanya Hak Asasi Manusia
setiap warga negaranya. Kenyataannya saat ini, kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia masih jauh dengan rasa aman. Sebut saja seperti kaum Badui, Kaharingan,
Ahmadiyah, dan lain-lain yang kesemuanya adalah kaum minoritas yang masih
dipertanyakan apa agama mereka. Hal tersebut menimbulkan diskrimasi yang notabene
dilarang keras oleh UUD 1945. Indonesia sepatutnya sebagai Negara yang menjunjung
tinggi Hukum tidak sepatutnya membiarkan warga negaranya di perlakukan seperti itu.
Dari berbagai macam contoh kasus mengenai kebebasan beragama di atas adalah sebuah
wujud bahwa perlu adanya pengaturan dan sanksi yang lebih berat bagi para pelanggar
HAM. Terakhir pada bulan Juli lalu, Komite HAM PBB sebagai pengawas pelaksanaan
ICCPR melakukan pembahasan dengan pemerintah Indonesia terkait laporan Indonesia
mengenai Implementasi ICCPR. Di dalamnya terdapat beberapa rekomendasi yang salah
satunya bahwa Indonesia harus segera menyelesaikan masalah yang terkait dengan
Kebebasan Beragama (kasus terakhir yaitu Kaum Syiah di Sampang).

Kembali kepada semboyan Negara kita yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang
artinya “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Semboyan tersebut mewakilkan
keberagaman suku, agama, ras, aliran, bahasa, dan lain-lain yang berbeda namun dapat
bersatu menjadi Indonesia. Semoga lambat laun kasus-kasus atau pelanggaran-
pelanggaran HAM khususnya Kebebasan Beragama dapat segera terselesaikan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Kansil, C.S.T., Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta: DJAMBATAN. 2003

Higgins, Rosalyn, “Derogations Under Human Rights Treaties”, London: British Yearbook
of International Law, 1979
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2009
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia PU. 2008
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pusaka. 2010
M. Gaffar, Janedjri, Demokrasi Konstitusional. Jakarta: Konstitusi Press (Konpress). 2012
Qamar, Nurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Makassar: Sinar
Grafika. 2013

Karya Ilmiah:
Makalah yang berjudul “Sedikit Tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik” disampaikan
oleh Ifdhal Kasim (Mantan Ketua Komnas HAM RI) di Hotel Grand Angkasa Medan, 2-5
Mei 2011
Peraturan Perundang-undangan:
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

Website:
http://ekomarhaendy.wordpress.com/2007/12/20/kebebasan-beragama-dan-implementasi-
ham-di-indonesia/ diakses hari Jumat 6 Desember 2013 pukul 13.30
http://www.kalyanamitra.or.id/2013/06/8-tahun-implementasi-konvensi-hak-sipil-dan-politik/
diakses hari Jumat 6 Desember 2013 pukul 13.31
https://docs.google.com/document/d/1NK4z7uNEZDSGmszWJ8E462idfRigxNbguOcC2VH
oA/edit?pli=1 diakses hari Jumat 6 Desember 2013 pukul 13.31

16

Anda mungkin juga menyukai