Anda di halaman 1dari 7

2.

2 Larutan polimer

Pelarutan suatu polimer tidak sama dengan pelarutan senyawa yang mempunyai berat

molekul yang kecil atau rendah karena adanya perbedaan dimensi yang sangat berbeda antara

pelarut dan molekul polimer. Hal lain juga dosebabkan polmer sendiri memilki berat moleku

yang biasanya memiliki berat molekul yang besar. Hal ini disebabakan kerana dari pengertian

polimer itu sendiri yang merupakan gabungan antar monomer-monomer yang saline berikatan.

Pelarutan suatu polmer terjadi dalam dua tahapan yakni mula-mula molekur pelarut terdifusi

melewati matriks polimer untuk membentuk suatu massa menggembung dan tersolvensi yang

disebut gel. Sedangkan pada tahapan kedua, gel tersebut akan pecah dan molekul-molekul-nya

yang terdispersi ke dalam larutan sejati.

Pelarutan pada umunya memakan waktu yang lama, sedangkan beberapa jenis polimer

dapat larut dengan cepat dengan jenis pelarut tertentu. Namun ada beberapa polimer yang lambat

larut bahkan tidak larut dalam pelarutnya. Penentuan pelarut yang digunakan dapat dilihat pada

daftar yang didalamnya terdapat banyak jenis pelarut polar maunpun nonpolar untuk berbagai

jenis polimer Tabel 1.

Tabel 1: Jenis polimer dan pelarutnya

Polimer Pelarut Temperature Daerah berat Kb x 10-4 𝛼𝑏


℃ molekul 1x 10-4
Polistirena Sikloheksana 35d 8-42e 80 0,50
(ataktik) Sikloheksana 50 4-137 e 26,9 0.59
Benzena 25 3-61 9,52 0.74
Polietilena Dekalin 135 3-100 e 67,7 0.67
(tekanan rendah)
Polo(vinil klorida) Benzil alkohol 155,4 d 4-35 e 156 0.5
sikloheksanon 20 d 7-13 f 13,7 1,0
polibutadiena
98% cis 1,4 2% Toluene 30 d 5-50 f 30,5 0,72
1,2
97% trans 1,4 3% Toluene 30 5-16 f 29,4 0.75
1,2
poliakrionitril DMF 25 5-27 e 16,6 0,81
DMF 25 3-100 e 39,2 0,75
Polo(metariklat
ko-stirena)
30-70 mol % 1-klorobutena 30 5-55 e 17,6 0,67
71-29 mol % 1-klorobutena 30 4.8-81 e 24,9 0.63
Poli(etilena m-Kresol 25 0.04-1,2 f 0.77 0.95
tertafalen)
Nilon 66 m-Kresol 25 1,4-5 f 240 0,61
Namun pada dasarnya dalam membahas kelarutan suatu polimer bergantung pada prinsip-prinsip

temodinamika. Suatu proses pelarutan dapat dijabarkan dalam hubungan energi bebas gibs.

∆𝐺 = ∆𝐻 − 𝑇∆𝑆

Berdasarkan persamaan energi bebas gibs diatas, jika suatu polimer larutan dengan

spontan maka nila ∆𝐺 bernilai negative. Entropi larutan atau ∆𝑆 selalu bernilai positif yang

mengakibatka naiknya mobilitas konformasi dari rantai-rantai polemr. Oleh karena itu, besarnya

entalpi larutan atau ∆𝐻 akan menentikan nilai ∆𝐺. Untuk panas pencampuran ∆𝐻𝑚𝑎𝑥 pada

system biner berhubungan dengan parameter-parameter konsentrasi dan energy melalui

persamaan dimana 𝑉𝑚𝑎𝑥 adalah volume camputan 𝑉1 dan 𝑉2 adalah voleme molar (berat

molekul/kerapatan).
2
∆𝐸1 1/2 ∆𝐸2 1/2
∆𝐻𝑚𝑎𝑥 = ∆𝑉𝑚𝑎𝑥 [( ) − ( ) ] ∅1 ∅2
𝑉1 𝑉2

Dari dua komponen ∅1 dan ∅2 adalah fraksi volume sedangkan ∆𝐸1 dan ∆𝐸2 adalah energi

∆𝐸1 ∆𝐸2
penguapan, Besaran dan disebut dengan rapat energy kohensif (Cohensif energy
𝑉1 𝑉2

∆𝐸 1/2
density). Jika (𝑉 ) diganti dengan simbol 𝛿. Maka persamaan panas campuran dapat

dituliskan secara sederhana yakni :

∆𝐻𝑚𝑎𝑥 = ∆𝑉𝑚𝑎𝑥 (𝛿1 − 𝛿2 )2 ∅1 ∅2


Simbol 𝛿 disebut dengan parameter kelarutan. Seperti yang telah dituliskn sebelumnya

agar polimer dapat larut nilai ∆𝐺 harus bernilai negative, ∆𝐻𝑚𝑎𝑥 harus bernilai rendah. Oleh

karenya(𝛿1 − 𝛿2 )2 juga harus bernilai rendah. Dengan kata lain nilai 𝛿1 dan 𝛿2 harus sama.

Ketika nilai 𝛿1 dan 𝛿2 sama, maka kelarutan hanya dipengaruhi oleh nilai entropi. Oleh karena

itu, pernyataan-pernyataan mengenai pelarut dan polmer dengan parameter kearutan sebanding,

untuk menetapkan rapat energy kohesifnya.

Energy kohesif sendiri merupakan energy yang diperlukan oleh molekul-molekul

berpindah dari melekul-molekul terdekatnya. Untuk pelarunnya 𝛿, dapat dihitung secara

langsung dari panas laten penguapan dengan rumus sebagai berikut:

∆𝐸 = ∆𝐻𝑣𝑎𝑝 − 𝑅𝑇

diamana R merupakan tetepan gas idela sedangkan T merupakan suhu mutlak dalam Kelvin.

Sehingga:

∆𝐻𝑣𝑎𝑝 − 𝑅𝑇 1/2
𝛿1 = ( )
𝑣

Karena polimer-polimer memiliki tekanan uap yang bias dapat diabaikan, metode yang

paling mudah untuk menentukan 𝛿1 adalah dengan menggunakan metode tetapan atraksi molar

gugus. Tetapan ini diturunkan dari senyawa-senyawa dengan berat molekul yang rendah yang

menghasilkan nilai-nilai nuerik untuk berbagia gugus molekuk berdasarkan gaya-gaya

antarmolekulnya. Nilai-nilai tersebut dilambangkan dengan G, terdapat dua usulan nilai G itu

sendiri yakni yang berdasarkan Small dan Hory. Pada Small nilai G ditutunkan dari nilai panas

penguapan sedankan dari Hory bedasarkan pengukuran-pengukuran tekanan uap, perbedaan

keduan nilai tersebut dapat dilihat pada Table 2.


Nilai G merupakan tambahan nilai untuk suatu struktur tertentu dan akan dihubunkangn

dengan nilai ke- 𝛿 bedasarkan persamaan :

𝑑∑𝐺
𝛿=
𝑀

dimana d adalah massa jenis dan M adalah berat molekul.

Tabel 2 : Tetapan atraksi molar berbagai gugus

Gugus G [(cal cm3)1/2 mol-1]


Small Hoy
CH2− 214 147,3
−CH2− 133 131,5
CH− 28 85,99
CH4 -93 32,03
=CH2 190 126,5
=CH− 19 84,51
−C6H5 (fenil) 735 -
−CH= (aromatic) - 117,1
C=O (keton) 275 262,7
−CO2− 310 326,6
Berdasarkan persamaan tersebut bahwa nilai 𝛿 dapat dihitung. Masalah utajma

sehubungan dengan parameter kelarutan bahwa tidak menyangkut gaya-gaya dipolar yang kuat

seperti ikatan hydrogen. Untuk menjelaskan parameter-parameter kelarutan menjadi komponen-

komponen yang mengambarkan gaya disperse, tarikan dipole-dipol dan ikatan hydrogen.

Setelah menetapkan system polimer pelarut, hal yang perlu diperhatikan yakni agaimana

molekul-molekul polimer berintersaksi dengan molekul-molekul pelarut yang menyakut dalam

penetapan berat molekul polimer. Yang perlu diperhatikan dari segi penetapan berat molekul

polime yakni hasil resultan ata volume hidrodenamik dari molekul-molekul polimer dalam

larutan. Dengan mengangap bahwa molekul-molekul polimer dengan berat molekul tertentu akan

dipisahkan dengan sempurna oleh pelarut, maka voleme hidrodenamiknya akan bergantung pada
berbagai faktor misalkan interaksi polimer dan pelarut, percabangan rantai, efek konfirmasi yang

timbul dari polaritas dan gangguan sterik gugus subtituen.

Gerak brown menyebabakan molekul-molekul mempunyai bentuk yang berubah-ubah

secara kontinyu. Olej larenaya, metode yang digunakan untuk meramalkan besar molekul harus

berdasarkan pada pertimbangan-pertimbanagn statistic dan dimensi rata-rata. Dimana jika suatu

molekul polimer dipanjangkan secara maksimal, maka besaranya yang akan dihitung dari

pengetahun sudut ikatan dan panjang ikatan. Namun untuk beberapa jenis polimer dinyaakan

dengan istilah jarak rata-rata kwadrat antar ujung-ujung rantai 𝑟̅ untuk polimer liner atau radius

putar rata-rat kwadrat terhadap pusat gravitasi, 𝑠̅ 2 untuk polimer bercabang. Adapaun

persamaan mudah untuk menginterpretasiakan r dan s dengan dua fakto yakni dimensi tetap (𝑟0

dan 𝑠0 ) dan faktor ekspansi (𝛼). Dengan demilkian persamanya yakni sebagai berikut:

𝑟̅ = 𝑟0 2 𝛼 2

𝑠̅ = 𝑠0 2 𝛼 2

Dimensi tetap mengacu kepasa ukuran ekslusif makromolekul dari efek-efek pelarut.

Dimensi tersebut muncul dari kombinasi rotasi bebada dari interaksi-interaksi sterik intramolekul

dan interaksi polar. Di lain pihak, faktor ekspasi timbul dari interaksi antar pelarut dan polimer.

Untuk suatu polimer linear, 𝑟̅ = 6 𝑠̅ 2 hal ini dikarenakan pada persamaan berikut:

(𝑟̅ )1/2
𝛼=
(𝑟0 2 )1/2

Maka 𝛼 akan menjadi ebih besar daripada kesatuan dalam satu pelaru yang “baik” dan dimensi

yang sebenarnya akan melampaui dimensi-dimensi tetap. Nilai 𝛼 yang lebih besar, mengartikan

pealrut yang “lebih baik”. Untuk kondisi khusus dimana 𝛼 = 1, polimer-polimer yang

mendambil dimensi tetapnya dan berkelainan sevagai suatu koil statistic yang “ideal”.
Karena sifat-sifat kelarutan bervariasi dengan suhu dalam suatu polimer tertentu, maka

nilai 𝛼 bergantung pada suhu. Untuk suatu jenis polimer dalam suatu pelarut tertentu, suhu

terendah dimana 𝛼 = 1 disebut suhu theta atau suh flory, dan pelarutnya pun disebut pelarut

theta. Polimer dikatakan berada dalam keadaan theta adalah ketika polimer tersebut mudah untuk

memikirikan keadaaan theta tersebut sebagai polime yang berada dalam batas menjadi tidak larut

atau dapat memilki efek solvasi minimal. Pengecualian terhadap efek yang menyebabkan gaya

tarik molekul-molekul polimer menjadi dominan.

Berdasarkan prinsip mengenai penentuan berat molekul, signifikan dari parameter-

parameter ini adalah bahwa dapat dihubungkan ke viskositas larutan menurut persamaan Flory-

Fox sebagai berikut:

∅ (𝑟̅ 2 )1/2
[𝜇] =
𝑀̅

̅ adalah berat molekul rata-rata dan ∅ adalah tetapan


diamana [𝜇] adalah viskositas intrisnsik, 𝑀

proporsionalitas yang sebanding dengan kira-kira 3 × 1024 𝑚𝑜𝑙 −1 , pengantian r-2

∅ (𝑟0 2 𝛼 2 )3/2
[𝜇] =
𝑀̅

dengan 𝑟0 2 𝛼 2 diperoleh :

̅ 1/2 𝛼 3
[𝜇] = ∅ (𝑟0 2 𝑀−1 )3/2 𝑀

̅ adalah tetapan dengan mengangap 𝐾 = ∅ (𝑟0 2 𝑀−1 )3/2 maka :


Dikarenakan 𝑟̅0 dan 𝑀

̅ 1/2 𝛼 3
[𝜇] = 𝐾 𝑀

pada suhu theta 𝛼 = 1 maka persamanya:

̅ 1/2
[𝜇] = 𝐾 𝑀

Sedangkan untuk kondisi-kondisi selain suhu theta, persamaan tersebut memilki bentuk

̅𝛼
[𝜇] = 𝐾 𝑀
dimana 𝛼 adalah tetapan yang bergantung pada polimer,pelarut dan suhu yang dikenal sebagai

persamaan Mark-Houwing-Sakurada. Sebagai tambahan persamaan ini bergunan untuk

mengubungkan viskositas larutan encer dan berat molekul.

Anda mungkin juga menyukai