Anda di halaman 1dari 41

REFLEKSI KASUS

STROKE KARDIO EMBOLI ET CAUSA FIBRILASI ATRIAL

Oleh:

Rista Nurul Fitria

20174011076

Pembimbing:

dr. Rastri Mahardhika P., Sp.PD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

RSUD KOTA SALATIGA

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul

STROKE KARDIO EMBOLI ET CAUSA FIBRILASI ATRIAL

Disusun oleh:

Nama: Rista Nurul Fitria

No. Mahasiswa: 20174011076

Telah dipresentasikan,
Hari/Tanggal: Kamis, 27 Mei 2018

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Rastri Mahardhika P., Sp.PD


BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Tn. T
Usia : 77 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Suruh, Semarang
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Status pernikahan : Menikah
No. RM : 18-19-392894
Tanggal Masuk RS : 19 Mei 2018

II. IDENTITAS KELUARGA PASIEN (ALLOANAMNESIS)


Nama : Tn. S
Usia : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Suruh, Semarang
Pekerjaan : PNS
Hubungan dengan pasien : Adik kandung

III. ANAMNESIS
Data diambil dengan alloanemnesis bersama keluarga pasien.
A. Keluhan Utama

Penurunan kesadaran

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang laki-laki usia 77 tahun datang ke IGD RSUD Salatiga bersama


keluarganya dengan kondisi kesadaran menurun. Pasien tidak dapat diajak komunikasi.
Anamnesis dilakukan dengan keluarga pasien. Berdasarkan dari alloanmnesis, 3 hari
SMRS pasien merasa lemas, sesak, mual (+) dan muntah (+), nyeri kepala berat (-),
semakin hari semakin lemas. Kemudia keluarga membawa pasien ke RS Puri Asih dan di
opnam selama 2 hari 2 malam. Sejak saat itu pasien mengalami penurunan kesadaran,
tidak bisa diajak komunikasi. Dari RS Puri Asih pasien sudah dilakukan CT Scan dengan
hasil lesi multiple cerebellum dan lobus occipitalis curiga brain tumor (SOL). Kemudian
pasien dirujuk ke RSUD Salatiga dan dilakukan CT scan ulang. Saat masuk di RSUD
Salatiga pasien tetap dalam kondisi penurunan kesadaran dan diindikasikan untuk pindah
ke ICU. Keluarga tidak begitu mengerti dengan keluhan pasien sebelum-sebelumnya
karena tidak ada yang tinggal serumah. Hanya selama akhir-akhir ini, pasien tidak pernah
mengeluh sakit.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah opnam di RS Puri Asih 2 hari SMRS dengan penurunan kesadaran
suspect brain tumor (SOL). Sebelumnya pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit.
Ini baru yang pertama kalinya dalam sumur hidup. Dari alloanamnesis keluarga
pasien juga menyangkal adanya nyeri kepala berat akhir akhir ini (-)
Riwayat hipertensi (+), riwayat DM (-), riwayat penyakit jantung (-), stroke/TIA (-).
Riwayat konsumsi rokok (-) obat-obatan terlarang (-) alkohol (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluhan serupa (-)
 Riwayat Hipertensi (+)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat stroke (-)
 Riwayat penyakit tumor/keganasan (-)
E. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien di rumah tinggal sendiri. Pasien merupakan pensiunan PNS, mengurus


rumah sendiri. Anaknya tinggal di luar kota. Istrinya sudah meninggal. Pasien hidup
dengan kondisi ekonomi yang cukup.

F. Anamnesis Sistem (dengan alloanamnesis keluarga)


Kepala leher : tidak ada keluhan
THT : tidak ada keluhan
Respirasi : sempat sesak nafas
Gastrointestinal : tidak ada keluhan
Kardiovaskuler : tidak ada keluhan
Perkemihan : tidak ada keluhan
Sistem Reproduksi : tidak ada keluhan
Kulit : tidak ada keluhan
Ekstremitas : tidak ada keluhan

IV. PEMERIKSAAN FISIK


 Kesan Umum : penurunan kesadaran
 Kesadaran : Koma (E1V1M1)
 Vital Sign

Tekanan Darah : 164/78 mmHg

Denyut jantung : 165x/menit

Denyut nadi : 97x/menit

Pernapasan : 26x/menit

Suhu : 37,5 ºC

SpO2 : 96%

 Kepala dan Leher

Bentuk kepala : normocephali.


Wajah : simetris
Mata
 Tidak ada oedem palpebra dextra dan sinistra
 Conjungtiva anemis -/- , Sklera ikterik -/-
 Pupil isokor 3mm/3mm
 Respon cahaya +/+

Leher
 Inspeksi : Bentuk leher tidak tampak ada kelainan, tidak tampak deviasi
trakea
 Palpasi : Trakea teraba di tengah, Tidak terdapat pembesaran limfonodi dan
kelenjar tiroid, JVP (5+2).
Hidung

 Terpasang selang NGT (+)


 Terpasang NRM (+)

Pemeriksaan N. Cranialis sulit dievaluasi

 Thorax
Inspeksi
 Bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis
 Tidak tampak retraksi sela iga
 Tidak terdapat kelainan tulang iga dan sternum
Palpasi
 Pada palpasi secara umum tidak terdapat nyeri tekan dan tidak teraba benjolan
pada dinding dada
 Gerak nafas simetris
 Vocal fremitus simetris pada seluruh lapangan paru, friction fremitus (-), thrill
(-)
 Teraba ictus cordis pada ics 5 linea midclavicularis kiri , diameter 2 cm, kuat
denyut cukup

Perkusi
 Kedua hemithoraks secara umum terdengar sonor
 Batas paru-hepar dalam batas normal
 Batas kanan bawah jantung pada ics 5 linea parasternalis kanan, batas kanan
atas jantung pada ics 3 linea sternalis kanan
 Batas kiri bawah jantung pada ics 6 linea axilla anterior, batas atas kiri jantung
pada ics 3 linea parasternalis kiri

Auskultasi
 Stridor inspirasi/ekspirasi (+/+), suara nafas ronkhi +/+ (positif di basal paru
kanan dan kiri), wheezing -/-(tidak terdengar dikedua lapang paru).
 BJ I, BJ II irregular, punctum maksimum pada linea midclavicula kiri ics 5,
murmur (-), gallop (-), splitting (-)
Abdomen

Inspeksi
 Bentuk perut tak tampak distensi, pinggang tampak simetris dari anterior dan
posterior
 Venektasi (-), caput medusae (-)
 Umbilikus terletak di garis tengah
 Tidak tampak pulsasi abdomen pada regio epigastrika
Auskultasi
 Bising usus (+) normal
Palpasi
 Dinding abdomen tidak teraba distensi, defans muskular (-)
 Secara umum tidak ditemukan nyeri tekan
 Supel (+)
 Hepatomegali(-)
Perkusi
 Timpani pada semua lapang perut
 Shifting dullness (-)

Ekstermitas

Inspeksi
 Tidak tampak adanya edema, eritema pada ekstremitas
Palpasi
 Tidak terdapat nyeri tekan pada extremitas sinistra maupun dextra
 Akral hangat
 CRT < 2 detik
 Pitting edema - -
- -
 Respon nyeri (-)
Pemeriksaan neurologis
 Pemeriksaan motoris : sulit diavaluasi
 Refleks fisiologis : refleks bisep (+/+), refleks trisep (+/+)
 Refleks patologis : refleks babinski (-/-), chaddox (-/-) schaffner (-/-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil laboratorium

1. Darah Rutin (19 Mei 2018)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 15,80 4.5 – 11 103/uL
Eritrosit 4,70 3,8 – 5,8 106/uL
Hemoglobin 14,7 11,5 – 16,5 g/dL
Hematokrit 44,5 37.00 – 47.00 %
MCV 94,7 85 – 100 fL
MCH 31,3 28 – 31 pg
MCHC 33,0 30 – 35 g/dL
Trombosit 212 150 – 450 103/uL
Golongan Darah O

HITUNG JENIS

Eosinofil 0,1 1–6 %


Basofil 0,1 0.0 – 1.0 %
Limfosit 6,6 20 – 45 %
Monosit 3,9 2–8 %
Neutrofil 89,3 40-75 %
KIMIA
Gula Darah Sewaktu 157 <140 Mg/Dl
Ureum 105 10-50 Mg/Dl
Creatinin 1,1 1,0 – 1,3 mg/dL
Cholesterol total 179 <200 mg/dL
Trigliserid 110 <150 mg/dL
LDL cholesterol 151 <100 mg/dL
Asam urat 6,7 L.3,4-7.0 mg/dL
SGOT 35 <31 U/L
SGPT 40 <32 U/L
ELEKTROLIT
Natrium 139 135-155 Mml/e
Kalium 4,9 3,6-5,5 Mml/e
Chlorida 103 95-108 Mmol/l
Kalsium 9,7 8,4-10,5 Mg%
Magnesium 2,1 1,70 -2,5 Mg/dL
Albumin 3,2 3,5-4,2 g/dL

Darah Rutin (21 Mei 2018)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN


HEMATOLOGI
Leukosit 16,81 4.5 – 11 103/uL
Eritrosit 5,39 3,8 – 5,8 106/uL
Hemoglobin 16,6 11,5 – 16,5 g/dL
Hematokrit 50,40 37.00 – 47.00 %
MCV 93,5 85 – 100 fL
MCH 30,8 28 – 31 pg
MCHC 32,9 30 – 35 g/dL
Trombosit 193 150 – 450 103/uL
Golongan Darah O

HITUNG JENIS

Eosinofil 0,2 1–6 %


Basofil 0,3 1.0 – 1.0 %
Limfosit 5,3 20 – 45 %
Monosit 5,4 2–8 %
Neutrofil 88,8 40-75 %
KIMIA
Gula Darah Sewaktu 206 <140 Mg/Dl
Ureum 68 10-50 Mg/Dl
Creatinin 1,0 1,0 – 1,3 mg/dL
IMUNO SEROLOGI
Free T4 2,02 0,70-1,48 ng/dL
2. Rontgen Throax AP

Hasil:
 Gambaran bronkopneumonia dengan limfadenopati dextra
 Tak tampak gambaran pleural effusion
 Besar cor dalam batas normal
II. CT Scan Kepala dengan kontras
Hasil:
 Deviasi septum nasi ke kiri
 Gambaran sinusitis maksillaris Sn
 Gambaran SNH bilatera; di daerah substantia alba lobus oksipitalis Dx/Sn,
korpus kalosum forcep minor Dx/Sn dan lobus posterior Sn
III. EKG

Hasil: Atrial fibrilasi


IV. BTA SPS

V. ASSESMENT
 Diagnosis Kerja
- Stroke Kardio emboli ec Atrial Fibrilasi respon ventrikel cepat dengan susp. lesi
hipoinfusi di pons dextra
- Bronkopneumonia
- Acute Kidney Injury
- Hipertensi grade II
- Tiroktosikosis
 Diagnosis Banding
- Stroke hemoragik
- Hipertiroidism
VII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan di IGD:
- Infus RL 20tpm
- Inj. Dexamethason IV 10mg/8 jam
- Inj. Omeprazole IV 40mg/12 jam
- PO. Sanmol 3 x 500g
- PO. Amlodipine 1 x 10mg
- PO. Irbesartan 1 x 150mg
- PO. Ambroxol 3 x C II
Penatalaksanaan di bangsal
18-05-2018
- Infus RL 20tpm
- Inj. Dexamethason IV 10mg/8 jam
- Inj. Omeprazole IV 40mg/12 jam
- PO. Sanmol 3 x 500g
- PO. Amlodipine 1 x 10mg
- PO. Irbesartan 1 x 150mg
- PO. Ambroxol 3 x C II
- PO. Prorenal 3 x 1
- PO. Asam folat 2 x 1mg
- Pemasangan DC
19-05-2018
- Inj. Ceftriaxon IV 2g/24 jam
- Inj. Levofloxacin IV 750mg/24 jam
- Inj. Dexamethason IV 10mg/8 jam
- Inj. Omeprazole IV 40mg/12 jam
- Nebulizer (Ventolin+Bisolvon) tiap 6 jam
- Diet ureum 35 gr
20-05-2018
- Citicoline 3 x 500 mg
- Clopidogrel 1 x 75 gr
- Digoxin 1 x 1
- Aminophylin sp 0,5mg/KgBB/jam
20-05-2018
- Digoxin 2 x 1
- PTU (Propiltiourasil) 3 x 200mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FIBRILASI ATRIAL
1. Definisi
Fibrilasi atrial merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari dan paling sering menjadi penyabab seorang harus menjalani perawatan
di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan yang mengancam jiwa secara
langsung, tetapi FA berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas.1

Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan


aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis
atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi
gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi
amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, FA biasanya
disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat.2
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:2
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-
kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan
EKG, paling sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit.
2. Epidemiologi
Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun
mendatang.1,2 Framingham Heart Study yang merupakan suatu studi kohort pada
tahun 1948 dengan melibatkan 5209 subjek penelitian sehat (tidak menderita
penyakit kardiovaskular) menunjukkan bahwa dalam periode 20 tahun, angka
kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan. Sementara itu
data dari studi observasional (MONICA - Multinational Monitoring of trend and
determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta menemukan
angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2.2
Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase populasi usia
lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi
WHO tahun 2045-2050), maka angka kejadian FA juga akan meningkat secara
signifikan. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin pada data di Rumah
Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang menunjukkan bahwa
persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu
7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8%
(2013).2
Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas,
termasuk stroke, gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan FA
memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi
dibanding pasien tanpa FA. Stroke merupakan salah satu komplikasi FA yang paling
dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh FA mempunyai risiko
kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu, stroke akibat FA ini mengakibatkan
kematian dua kali lipat dan biaya perawatan 1,5 kali lipat.2
Fibrilasi atrium juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti
hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus,
obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati,
penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Gagal
jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) II
sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien FA, namun sebaliknya FA dapat terjadi
pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal
jantung itu sendiri. Fibrilasi atrium dapat menyebabkan gagal jantung melalui
mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban volume jantung,
disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis. Distensi pada atrium kiri
dapat menyebabkan FA seperti yang terjadi pada pasien penyakit katup jantung
dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek septal atrium. Sekitar 20%
populasi pasien FA mengalami penyakit jantung koroner meskipun keterkaitan antara
FA itu sendiri dengan perfusi koroner masih belum jelas. 2
3. Patofisiologi Fibrilasi Atrium (FA)
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya dipahami
dan dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak dianut tentang
mekanisme FA adalah 1) adanya faktor pemicu (trigger); dan 2) faktor-faktor yang
melanggengkan. Pada pasien dengan FA yang sering kambuh tetapi masih dapat
konversi secara spontan, mekanisme utama yang mendasari biasanya karena adanya
faktor pemicu (trigger) FA, sedangkan pada pasien FA yang tidak dapat konversi
secara spontan biasanya didominasi adanya faktor-faktor yang melanggengkan. 2
a. Perubahan patofisiologis yang mendahului terjadinya FA (Faktor Atrial)
Berbagai jenis penyakit jantung struktural dapat memicu remodelling
yang perlahan tetapi progresif baik di ventrikel maupun atrium. Proses
remodelling yang terjadi di atrium ditandai dengan proliferasi dan diferensiasi
fibroblas menjadi miofibroblas yang dapat meningkatkan deposisi jaringan ikat
dan fibrosis di atrium. Proses remodelling atrium menyebabkan gangguan elektris
antara serabut otot dan serabut konduksi di atrium, serta menjadi faktor pemicu
sekaligus faktor yang melanggengkan terjadinya FA. Substrat elektroanatomis ini
memfasilitasi terjadinya sirkuit reentri yang akan melanggengkan terjadinya
aritmia.2
Sistem saraf simpatis maupun parasimpatis di dalam jantung juga
memiliki peran yang penting dalam patofisiologi FA, yaitu melalui peningkatan
Ca2+ intraselular oleh sistem saraf simpatis dan pemendekan periode refrakter
efektif atrium oleh sistem saraf parasimpatis (vagal). Stimulasi pleksus
ganglionik akan memudahkan terangsangnya FA melalui vena pulmoner (VP),
sehingga pleksus ganglionik dapat dipertimbangkan sebagai salah satu target
ablasi. Namun, manfaat ablasi pleksus ganglionik sampai sekarang masih belum
jelas. Setelah munculnya FA, perubahan sifat elektrofisiologis atrium, fungsi
mekanis, dan ultra struktur atrium terjadi pada rentang waktu dan dengan
konsekuensi patofisiologis yang berbeda. 2
Sebuah studi melaporkan terjadinya pemendekan periode refrakter efektif
atrium pada hari-hari pertama terjadinya FA. Proses remodelling elektrikal
memberikan kontribusi terhadap peningkatan stabilitas FA selama hari-hari
pertama setelah onset. Mekanisme selular utama yang mendasari pemendekan
periode refrakter adalah penurunan (downregulation) arus masuk kalsium
(melalui kanal tipe-L) dan peningkatan (up-regulation) arus masuk kalium.
Beberapa hari setelah kembali ke irama sinus, maka periode refrakter atrium akan
kembali normal.2
Gangguan fungsi kontraksi atrium juga terjadi pada beberapa hari setelah
terjadinya FA. Mekanisme yang mendasari gangguan ini adalah penurunan arus
masuk kalsium, hambatan pelepasan kalsium intraselular dan perubahan pada
energetika myofibril.2
b. Mekanisme elektrofisiologis
Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya pemicu
(trigger) dan substrat. Atas dasar itu, mekanisme elektrofisiologis FA dapat
dibedakan menjadi mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme
reentri mikro (multiple wavelet hypothesis) karena adanya substrat (gambar 1).
Meskipun demikian, keberadaan kedua hal ini dapat berdiri sendiri atau muncul
bersamaan.2
1. Mekanisme fokal
Mekanisme fokal adalah mekanisme FA dengan pemicu dari daerah-
daerah tertentu, yakni 72% di VP dan sisanya (28%) bervariasi dari vena kava
superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista terminalis
(3,7%), sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall (8,2%), dan septum
interatrium. Mekanisme seluler dari aktivitas fokal mungkin melibatkan
mekanisme triggered activity dan reentri. Vena pulmoner memiliki potensi
yang kuat untuk memulai dan melanggengkan takiaritmia atrium, karena VP
memiliki periode refrakter yang lebih pendek serta adanya perubahan drastis
orientasi serat miosit.2
Pada pasien dengan FA paroksismal, intervensi ablasi di daerah
pemicu yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan (umumnya berada pada
atau dekat dengan batas antara VP dan atrium kiri) akan menghasilkan
pelambatan frekuensi FA secara progresif dan selanjutnya terjadi konversi
menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan FA persisten, daerah
yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar di seluruh atrium,
sehingga lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi atau konversi ke irama
sinus.2
2. Mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis)
Dalam mekanisme reentri mikro, FA dilanggengkan oleh adanya
konduksi beberapa wavelet independen secara kontinu yang menyebar
melalui otot-otot atrium dengan cara yang kacau. Hipotesis ini pertama kali
dikemukakan oleh Moe yang menyatakan bahwa FA dilanggengkan oleh
banyaknya wavelet yang tersebar secara acak dan saling bertabrakan satu
sama lain dan kemudian padam, atau terbagi menjadi banyak wavelet lain
yang terus-menerus merangsang atrium. Oleh karenanya, sirkuit reentri ini
tidak stabil, beberapa menghilang, sedangkan yang lain tumbuh lagi. Sirkuit-
sirkuit ini memiliki panjang siklus yang bervariasi tapi pendek. Diperlukan
setidaknya 4-6 wavelet mandiri untuk melanggengkan FA.2

3. Fibrilasi atrium menyulut FA (AF begets AF)


Konsep FA menyulut FA dikemukakan pertama kali oleh Alessie dkk.
dalam sebuah eksperimen pada kambing. Observasi mereka menunjukkan
bahwa pemacuan atrium dengan teknik pacurentet (burst pacing) akan
menyebabkan FA, yang akan kembali ke irama sinus. Kemudian bila
dilakukan pacu-rentet lagi akan muncul FA kembali. Apabila proses ini
dilakukan terus menerus, maka durasi FA akan bertambah lama sampai lebih
dari 24 jam. Oleh karena itu pada pasien yang mengalami FA paroksismal
dapat berkembang menjadi FA persisten atau permanen.2
c. Predisposisi genetic
Fibrilasi atrium memiliki komponen herediter, terutama FA awitan dini.
Selama beberapa tahun terakhir, banyak sindrom jantung bawaan terkait dengan
FA telah diidentifikasi. Sindrom QT pendek dan QT panjang, serta sindrom
Brugada berhubungan dengan supraventrikular aritmia, termasuk FA. Fibrilasi
atrium juga sering terjadi pada berbagai kondisi yang diturunkan (inherited),
termasuk kardiomiopati hipertrofi, dan hipertrofi ventikel kiri abnormal yang
terkait dengan mutasi pada gen PRKAG. 2
Bentuk herediter lain dari FA berhubungan dengan mutasi pada gen yang
mengode peptida atrial natriuretik,18 mutasi loss-of-function pada gen kanal
natrium SCN5A, atau gain-of-function pada gen kanal kalium. Selain itu,
beberapa lokus genetik yang dekat dengan gen PITX2 dan ZFHX3 berhubungan
dengan FA dan stroke kardioembolik.2
4. Konsekuensi Klinis FA
a. Konduksi atrioventrikular
Pada pasien FA dengan sistem konduksi yang normal (tidak adanya jaras
tambahan maupun disfungsi serabut His-Purkinje), nodus atrioventrikular (NAV)
berfungsi sebagai filter untuk mencegah laju ventrikel yang berlebihan.
Mekanisme utama yang membatasi konduksi atrioventrikular adalah periode
refrakter intrinsik dari NAV dan konduksi tersembunyi (concealed). Pada
konduksi tersembunyi, impuls listrik yang mencapai NAV mungkin tidak
diteruskan ke ventrikel, tetapi dapat mengubah periode refrakter NAV sehingga
dapat memperlambat atau menghambat denyut atrium berikutnya. 2
Fluktuasi tonus simpatis dan parasimpatis menyebabkan perubahan
kecepatan konduksi impuls listrik melalui NAV. Hal ini menimbulkan variabilitas
laju ventrikel selama siklus diurnal atau saat latihan. Laju ventrikel dengan
variabilitas yang tinggi ini secara terapeutik sering menjadi tantangan sendiri.
Digitalis, yang berefek memperlambat laju ventrikel dengan meningkatkan tonus
parasimpatis, merupakan terapi yang efektif untuk mengendalikan laju jantung
saat istirahat, tetapi kurang efektif saat aktifitas. Penghambat reseptor beta dan
antagonis kanal kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperlambat laju
ventrikel baik saat istirahat maupun saat latihan. 2
Pada pasien FA dengan sindrom preeksitasi (sindrom WolffParkinson-
White/WPW) (gambar 2) dapat terjadi laju ventrikel yang cepat dan berpotensi
mengancam jiwa. Hal ini terjadi karena impuls FA yang melalui jaras tambahan
tidak mengalami pelambatan/filter sebagaimana jika melalui NAV. Pada keadaan
di atas, pemberian obat yang memperlambat konduksi NAV tanpa
memperpanjang periode refrakter dari atrium/jaras tambahan (misalnya
verapamil, diltiazem, dan digitalis) akan mempercepat konduksi melalui jaras
tambahan. 2
b. Perubahan hemodinamik
Faktor yang mempengaruhi fungsi hemodinamik pada pasien FA meliputi
hilangnya kontraksi atrium yang terkoordinasi, tingginya laju ventrikel,
ketidakteraturan respon ventrikel, penurunan aliran darah miokard, serta
perubahan jangka panjang seperti kardiomiopati atrium dan ventrikel. Hilangnya
fungsi koordinasi mekanikal atrium secara akut pada saat terjadinya FA dapat
mengurangi curah jantung sampai dengan 5-30%. Efek ini terlihat lebih jelas pada
pasien dengan penurunan daya regang (compliance) ventrikel oleh karena pada
pasien ini kontraksi atrium memberi kontribusi besar dalam pengisian ventrikel. 2
Laju ventrikel yang cepat mengurangi pengisian ventrikel karena
pendeknya interval diastolik. Laju ventrikel yang cepat (>120 – 130 kali per
menit) dapat mengakibatkan terjadinya takikardiomiopati ventrikel bila
berlangsung lama. Pengurangan laju jantung dapat menormalkan kembali fungsi
ventrikel dan mencegah dilatasi lebih lanjut. 2
c. Tromboemboli
Risiko stroke dan emboli sistemik pada pasien dengan FA didasari
sejumlah mekanisme patofisiologis, yaitu: 2
1) Abnormalitas aliran darah,
Abnormalitas aliran darah ditandai dengan stasis aliran darah di atrium kiri
akan menyebabkan penurunan kecepatan aliran pada aurikel atrium kiri
(AAK) yang dapat terlihat sebagai spontaneous echo-contrast pada
ekokardiografi. Pada FA non-valvular, AAK merupakan sumber emboli
yang utama (>90%).
2) Abnormalitas endokard,
Abnormalitas endokard terdiri dari dilatasi atrium yang progresif, denudasi
endokard, dan infiltrasi fibroelastik dari matriks ekstraseluler.
3) Unsur darah.
Sedangkan, abnormalitas unsur darah berupa aktivasi hemostatik dan
trombosit, peradangan dan kelainan faktor pertumbuhan dapat ditemukan
pada FA.

5. Klasifikasi FA
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu
presentasi dan durasinya, yaitu: 2
1) FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang
pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi
atau berat ringannya gejala yang muncul.
2) FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48
jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3) FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari
atau FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4) FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan
hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5) FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter
(dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi.
Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori
FA persisten lama.
Klasifikasi FA seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain
(gambar 3). Artinya, seorang pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode
FA paroksismal, dan pada waktu lain kadang-kadang FA persisten, atau sebaliknya.
Untuk itu, secara praktis, pasien dapat dimasukkan ke salah satu kategori di atas
berdasarkan manifestasi klinis yang paling dominan. 2
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh
awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut
ciri-ciri dari pasien:2

1) FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular


lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas
anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60
tahun.
2) FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral,
katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3) FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu
FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis,
hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya.
Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA
valvular.
Respon ventrikel terhadap FA, sangat tergantung pada sifat elektrofisiologi
dari NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis, ada atau
tiadanya jaras konduksi tambahan, dan reaksi obat. 2
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA dapat
dibedakan menjadi : 2

1) FA dengan respon ventrikel cepat : Laju ventrikel >100x/ menit


2) FA dengan respon ventrikel normal : Laju ventrikel 60-100x/menit
3) FA dengan respon ventrikel lambat : Laju ventrikel <60x/ menit

6. Penegakan Daignosis
Penegakkan diagnosis pada pasien FA meliputi : 1
a. Anamnesis :
1. Dapat diketahui tipe FA dengan mengetahui lama timbulnya (episode
pertama, paroksismal, persisten, permanen)
2. Menentukan beratnya gejala yang menyertai: berdebar-debar, lemah, sesak
napas terutama saat aktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan adanya
iskemia atau gagal jantung kongestif
3. Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari FA misalnya
hipertiroid.
b. Pemeriksaan Fisis:
1. Tanda vital: denyut nadi berupa kecepatan dan regularitasnya, tekanan
darah
2. Tekanan vena jugularis
3. Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung
kongestif
4. Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukkan kemungkinan
terdapat gagal jantung kongestif, terdapatnya bising pada auskultasi
kemungkinan adanya penyakit katup jantung
5. Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan
6. Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
c. Laboratorium: hematokrit (anemia), TSH (penyakit gondok), enzim jantung bila
dicurigai terdapat iskemia jantung.
d. Pemeriksaan EKG: dapat diketahui antara lain irama (verifikasi FA), hipertrofi
ventrikel kiri, pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi (sindroma
WPW), identifikasi adanya iskemia.
e. Foto rontgen toraks
f. Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium clan
ventrikel, hipertrofi ventrikel kin, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan
TEE (Trans Esophago Echocardiography) untuk melihat trombus di atrium kiri.
g. Pemeriksaan fungsi tiroid. Pada FA episode pertama bila laju irama ventrikel
sulit dikontrol.
h. Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju
irama jantung.
i. Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring.
7. Stratifikasi Beratnya FA
Stratifikasi beratnya FA dapat ditegakkan dengan menggunakan skor EHRA
IV (European Heart Ryhtm Association IV) sebagai berikut: 1
Tabel 1. Kelas EHRA Keterangan
EHRA I Tidak ada keluhan
EHRA II Ringan, aktivitas sehari-hari tidak terganggu
EHRA III Berat, aktivitas sehari-hari terganggu
EHRA IV Sangat berat, tidak dapat beraktifitas
8. Diagnosis Banding
Berbagai gelombang yang memiliki RR interval panjang dan cepat (aritmia
supraventrikular, atrial takikardi, dan atrial flutter) menyerupai fibrilasi atrial namun
takikardi atrial dan atrial flutter biasanya menunjukkan gambaran sikluks atrial lebih
panjang yaitu >200 ms. Bila terdapat aktivitas ventrikel yang meningkat, dapat
dilakukan Manuver Valsava, pijat carotis atau pemberian Adenosin IV untuk
menentukan apakah irama tersebut berasal dari atrial atau bukan.1
9. Komplikasi
FA dapat meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas. Pada pasien
dengan sindroma WPW dan konduksi yang cepat melalui jalur ekstranodal yang
memintas nodus atrioventrikular, dimana pada saat terjadi FA disertai pre- eksitasi
ventrikular, dapat berubah menjadi fibrilasi ventrikel dan menyebabkan kematian
mendadak.
Pada keadaan seperti ini ablasi dengan radiofrekuensi sangat dianjurkan. FA
yang disertai dengan laju irama ventrikel yang cepat serta berhubungan dengan
keadaan obstruksi jalur keluar dari ventrikel atau terdapat stenosis mitral, dapat
menyebabkan terjadinya hipotensi dan perubahan keadaan klinis. Beberapa
komplikasi lain dapat terjadi pada flutter atrial dengan laju irama ventrikel yang
cepat. Laju ventrikel yang cepat ini bila tidak dapat terkontrol dapat menyebabkan
kardiomiopati akibat takikardia persisten. Di antara komplikasi yang paling sering
muncul dan membahayakan adalah tromboemboli, terutama strok.1
Peningkatan risiko terjadi stroke pada FA disebabkan karena darah berjalan
lebih lambat di dalam jantung seiring dengan terjadinya fibrilasi yang menghambat
tekanan tinggi yang seharusnya terjadi di sepanjang jantung dan arteri. FA dikatakan
memiliki peran sedikitnya 15-20% dari seluruh angka kejadian stroke.
B. STROKE
1. Definisi
Stroke didefinisikan sebagai sebuah sindrom yang memiliki karakteristik tanda
dan gejala neurologis klinis fokal dan/ atau global yang berkembang dengan cepat,
adanya gangguan fungsi serebral, dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam
atau menimbulkan kematian tanpa terdapat penyebab selain yang bersasl dari
vaskular.3
2. Klasifikasi
Stroke dibagi menjadi 2, yaitu
a. Stroke Iskemik (70-80%)
b. Stroke Hemoragik (20-30%)

3. Patofisiologi
a. Stroke Iskemik
Disebabkan oleh oklusi arteri di otak, yang dapat disebabkan trombosis
maupun emboli. Trombosis merupakan obstruksi aliran darah akibat penyempitan
lumen pembuluh darah atau sumbatan. Penyebab tersering adalah aterosklerosis.
Gejala biasanya memberat secara bertahap.3
Emboli disebabkan oleh sumbatan pembuluh darah dari tempat yang lebih
proksimal. Emboli biasanya bersumber dari jantung atau arteri besar, seperti
aorta, a. karotis, atau a. vertebralis. Gejalanya biasanya langsung memberat atau
hanya sesaat untuk kemudian menghilang lagi seketika saat emboli terlepas ke
arah distal, seperti pada TIA. 3
b. Stroke Hemoragik
Disebabkan oleh ruptur arteri baik intraserebral maupun subarakhnoid.
Perdarahan intraserebral merupakan penyebab tersering dimana dinding
pembuluh darah kecil yang sudah rusak akibat hipertensi kronik. Hematoma yang
terbentuk akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Pednarahan
subarakhnoid disebabkan oleh pecahnya aneurisma atau malformasi arteri vena
yang perdarahannya masuk ke rongga subarakhnoid, sehingga menyebabkan
cairan CSS terisi oleh darah. Darah di dalam CSS akan menyebabkan vasospasme
sehingga menimbulkan gejala sakit kepala hebat yang mendadak. 3

Gambar 5. Klasifikasi Stroke


4. Stroke Kardioemboli
a. Definisi dan etiologi
Stroke kardioemboli adalah suatu gangguan neurologis akut yang
disebabkan oleh gangguan pembuluh darah, dimana secara mendadak atau cepat
timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah, fokal diotak, akibat suatu
emboli yang berasal dari jantung. Stroke kardioemboli diakibatkan dari emboli
yang berasal dari jantung. Sebab tersering timbulnya emboli ini adalah fibrilasi
atrium (AF: Atrial Fibrillation) atau terdapat kelainan pada katup jantung.
Stroke kardioemboli awitannya dimulai dengan defisit neurologik fokal
yang dapat menjadi lebih berat, dasar diagnosa klinik dibuktikan dengan adanya
sumber emboli dari jantung dan tidak ditemukannya penyebab lain dari
strokenya.4
Pembentukan emboli yang menoklusi arteri di otak bisa bersumber dari
jantung sendiri atau berasal dari luar jantung, tetapi pada perjalanannya melalui
jatung, misalnya sel tumor, udara dan lemak pada trauma, parasit dan telurnya.
Yang sering terjadi adalah emboli dari bekuan darah (clots) karena penyakit
jantungnya sendiri. Trombus intracardiak di atrium ventrikel kiri paling sering
menyebabkan emboli, walaupun trombus di atrium, ventrikel kanan dan
ekstremitas dapat menyebabkan emboli otak melalui septal defek di jantung.
Trombus di ventrikel kiri dapat pula terjadi karena proses koagulopati trombosik
tanpa disertai kelainan jantung. 4
Caplan (1994) mengelompokkan penyakit jantung sebagai sumber emboli
menjadi 3:4
1. Kelainan dinding jantung seperti kardiomiopati, hipokinesis, dan akinesis
dinding ventrikel pasca infark miokard, aneurisma atrium, aneurisma
ventrikel, miksoma atrium dan tumor lainnya, defek septum dan paten
foramen ovale.
2. Kelainan katup, seperti kelainan katup mitral rematik, penyakit aorta, katup
protesis, endokarditis bakterial, endokarditis trombotik non bakterial, prolaps
katup mitral, dan kalsifikasi annulus mitral.
3. Kelaianan irama, terutama fibrilasi atrium dan sindrom sick sinus.
Trombus ventrikel kiri pada penderita AF ditemukan 15,8%, sedangkan
pada kontrol hanya 1,7%. Infark serebri 32,2% pada AF, sedangkan pada kontrol
11%. Frekuensi Infark serebri meningkat sesuai dengan lamanya AF. Penyebab
AF yang paling sering adalah penyakit jantung rematik dan penyakit jantung
iskemik. Resiko emboli pada AF paling tinggi setelah terjadi kardioversi elektikal
ataureversi spontan keritme sinus. Trombus terbentuk di atrium kanan karena
stasis dari aliran darah.4
Non valvular atrial fibrilase (NVAF) berinsidensi 2-5% dari populasi umur 60
tahun, dan prevalensi meningkat sesuai dengan penambahan usia. NVAF
merupakan penyebab mayor stroke kardioemboli dengan Infark serebri masif.
Valvular atrial fibrilasi mempunyai resiko stroke 17 kali daeri kontrol.4
b. Kelainan Jantung yang dapat menyebabkan kardioemboli:
1) Penyakit katup jantung:
- Penyakit katup mitral
- Penyakit katup aorta
- Katup buatan
- Prolaps katup mitral (MPV)
2) Gangguan pada atrium
- Fibrilasi atrium
- Aneurisma atrium
- Myxoma atrium
3) Gangguan pada ventrikel
- Infark miokardium
- Aneurisma ventrikel
- Diskinesia dinding ventrikel
c. Anatomi dan Fisiologi
Otak menerima sekitar 20% curah jantung dan memerlukan 20%
pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya
(Price&Wilson, 2005). Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu arteri karotis
interna dan arteri vertebralis. Dari dalam rongga kranium, keempat arteri ini
saling berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi.6
Sirkulasi Willisi adalah area dimana percabangan arteri basilar dan
karotis internal bersatu. Sirkulus Willisi terdiri atas dua arteri serebral, arteri
komunikans anterior, kedua arteri serebral posterior dan kedua arteri komunikans
anterior.5,6
Jaringan sirkulasi ini memungkinkan darah bersirkulasi dari satu
hemisfer ke hemisfer yang lain dan dari bagian anterior ke posterior otak. Ini
merupakan sistem yang memungkinkan sirkulasi kolateral jika satu pembuluh
darah arteri mengalami penyumbatan. Darah vena dialirkan dari otak melalui dua
sistem: kelompok vena interna yang mengumpulkan darah ke vena galen dan
sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang terletak di permukaan hemisfer
otak yang mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis
lateralis, dan seterusnya ke venavena jugularis, dicurahkan menuju ke jantung. 5,6

Gambar 6. Sirkulasi Willisi

C. STROKE KARDIOEMBOLI KARENA FIBRILASI ATRIAL


Hampir 90% emboli yang berasal dari jantung berakhir di otak, hal ini
disebabkan karena aliran darah ke otak berasal dari arkus aorta sehingga emboli yang
lepas dari ventrikel kiri akan disebarkan melalui aliran darah ke arteri karotis
komunis kiri dan arteri brakhiosefalik. Jaringan otak sangat sensitif terhadap
obstruksi aliran darah, sehingga emboli yang berukuran 1 mm sudah dapat
menimbulkan gangguan neurologis yang berat, emboli dengan ukuran yang sama bila
masuk ke jaringan lain dapat tidak memberikan gejala sama sekali.
Emboli intra kranial terutama berada di hemisfer serebri, hal ini disebabkan
oleh karena jumlah darah yang melalui arteri karotis (300ml/menit) jauh lebih banyak
daripada yang melalui arteri vertebralis (100ml/menit), selain itu juga disebabkan oleh
karena aliran yang berkelok kelok dari arteri subklavia untuk dapat mencapai sistem
vertebralis.
Emboli mempunyai predileksi pada bifurkasio arteri terutama pada cabang
a.cerebri media, bagian distal a.basilaris dan a.cerebri posterior. Kebanyakan
emboli terdapat di arteri cerebri media, bahkan emboli ulang pun memilih arteri ini
juga, hal ini disebabkan karena arteri cerebri media merupakan percabangan langsung
dari arteri karotis interna, dan arteri cerebri media akan menerima 80% darah yang
masuk ke arteri karotis interna. Medula spinalis jarang terserang emboli, tetapi emboli
dari abdomen dan aorta dapat menimbulkan sumbatan aliran darah ke medula spinalis
dan menimbulkan gejala defisit neurologis.
Berbeda dengan emboli pada atherosklerosis, emboli dari jantung terdiri dari
gumpalan darah (klot) yang lepas daya ikatnya dari dinding pembuluh darah atau
jantung, emboli ini dapat pecah dan pindah ke pembuluh darah yang lebih distal
sehingga bila dilakukan pemeriksaan angiografi setelah 48 jam emboli biasanya sudah
tidak tampak.
Pembentukan emboli yang menoklusi arteri di otak bisa bersumber dari
jantung sendiri atau berasal dari luar jantung, tetapi pada perjalanannya melalui
jatung, misalnya sel tumor, udara dan lemak pada trauma, parasit dan telurnya. Yang
sering terjadi adalah emboli dari bekuan darah (clots) karena penyakit jantungnya
sendiri. Trombus intracardiak di atrium ventrikel kiri paling sering menyebabkan
emboli, walaupun trombus di atrium, ventrikel kanan dan ekstremitas dapat
menyebabkan emboli otak melalui septal defek di jantung. Trombus di ventrikel kiri
dapat pula terjadi karena proses koagulopati trombosik tanpa disertai kelainan
jantung.
Caplan LR (1991) membagi berbagai tipe dari bahan emboli yang berasal dari
jantung, yaitu:
a. Trombus merah, trombus terutama mengandung fibrin (aneurisma
ventrikel)
b. Trombus putih, aggregasi pletelet – fibrin (Infark miokard)
c. Vegetasi endocarditis marantik
d. Bakteri dan debris dari vegetasi endocarditis
e. Kalsium (kalsifikasi dari katup dan anulus mitral)
f. Myxoma dan framen fibroelastoma
1. Pembentukan emboli dari jantung
Pembentukan trombus atau emboli dari jantung belum sepenuhnya diketahui, tetapi
ada beberapa faktor prediktif pada kelainan jantung yang berperan dalam proses
pembentukan emboli, yaitu:
a. Faktor mekanis
Perubahan fungsi mekanik pada atrium setelah gangguan irama (atrial
fibrilasi), mungkin mempunyai korelasi erat dengan timbulnya emboli.
Terjadinya emboli di serebri setelah terjadi kardioversi elektrik pada pasien
atrial fibrilasi. Endokardium mengontrol jantung dengan mengatur kontraksi
dan relaksasi miokardium, walaupun rangsangan tersebut berkurang pada
endokardium yang intak. Trombus yang menempel pada endokardium yang
rusak (oleh sebab apapun), akan menyebabkan reaksi inotropik lokal pada
miokardium yang mendasarinya, yang selanjutnya akan menyebabkan
kontraksi dinding jantung yang tidak merata, sehingga akan melepaskan
material emboli.
Luasnya perlekatan trombus berpengaruh terahadap terjadinya emboli.
Perlekatan trombus yang luas seperti pada aneurisma ventrikel mempunyai
resiko (kemungkinan) yang lebih rendah untuk terjadi emboli dibandingkan
dengan trombus yang melekat pada permukaan sempit seperti pada
kardiomiopati dilatasi, karena trombus yang melekat pada oermukaan sempit
mudah lepas.
Trombus yang mobil, berdekatan dengan daerah yang hiperkinesis, menonjol
dan mengalami pencairan di tengahnya serta rapuh seperti pada endokarditis
trombotik non bakterial cenderung menyebabkan emboli.
b. Faktor aliran darah
Pada aliran laminer dengan shear rate yang tinggi akan terbentuk
trombus yang terutama mengandung trombosit, karena pada shear rate yang
tinggi adesi trombosit dan pembentukan trombus di subendotelial tidak
tergantung pada fibrinogen, pada shear rate yang tinggi terjadi penurunan
deposit fibrin, sedangkan aggregasi trombosit meningkat. Sebaliknya pada
shear rate yang rendah seperti pada stasis aliran darah atau resirkulasi akan
terbentuk trombus yang terutama mengandung fibrin, karena pada shear rate
yang rendah pembentukan trombus tergantung atau membutuhkan fibrinogen.
Stasis aliran darah di atrium, merupakan faktor prediktif terjadinya
emboli pada penderita fibrilasi atrium, fraksi ejeksi yang rendah, gagal
jantung, infark miokardium, kardiomiopati dilatasi
c. Proses trombolisis di endokardium
Pemecahan trombus oleh enzim trombolitik endokardium berperan
untuk terjadinya emboli, walupun pemecahan trombus ini tidak selalu
menimbulkan emboli secara klinik. Hal ini telah dibuktikan bahwa bekuan
(clot) setelah Infark miocard, menghilang dari ventrikel kiri tanpa gejala
emboli dengan pemeriksaan ekhokardiografi. Keadaan kondisi aliran lokal
yang menentukan kecepatan pembentukan deposit platelet disertai dengan
kerusakan endotelium yang merusak proses litik, kedua hal ini akan
menyebabkan trombus menajdi lebih stabil.
2. Patofisiologi Terbentuknya Tromboembolik Pada Fibrilasi Atrial
Pada FA, aktivitas sistolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan
atrial flow velocities yang menyebabkan stasis pada atrium kiri dan memudahkan
terbentuknya trombus.1
Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak dijumpai
pada pasien FA dengan stroke emboli dibandingkan dengan FA tanpa stroke
emboli. Dua pertiga sampai tiga perempat stroke iskemik yang terjadi pada apsien
dengan FA non-valvular karena stroke emboli. Beberapa penelitian
menghubungkan FA dengan gangguan hemostasis dan trombosis. Kelainan
tersebut mungkin akibat dari stasis atrial tetapi mungkin juga sebagai kofaktor
terjadinya tromboemboli pada FA.1
Kelainan - kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand
(faktor VII), fibrinogen, D-dimer dan fragmen protombin 1,2. Sohaya et al
melaporkan FA akan meningkatkan agregrasi trombosit, koagulasi, dan hal ini
dipengaruhi oleh lamanya FA.1

D. RISIKO STROKE PADA PASIEN FIBRILASI ATRIAL


Pasien dengan FA yang berlangsung < 48 jam dan tanpa resiko stroke dapat
diberikan low molecular weight heparin (LMWH), namun apabila FA berlangsung > 48
jam atau diragukan durasi terjadinya aritmia, dapat digunakan Transesofageal
Echocardiography untuk melihat adanya trombus di dalam jantung terutama di Left
Atrial Apendages (LAA). Pasien dengan LAA paroksimal yang memiliki faktor resiko,
memiliki kemungkinan yang sama dengan pasien dengan persisten dan permanen untuk
mengalami stroke.1
Tabel 2. Resiko terjadinya Stroke pada pasien FA menurut skor CHA2DS2VASc
Faktor Resiko Mayor Faktor Resiko “Non Mayor”
Riwayat stroke, TIA atau systemic Gagal Jantung (moderate-severe-systolic-
embolism dysfunction), LV EF ≤ 40%
Usia ≥ 75th Hipertensi, DM, jenis kelamin wanita,
Usia 65-74th, penyakit vaskular

Tabel 3. Faktor Resiko dan skor CHA2DS2VASc


Faktor Resiko Skor
C Congestive Heart Failure (CHF) 1
H Hipertensi 1
A2 Age (Usia ≥ 75th) 2
D Diabetes Mellitus 1
S2 Riwayat stroke / TIA/ Tromboemboli 2
V Penyakit Vaskular 1
A Age (Usia 65-74th) 1
Sc Sex Category (perempuan) 1
Total 9
Total skor 9, faktor resiko usia dapat bervariasi mulai dari 0, 1, 2.
Beberapa ahli mengatakan bahwa skor CHA2DS2VASc terlalu sulit untuk memiliki
kecenderungan untuk mendapatkan hasil > 2. Maka ada yang masih menggunakan
scoring yang terdahulu yaitu CHADS2. Skoring tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:1
Tabel 4. Skoring CHADS2
Faktor risiko CHADS2 Skor
C Gagal Jantung 1
H Hipertensi 1
A Usia > 75 th 1
D DM 1
S2 Riwayat Stroke atau TIA 2
Baik skoring CHA2DS2VASc maupun CHADS2 akan menjadi panduan untuk
pemberian terapi stroke dengan fibrilasi atrial.
E. PENATALAKSANAAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan FA adalah mengembalikan ke
iram asinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi khususnya
tromboemboli. Dalam penatalaksanaan FA perlu diperhatikan apakah pada pasien
tersebut dapat konversi ke irama sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama
ventrikel.1
Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera
melakukan konversi, sedangkan pada FA permanen sedikit sekali kemungkinan atau
tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif pengobatan dengan menurunkan
laju iram aventrikel harus dipertimbangkan.1
Berikut manajemen pengelolaan pasien dengan FA menurut NHS (GRASP-AF
tool):1
1. Penemuan pasien dengan fibrilasi atrial
2. Pertimbangkan faktor risiko
3. Hitung skor CHA2DS2VASc atau CHADS2
4. Ketahui Pengobatan yang sedang dijalani saat ini
5. Pertimbangkan apakah pasien perlu mendapatkan antikoagulan atau tidak
6. Ketahui faktor resiko stroke pada pasien.
1. Kendali Laju Irama Ventrikel
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat
mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal
kalsium non-dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan
hemodinamik stabil. Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin hanya boleh
dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik ventrikel yang masih baik. Obat
intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk mengontrol respon irama
ventrikel. Digoksin atau amiodaron direkomendasikan untuk mengontrol laju
ventrikel pada pasien dengan FA dan gagal jantung atau adanya hipotensi. Namun
pada FA dengan preeksitasi obat terpilih adalah antiaritmia kelas I (propafenon,
disopiramid, mexiletine) atau amiodaron.2
Pada layanan kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan
sekunder/tersier, untuk sementara kendali laju dapat dilakukan dengan pemberian
obat antiaritmia oral. Diharapkan laju jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam
setelah pemberian antagonis kanal kalsium (diltiazem 30 mg atau verapamil 80
mg), penyekat beta (propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50
mg). Dalam hal ini penting diperhatikan untuk menyingkirkan adanya riwayat dan
gejala gagal jantung. Kendali laju yang efektif tetap harus dengan pemberian obat
antiaritmia intravena di layanan kesehatan sekunder/tersier. 2
Fibrilasi atrium dengan respon irama ventrikel yang lambat, biasanya
membaik dengan pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan
pemberian atropin pasien masih simtomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi
atau pemasangan pacu jantung sementara. 2

2. Kendali irama sinus pada FA


Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien FA. Pasien yang mengalami hemodinamik tidak stabil
akibat FA harus segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama
sinus.Pasien yang masih simtomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun
strategi kendali laju telah optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis
dengan obat antiaritmia intravena atau kardioversi elektrik. 2

Dosis Obat untuk Mempertahankan Irama Sinus pada FA1


Obat Dosis Harian
Amiodaron 600mg/hari selama 4 minggu, 400mg untuk 4
minggu dilanjutkan 200 mg
Disophyramide 3 x 100-200 mg
Dofetilide 500-1000 mikro gram
Flecainide 3 x 100-200 mg
Procainamide 1000-4000 mg
Propafenon 3 x 150-300mg
Quinidine 600-1500 mg
Sotalol 2 x 80-160 mg
Dronedarone 2 x 400 mg

Saat pemberian obat antiaritmia intravena pasien harus dimonitor untuk


kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat, disfungsi nodus sinoatrial (henti
sinus atau jeda sinus) atau blok atrioventrikular. Obat intravena untuk kardioversi
farmakologis yang tersedia di Indonesia adalah amiodaron. Kardioversi dengan
amiodaron terjadi beberapa jam kemudian setelah pemberian.2
3. Kardioversi Elektrik
Pasien FA dengan hemodinamik yang tidak setabli akibat laju irama ventrikel
yang cepat disetai tanda iskemia, hipotensi, syncope perlu segera dilakukan
kardioversi elektrik. Kardioversi elekstrik dimulai dengan 100 J (bifasik). Bila
tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 200 J. Pasien dipuasakan dan dilakukan
anestesi dengan obat anestesi kerja pendek. 1
Untuk pasien yang stabil, Transesofaegal Echocardiography (TEE) sebaiknya
dilakukan sebelum melakukan kardioversi secara elektrik, kecuali FA berlangsung
> 48 jam atau pasien telahmendapatkan asntikoagulan oral 3 minggu sebelumnya.
Kardioversi dinyatakan berhasil apabila didpatkan satu atau dua gelombang P
setelah kardioversi. 1
4. Terapi Antitrombotik untuk pasien Stroke dengan AF
Skor CHA2DS2-VASc sudah divalidasi pada berbagai studi kohor dan
menunjukkan hasil yang lebih baik untuk mengidentifikasi pasien-pasien FA yang
benar-benar risiko rendah tetapi juga sebaik atau mungkin lebih baik dari skor
CHADS2 untuk identifikasi pasien FA yang akan mengalami stroke dan
tromboemboli. Skor CHA2DS2-VASc juga memperbaiki penaksiran risiko pada
FA risiko rendah pascaablasi.2
Warfarin dan aspirin menurunkan kejadian stroke pada pasien dengan FA
dan warfarin jauh lebih efektif dibandingkan dnegan aspirin. 1
Rekomendasi Tromboprofilaksis pada pasien FA berdasarkan CHA2DS2-VASc
Kategori risiko Skor Antitrombotik terapi yang disarankan
CHA2DS2-
VASc
1 faktor risiko mayor atau ≥2 Antikoagulan oral (vitamin K antagonis
≥2 faktor risiko non mayor dengan INR 2,0-3,0) (Target 2,5) Warfarin
1 faktor risiko non mayor 1 Antikoagulan oral atau Aspirin 75-
325mg/hari (lebih disarankan antikoagulasi
oral daripada Aspirin)
Tidak terdapat faktor risiko 0 Aspirin 75-325mg/ hari atau tidak diperlukan
antitrombotik terapi (lebih disarankan tidak
digunakan anti-trombotik terapi
dibandingkan pemberian aspirin)

 Resiko Terjadinya Pendarahan


Sebelum pasien mendapatkan anti-koagulan, harus ditentukan apakah pasien
berisiko untuk terjadi pendarahan, dilaporkan terjadi pendarahan intraserebral pada
pasien usia lanjut dengan FA sebesar 0,1-0,6 %. Resiko pendarahn meningkat
dengan patokan INR > 3,5 – 4,0. Risiko pendarahan lebih rendah didapatkan bila
INR 2,0-3,0.1
Skoring HAS-BLED untuk menentukan risiko perdarahan1
Karakteristik Skor
H Hipertensi (tekanan sistolik >160mmHg) 1
A Abnormalitas fungsi hati (sirosis/ bilirubin meningkat > 2x 1 atau 2
batas normal, SGOT, SGPT, alkalin fosfatase > 3x batas
normal) dan ginjal (masing-masing 1 skor)
(bila terdapat dialisis kronil, transplantasi ginjal atau
Cr serum > 200)
S Stroke 1
B Bleeding 1
L INR yang labil (INR yang tidak stabil selama perawatan <60%) 1
E Elderly (usia > 65th) 1
D Drugs (Obat-obatan antiplatelet, NSAID atau alkohol, masing- 1 atau 2
masing 1 skor)
Total 9
Pasien dengan HAS-BLED ≥ 3 mempunyai faktor risiko tinggi mengalami
pendarahan. Disebutkan oleh EHS-AF bahwa tidak perlu diberikan antikoagulan
bila skor HAS-BLED > Skor CHADS2 atau skor HAS-BLED > 2 dengan skor
CHADS2 0/1 atau skor HAS-BLED > 3 dengan skor CHADS2 2. Dengan patokan
tersebut, dapat mencegah risiko pendarahan sebesar 12,1% pada pasien FA bila
diberikan antikoagulan. 1
5. Manajemen jangka panjang FA
Hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen jangka panjang pasien atrial
fibrilasi antara lain adalah:
1. Pencegahan terjadinya trombo-emboli
2. Mengatasi gejala klinis yang timbul
3. Manajeman yang optimal terhadap ancaman penyakit jantung yang menyertai
4. Pengontrolan denyut jantung
5. Koreksi terhadap gangguan ritme jantung.
BAB III
PEMBAHASAN

Tn. T usia 77 tahun datang ke IGD RSUD Salatiga bersama keluarganya dengan
kondisi kesadaran menurun. Pasien tidak dapat diajak komunikasi. Anamnesis dilakukan
dengan keluarga pasien. Berdasarkan dari alloanmnesis, 3 hari SMRS pasien merasa
lemas, sesak, mual (+) dan muntah (+), nyeri kepala berat (-), semakin hari semakin
lemas. Kemudia keluarga membawa pasien ke RS Puri Asih dan di opnam selama 2 hari
2 malam. Sejak saat itu pasien mengalami penurunan kesadaran, tidak bisa diajak
komunikasi. Dari RS Puri Asih pasien sudah dilakukan CT Scan dengan hasil lesi
multiple cerebellum dan lobus occipitalis curiga brain tumor (SOL). Kemudian pasien
dirujuk ke RSUD Salatiga dan dilakukan CT scan ulang. Saat masuk di RSUD Salatiga
pasien tetap dalam kondisi penurunan kesadaran dan diindikasikan untuk pindah ke ICU.
Keluarga tidak begitu mengerti dengan keluhan pasien sebelum-sebelumnya karena tidak
ada yang tinggal serumah. Hanya selama akhir-akhir ini, pasien tidak pernah mengeluh
sakit. Pasien mempunyai riwayat hipertensi (+) dan menyangkal adanya riwayat
stroke/TIA (-), DM (-), penyakit jantung (-) dan konsumsi obat-obatan terlarang/alkohol
(-).

Berdasarkan alloanamnesis anamensis didaptakan pasien dengan penurunan


kesadaran dengan GCS E1V1M1, 3 hari sebelumnya lemas, mual (+) muntak (+) dan sesak
(+). Pada pemeriksaan tanda vital saat pasien datang didapatkan dua hasil yang abnormal
yaitu TD: 164/78 mmHg, denyut jantung: 165x/menit, denyut nadi: 97x/menit. Kenaikan
tekanan darah pasien berdasarkan JNC 7 sudah termasuk hipertensi grade II. Frekuensi
denyut jantung pada pasien menunjukkan terjadinya pulsus defisit (frekuensi denyut nadi
yang kurang bila dibandingkan dengan frekuensi denyut jantung di dada dengan stetoskop)
dengan takikardi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara ronkhi basah (+/+) dan stridor
pernafasan (+/+) dikedua thorax dan pada pemeriksaan foto rontgen didapatkan gambaran
bronkopneumonia dengan limfadenopati dextra yang menunjukkan adanya
bronkopneumonia. Bunyi jantung S1-S2 terdengar irregular

Pada pemeriksaan EKG didapatkan irama sinus dengan interval R-R memendek dan
tidak teratur/irregular, yang menunjukkan kondisi takiaritmia, gelombang P tidak jelas. Hal
ini menunjukkan adanya kondisi takikardi dan atrial fibrilasi (Atrial Fibrilasi respon tipe
cepat). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit naik (15,80  16,81) yang
menandakan adanya infeksi. Ureum naik (105 68) dan creatinin masih normal. Namun
didapatkan bahwa balance cairan pasien input dan output tidak seimbang (input 650-output
400, input 1157-output 600) dalam hal ini mungkin mnegarah ke gangguan ginjal akut. Pada
pemeriksaan FT4 menunjukkan hasil kenaikan serum yaitu 2,02 (normalnya 0,70-1,48) tanpa
disertai adanya tanda-tanda hipertiroidism, dalam hal ini mungkin mengarah ke gangguan
tiroktosikosis (kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi)

Pada pemeriksaan CT scan dengan contras didaptkan hasil gambaran SNH bilateral di
daerah substantia alba lobus oksipitalis Dx/Sn, corpus callosum forceps minor Dx/Sn, dan
Crus Posterior Sn. Dengan klinis pasien penurunan kesadaran, bagian otak yang mengatur
kesadaran adalah pons (atau batang otak) hal ini juga memungkinkan adanya lesi pada pons
cerebri.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, yang ada pada
pasien, mengarah pada diagnosis Stroke kardioemboli et causa atrial fibrilasi respon ventrikel
tipe cepat. Dalam hal ini, kejadian AF sangat mempengaruhi stroke. AF menjadi faktor risiko
strok 15-20%. Berdasarkan awitan dan durasinya, atrial fibrilasi pada pasien ini termasuk
dalam kelompok serangan pertama karena pasien mengaku sebelumnya tidak pernah terjadi.
Atrial fibrilasi pada pasien juga mengarah ke FA persisten, dalam 48 jam irama pasien belum
kembali ke normal.

Prinsip penatalaksanaan Fibrilasi Atrial adalah mengembalikan ke irama sinus,


mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli. Pada pasien ini
cukup mengendalikan laju ventrikel tanpa dilakukan kardio versi elektrik karena kondisi
hemostasisnya masih stabil. Obat-obatan pengendali laju vntrikel yang diberikan pada pasien
ini adalah digoxin 2 x 1. Dosis IV aman adalah 0,5-1mg. Digoxin merupakan pilihan utama
dalam pengendalian laju irama ventrikel
Dalam pasien stroke kardioemboli, penatalaksanaan yang perlu diperhatikan juga
adalah pemberian obat-obatan anti-koagulan. Penggunaan antikoagulan harus
dipertimbangkan apakah perlu diberikan atau tidak . Perludilakukan skoring terlebih dahulu
menggunakan skor CHA2DS2VASc. Pada pasien ini, CHA2DS2VASc skor nya adalah 3.
sehingga perlu diberikan antikoagulan. Namun pemberian antikoagulan juga harus
memperhatikan HAS-BLED skor (yaitu skor untuk menentukan risiko pendarahan). HAS-
BLED skor pasien ini adalah 2. Dengan hasil skor tersebut tidak terdapat risiko pendarahan,
pada pasien ini boleh diberikan antikoagulan. Berdasarkan hasil CHA2DS2VASc 3,
pemberian antikoagulan yang direkomendasikan adalah antikoagulasi (vitamin K agonis dan
antikoagulan baru dengan INR 2,0-3,0). Pada kasus ini, terapi antikoagulan yang diberikan
adalah Clopidogrel 1x75 mg. Clopidogrel merupakan jenis anti-agregrasi trombosit yang
sering digunakan pada pasien stroke. Sama halnya dengan aspirin.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sally Aman Nasution, Ryan Ranitya, Eka Ginanjar. Fibrilasi Atrial. Dalam : Sudoyo, Aru,
W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti
(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi VI. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.
p. 1365-1379

2. Yuniadi Y, Tondas AE, Hanafy DA, Hermanto DY, Maharani E, Munawar M, et al.
Pedoman tatalaksana fibrilasi atrium. 1st ed. Centra Communications: PERKI;
2014 .p. 1-82.

3. Arif, Andy. Tanto, Chris. Anindhita, Tiara. Stroke. Dalam : Tanto, Chris. Liwang, Frans.
Hanifan, Sonia. Pradipta, Eka. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi IV. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapius. 2014. p. 975-980

4. Caplan LR. Stroke a clinical approach.2nd ed. US : Butterwort, 1993. p. 349-368

5. Paulsen F & Waschke J. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Jilid I. Edisi 23. Jakarta: EGC.
p. 138-146

6. Ganong, W.F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Ke-22. Jakarta: EGC: 2008

Anda mungkin juga menyukai