Anda di halaman 1dari 20

PRESENTASI KASUS

RHINITIS ALERGI

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu THT di RSUD Salatiga

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

Rista Nurul Fitria


20174011076

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul

RHINITIS ALERGI

Disusun Oleh :

Rista Nurul Fitria

20174011076

Telah dipresentasikan

Hari/tanggal: Rabu, 21 Maret 2018

Disahkan oleh:

Dokter pembimbing,

dr. Yunie Wulandari, Sp. THT


BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. C

Umur : 14 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Siswa

Status pernikahan : Belum menikah

Alamat : Ketapang

Tanggal Masuk Poli : 06 Maret 2018


ANAMNESIS

Keluhan Utama

Hidung sering bersin.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Salatiga dengan keluhan hidung sering bersin lebih
dari 5x sehari, terasa penuh seperti tersumbat sejak 2 minggu yang lalu. Selain itu pasien
mengeluhkan disertai batuk tidak berdahak, dan pusing (+). Mual (-) muntah (-). Hidung
sering bersing dan mengeluarkan cairan berwarna bening, encer. Tidak berdarah. Bersin
diraskan menjadi lebih berat saat ada udara dingin pada pagi hari atau terkena debu . Keluhan
dirasakan menjadi lebih ringan saat istirahat, tidur. Pasien merasa sangat terganggu dengan
keluhannya hingga kadang-kadang tidak bisa tidur dan malas berkativitas/bermain, serta
mengganggu belajarnya. Terkadang pasien mengeluhkan telinga kiri nya terasa gatal kadang-
kadang, telinga keluar cairan (-), berdenging (-), terasa penuh (-) pendengaran turun (-).
Telinga kanan tidak ada keluhan. Pasieng juga menyangkal adanya keluhan di tenggorokan
seperti sulit menelan (-), sulit bernapas (-). Keluhan pada mata sperti pandangan kabur (-),
mata berair (-). Keluhan lain disangkal. Pasien belum pernah berobat sebelumnya dan belum
mengkonsumsi obat sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat keluhan serupa (-), hipertensi (-), DM (-), alergi (-), asthma (-).

Riwayat Penyakit Keluarga

Adanya anggota keluarga yang memiliki keluhan yang serupa (-),hipertensi (-), DM (-), alergi
(-), asthma (-).

Riwayat Personal Sosial

Pasien saat ini tinggal dengan ibu dan ayahnya. Pasien adalah siswa SMP. Riwayat konsumsi
rokok (-), alkohol (-), obat-obatan terlarang (-). Pasien memiliki kebiasaan sering minum es.

PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum : cukup
b. Kesadaran : compos mentis
c. GCS : E4M6V5 = 15
d. Vital Sign :
TD :-
N : 86 x/menit
R : 23 x/menit
S : 36,7 °C
e. Status Generalis
- Kepala : normocephal
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek cahaya
(+/+), allergic shiner (+), edema (-) eritema (-), mata berair (-)
- Leher : Trakea di tengah, limfonoduli tidak teraba, JVP tidak meningkat KGB tidak
membersar
- Thorax
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba, tidak kuat angkat
Perkusi : Tidak ditemukan cardiomegali
Auskultasi : S1S2 reguler, bising (-), gallop (-)

Pulmo
Inspeksi : Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD : Vesikuler
ST : Tidak ada
- Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+), massa (-), hepar/lien tidak teraba
Perkusi : Timpani seluruh lapangan abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
- Ekstremitas : superior : edema (-)
Inferior : edema (-)

f. Status THT
Dextra Sinistra
Telinga
Bentuk : Normotia Normotia
Liang telinga : Lapang Lapang
Serumen : (-) (-)
Discharge : (-) (-)
Membran timpani : Intak Intak

Hidung
Bentuk : Normal
Cavum nasi : Sempit Sempit
Septum Nasi : Normal
Konka Inferior : Eutrofi, Livid (+) Hipertrofi, Livid (+)

Tenggorokan
Uvula : Ditengah
Tonsil : T2 T2.
Dpp : Normal`
Kripta : (-) (-)
Detritus : (-) (-)

DIAGNOSA KERJA
Rhinitis Allergi Intermitten deraja sedang-berat.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
TERAPI
- Rhinofed tablet 2x1 hari
- Metylprednisolon tablet 4mg 2x1 hari
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Rinitis adalah inflamasi pada lapisan dalam hidung yang dikarakterisasi


dengan adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior atau posterior, bersin-bersin,
hidung tersumbat, dan/atau hidung gatal. Rinitis alergi adalah wujud yang paling
sering ditemui dari rinitis non-infeksi dan berkaitan dengan respon imun setelah
paparan allergen yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE). Rinitis alergi sering
pula memicu simptom okular.

Menurut Von Pirquet, rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang


disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparna ulangan dengan alergen spesifik tersebut.

II. ETIOLOGI

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi


genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies and Higler., 1997). Penyebab
rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-
anak. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa allergen sekaligus. Penyebab rinitis
alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Allergen yang menyebabkan rinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Berbagai pemicu yang bisa
berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap
rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca
(Becker et al., 1994).

III. IMMUNOPATOGENESIS

Mukosa saluran nafas selalu terpapar oleh bermacam alergen yang terbawa
oleh udara nafas. Pada penderita yang mempunyai bakat alergi alergen yang terbawa
udara nafas akan menyebabkan sensitasi mukosa respirasi. Akibat sensitisasai ini
apabila terjadi paparan berikutnya akan menimbulkan gejala alergi. Selelngkapnya
imunopatologenesis rhinitis alergi adalah sebagai berikut.
1) Sensitisasi
Respon imun dalam alergi diawali dengan proses sensitisasi di mana ketika
suatu allergen terhirup, maka Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel
langerhans pada epitelium yang melapisi saluran paru-paru dan hidung, akan
memproses dan mengekpresikan alergen tersebut pada permukaan sel. Allergen
tersebut kemudian akan dipresentasikan kepada sel lain yang terlibat dalam
respon imun, khususnya sel t-limfosit. Melalui beberapa interaksi sel spesifik
kemudian sel b-limfosit akan bertransformasi menjadi antibody secretory cell,
yaitu sel plasma (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).
Pada respon alergi, sel plasma tersebut memproduksi antibodi IgE yang
seperti isotip imunoglobulin lainnya, mampu berikatan dengan allergen spesifik
melalui sisi Fab-nya. Ketika IgE sudah terbentuk dan memasuki sirkulasi, ia akan
berikatan melalui sisi Fc-nya dengan reseptor afinitas tinggi di sel mast,
sementara sisi reseptornya yang bersifat spesifik terhadap allergen akan siap
untuk berinteraksi dengan allergen pada paparan berikutnya. Sel lain yang telah
diketahui mampu mengekspresikan reseptor afinitas tinggi kepada IgE antara lain
adalah basofil, sel langerhans, dan monosit yang teraktivasi. Produksi antibodi
IgE yang bersifat allergen-spesific inilah yang menimbulkan respon imun yang
disebut sensitisasi (World Allergy Organization, 2003).
2) Reaksi Alergi Fase Cepat
Merupakan reaksi cepat yang terjadi dalam beberapa menit, dapat
berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator
yang berperan pada fase ini yaitu histamin, triptase, dan mediator lain seperti
leukotrien, prostaglandin (PGD2), dan bradikinin. Mediator-mediator tersebut
menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari
anastomosis arteri yang menyebabkan terjadi edema, berkumpulnya darah pada
karvenous sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari
saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet
menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa gatal
pada hidung dan bersin-bersin (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).
b. Reaksi Laergi Fase Lambat
Reaksi alergi fase lambat terjadi 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini
disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel
endotel post-kapiler yang menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule
(VCAM) di mana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil
menempel pada dinding endotel. Faktor kemotaktik seperti interleukin-5 (IL-5)
menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast, limfosit, neutrofil, dan
makrofag ke dalam mukosa hidung.
Sel-sel ini kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain
seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) yang
menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan hiperresponsivitas hidung. Gejala klinis
yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung
(Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).

IV. KLASIFIKASI RHINITIS ALERGI


Rinitis berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Rinitis alergi : disebabkan oleh adanya allergen yang terhirup oleh hidung.
b. Rinitis non-alergi : disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu. Rinitis non-
alergi dibagi lagi menjadi tiga, yaitu rinitis vasomotor, rinitis medicamentosa, dan
rinitis struktural.
1) Rinitis vasomotor
Merupakan tipe rinitis di mana terjadi reaksi hiperresponsivitas
pada saluran pernapasan bagian atas terhadap faktor pemicu eksternal non-
spesifik, seperti perubahan suhu dan kelembaban, asap rokok, atau aroma
tajam. Simptom yang sering muncul pada tipe ini adalah inflamasi nasal
(sebagian kecil pasien), hiperreaktivitas parasimpatik dan/atau glandular.
2) Rinitis medicamentosa
Rinitis medicamentosa adalah obstruksi nasal yang terjadi pada pasien
yang menggunakan vasokonstriktor intranasal secara kronis. Belum diketahui
dengan jelas penyebabnya, namun vasodilatasi dan edema intravaskular telah
menjadi implikasi utamanya. Penanganan >2mggivalrinitis medicamentosa
membutuhkan penghentian penggunaan nasal dekongestan untuk memulihkan
kondisi nasal, lalu diikuti dengan terapi sesuai dengan simptom yang timbul.
3) Rhinitis Struktural
Rinitis tipe ini disebabkan oleh adanya kelainan anatomi hidung yang
diakibatkan oleh injury (kecelakaan), congenital (kelainan bawaan), maupun
kelainan tumbuh-kembang. Pasien rinitis tipe ini dapat mengalami simptom
rinitis kapan saja dalam setahun dan biasanya keparahannya lebih tinggi pada
salah satu sisi hidung dibanding sisi lainnya (Northern Nevada Allergy Clinic,
2006).
c. Rhinitis alergi berdasarkan waktunya
1) Seasonal (hay fever)
Terjadi sebagai respon terhadap allergen spesifik seperti pollen, rerumputan,
dan alang-alang) pada waktu yang dapat terprediksi tiap tahunnya (musim
semi dan/atau gugur) dan umumnya memicu simptom-simptom akut lebih
banyak.
2) Perrenial (intermittent or persistent)
Dapat terjadi kapanpun sepanjang tahun, sebagai respon terhadap allergen
non-musiman seperti dust mites, bulu hewan, jamur, dan biasanya
menimbulkan simptom yang lebih kronis.
a) Intermittent
Seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe ini bila gejala rinitis
yang ia alami terjadi kurang dari 4 hari tiap minggunya, atau terjadi selama
tidak lebih dari empat minggu berturut-turut.
b) Persistent
Sedangkan seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe ini bila
gejala rinitis yang ia alami terjadi lebih dari 4 hari tiap minggunya, dan
terjadi selama lebih dari empat minggu berturut-turut.
3) Occupational Rinitis alergi yang terjadi sebagai akibat dari paparan allergen di
tempat kerja, misalnya paparan terhadap agen dengan bobot molekul tinggi,
agen berbobot molekul rendah, atau zat-zat iritan, melalui mekanisme
imunologi atau patogenik non-imunologi yang tidak begitu diketahui (Ikawati,
2011).
d. Berdassarkan berat-ringannya penyakit
1) Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguann aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2) Sedang-Berat
Bila terdapat salah satu atau lebih gangguan di atas.

V. DIAGNOSIS

a. Gejala dan tanda


Seseorang dapat diduga menderita rinitis alergi bila mengalami dua atau lebih
dari gejala-gejala rinore anterior dengan produksi air berlebih, bersin-bersin,
obstruksi nasal, rasa gatal atau pruritis pada hidung, atau konjungtivitis (jarang)
selama lebih dari satu hari (Bousquet et al., 2008).
b. Pemeriksaan fisik
Pada anak, hasil pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan adanya lingkaran hitam
di bawah mata (allergic shiners), adanya luka pada daerah hidung yang
disebabkan karena seringnya anak menggosok hidung, pernapasan adenoidal,
edema nasal yang dilapisi dengan lendir jernih, serta pembengkakan periorbital.
Simptom fisik lebih susah diamati pada orang dewasa (Schwinghammer in DiPiro
et al., 2009).
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan mikroskopik dari jaringan nasal biasanya menunjukkan jumlah
eosinofil yang sangat banyak. Penghitungan eosinofil darah periferal dapat
dilakukan, tapi sifatnya kurang spesifik dan kegunaannya terbatas. Uji
radioallergosorbent (RAST) dapat digunakan untuk mendeteksi IgE dalam darah
yang beraksi spesifik terhadap antigen tertentu, tapi uji ini tidak lebih efektif
ketimbang test perkutan (Bousquet et al., 2008).
d. Rinoskopi anterior atau Endoskopi nasal
Rinoskopi anterior menggunakan spekulum dan cermin dapat memberikan
informasi penting mengenai kondisi fisiologis pasien. Sementara endoskopi nasal
dibutuhkan untuk mengidentifikasi gejala gejala lain dari rinitis seperti polip
hidung dan abnormalitas anatomik lainnya. Kedua metode diagnosa di atas sering
digunakan untuk penegakan diagnosis pasien yang diduga menderita rinitis alergi
persisten.
e. Skin test Skin test atau skin prick test
Mampu mengidentifikasi allergen spesific IgE dalam serum. Test ini diperlukan
bila simptom yang dialami bersifat persisten dan/atau sedang sampai berat, atau
bila kualitas hidup pasien mulai terpengaruh.
f. Nasal challenge test
Test ini dilakukan ketika pasien diduga menderita rinitis alergi tipe occupational.
Test ini juga akan mengidentifikasi sensitivitas pasien terhadap faktor pemicu
tertentu secara spesifik.

VI. MANIFESTASI KLINIS

1. Gejala yang mendukung diagnosis rhinitis alergi (2 atau lebih gejala >1jam hampir
setiap hari rhinorea berat, bersinn paroksismal, obstruksi nasal, hidung gatal dan
konjungtivitis (mata berair, gatal, atau bengkak).
2. Gejala yang tidak mendukung diagnosis rhinitis alergi bersifat unilateral, obstruksi
nasal tanpa disertai gejala lainnya, rhinorea mukopurulen, post nasal drip, dengan
mukus tebal, tidak ditemui rhinorea anterior, nyeri, epistaksis berulang, dan
anosmia.
3. Tanda klinis yang diasosiasikan dengan rhinitis alergi:
a. Allergic shinner
Lingkaran hitam disekitar matadan berhubungan dengan vasodilatasi atau
kongesti nasal..
b. Nasal/Allergic Crease
Suatu garis horisontal di dorsum hidung yang disebabkan oleh geseka
berulang ke atas pada ujung hidung oleh telapak tangan (dikenal sebagai
allergic salute)
c. Pemeriksaan hidung dengan spekulum hidung mukosa hidung edematosa atau
hipertrofi berwarna pucat atau biiru-keabuan. Sekret cair.
d. Pemeriksaan mata: injeksi dan pembengkakan konjungtiva palpebra dengan
produksi air matta berlebihan, garis Dennie-Morgen (gaaris dibawah kelopak
mata inferior)
e. Pemeriksaan Faring
Penampakan cobblestone (pemberngkakan jaringan limfoid pada faring
posterior) dan pembengkakan arkus faring posterior. Maloklusi dan lengkung
palatum yang tinggi dapat ditemukan pada pasien yang bernafas dengan mulut
secara berlebihan.
f. Pada anak dapat ditemukan hipertrofi adenoid (dari foto leher).
VII. TATA LAKSANA

a. Tujuan terapi:
3) Meningkatkan kualitas tidur
4) Meningkatkan performa pasien di tempat kerja atau sekolah
5) Menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu aktivitas
6) Menghilangkan atau meminimalkan efek samping terapi

a. Strategi Terapi (Non-Farmako dan Farmako)


1) Terapi non-farmakologi
Salah satu terapi alergi adalah pencegahan terhadap paparan allergen. Namun,
pencegahan alergi tidak mudah, apalagi jika allergen penyebabnya belum bisa
dipastikan. Rumah harus kerap dibersihkan, tidak boleh memelihara binatang,
sebaiknya tidak menggunakan bantal atau kasur kapuk (diganti dengan busa atau
springbed) dan sebaiknya tidak menggunakan karpet.
Jika memungkinkan, perlu digunakan penyaring udara berupa Air Conditioner
(AC) atau High Efficiency Particulate Air (HEPA) filter. Hindarkan berada dekat
bunga-bunga pada musim penyerbukan, dan gunakan masker pada saat berkebun
(Ikawati, 2011).
Pembedahan juga dapat dilakukan. Yaitu tindakan konkotomi parsial
(pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured,
inferior turbinoplasty, perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan
tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat.

2) Terapi farmakologi
Tujuan terapi farmakologi untuk rinitis alergi adalah mencegah dan mengurangi
atau meminimalkan gejala. Obat-obat yang digunakan antara lain adalah:
antihistamin, dekongestan nasal, kortikosteroid nasal, antikolinergik dan
golongan kromolin (Ikawati, 2011).

VIII. OBAT-OBATAN YANG DIGUNAKAN

1. Oral antihistamin (H1-blocker)


H1-blocker atau H1-antihistamin adalah senyawa yang memblokir histamin
pada reseptor H1. H1-antihistamin oral efektif mengatasi gejala gejala rinitis yang
diperantarai oleh histamin, seperti rinore, bersin, hidung gatal dan gejala-gejala
pada mata, tapi kurang efektif untuk mengatasi hidung tersumbat. Obat golongan
ini terbukti aman untuk anak-anak.
Oral antihistamin generasi pertama menimbulkan efek samping yang
signifikan akibat sifat sedatif dan antikolinergiknya (ARIA, 2008). Contoh obat
golongan ini antara lain adalah cetirizin, loratadin, dan fexofenadin.
2. Lokal H1 antihistamin (intranasal, intraokular)
Intranasal H1-antihistamin beraksi efektif di tempatnya diadministrasikan
dalam mengatasi gejala hidung gatal, kemerahan, tersumbat dan bersin-bersin.
Intraokular H1-antihistamin efektif dalam mengurangi gejala alergi di mata.
Onset aksi obat golongan ini adalah sekitar 20 menit, dengan aturan pakai dua
kali sehari (ARIA, 2008).
Contoh obat golongan ini adalah azelastin, levocabastin dan olopatadin.
3. Lokal glukokortikosteroid
Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling baik dalam
penanganan rinitis alergi maupun non-alergi. Contoh obat golongan ini adalah
metilprednisolon, flutikason, mometason, dan lain sebagainya. Keuntungan
menggunakan intranasal glukokortikosteroid untuk penanganan rinitis alergi
adalah konsentrasi obat yang tinggi pada nasal mukosa dapat tercapai tanpa
adanya efek sistemik yang tidak diinginkan.
Obat golongan ini efektif memperbaiki semua gejala rinitis alergi maupun
gejala-gejala pada mata. Bila gejala hidung tersumbat dan gejala-gejala lain
sering diderita pasien, maka obat golongan ini adalah first line therapy yang
direkomendasikan di atas obat golongan lain. Melihat dari mekanisme aksinya,
efek obat ini baru muncul 7-8 jam setelah pemakaian, namun efikasi maksimum
kemungkinan baru tercapai dalam 2 minggu (Bousquet et al., 2008).
4. Oral/intramuskular glukokortikosteroid
Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan tidak merespon
terhadap obat-obatan lain atau intoleran terhadap sediaan intranasal, perlu
ditangani dengan glukokortikosteroid sistemik (misal: prednisolon) jangka
pendek. Glukokortikosteroid dapat diberikan dalam sediaan oral ataupun depot-
injection (misal: metilprednisolon).
Pemberian jangka panjang yaitu selama beberapa minggu, dapat menimbulkan
efek samping sistemik yang bermakna. Penggunaan intramuskular
glukokortikosteroid tidak disarankan (Bousquet et al., 2008).
5. Lokal kromon (intranasal, intraokular)
Obat golongan ini dikenal sebagai penstabil sel mast, karena bekerja dengan
mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, termasuk histamin.
Contoh obat golongan ini adalah kromoglikat dan nedokromil. Efek sampingnya
yang paling sering adalah iritasi lokal yaitu bersin dan rasa perih pada membran
mukosa hidung (Ikawati, 2011).
6. Dekongestan
Obat golongan ini merupakan golongan simpatomimetik yang beraksi pada
reseptor α-adrenergik pada hidung yang menyebabkan vasokonstriksi,
menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan. Contoh
obat golongan ini antara lain adalah pseudoefedrin dan oxymetazolin
(intranasal). Penggunaan agen topikal yang lama dapat menyebabkan rinitis
medicamentosa, oleh karena itu durasi terapi dengan dekongestan topikal
sebaiknya dibatasi 3-5 hari. Sedangkan dekongestan oral secara umum tidak
direkomendasikan, karena efek klinisnya masih meragukan dan banyak memiliki
efek samping (Ikawati, 2011).
7. Intranasal antikolinergik
Obat golongan ini beraksi dengan memblokir saraf kolinergik, efektif untuk
pasien rinitis alergi maupun non-alergi, yang menderita gejala rinore. Efek
samping topikal jarang ditemui, dan intensitasnya bersifat dose-dependent
(Bousquet et al., 2008). Contoh obat golongan ini adalah ipratropium.
8. Antileukotrien
Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor leukotrien. Contoh obat golongan
ini adalah montelukast, pranlukast dan zafirlukast. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa obat ini lebih efektif ketimbang placebo dan setara dengan
oral H1-antihistamin, tetapi kurang unggul dibanding intranasal
glukokortikosteroid dalam menangani rinitis alergi seasonal (Bousquet et al.,
2008)
9. Imunoterapi
Imunoterapi atau terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi rinitis
alergi. Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya diketahui. Obat
injeksi ini mengandung zat-zat allergen yang dianggap dapat memicu timbulnya
gejala alergi. Imunoterapi diindikasikan bagi pasien yang tidak mempan terhadap
farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan penghindaran allergen, dan telah
tersedia ekstrak allergen yang sesuai.
Imunoterapi dikontraindikasikan bagi pasien yang menderita asma yang tidak
stabil, penyakit paru atau kardiovaskuler yang berat, penyakit autoimunitas dan
kanker serta ibu hamil, karena beresiko menyebabkan reaksi anafilaksis sistemik
pada janinnya (Ikawati, 2011).

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah:

1. Polip hidung
Beberapa peniliti mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residitif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal.
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Salatiga dengan keluhan utama hidung sering
bersin lebih dari 5x sehari, keluhan lain disertai hidung terasa penuh seperti tersumbat sejak 2
minggu yang lalu. Selain itu pasien mengeluhkan disertai batuk tidak berdahak, dan pusing
(+). Mual (-) muntah (-). Hidung sering bersing dan mengeluarkan cairan berwarna bening,
encer. Tidak berdarah. Bersin diraskan menjadi lebih berat saat ada udara dingin pada pagi
hari atau terkena debu . Keluhan dirasakan menjadi lebih ringan saat istirahat, tidur. Pasien
merasa sangat terganggu dengan keluhannya hingga kadang-kadang tidak bisa tidur dan
malas berkativitas/bermain, serta mengganggu belajarnya. Terkadang pasien mengeluhkan
telinga kiri nya terasa gatal kadang-kadang, telinga keluar cairan (-), berdenging (-), terasa
penuh (-) pendengaran turun (-). Telinga kanan tidak ada keluhan. Pasieng juga menyangkal
adanya keluhan di tenggorokan seperti sulit menelan (-), sulit bernapas (-). Keluhan pada
mata sperti pandangan kabur (-), mata berair (-). Keluhan lain disangkal. Pasien belum pernah
berobat sebelumnya dan belum mengkonsumsi obat sebelumnya.

Pemeriksaan fisik vital sign didapatkan Nadi : 86 x/menit, Respirasi: 23 x/menit,


Suhu: 36,7 °C. Pemeriksaan status generalis mata ditemukan allergic shiner, pemeriksaan
thorax sampai abdomen dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis THT, pada telinga
dalam batas normal, pada pemeriksaan hidung didaptkan hipertrofi konka inferiro kiri, dan
berwarna pucat. Pemeriksaan tenggorokan dalam batas normal.
Pada kasus ini, pasien didagnosis rhinitis alergi intermitten derjata sedang-berat dan
diberikan terapi Rhinofed tablet 2x1 hari dan methyprednisolon 4mg tablet 2x1 hari.
adalahPemberian terapi pada kasus ini sudah benar sesuai dengan algoritma diagnosis dan
terapi rhinitis alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001. Berdasarkan diagnosis pasien
pemberian terapi yang dianjurkan Anti Histamin Oral/topikal atau
Antihistamin+Dekongestan oral atau Kortikosteroid topikal. Pemberian terapi di evaluasi 2-4
minggu. Jika terapi berhasil, lanjutkan 1 bulan. Jika terapi gagal, lanjutkan terapi maju 1
langkah berdasarkan algoritma terapi rhinitis alergi (WHO ARIA). Selain itu pasien juga
disarankan untuk tes alergi (skin prick test) untuk mengetahui allergen penyebab pasien. Dan
terapi yang utama adalah menghindari penyebab alergi, pemberian terapi farmakologi hanya
membantu pasien dan bersifat sementara.
DAFTAR PUSTAKA

1. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi


(ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK UI,
2001. h. 146-50.
2. Allergic Rhinitis And Its Impact on Asthma (ARIA) Workshop Report. ARIS At-A-
Glance Pocket Reference. Edisi ke-1; 2012.
3. Baratawidjaja KG, Rengganis Iris. Alergi Dasar Edisi 1. Jakarta:
InternaPublishing, 2011.
4. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens W, Togias A. ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008 Update In Collaboration with the World
Health Organizatio, GALEN, and AllerGen. Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma; 2008.
5. M u n a s i r Z a k i u d i n , R a k u n M a r t a n i W i d j a j a n t i . R i n i t i s A l e r g i B u k u
A j a r Alergi – Imunologi Anak Edisi 2 Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI
6. Tnato, Chris, Frans Liwang, dkk. Kapita Seleksta Kedokteran. Edisi ke II. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapius. 2014.
7. Toglas AG. Systemic Immunologic and Inflammatory aspect of allergics rhinitis. J
Allergy Clin Immunol. 2000:1065 (5Suppl):S247-50.

Anda mungkin juga menyukai