Diajukan Kepada :
Disusun Oleh :
Disusun Oleh:
Telah dipresentasikan
Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : An. R
b. Usia : 5 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Pabelan
e. Nomer CM : 15-16-3068**
f. Tanggal Masuk : 26 September 2018
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Kejang
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ibunya ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan kejang di
rumah sekitar 15 menit SMRS. Kejang hanya 1x di rumah selama kurang lebih 2
menit, semua tubuh bergerak tersentak, mata melotot dan pasien tidak sadar. Setelah
kejang, pasien menangis dan langsung dibawa ke IGD RSUD Salatiga.
Sesampai di IGD, pasien kejang lagi 1x selama kurang lebih 1 menit, kejang
seperti sebelumnya, tersentak seluruh tubuh, dan tidak sadar. Pasien sudah diberikan
obat stesolid 10 mg suppositoria saat di IGD.
Dari alloanamnesis, ibu pasien mengaku selama 3 hari ini pasien demam (+)
tidak terlalu tinggi, diukur dengan termometer di rumah sekitar 37,5-38,1º C. Sudah
diberi obat paracetamol namun tetap demam, ibu pasien juga mengeluhkan ada batuk
(+) pilek (+) dan muntah (+) 1x sehari sebelum masuk RS dengan konsistensi cair,
warna kuning, sebanyak ½ gelas belimbing. BAB cair (-) disangkal. BAK normal.
Nafsu makan beberapa hari ini menurun, masih bisa minum (+).
Pasien diindikasikan untuk rawat inap, setelah dipindah ke bangsal anak,
pasien tertidur, tidak kejang lagi, namun masih demam (+) dan batuk-pilek (+). BAB
3
(+) BAK (+). Pasien dirawat 3 hari di RS, selama di bangsal, demam pasien turun,
tidak ada kejang lagi, dan batuk pilek juga berkurang.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien pernah kejang disertai demam 2x selama ini (saat usia 1 tahun dan 3
tahun). Kejang selalu didahului dengan demam, kejang seluruh tubuh, dan
biasanya langsung di opnam di rumah sakit.
- Riwayat kejang tanpa demam disangkal.
- Riwayat trauma pada pasien disangkal.
- Riwayat alergi disangkal.
- Riwayat penyakit lain disangkal.
- Tidak rutin kontrol ke dokter anak saat post-opnam.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita sakit seperti ini.
4
Kesan: riwayat pemeliharaan postnatal baik.
h. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak
i. Pertumbuhan
Berat badan lahir 2600 gram. Panjang badan 48 cm.
Berat badan sekarang 12 kg. Tinggi badan 100 cm.
Status gizi: gizi kurang
ii. Perkembangan
1. Dari anamnesis ibu anak sudah bisa berjalan, berdiri 1 kaki, berbicara
beberapa kalimat dan mudah dimengerti, gosok gigi sendiri dan berpakaian
tanpa bantuan, sudah bisa menghitung kubus mainan, dan membedakan
warna.
Kesan: pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai umur
i. Riwayat Makan dan Minum Anak
ASI diberikan sejak lahir, dan MPASI setelah 6 bulan.
a. Tanda Vital
i. Tekanan darah :-
ii. Nadi : 110 x/menit, reguler, isi tegangan cukup
iii. Suhu : 39,3 0C, 38,4 0C.
iv. Pernapasan : 27 x/menit
v. SpO2 : 98%
5
b. Status Gizi
Data Antopometri
Anak perempuan, usia 2 bulan tampak gemuk
Berat Badan : 12 kg
Tinggi Badan : 100 cm
c. Status Generalis
i. Kepala : kesan mesocephal, uub cembung
ii. Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor (+/+), mata
cekung (-)
iii. Telinga : discharge (-)
iv. Hidung : secret (-), napas cuping hidung (-)
v. Mulut : bibir kering (-)
vi. Leher : pembesaran KGB (-)
vii. Thorax
Jantung
Inspeksi : ictus codis tampak
Palpasi : ictus cordis teraba dengan 1 jari dari ICS 5 linea midclavikula 2
cm ke medial, pulsus parasternal (-), pulsus epigastrium (-)
Perkusi : Batas Kanan = ICS III Parasternal line dextra
Batas Kiri = ICS V Midclavicula line sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-)
Kesan: Normal
Paru
Inspeksi : Pengembangan hemithoraks simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+), Ronki basah (-), Wheezing(-)
viii. Abdomen
6
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+), bising usus (+) normal
Perkusi : Tymphani di seluruh kuadran , shifting dullness (-)
Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba. Turgor kulit
lambat.
ix. Ekstremitas
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill time < 2”/ < 2” < 2”/ < 2”
x. Status Neurologis
Rangsang Meningeal:
a. Kaku kuduk : negatif
b. Brudzinsky I – IV
- Neck sign : negatif
- Cheek sign : tidak diperiksa
- Symphisis sign : tidak diperiksa
- Leg sign : negatif
c. Kernig sign : tidak diperiksa
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Darah Rutin 27/09/2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI
Jumlah Sel Darah
Leukosit 16,05* 4.5 – 11 ribu/mm³
Eritrosit 4,16 4 – 5,8 juta/uL
7
Hemoglobin 11,3 11.5 – 16.5 g/dl
Hematokrit 34,2 31-43 %
Trombosit 420 150.000 - 450.000/mm3
MCV 82,1 85-100 fL
MCH 27,2 28-31 pg
MCHC 33,1 30-35 %
Golongan darah ABO O
HITUNG JENIS
Neutrofil 77,7* 40-75%
Limfosit 18,1 20-45 %
Monosit 3,9 2-8 %
Eosinofil 0,1 1-6 %
Basofil 0,2 0.0-1.0 %
KIMIA
Glukosa Darah Sewaktu 102 <140
ELEKTROLIT
Natrium 135 135-155
Kalium 4,8 3,6-5,5
Chlorida 104 95-108
kalsium 11,4* 8,4-10,5
IMUNO/SEROLOGI
Salmonella Typhi O 1/160 Negatif
Salmonella Paratyphi AO 1/160 Negatif
Salmonella Paratyphi BO 1/80 Negatif
Salmonella Paratyphi CO 1/320 Negatif
Salmonella Typhi H 1/320 Negatif
Salmonella Paratyphi AH negatif Negatif
Salmonella Paratyphi BH 1/80 Negatif
Salmonella Paratyphi CH 1/80 Negatif
8
- Gangguan elektrolit
- SOL
- Bahan toksik
b. Kronik berulang: epilepsi
V. DIAGNOSIS KERJA
1. Diagnosis utama : Kejang Demam Kompleks, Typhoid Fever
VI. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana dari IGD:
O2 nk 1 lpm
Infus Kaen 3B 15 tpm
Inj. Paracetamol 150mg IV
Inj. Ondansetron 1mg IV
Saat kejang di IGD telah diberikan stesolid supp 10 mg.
Tatalaksana di bangsal:
O2 nk 1 lpm
Infus Kaen 3B 15 tpm
Inj. Paracetamol 3 x 120 mg IV
Inj. Cefotaxime 2 x 300 mg IV
Inj. Dexamethasone 0,5 cc (extra)
Cek darah rutin dan elektrolit
VII. PROGNOSIS
Qua ad vitam = bonam
Qua ad sanam = bonam
9
Qua ad fungsional = bonam
A : KDK
28/09/2017 S: kejang (+) kaki dan tangan, demam (-), P :
BB 12 kg muntah (-), bab ampas(+), batuk O2 NK 1 lpm
(berkurang), pilek (-) Infus Kaen 3B 15 tpm
makro
O: N:116kpm, RR: 22kpm, T :
36,5oC,SpO2 : 98%, CA(+/+) Inj. Paracetamol 3x120 mg
,ikt(-/-),mata cekung (-), Inj. Cefotaxim 2x300mg
sianosis(-),retraksi (-)
vesikuler(+),ronki(-),whez(-),supel,
BU(+),organomegali(-),asites (-) turgor
kulit kembali baik, edema ekstremitas (-),
akral hangat
A : KDK
10
29/9/2018 S: kejang (+) kaki dan tangan, demam (-), P :
BB 5 kg muntah (-), bab cair (-), batuk -), pilek (-) O2 NK 1 lpm
Infus Kaen 3B 15 tpm
O: N:108kpm, RR: 24kpm, T :
makro
36,0oC,SpO2 : 98%, CA(+/+)
,ikt(-/-),mata cekung (-), Inj. Paracetamol 3x120 mg
sianosis(-),retraksi (-) Inj. Cefotaxim 2x300mg
vesikuler(+),ronki(-),whez(-),supel, BLPL
BU(+),organomegali(-),asites (-) turgor Obat pulang:
kulit kembali baik, edema ekstremitas (-),
Cefixime syrup 2 x ½ cth
akral hangat
Paracetamol syrup 3x1 cth
A : KDK Apialys syrup 1x1 cth
Kontrol 5 hari post opnam
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai
5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 0C, dengan metode pengukuran
suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.
Keterangan:
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau
metabolik lainnya.
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang
demam.
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang
sekali.
4. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan
termasuk dalam kejang neonatus
1.2. Epidemiologi
Insiden kejang demam 2,2-5% pada anak di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih
sering dari pada perempuan dengan perbandingan 1,2–1,6:1.Pada 62,2% kemungkinan kejang
demam berulang pada 90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45%
pada 100 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan
12
khususnya kejang demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar
peneliti melaporkan angka kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2 – 5 %.
Kejang demam sering berhubungan dengan infeksi virus penyebab demam pada anak,
seperti herpes simpleks-6 (HHSV-6), Shigella, dan influenza A. Penyakit yang mendasari demam
berupa infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih.
Risiko berulangnya kejang demam akan meningkat pada anak dengan riwayat orangtua dan
saudara kandungnya juga pernah menderita kejang demam. Kejang demam diturunkan secara
autosomal dominan sederhana.
Kejang demam kompleks berhubungan dengan banyak faktor, seperti gejala klinisnya,
infeksi virus, faktor genetik dan metabolik, serta kemungkinan adanya abnormalitas struktur
otak. Gurner et al baru-baru ini berhasil memetakan suatu lokus genetik di kromosom 12 yang
berhubungan dengan peningkatan risiko kejang demam kompleks. Kejang demam kompleks juga
memiliki kemungkinan untuk menjadi salah satu gejala adanya infeksi meningitis bakterial akut.
1.4. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO 2
dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi
Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang
disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
13
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya
Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh
karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya
lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi
kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal
disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin
meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.
1.5. KLASIFIKASI
Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) memiliki beberapa kriteria, yakni:
14
1. Kejang berlangsung singkat < 15 menit.
2. Kejang berhenti sendiri tanpa pengobatan.
3. Kejang bersifat umum tonik atau klonik tanpa gerakan umum.
4. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
2. Sifat kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului oleh suatu
kejang parsial.
3. Kejang berulang atau terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik
bilateral dan sering berhenti sendiri. Setelah kejang anak tidak memberi reaksi apapun untuk
sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis.
Kejang demam kompleks memiliki manifestasi klinis yang berbeda dari kejang demam
simpleks, yakni :
15
o Klonik dan atau tonik
o Dimulai pada salah satu sisi tubuh, dengan atau tanpa generalisasi sekunder
o Kejang diikuti paralisis unilateral transien (dalam beberapa menit atau jam,
kadang-kadang beberapa hari)
2. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan terjadinya meningitis, karena pada bayi kecil manifestasi meningitis
cenderung tidak jelas. Pungsi lumbal sangat dianjurkan pada bayi kurang dari 12 bulan.
Pada bayi antara 12-18 bulan dianjurkan, tetapi tidak rutin pada bayi usia > 18 bulan. Bila
yakin bukan meningitis secara klinis, pungsi lumbal tidak perlu dilakukan.
3. Elektroensefalografi (EEG)
EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering
asimetris, kadang-kadang unilateral. Perlambatan EEG ditemukan pada 88% anak yang
EEG-nya dilakukan pada hari kejang terjadi, dan 33 % pada tiga sampai tujuh hari setelah
serangan kejang. EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau perkiraan
terjadinya epilepsi pada pasien kejang demam, sehingga EEG ini tidak direkomendasikan
untuk dilakukan.
4. Pencitraan
Foto rontgen kepala, CT-Scan, atau MRI jarang dikerjakan dan tidak rutin, hanya atas
indikasi adanya kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis), paresis nervus
VI, atau papil edema. Suatu penelitian menunjukkan bahwa hasil CT-Scan yang
dilakukan pada anak dengan serangan kejang demam kompleks pertama tidak memiliki
17
adanya kondisi intrakranial patologis yang membutuhkan penanganan bedah saraf
emergensi.
18
kali. Dapat juga diberikan ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari. Dapat juga
diberikan antibiotik bila ada indikasi, misalnya otitis media dan pneumonia.
19
4. Dapat dipertimbangkan pemberian profilaksis.
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang 12 bulan
Kejang demam ≥ 4 kali per tahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang > 15 menit merupakan indikasi pengobatan
rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan
merupakan indikasi. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organic.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang
terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Selain ketiga hal tersebut diatas, dalam penatalaksaan kejang demam juga diperlukan
penanganan suportif, edukasi pada orang tua pasien, dan penggunaan vaksinasi pada pasien
kejang demam.
Penanganan Supportif lainnya
Meliputi bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, menjaga keseimbangan air dan
elektrolit, pertahankan keseimbangan tekanan darah.
Edukasi pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya ”benign”
2. Memberikan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi memiliki efek samping
5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi kejadian epilepsy.
Beberapa hal yang harus dikerjakan orang tua di rumah bila anak kembali kejang:
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit jangan
memasukkan sesuatu ke dalam mulut
20
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal selama kejang dan jangan diberikan jika kejang
telah berhenti
Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau Lebih
21
1.9. Prognosis
- Kejang demam kemungkinan akan berulang bila ada faktor risiko berikut :
1. Ada riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia terjadinya kejang demam kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh yang rendah saat kejang
4. Cepatnya terjadi kejang setelah demam
Bila seluruh faktor risiko ada, maka kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya sekitar
10 – 15 %. Kejang demam lebih besar kemungkinan berulangnya pada tahun pertama
kehidupan
- Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. 1 Akan tetapi, kejang demam
kompleks, yang terjadi sebelum usia 1 tahun, atau dipicu oleh suhu <39°C
dihubungkan dengan peningkatan mortalitas 2 kali lipat pada 2 tahun pertama setelah
kejang terjadi.
- Kejang demam kompleks, riwayat epilepsi atau abnormalitas neurologis pada
keluarga, dan keterlambatan tumbuh kembang dapat menjadi faktor risiko terjadinya
epilepsi di kemusian hari. Anak dengan 2 faktor risiko ini memiliki kemungkinan 10
% untuk mengalami kejang tanpa demam.
22
BAB III
PEMBAHASAN
Pada pasien anak perempuan 5 tahun dengan berat badan 12 kg , dari anamnesa selama
pasien di rawat inap didapatkan keluhan kejang sebanyak 1 kali 15 menit SMRS, kejang
gerak/tersentak seluruh tubuh selama kurang lebih 2 menit, dan anak tidak sadar. Keluhan lain
demam, didahului batuk dan pilek selama 3 hari SMRS, kemudian muntah 1x dalam sehari
dengan konsistensi cair, warna kuning dan ½ gelas belimbing. Setelah dibawa ke IGD, pasien
mengalami kejang lagi 1x, kejang seluruh tubuh kira-kira 1 menit, kemudian diberikan stesolid
10 mg melalui dubur sebanyak 1 kali, kejang berhenti, pasien menangis lalu tertidur. Setelah
masuk ke bangsal hingga 3 hari selanjutnya pasien tidak kejang lagi.
Dalam riwayat penyakit sebelumnya, pasien pernah mengalami kejang yang didahului
dengan demam selama 2x yaitu saat usia 1 tahun dan 3 tahun, pasien juga di rawat inapkan. Dari
anamnesis ibu pasien, pasien belum pernah dilakukan pemeriksaan EEG. Riwayat alergi dan
penyakit lain disnagkal. Riwayat keluarga yang mengalami keluhan serupa disangkal. Riwayat
kehamilan dan persalinan baik. Riwayat tumbuh kembang anak baik. Status gizi anak termasuk
gizi kurang.
Diagnosis kejang demam kompleks ditegakkan pada pasien ini atas dasar kejang berulang
atau lebih dari 1x dalam 24 jam dan sifat kejang fokal atau parsial atau kejang umum didahului
kejang parsial. Demam terjadi 3 hari SMRS berlangsung terus-menerus, ibu pasien menyatakan
pasien sering batuk dan pilek.
Dari pemeriksaan fisik head to toe selama pasien dirawat inap, pemeriksaan kepala dan
leher dalam batas normal. Pada pemeriksaan thoraks dan abdomen tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan refleks meningeal dengan hasil negatif menunjukkan tidak terdapat infeksi pada
otak dan meningen, sehingga pada pasien ini dilakukan pemeriksaan penunjang darah rutin untuk
melihat adanya proses infeksi, elektrolit untuk melihat apakah ada masalah gangguan elektrolit.
23
widal dengan hasil Salmonella Typhi O 1/160, Salmonella Paratyphi AO 1/160, Salmonella
Paratyphi BO 1/80, Salmonella Paratyphi CO 1/320, Salmonella Typhi H 1/320, Salmonella
Paratyphi AH negatif, Salmonella Paratyphi BH 1/80 dan Salmonella Typhi CH 1/80. Dari hasil
ini menunjukkan adanya ineksi dari bakteri Salmonella Typhi, maka juga ditegakkan diganosis
Typhoid Fever.
Pada kasus ini, diagnosis banding kejang demam kompleks adalah epilepsi yang diprovokasi
demam dan meningoensefalitis. Ada pun perbedaan antara kejang demam kompleks dengan
kedua penyakit ini adalah:
Meningoensefalitis
Terdapat kelainan pada otak yang dapat ditandai dengan refleks patologis dan refleks
meningeal yang positif, EEG abnormal, kejang berulang, tekanan intrakranial yang
meningkat dan terdapat penurunan kesadaran.
Pada pasien ini, selama observasi tidak terdapat tanda-tanda akan peningkatan tekanan
intracranial yaitu penurunan kesadaran dan infeksi meningeal seperti, muntah proyektil,
bradikardi, papil edema, pupil anisokor dan pernapasan cepat dan dalam, dan mengingeal sign
(+). Refleks fisiologis dan patologis pada pasien ini juga normal, tidak ada kelainan. Hal ini
dapat menyingkirkan diagnosis kejang dari etiologi infeksi intrakranial seperti
meningitis/encephalitis.
24
Pada pasien ini tatalaksana kejang saat pertama kali diberikan stesolid 10mg per rektal,
yang kemudian kejang berhenti. Tatalaksana kejang pada pasien sudah sesuai dengan algoritma
penatalaksanaan kejang demam dan tidak diberikan antikejang rumatan.
Infus cairan Kaen3B diberikan karena keadaan demam bisa menyebabkan dehidrasi pada
pasien. Cairan ini digunakan karena bersifat isotonis, maka efektif dalam mengisi sejumlah
volume cairan ke dalam pembuluh darah untuk mengatasi kehilangan cairan yang terjadi karena
dehidrasi. Pasien juga diberikan Paracetamol injeksi 3x120 mg sebagai antipiretik untuk
menurunkan demam yang mana pada kasus ini sangat penting untuk mengurangi resiko kejang
demam (level of envidence 1, derajat rekomendasi A).
Pada terapi, antibiotik yang digunakan adalah injeksi Cefotaxim 2x300mg selama
perawatan di rumah sakit. Cefotaxim antibiotik golongan Sefalosporin generasi ke-3 yang
merupakan pilihan terapi yang efektif untuk mengatasi infeksi bakteri seperti Salmonella Typhi
yang juga merupakan etiologi bagi kejang demam.
Pasien juga diberikan injeksi Dexamethason injeksi 0,5cc extra sebagai anti-inflamasi
untuk proses peradangan.
Setelah perawatan 3 hari di RS dan keadaan pasien membaik, tidak lagi kejang (-), bebas
demam 2 hari, batuk dan pilek berkurang, pasien dinyatakan boleh pulang. Obat yang diberikan
saat pulang adalah Cefixime syrup 2x1/2 cth, Paracetamol syrup 3x1 cth dan Apialys 1x1 cth
sebagai multivitamin untuk penambah nafsu makan. Edukasi pada psien ini berupa tetap menjaga
kesehatan dan kontrol post opnam, jika terjadi kejang berulang langsung dibawa ke RS.
Secara umum, penatalksanaan pada kasus ini sudah sesuai dengan penatalaksanaan
kejang demam pada anak. Namun pada kasus ini tidak diberiksan terapi untuk batuk dan
pileknya untuk meredakan gejala, serta tidak diberikan terapi profilaksis antikonvulsan
intermitten dan antikonvulsan rumatan di rumah.
Pemberian antikonvulsan intermitten (obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat
demam) diberikan pada kejang demam denga salah satu faktor resiko seperti di bwah ini:
Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serbral
Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
Usia <6 bulan
Bila kejang terjadi pada suhu < 39 derajat Celcius
Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat.
25
Obat antikonvulsan intermittrn bisa diberikan diazepam oral 0,3mg/kg/kali atau rektal
0,5mg/kg/kali sebanyak 3x sehari dengan dosis maksimum 7,5mg/kali. Diazepam intermitten ini
bisa diberikan selama 48 jam pertama demam.
Pemberian antikonvulsan rumatan hanya diberikan pada kasus selektif dan dalam jangka
pendek dengan indikasi:
Kejang fokal
Kejang lama > 15 menit
Terdapat tanda kelainan neurologis yang nyata sebelum dan sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Jenis antikonvulsan rumatan yaitu fenobarbital atau asam valproat. Dengan dosis asam
valproat 15-40mg/kb\g/hari dibagi 2 dosis dan fenobarbital 3-4mg/kg/hari dalam 1-2
dosis.
DAFTAR PUSTAKA
26
1. Ismael S, Pusponegoro DH, dkk . Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam.
Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2016.
2. Ismael S, Pusponegoro DH, dkk . Rekomendasi Penatalaksanaan Status
Epileptikus. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta, 2016.
3. Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
EGC, Jakarta 2006
4. Roberton DM, South M. Practical Paediatrics Sixth Edition. UK : Churchill
Livingstone. 2007; page 582
5. Waldo. E., Neelson, MD. 2000. Ilmu Kesehatan Anak (Neelson Textbook Of
Pediatri). Edisi 15. Jakarta. EGC
6. Zanini MA, Resende LAL, Freitas CCM, Yamashita S. Traumatic Subdural
Hygroma Five Cases With Changed Density And spontaneous resolution. Arq
Neuropsiquiatr 2007;65(1):68-72
27