PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana konsep dasar asfiksia ?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum:
Untuk memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
asfiksia
2. Tujuan Khusus:
a. Untuk mengetahui tentang konsep dasar teori asfiksia
b. Memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan asfiksia yang
meliputi pengkajian sampai evaluasi.
1.4 Manfaat
1. Menambah pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam menerapkan
asuhan keperawatan pada pasien dengan asfiksia.
2. Mahasiswa mengetahui dan mampu menerapkan asuhan keperawatan
pada pasien dengan asfiksia.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan
teratur segera atau beberapa saat setelah lahir. Secara klinik ditandai dengan
sianosis, bradikardi, hipotonia, dan tidak ada respon terhadap rangsangan,
yang secara objektif dapat dinilai dengan skor APGAR. Keadaan ini disertai
hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Konsekuensi fisiologis
yang terutama terjadi pada bayi dengan asfiksia adalah depresi susunan saraf
pusat dengan kriteria menurut WHO tahun 2008 didapatkan adanya gangguan
neurologis berupa Hypoxic Ischaemic Enchepalopaty (HIE), akan tetapi
kelainan ini tidak dapat diketahui dengan segera. (Kosim, 1998; Hasan, 1985;
dan Depkes RI, 2005)
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan. Asfixia dalam
kehamilan dapat disebabkan oleh penyakit infeksi akut atau kronis, keracunan
obat bius, uremia, toksemia gravidarum, anemia berat, cacat bawaan, atau
trauma. Sementara itu, asfiksia dalam persalinan disebabkan oleh partus yang
lama, ruptura uteri, tekanan terlalu kuat kepala anak pada plasenta, prolapsus,
pemberian obat bius yang terlalu banyak dan pada saat yang tidak tepat,
plasenta previa, solusia plasenta, serta plasenta tua (serotinus) (Nurarif,
2013).
3
terdiri dari kulit. Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.
Lapisan dalam terdiri dari selaput lender yang berlipat-lipat yang
dinamakan karang hidung (konka nasalis), yang berjumlah 3 buah yaitu:
konka nasalis inferior, konka nasalis media, dan konka nasalis superior.
Diantara konka nasalis terdapat 3 buah lekukan meatus, yaitu: meatus
superior, meatus inferior dan meatus media. Meatus-meatus ini yang
dilewati oleh udara pernafasan sebelah dalam terdapat lubang yang
berhubungan dengan tekak yang disebut koana.
2. Sinus paranasalis
Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang
kepala. Sinus berfungsi untuk : membantu menghangatkan dan
humidifikasi, meringankan berat tulang tengkorak, mengatur bunyi suara
manusia dengan ruang resonansi.
3. Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong (± 13cm) yang
letaknya bermula dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan
esofagus pada ketinggian tulan rawan krikoid. Berdasarkan letaknya,faring
dibagi menjadi tiga yaitu dibelakang hidung (naso-faring), belakang mulut
(oro-faring), dan belakang laring (laringo-faring).
4. Laring
Laring sering disebut dengan ”voice box” dibentuk oleh struktur
epiteliumlined yang berhubungna dengan faring dan trakhea. Laring
terletak dianterior tulang belakang ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari
esofagus berada di posterior laring. Saluran udara dan bertindak sebagai
pembentuk suara. Pada bagian pangkal ditutup oleh sebuah empang
tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulanng rawan
yang berfungsi ketika menelan makanan dengan menutup laring. Terletak
pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit, glandula
tyroidea, dan beberapa otot kecil, dan didepan laringofaring dan bagian
atas esopagus.Cartilago/tulang rawan pada laring ada 5 buah, terdiri dari
sebagai berikut: cartilago thyroidea 1 buah di depan jakun (Adam’s apple)
4
dan sangat jelas terlihat pada pria, cartilago epiglottis 1 buah, cartilago
cricoidea 1 buah, cartilago arytenoidea 2 buah yang berbentuk beker.
5. Trachea atau Batang tenggorok Merupakan tabung fleksibel dengan
panjang kira-kira 10 cm dengan lebar 2,5 cm. Trachea berjalan dari
cartilago cricoidea kebawah pada bagian depan leher dan di belakang
manubrium sterni, berakhir setinggi angulus sternalis (taut manubrium
dengan corpus sterni) atau sampai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis
kelima dan di tempat ini bercabang mcnjadi dua bronckus (bronchi).
Trachea tersusun atas 16 - 20 lingkaran tak- lengkap yang berupan cincin
tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang
melengkapi lingkaran disebelah belakang trachea, selain itu juga membuat
beberapa jaringan otot.
6. Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian
kirakira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan
trachea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan
ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru. Bronkus kanan lebih
pendek dan lebih lebar, dan lebih vertikal daripada yang kiri, sedikit lebih
tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat
di bawah arteri, disebut bronckus lobus bawah.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan
berjalan di bawah arteri pulmonalis, sebelurn dibelah menjadi beberapa
cabang yang berjalan ke lobus atas dan bawah. Cabang utama bronchus
kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan kernudian
menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi
bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi
bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveoli (kantong udara).
7. Paru-Paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri
atas kecil gelembung-gelembung (alveoli). Alveolus yaitu tempat
pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius yang
5
terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya.
Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris
terminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau kadang disebut lobolus
primer memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali
percabangan mulai dari trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus
dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn. Paru-paru dibagi
menjadi dua bagian, yaitu paru-paru kanan yang terdiri dari 3 lobus (lobus
pulmo dekstra superior, lobus pulmo dekstra media, lobus pulmo dekstra
inferior) dan paru-paru kiri yang terdiri dari 2 lobus (lobus sinistra
superior dan lobus sinistra inferior).
2.3 Etiologi
Asfiksia dapat terjadi karena beberapa faktor (Nurarif, 2013).
1. Faktor ibu
Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui
plasenta berkurang. Akibatnya, aliran oksigen ke janin juga berkurang
dan dapat menyebabkan gawat janin dan akhirnya terjadilah asfiksia.
Berikut merupakan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia
pada bayi baru lahir (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
1) Preeklamsia dan eklamsia
2) Demam selama persalinan
3) Kehamilan postmatur
4) Hipoksia ibu
5) Gangguan aliran darah fetus, meliputi :
a) gangguan kontraksi uterus pada hipertoni, hipotoni, tetani uteri
b) hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan
c) hipertensi pada penyakit toksemia
6) Primi tua, DM, anemia, riwayat lahir mati, dan ketuban pecah dini
2. Faktor plasenta
Keadaan berikut ini berakibat pada penurunan aliran darah dan oksigen
melalui tali pusat ke bayi, sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia
(Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
6
1) Abruptio plasenta
2) Solutio plasenta
3) Plasenta previa
3. Faktor fetus
Pada keadaan berikut bayi mungkin mengalami asfiksia walaupun tanpa
didahului tanda gawat janin (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
1) Air ketuban bercampur dengan mekonium
2) Lilitan tali pusat
3) Tali pusat pendek atau layu
4) Prolapsus tali pusat
4. Faktor persalinan Keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu
(Nurarif, 2013):
1) Persalinan kala II lama
2) Pemberian analgetik dan anastesi pada operasi caesar yang berlebihan
sehingga menyebabkan depresi pernapasan pada bayi
5. Faktor neonatus
Berikut merupakan kondisi bayi yang mungkin mengalami asfiksia
(Nurarif, 2013):
1) Bayi preterm (belum genap 37 minggu kehamilan) dan bayi posterm
2) Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, forsep)
3) Kelainan konginetal seperti hernia diafragmatika, atresia/stenosis
saluran pernapasan, hipoplasi paru, dll.
4) Trauma lahir sehingga mengakibatkan perdarahan intracranial
7
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi asfiksia dapat ditentukan berdasarkan nilai APGAR (Nurarif,
2013).
Tabel 1. APGAR score
Nilai
Tanda
0 1 2
A : Appearance Biru/pucat Tubuh Tubuh dan
(color/warna kemerahan, ekstremitas
kulit) ekstremitas biru kemerahan
P : Pulse (heart Tidak ada < 100x per menit >1100x per menit
rate/denyut nadi)
G : Grimance Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
(reflek)
A : Activity Lumpuh Fleksi lemah Aktif
(tonus otot)
R : Respiration Tidak ada Lemah, merintih Tangisan kuat
(usaha bernapas)
Bayi akan dikatakan mengalami asfiksia berat jika APGAR score
berada pada rentang 0-3, asfiksia sedang dengan nilai APGAR 4-6, dan bayi
normal atau dengan sedikit asfiksia jika APGAR score berada pada rentang 7-
10 (Nurarif, 2013).
8
2.5 Patofisiologi
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah
rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin)
menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus
tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus
simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan
menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita
periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru,
bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak
berkembang. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti,
denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang
secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer. Jika
berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung
terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan
terluhat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi
memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung,
tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi
sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan
upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi
dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera.
Pathway
9
2.6 Manifestasi Klinis
a. Pada Kehamilan Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau
kurang dari 100 x/mnt, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran
mekonium.
10
Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia
Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia
Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat
b. Pada bayi setelah lahir
Bayi pucat dan kebiru-biruan
Usaha bernafas minimal atau tidak ada
Hipoksia
Asidosis metabolik atau respirator
Perubahan fungsi jantung
Kegagalan sistem multiorgan
Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang
dari 100 x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada
respon terhadap refleks rangsangan.
3.7 Komplikasi
Komplikasi dapat mengenai beberapa organ pada bayi, diantaranya
adalah sebagai berikut (Karlsson, 2008) :
a. Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
b. Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persiste pada neonatus, perdarahan
paru, edema paru
c. Gastrointestinal : enterokolitis nekotikos
d. Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH, anuria atau oliguria (< 1 ml/kg/jam)
untuk 24 jam atau lebih dan kreatinin serum > 100 mmol/L
e. Hematologi : DIC f. Hepar : aspartate amino transferase > 100 U/L, atau
alanine amino transferase > 100 U/L sejak minggu pertama kelahiran
11
2. Penialaian APGAR score, meliputi warna kulit, frekuensi jantung, usaha
napas, tonus otot, dan reflek
3. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi
4. Pengkajian spesifik
12
3.9 Penatalaksanaan Medis
Asfiksia merupakan kejadian kegawatan pada janin sehingga memerlukan
tindakan yang cepat. Adapun prosedur pertolongan bayi dengan asfiksia
adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2005):
13
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
14
6. Keamanan Suhu normal pada 36,5 s.d. 37,5 0C. Ada verniks (jumlah dan
distribusi tergantung pada usia gestasi
7. Kulit Kulit lembut, fleksibel, pengelupasan kulit pada tangan atau kakai
dapat terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang
menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau
perubahan warna herliquin, petekie pada kepala atau wajah (dapat
menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda
nukhal), bercak portuine, telengiektasis ( kelopak mata, antara alis dan
mata, atau pada nukhal), atau bercak mongolia (terutama punggung bawah
dan bokong) dapat terlihat.Abrasi kulit kepala mungkin ada (penampakan
elektroda internal)
(Nanda Nic Noc, 2015)
15
menunjukkan
cemas.
3. Rata-rata repirasi
dalam batas normal
4. Pengeluaran
sputum melalui
jalan nafas.
5. Tidak ada suara
nafas tambahan.
Pola nafas tidak Setelah dilakukan 1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
efektif b.d tindakan dengan melakukan pengisapan lendir.
hipoventilasi. keperawatan selama 2) Pantau status pernafasan dan
proses keperawatan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan.
diharapkan pola 3) Auskultasi jalan nafas untuk
nafas menjadi mengetahui adanya penurunan
efektif. Kriteria ventilasi.
hasil : 4) Kolaborasi dengan dokter untuk
1. Pasien pemeriksaan AGD dan pemakaian alat
menunjukkan pola bantu nafas
nafas yang efektif. 5) Berikan oksigenasi sesuai
2. Ekspansi dada kebutuhan
simetris.
3. Tidak ada bunyi
nafas tambahan.
4. Kecepatan dan
irama respirasi
dalam batas normal.
Risiko Tujuan : Setelah 1. Hindarkan pasien dari
ketidakseimban dilakukan tindakan kedinginan dan tempatkan pada
gan suhu tubuh keperawatan lingkungan yang hangat.
b.d kurangnya selama proses 2. Monitor gejala yang
suplai O2 dalam keperawatan berhubungan dengan hipotermi,
darah. diharapkan suhu misal fatigue, apatis, perubahan
16
tubuh normal. warna kulit dll.
Kriteria Hasil : 3. Monitor TTV.
1. Temperatur 4. Monitor adanya bradikardi.
badan dalam batas 5. Monitor status pernafasan.
normal.
2. Tidak terjadi
distress
pernafasan.
3. Tidak gelisah.
4. Perubahan
warna kulit.
5. Bilirubin dalam
batas normal.
(Nanda Nic Noc, 2015)
17
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan
dan teratur segera atau beberapa saat setelah lahir. Secara klinik ditandai
dengan sianosis, bradikardi, hipotonia, dan tidak ada respon terhadap
rangsangan, yang secara objektif dapat dinilai dengan skor APGAR. Keadaan
ini disertai hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Konsekuensi
fisiologis yang terutama terjadi pada bayi dengan asfiksia adalah depresi
susunan saraf pusat dengan kriteria menurut WHO tahun 2008 didapatkan
adanya gangguan neurologis berupa Hypoxic Ischaemic Enchepalopaty (HIE),
akan tetapi kelainan ini tidak dapat diketahui dengan segera. (Kosim, 1998;
Hasan, 1985; dan Depkes RI, 2005)
4.2 Saran
Bagi para pembaca hendaknya laporan ini dapat dijadikan panduan
dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan asfiksia.
18
DAFTAR PUSTAKA
Hasan R, Alatas H. 1985. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK-UI.
Ikatan Apoteker Indonesia. 2012. Informasi Sesialite Obat Indonesia volume 47.
Jakarta : ISFI Penerbitan.
19