Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Definisi sepsis adalah respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana
patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi
aktivasi proses inflamasi (Chen dan Pohan, 2006).
Sepsis merupakan kondisi klinis yang dicirikan oleh inflamasi sistemik
dan koagulasi, berawal dari SIRS berlanjut menimbulkan disfungsi organ dan
sistem organ, dan berakhir dengan kematian jika tidak tertangani dengan baik
(Chamberlain, 2004).
Stadium sepsis berdasarkan Konsensus Konferensi Dokter Ahli Paru di
berbagai Universitas di Amerika adalah sebagai berikut :
1. SIRS (Systemic Inflamatory Respons Syndrome ).
Kriteria SIRS adalah:
a. Suhu > 38 oC atau < 36 oC
b. Denyut jantung > 90 kali/ menit
c. Respirasi > 20 kali/menit
d. Jumlah sel darah putih > 12.0×109/L, < 4.0 × 109, atau > 0,1 bentuk
immatur (band)
2. Sepsis SIRS dan dokumentasi kultur positif untuk organisme.
3. Sepsis berat Sepsis dan gangguan fungsi organ, hipotensi atau hipoperfusi
(keabnormalan hipoperfusi, termasuk didalamnya adalah asidosis laktat,
oliguria, atau perubahan status mental akut)
4. Syok Sepsis Hipotensi resisten walaupun telah diberikan resusitasi cairan
dan keabnormalan hipoperfusi (O’Connor et al., 2001).

2.2 Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis
dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa
adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks
antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan
gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.( Caterino
JM, 2012 )
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70%
kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif,
terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram
positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau
mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan
serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik,
tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak
dapat diakses oleh kultur ( Runge MS dan Fauci AS, 2009 )
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah
tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat
bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di
antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid
atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan
ventilasi mekanis. ( Fauci AS, 2009 )
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh.
Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru,
saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan
dengan sepsis yaitu: 1) Infeksi paru-paru (pneumonia) 2) Flu (influenza) 3)
Appendiksitis 4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis) 5) Infeksi
kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius) 6) Infeksi kulit,
seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit 7) Infeksi pasca operasi 8) Infeksi
sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada satu dari lima
kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi ( National health
service United Kingdom, 2014 )
Tabel 2.2. Penyebab Umum Sepsis pada Orang Sehat
Sumber lokasi Mikroorganisme
Kulit Staphylococcus aureus dan gram
positif bentuk cocci lainnya
Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif
bentuk batang lainnya
Saluran pernafasan Streptococcus pneumonia
Usus dan kantung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan
gram negative bentuk batang lainnya,
Bacteroides fragilis
Organ pelvis Neissseria gonorrhea,anaerob
Sumber: Moss et.al,2012

Tabel 2.3.Penyebab Umum Sepsis pada Pasien yang Dirawat


Masalah klinis Mikroorganisme
Pemasanagan kateter Escherichia coli, Klebsiella spp.,
Proteus spp., Serratia spp.,
Pseudomonas spp.
Penggunaan iv kateter Staphylococcus aureus,
Staph.epidermidis, Klebsiella spp.,
Pseudomonas spp., Candida
albicans
Setelah operasi: Staph. aureus, E. coli,
Wound infection anaerobes(tergantung lokasinya)
Deep infection Tergantung lokasi anatominya
Luka bakar coccus gram-positif, Pseudomonas
spp., Candida albicans
Pasien immunocompromised Semua mikroorganisme diatas
Sumber: Moss et.al,2012
2.4 Tanda dan gejala
DIC FDP≥ 1:40 atau D-dimers ≥2,0
dengan rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- perdarahan

Respirotary Distr. Hipoksemia


Syndrome
Acute Renal Failure Kreatinin > 2,0 ug/dl
Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah
disingkirkan
Hepatobilier disfunction Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)
Harga alk. Fosfatase, SGOT, SGPt
dua kali harga
normal

Central Nervous System GCS < 15


Disf.
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang
ditandai dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat,
syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome
(MODS). (Prayogo et al, 2014 )
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu
demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi
hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik
atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta
peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik
hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih
dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran
pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.( Caterino JM, 2012 )

Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah


kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini
mungkin lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia
dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis,
dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti
pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium)
atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan
penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien dengan
usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat
mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan
sekurangkurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto
toraks dan urinalisis.15 Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis
mungkin berlanjut menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya
selama perjalanan tinggal di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya
ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status
mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena
perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium,
tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan
kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.
Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang
lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan
klinis.15
15. Caterino JM, Kahan S. Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia:
Binarupa Aksara Publisher; 2012

2.4 Patofisiolgi
Tidak terkontrolnya inflamasi
Teori yang dipopulerkan oleh Lewis Thomas ini menyatakan bahwa sepsis
terjadi akibat respon inflamasi yang tidak terkontrol. Sayangnya teori ini
didasarkan atas penelitian pada binatang percobaan yang belum tentu
mencerminkan gambaran klinis pada manusia. Penelitian menggunakan
endotoksin dosis tinggi, konsekuensinya kadar sitokin dalam sirkulasi lebih
tinggi dibandingkan yang ada pada penderita sepsis. Kegagalan anti-
inflamasi seperti kortikosteroid, antibodi antiendotoksin, antagonis tumor
necrosis factor (TNF)- α dan antagonis reseptor interleukin (IL)-1β
menimbulkan pertanyaan apakah benar kematian penderita sepsis akibat
inflamasi yang tidak terkontrol.8-11
Kegagalan sistem imun: Pergeseran ke
sitokin anti-inflamasi
Penderita sepsis memiliki gambaran yang konsisten dengan penderita
imunosupresi berupa hilangnya hipersensitivitas, ketidakmampuan
mengatasi infeksi dan predisposisi menderita infeksi nosokomial. Mula-
mula terjadi peningkatan jumlah mediator inflamasi, namun ketika sepsis
terus berlanjut terjadi pergeseran menuju keadaan anti-inflamasi
imunosupresif.8-11 Sel T CD4 teraktivasi mensekresi sitokin yang memiliki
salah satu dari dua profil yang berbeda, yakni: (1) sitokin proinflamasi (sel
T-helper tipe 1 [Th1]), meliputi TNF-α, interferon (IFN)-γ dan IL-2; dan (2)
sitokin antiinflamasi (sel T-helper tipe 2 [Th2]), misalnya IL-4 dan IL-10.
Faktor yang menentukan apakah sel T CD4 memiliki respon Th1 atau Th2
tidak jelas, kemungkinan dipengaruhi oleh jenis patogen, ukuran bakteri dan
tempat infeksi.8-13
Anergi
Anergi adalah keadaan ketidaktanggapan terhadap antigen. Sel T dikatakan
anergik ketika ia gagal berproliferasi atau gagal mensekresi sitokin sebagai
respon terhadap antigen spesifik. Kematian sel secara apoptosis memicu
terjadinya anergi. Sejumlah besar limfosit mati karena apoptosis selama
sepsis, kemungkinan akibat pelepasan glukokortikoid endogen yang
diinduksi oleh stres. Tipe kematian sel menentukan fungsi imunologis dari
sel-sel imun yang mampu bertahan. Sel yang mengalami apoptosis juga
menginduksi anergi atau sitokin antiinflamasi yang dapat mengganggu
respon terhadap patogen. Sebaliknya sel yang mengalami nekrosis juga
menstimulasi sistem imun dan meningkatkan pertahanan melawan bakteri.8-
10
Kematian sel imun
Otopsi pada penderita sepsis yang meninggal menemukan banyak sel imun
yang hilang secara progresif karena apoptosis. Walaupun sel T CD8, sel
natural killer (NK) dan makrofag tidak hilang, sepsis mengurangi level sel
B, sel T dan sel dendritik secara bermakna. Besarnya kehilangan limfosit
akibat apoptosis yang terjadi selama sepsis terlihat pada pemeriksaan hitung
limfosit penderita. Suatu penelitian pada penderita sepsis menemukan 15
dari 19 penderita memiliki jumlah limfosit kurang dari normal (ratarata
500±270 mm3).8-10
Faktor genetik host
Kajian kembar identik dan anak angkat menunjukkan bahwa faktor genetik
merupakan penentu kerentanan terhadap penyakit infeksi. Sebagian orang
mengalami perubahan pada gen pengatur respon
host terhadap mikroba. Perubahan berupa polimorfisme gen sitokin yang
menentukan konsentrasi produksi sitokin proinflamasi dan anti-inflamasi,
serta menentukan apakah seseorang memiliki respon hiperinflamasi atau
hipoinflamasi terhadap infeksi.8-10
Peran neutrofil
Neutrofil dianggap sebagai pedang bermata dua pada sepsis. Dahulu
neutrofil dianggap penting untuk eradikasi patogen, namun dari penelitian
pada binatang diketahui bahwa pelepasan berlebihan oksidan dan protease
oleh neutrofil juga bertanggung jawab atas kerusakan organ.8-10
Hibernasi sel sebagai mekanisme disfungsi
organ
Otopsi penderita sepsis yang meninggal juga menemukan ketidaksesuaian
antara temuan histologis dengan derajat disfungsi organ. Diduga sepsis
mengaktifkan mekanisme pertahanan tubuh yang menyebabkan proses sel
berkurang sampai ke basal (hibernasi) dan mengakibatkan banyaknya
disfungsi organ. Hal ini sesuai dengan temuan Fink dkk. yang
memperlihatkan enterosit yang mengalami stimulasi imun mengurangi
konsumsi oksigen sebagai akibat deplesi nicotinamide
adenine dinucleotide.8-10
8. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis.
NEJM.
2003;348(2):138-50.
9. Darmawan I. Update On Sepsis. Edisi pertama. Jakarta: Farmedia, 2008.
10. Setiati TE, Soemantri A. Sepsis Dan Disfungsi Organ Multipel Pada
Anak. Semarang: Pelita Insani, 2009.
11. Remick DG. Pathophysiology of sepsis.
Am J Pathol. 2007;170(5):1435-44.
13. Pinsky MR. Pathophysiology of sepsis and
multiple organ failure: pro-versus antiinflammatory aspects. Dalam: Ronco
C,
Bellomo R, Brendolan A (eds): Sepsis, Kidney and Multiple Organ
Dysfunction.
Basel: Karger. 2004;144:31-43.

2.5 Tahapan perkembangan sepsis


Sepsis berkembang dalam tiga tahap: 1) Uncomplicated sepsis, disebabkan
oleh infeksi, seperti flu atau abses gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya
tidak memerlukan perawatan rumah sakit. 2) Sepsis berat, terjadi ketika
respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai mengganggu fungsi organ-organ
vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru atau hati. 3) Syok septik, terjadi pada
kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah turun ke tingkat yang sangat
rendah dan menyebabkan organ vital tidak mendapatkan oksigen yang
cukup. Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated
sepsis ke syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ
multiple dan kematian.1
1. National health service United Kingdom. Sepsis [Internet]. [cited 2013
des 3]. Available from:
http://www.nhs.uk/Conditions/bloodpoisoning/Pages/introduction.aspx

2.6 Penatalaksanaan
Menurut Opal (2012), penatalaksanaan pada pasien sepsis dapat dibagi
menjadi : 1. Nonfarmakologi Mempertahankan oksigenasi ke jaringan
dengan saturasi >70% dengan melakukan ventilasi mekanik dan drainase
infeksi fokal. 2. Sepsis Akut Menjaga tekanan darah dengan memberikan
resusitasi cairan IV dan vasopressor yang bertujuan pencapaian kembali
tekanan darah >65 mmHg, menurunkan serum laktat dan mengobati sumber
infeksi. a. Hidrasi IV, kristaloid sama efektifnya dengan koloid sebagai
resusitasi cairan. b. Terapi dengan vasopresor (mis., dopamin, norepinefrin,
vasopressin) bila rata-rata tekanan darah 70 sampai 75 mm Hg tidak dapat
dipertahankan oleh hidrasi saja. Penelitian baru-baru ini membandingkan
vasopresin dosis rendah dengan norepinefrin menunjukkan bahwa
vasopresin dosis rendah tidak mengurangi angka kematian dibandingkan
dengan norepinefrin antara pasien dengan syok sepsis. c. Memperbaiki
keadaan asidosis dengan memperbaiki perfusi jaringan dilakukan ventilasi
mekanik ,bukan dengan memberikan bikarbonat. d. Antibiotik diberikan
menurut sumber infeksi yang paling sering sebagai rekomendasi antibotik
awal pasien sepsis. Sebaiknya diberikan antibiotik spektrum luas dari
bakteri gram positif dan gram negative.cakupan yang luas bakteri gram
positif dan gram negative (atau jamur jika terindikasi secara klinis). e.
Pengobatan biologi Drotrecogin alfa (Xigris), suatu bentuk rekayasa
genetika aktifasi protein C, telah disetujui untuk digunakan di pasien dengan
sepsis berat dengan multiorgan disfungsi (atau APACHE II skor >24); bila
dikombinasikan dengan terapi konvensional, dapat menurunkan angka
mortalitas.
3. Sepsis kronis Terapi antibiotik berdasarkan hasil kultur dan umumnya
terapi dilanjutkan minimal selama 2 minggu.
Opal, S.M., 2012. Septicemia. In: Ferri et al., ed. Ferri’s Clinical Advisor
2012: 5
Books in 1. Philadelphia: Elsevier Mosby, 924-925

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis infeksi bakteri pada penderita
berpenyakit kritis masih sulit, karena keadaan
non infeksi lain yang dapat menurunkan tanggap
inflamasi (contohnya: trauma, pembedahan besar
dan luka bakar). Parameter klinis dan laboratoris
lazimnya (konvensional) untuk diagnosis infeksi
kurang sensitif dan spesifik. Selama beberapa tahun
terakhir, beberapa petanda pemeriksaan telah diuji
sebagai suatu tanda yang sesuai dengan infeksi dan
sepsis, tetapi tidak satupun petunjuk (indikator) yang
dapat menentukan infeksi bakteri akut atau proses
inflamasi bukan karena infeksi.1
Sejak awal tahun 1990-an procalcitonin (PCT)
pertama kali digambarkan sebagai tanda spesifik
infeksi bakteri.2,3 Kepekatan serum procalcitonin
meningkat saat inflamasi sistemik, khususnya ketika hal tersebut disebabkan
oleh infeksi bakteri.
Procalcitonin ialah prohormon calcitonin, kadarnya
meningkat saat sepsis dan sudah dikenali sebagai
petanda penyakit infeksi sebab penyakit berat.
Kepekatan PCT dapat mencapai 1000 ng/ml saat
sepsis berat dan syok sepsis. Namun demikian,
sumber asal PCT selama sepsis belum jelas, apakah
nilai kadar PCT dapat membedakan antara penyakit
infeksi dan non infeksi.3-7
Pada keadaan fisiologis, kadar procalcitonin
rendah bahkan tidak terdapati (dalam ng/ml), tetapi
akan meningkat bila terjadi bakteremia atau fungimia
yang timbul sesuai dengan berat infeksi. Tetapi pada
temuan beberapa peneliti peningkatan procalcitonin
terdapat juga pada keadaan bukan infeksi, selain
itu juga merupakan pengukuran yang lebih sensitif
dibandingkan dengan beberapa uji laboratorik lain.
Misalnya laju endap darah (LED), perhitungan lekosit
dan C reactive protein sebagai sarana bantu diagnosis
sepsis bakteri anak-anak.6
Infection control: Basic concepts and practices, 2nd Ed, http://
www.heific.org/oldsite/Manual/toc.htm, (accessed Mei,
2006).
2. O’Connor EO., Venkatesh B., Lipman J., Mashongonyika C.,
Hall J., : Procalcitonin in Critical Illness. Crit Care Res, 2001,
3:236–43.
3. Assicot M., Gendrel D., Carsin H., Raymond J., Guilbaud J.,
Bohuon C., High serum procalcitonin concentrations in patients
with sepsis and infection. Lancet, 1993, 41:515–18.
4. Whicher J., Bienvenu J., Monneret G., : Procalcitonin as an
acute phase markers. Ann Clin Biochem, 2001, 38:483–93.
5. Meisner M., Tschaikowsky K., Palmaers T.,: Comparison of
PCT and CRP Plasma Concentrations at different SOFA scores
during the course of Sepsis and MODS. Critical Care, 1999,
3(1):45-9.
6. Hatherill M., Tibby SM., Sykes K., Turner C., Murdoch.,:
Diagnostic markers of infection: comparison of procalcitonin
with C reactive protein and leucocyte count. Arch Dis Child,
1999, 81:417–21.
7. Chan YL., Tseng CP., Tsay PK.,: Procalcitonin as a marker
of bacterial infection in the emergency departement: an
Observational Study. Critical Care, 2004, 8(1):12–20.

2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi
komplikasi yang mungkin terjadi meliputi: 1) Cedera paru akut (acute lung
injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi akut (acute respiratory
distress syndrome) Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan
terutama pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli
mengganggu pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan
menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan
hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau
sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada
foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan
edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan
ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien
mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan. 2) Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis,
kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi.
Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk
mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral
umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara konstan dan
difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor
pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini.
Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis
dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan
hasil yang lebih buruk. 3) Gagal jantung Depresi miokardium merupakan
komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme yang diperkirakan
kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi ketimbang
penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung
yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau
infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan
demikian obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering menyebabkan
takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati bilamana perlu, tetapi
jangan diberikan bila tidak dianjurkan. 4) Gangguan fungsi hati Gangguan
fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan peningkatan
bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya
tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang
tidak stabil dalam waktu yang lama.
5) Gagal ginjal Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama
terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai
oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal
berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai,
maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis)
diindikasikan. 6) Sindroma disfungsi multiorgan Disfungsi dua sistem organ
atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk mempertahankan
homeostasis.15
15. Caterino JM, Kahan S. Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia:
Binarupa Aksara Publisher; 2012

Anda mungkin juga menyukai