Anda di halaman 1dari 20

PERJANJIAN KREDIT & JAMINAN

Makalah

Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Lingkungan Bisnis & Hukum Komersil

Disusun Oleh:
1. Gunawan Hutomo Mandala Putra 1710246057
2. Andre Pratama 1710246053
3. Raja Reno Setiawan 1710246066
4. Rizki Afrika 1710246074
5. Mhd. Rahman 1710246062

Dosen Pembimbing : Dr. Kasman ZA, SE,SH, M.Si, M.Ak. CA, CISA, Phd

Magister Akuntansi
Universitas Riau
2018
PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN KREDIT
A. Pengertian Perjanjian Kredit

Menurut ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian adalah suatu

perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

lain atau lebih. Subekti mengukapkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana

seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal. Sementara pengertian kredit menurut para ahli Achmad

Anwari memberikan arti kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh satu pihak

kepada pihak lain dan prestasi (jasa) itu akan dikembalikan lagi pada waktu

tertentu yang akan datang dengan disertai suatu kontra prestasi (balas jasa berupa

biaya). Menurut Djuhaendah Hasan dari beberapa pengertian yang dikemukakan

para sarjana dalam literatur kredit adalah suatu perjanjian yang objeknya dapat

berupa uang atau barang, meskipun titik temu antara semua pendapat sarjana itu

akan menuju keapada pengertian peminjaman uang. Didalam pasal 1 angka 11

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan pengertian Kredit adalah

penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu

tertentu dengan pemberian bunga.

Berdasarkan jangka waktu dan penggunaanya kredit dapat digolongkan menjadi

tiga jenis, yaitu :

1) Kredit investasi, yaitu kredit jangka menengah atau panjang yang diberikan

kepada debitur untuk membiayai barang-barang modal dalam rangka

rehabilitasi, modernisasi, perluasaan, ataupun pendirian proyek baru;

2) Kredit modal kerja, yaitu kredit modal kerja yang diberikan baik dalam

rupiah maupun valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam
siklus usaha dengan jangka waktu maksimal satu tahun dan dapat

diperpanjang sesuia kesepakatan antara pihak yang bersangkutan;

3) Kredit konsumsi, yaitu kredit jangka pendek atau panjang yang diberikan

kepada debitur untuk membiayai barang-barang kebutuhan atau konsumsi

dalam skala kebutuhan rumah tangga yang pelunasannya dari penghasilan

bulanan nasabah debitur yang bersangkutan.

Pengertian perjanjian kredit di dalam KUH Perdata tidak ditemukan.

Perjanjian dalam KUHPerdata yang mirip dengan perjanjian kredit yaitu

perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku III Bab XIII. Ciri-Ciri

perjanjian kredit yang membedakan dengan perjanjian pinjam-meminjam yaitu

sebagai berikut :

1) Perjanjian kredit merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil. Hal ini

jelas berbeda dengan pinjam meminjam yang bersifat riil dalam pasal

1754 KUH Perdata.

2) Tujuan dan syarat kredit, menurut ketentuan pasal 1755 KUH Predata,

uang yang diperoleh oleh debitur dari kreditur menjadi milik debitur. Oleh

karena itu dalam perjanjian pinjam meminjam uang, debitur sebagai

pemilik uang berkuasa penuh untuk menggunakan uang tersebut untuk

keperluan apapun dan kreditur tidak berhak mencampuri tujuan pemakaian

uang tersebut. Hal tersebut tidak berlaku untuk perjanjian kredit bank.

Penggunaan kredit harus dilakukan sesuai dengan tujuan kredit

sebagaimana ditetapkan di dalam perjanjian kredit. Pemakain kredit oleh

nasabah debitur yang menyimpang dari tujuan kredit memberikan hak

kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit tersebut secara sepihak

dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh sisa kredit.


3)
Syarat penggunaan kredit, kredit bank hanya dapat digunakan menurut

cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindah

bukuan. Pada perjanjian kredit bank, kreditur tidak diserahkan oleh bank

ke dalam kekuasaan mutlak debitur. Kredit diberikan dalam bentuk yang

penarikan atau penggunaannya selalu di bawah pengawasan bank. Dilihat

dari hal ini, maka perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-

meminjam uang. Dalam perjanjian pinjam meminjam uang, uang yang

dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur ke dalam kekuasaan

debitur dengan tidak disyaratkan bagaimana caranya debitur akan

menggunakan uang pinjaman tersebut.

Dari hal itu, maka Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil

antara Debitur dengan Kreditur (dalam hal ini Bank) yang melahirkan hubungan

hutang piutang, dimana Debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman

yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah

disepakati oleh para pihak.

B. Fungsi dan Jenis Perjanjian Kredit Bank

Fungsi Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam

pemberian, pengelolaan maupun pelaksanaan kredit itu sendiri. Perjanjian kredit

mempunyai beberapa fungsi, yaitu diantaranya:

1) Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit

merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain

yang mengikutinya (misalnya perjanjian pengikatan jaminan).

2) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak

dan kewajiaban diantara kreditor dan debitor dan

3) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit


Jenis-Jenis Perjanjian Kredit

Secara yuridis bahwa terdapat dua jenis perjanjian kredit yang digunakan

bank, yaitu;

1) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan

Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit di bawah tangan adalah

perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya

dibuat di antara mereka (kreditor dan debitor) tanpa notaris. Akta

perjanjian kredit dibawah tangan ini memiliki beberapa kelemahan, antara

lain:

a. Apabila akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan

karena misalnya alasan debitor wanprestasi, maka seandainya debitor

yang bersangkutan menyangkal atau memungkiri tandatangannya

akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang

telah dibuat tersebut. Dalam pasal 1877 KUH Perdata disebutkan

bahwa jika seseorang memungkiri tulisan atau tandatangannya, maka

Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada tulisan atau

tandatangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan, tentunya hal ini

akan merepotkan bank.

Oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana

formulirnya telah disediakan oleh bank (formulir baku), maka ada

kemungkinan terdapat kekurangan data-data yang seharusnya

dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit, bahkan dapat

terjadi karena alasan-alasan pelayanan, penandatanganan perjanjian

dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko

kosong, bila terjadi perselisihan, debitor dapat menyangkal


menandatangani akta perjanjian tersebut atau mengelak mengakui

perjanjian kredit dengan alasan yang bersangkutan menandatangani

blangko kosong.

c. Apabila akta perjanjian kredit dibawah tangan tersebut hilang karena

sebab apapun, maka bank tidak lagi memiliki arsip asli mengenai

adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti, keadaan ini akan

membuat posisi bank menjadi lemah bila terjadi perselisihan.

Berbeda dengan akta perjanjian kredit notaril, walaupun arsip di bank

hilang, masih ada arsip lainnya di notaris.

2) Perjanjian Kredit Notaril

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit notaril (otentik) adalah perjanjian

pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau

dihadapan notaris. Mengenai definisi akta otentik dapat dilihat pada Pasal

1868 KUH Perdata. Dari ketentuan/definisi akta otentik yang diberikan

oleh Pasal 1868 KUH Perdata tersebut, dapat ditemukan beberapa hal

sebagai berikut :

Yang berwenang membuat akta-otentik adalah notaris, terkecuali

wewenang tersebut diserahkan pada pejabat lain atau orang

lain.Pejabat lain yang dapat membuat akta otentik adalah misalnya

seorang panitera dalam sidang-pengadilan, seorang juru sita, seorang

jaksa atau polisi dalam membuat pemeriksaan pendahuluan, seorang

pegawai catatan sipil yang membuat akta kelahiran atau perkawinan,

pemerintah dalam membuat peraturan, sedang orang lain adalah yang

dikenal sebagai “onbezoldigde-hulpmagistraten” ex pasal 39 (6) HIR

yang dapat pula membuat proses verbal suatu akta otentik.


(2) akta otentik dapat dibedakan dalam : yang dibuat “oleh” dan yang

dibuat “dihadapan” pejabat umum. Jika dalam hal “membuat proses

verbal akta” adalah menulis apa yang dilihat dan yang dialami sendiri

oleh seorang notaris tentan perbuatan (handeling) dan kejadian

(daadzaken); membaca dan menadatangani hanya bersama para saksi

akta tersebut di luar hadirnya atau karena atau karena penolakan para

penghadap maka dalam hal “membuat partij akta” notaris membaca isi

akta tersebut, disusul oleh penandatangan akta tersebut oleh para

penghadap dan para saksi, terakhir oleh notaris itu sendiri.

(3) isi dari akta otentik adalah : semua “perbuatan” yang oleh undang-

undang diwajibkan dibuat didalam akta otentik dan semua perjanjian

dan penguasaan yang dikehendaki oleh mereka yang berkepentingan.

Suatu akta otentik dapat berisikan suatu perbuatan hukum yang

diwajibakan oleh undang-undang, jadi bukan perbuatan oleh seseorang

notaris atas kehendaknya sendiri. akta otentik memberikan kepastian

mengenai atau tentang penanggalan. Seorang notaris memberi

kepastian tentang penanggalan pada aktanya yang berarti bahwa ia

berkewajiban menyebut dalam akta bersangkutan tahun, bulan, dan

tanggal pada waktu mana akta tersebut dibuat. Pelanggaran dari

kewajiban tersebut berakibat akta tersebut kehilangan sifat otentiknya

dan dengan demikian hanya berkekuatan akta di bawah tangan ( pasal

25 S. 1860-3) Reglement tentang jabatan notaris di Indonesia.


C. Prinsip-Prinsip Dalam Pemberian Kredit

Di dalam praktek perbankan dikenal beberapa prinsip yang digunakan

dalam pemberian kredit pada pihak debitur. Prinsip-Prinspin tersebut antara lain :

1) Prinsip kepercayaan, maksudnya bahwa kredit adalah kepercayaan kreditur

bagi debitur, sekaligus kepercayaan bahwa debitur akan mengembalikan

hutangnya,

2) Prinsip kehati-hatian adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan

dalam pemberian kredit.

3) Prinsip 5C’s Meliputi :

a. Watak (character), yaitu kepribadian, moral dan kejujuran pemohon

kredit;

b. Modal (capital), yaitu modal dari pemohon kredit yang untuk

mengembangkan usahanya memerlukan bantuan bank.

c. Kemampuan (capacity), yaitu kemampuan untuk mengendalika,

memimpin, menguasai bidang usahanya, kesungguhan dan melihat

perspektif masa depan, sehingga usaha pemohon berjalan dengan baik dan

memberikan untung (rendable);

d. Kondisi ekonomi (condition of economic), yaitu situasi ekonomi pada

waktu dan jangka waktu tertentu, dimana kredit diberikan bank pada

pemohon;

Jaminan (collateral), adalah kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan,

guna kepastian pelunasan di belakang hari, kalau menerima kredit

tidak melunasi hutangnya. Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini

sebagai jaminan yang baik dan berharga sehingga akan dapat

memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain jaminan kredit sebagai


pengamanan pelunasan kredit, jaminan kredit sebagai pendorong

motivasi debitur, dan fungsi yang terkait dengan pelaksanaan

ketentuan perbankan.

a. Prinsip 5 P, meliputi :

a. Para pihak (party), dilakukan penggolongan calon debitur yang dibagi

dalam beberapa golongan berdasarkan character, capacity, dan capital.

b. Tujuan (purpose) maksudnya analisis tentang tujuan penggunaan

kredit yang telah disampaikan oleh calon debitur;

c. Pembayaran (payment), artinya sumber pembayaran dari calon debitur;

d. Perolehan laba (profitability) yaitu penilaian terhadapa kemampuan

calon debitur untuk memperoleh keuntungan dalam usahanya;

e. Perlindungan (protection) merupakan analisis terhadap sarana

perlindungan terhadap kreditur.

b. Prinsip 3 R meliputi :

a. Return, adalah penilaian atas hasil yang akan dicapai oleh perusahaan

peminjam setelah memperoleh kredit

b. Repayment adalah meperhitungkan kemampuan, jadwal dan jangka

waktu pembayaran kredit oleh debitur, tetapi perusahaannya tetap

berjalan;

c. Risk bearing ability adalah besarnya kemampuan perusahaan debitur

untuk menghindari resiko, dan apakah resiko perusahaan debitur besar

atau kecil.
D. Jaminan Dalam Perjanjian Kredit

Pengertian Jaminan

Dalam Bahasa Belanda istilah jaminan memiliki terjemahan yaitu

Zekerheid atau cutie yang mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin

dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggungan jawab umum debitur terhadap

barang-barangnya. Menurut dalam Pasal 1131 KUH Perdata Jaminan yaitu

“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah

ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan

perorangan debitur itu”. Hartono Hadisoeprapto mengungkapkan jaminan adalah

sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa

debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul

dari suatu perikatan

Pengertian kata jaminan kredit dalam perpektif Undang-Undang No.07 Tahun

1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998

disebutkan dalam ketentuan pasal 8 ayat (1) bahwa “dalam memberikan kredit

atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah , Bank Umum wajib mempunyai

keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta

kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan

pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Istilah jaminan dalam

perspektif Undang-Undang No.07 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang No.10 Tahun 1998 diartikan sebagai “keyakinan atas itikad dan

kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau

mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Berkaitan dengan pemberian kredit bank tetap meminta agunan dari

pemohon kredit selain analisis itikad baik dan kemampuan permohonan kredit.

Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Perbankan yang


mengartikan Agunan adalah “Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur

kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit pembiayaan berdasarkan

prinsip syariah”. Perjanjian pengikatan jaminan bersifat accesoir artinya

perjanjian pengiktan jaminan keberadaanya tergantung dari perjanjian pokonya

yaitu perjanjian kredit. Tujuan agunan ini untuk mendapatkan fasilitas pemberian

kredit dari bank.

E. Jenis-Jenis Jaminan Kredit

Pada umunya jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam Tata

Hukum Indonesia dapat digolong-golongkan menurut cara terjadinya, menurut

sifatnya, menurut objeknya, menurut kewenangan menguasainya dan lain-lain.

Menurut sifatnya, jaminan digolongkan menjadi jaminan perorangan dan jaminan

kebendaan. antara lain :

1) Jaminan Perorangan

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengemukakan bahwa jaminan

yang bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan

langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap

debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya (contoh

borgtocht).

Dikenal asas kesamaan dalam hak peroranganyang diatur dalam Pasal

1311 dan 1312 KUH Perdat. asas ini memiliki arti bahwa tidak ada

pembedaan atas piutang terdahulu dengan piutang yang terjadi kemudian.

Semua debitur mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta kekayaan

debitur.

Pada jaminan perorangan kreditur mempunyai hak menuntut

pemenuhan piutangnya selain kepada debitur yang utama juga kepada

penanggung atau dapat menuntut pemenuhan kepada debitur lainnya.


Jaminan perorangan yang demikian dapat terjadi jika kreditur mempunyai

seorang penjamin (borg) atau jika pihak ketiga mengikatkan diri secara

tanggung menanggung dalam debitur. Kata “perorangan” dalam jaminan

perorangan harus diartikan sebagai subjek hukum, yang terdiri dari orang-

perorangan (manusia) dan badan hukum. Oleh karena itu jaminan perorangan

ini dapat berupa personal guaranty (jamina orang/pribadi) dan corporate

guaranty (jaminan badan hukum/ badan usaha). Terdapat 3 jenis jaminan

perorangan, yaitu :

a. Perjnajian penanggungan/Borgtocht (pasal 1820 KUH Perdata)

b. Perjanjian Garansi (Pasal 1316 KUH Perdata)

c. Perjanjian Tanggung-menanggung/tanggung renteng (Pasal 1278 KUH

Perdata).

2) Jaminan Kebendaan

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengemukakan bahwa jaminan

kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang

mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu,

dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (dnoite de

suite) dan dapat diperalihkan (contoh hipotik, gadai dan lain-lain.

Hukum jaminan di Indonesia mengenat 5 (lima) jenis hak jaminan

kebendaan :

a. Gadai

Hak gadai menurut KUH Perdata diatur dalam Buku II Bab XX Pasal

1150 sampai dengan Pasal 1161. Menurut Pasal 1150 KUH Perdata,

“Gadai adalah suatu huk yang diperoleh kreditur atas suatu barang

bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya,


sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi wewenang kepada

kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan

mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan

sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau

penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarakan setelah

barang itu diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan”.Dari

pengertian gadai yang diatur dalam ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata,

belum dapat disimpulkan tentang sifat umum dari gadai. Sifat umum gadai

harus dicari lagi didalam ketentuan-ketentuan lain KUH Perdata yaitu

sebagai berikut:

- Gadai berlaku untuk benda bergerak

Benda yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak; baik berwujud

maupun tidak berwujud.

- Gadai bersifat kebendaan

Tujuan sifat kebendaan sebagaimana ketentuan Pasal 528 KUH Perdata

adalah untuk memberikan jaminan bagi pemegang gadai bahwa di

kemudian hari piutangnya pasti dibayar dari nilai jaminan.

- Benda gadai dikuasai oleh pemegang gadai

Sesuai dengan objek benda gadai yang merupakan benda bergerak, maka

harus ada hubungan yang nyata antara benda dan pemcgang gadai. Benda

gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai. Benda

gadai tidak boleh berada dalam kekuasaan wakil atau petugas pemberi

gadai. Ratio dari penguasaan ini ialah sebagai publikasi untuk umum;

bahwa hak kebendaan (jaminan) atas benda bergerak itu ada pada

pemegang gadai.
Demikian juga hak gadai hapus apabila barang gadai keluar dari

kekuasaan penerima gadai kecuali jika barang itu hilang atau dicuri padanya,

sesuai dengan bunyi Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata.

- Hak menjual sendiri benda gadai

Berdasarkan ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata, pemegang

gadai berhak menjual sendiri benda gadai dalam hal debitur wanprestasi. Dari

hasil penjualan tersebut, pemegang gadai berhak mengambil pelunasan

piutang beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut.

- Hak yang didahulukan

Pasal 1133 jo Pasal 1150 KUH Perdata

- Hak accesoir

Perjanjian gadai merupakan perjanjian ikutan atau accesoir, yaitu

perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya yang dalam hal ini yaitu

perjanjian kredit. Dengan demikian perjanjian gadai menjadi hapus apabila

perjanjian kredit yang menjadi perjanjian pokoknya berakhir.

Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan

penerima gadai (pandnemer). Pandgever, yaitu orang atau badan hukum

yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada

penerima gadai, untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak

ketiga. Pandnemer adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai

sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi

gadai (pandgever)
b. Hipotik

Pasal 1162 KUH Perdata mendefinisikan hipotik sebagai suatu hak

kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian

daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Sebagaimana halnya gadai, hipotik ini pun merupakan hak yang bersifat

accesoir. Pasal 1168 KUH Perdata menentukan bahwa hipotik hanya dapat

dilakukan oleh pemilik barang dan pemasangan hipotik atau kuasa memasang

hipotik harus dilakukan dengan akta Notaris, sebagaimana ketentuan Pasal

1171 KUH Perdata.

Objek hipotik sesuai dengan Pasal 1164 KUH Perdata adalah bacang

tidak bergerak. Hipotik tidak dapat dibebankan atas benda bergerak. Dengan

berlakunya UUHT, maka hak-hak atas tanah hanya dapat dibebani dengan

Hak Tanggungan Berdasar ketentuan Pasal 29 UUHT, ketentuan mengenai

Credieltierband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo.

Staat.sblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah

dengan Staatsblad 1937-190 ja. Staatsblaal 1937-191 dan ketentuan

mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-

undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak

Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan

tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Saat ini hipotik hanya dapat dibebankan atas:

- Kapal-kapal isi kotor 20 M3 dan terdaftar (Pasal 314 KUH Dagang jo Pasal

49 Undang-Undang Pelayaran No. 21 Tahun 1992)

- Pesawat terbang dan helikopter (Pasal 12 Undang-Undang No. 15 Tahun

1992 tentang Penerbangan).


c. Hak Tanggungan

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

(UUHT) disahkan pada tanggal 9 April 1996, 36 tahun setelah

pengamanatannya dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Lembaga hak tanggungan yang diatur oleh UUHT dimaksudkan

sebagai pengganti dari Hypotheek (hipotik) sebagaimana diatur dalam

Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai tanah dan Credretvenband

yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah

dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan pasal 57 UUPA masih

diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang

tentang Hak Tanggungan tersebut.

Dari pengertian hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 1

ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan adalah “hak jaminan

yang dibebankan pada hak alas tanah sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-

benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,

untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan

yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-

kreditur lain”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hak tanggungan

adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

terhadap kreditur-kreditur lain.


d. Fidusia

Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata

barat yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan

sistem civil law.

Lembaga jaminan fidusia sesungguhnya sudah sangat tua dan dikenal

serta digunakan dalam masyarakat Romawi. Dalam hukum Romawi

lembaga jaminan ini dikenal dengan nama fiducia cum creditore

contracta yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor.

Lembaga jaminan fidusia sebagaimana yang dikenal sekarang dalam

bentuk fiduciare eigendomsoverdracht atau FEO, yaitu pengalihan hak

milik secara kepercayaan timbul berkenaan dengan adanya ketentuan

Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata tentang gadai yang mensyaratkan

bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada

pemberi gadai.

Berdasar pengertian fidusia dan jaminan fidusia yang diatur

dalam Pasal 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah

hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang

tidak berwujud dan benda tiduk bergerak khususnya bangunan yang

tidak dapat dibebani hak tanggungan sehagaimnna dimuksud dalam

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang

tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi

pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

Jaminan fidusia dapat diuraikan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi

pengalihan hak kepemilikan, dimana pengalihan hak kepemilikan atas


benda yang menjadi objek jaminan fiducia dilakukan dengan cara

Ganstitutittn possessorium (verklaring van houderschap) yang berarti

pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan

penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia

seterusnya akan menguasai benda dimaksud untuk kepentingan

penerima fidusia.

Benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah segala

sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud

maupun yang tidak berwujud; yang terdaftar maupun yang tidak

terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat

dibebani hak tanggungan atau hipotek.

e. Sistem Resi Gudang (SRG)

Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 1 UUSRG, Sistem Resi Gudang

adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan,

penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang.

Sistem Resi Gudang merupakan salah satu instrumen penting dan

efektif dalam sistem pembiayaan perdagangan. Sistem Resi Gudang

dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha dengan agunan

inventori atau barang yang disimpan di gudang. Sistem Resi Gudang

juga bermanfaat dalam menstabilkan harga pasar dengan memfasilitasi

cara penjualan yang dapat dilakukan sepanjang tahun. Di samping itu,

Sistem Resi Gudang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk

pengendalian harga dan persediaan nasional.

Sesuai dengan ketentuan penjelelasan umun Undang-Undang No.9

Tahun 2006 paragraf VI Resi Gudang sebagai alas hak (document


of title) atas barang dapat digunakan sebagai agunan karena Resi

Gudang tersebut dijamin dengan komoditas tertentu dalam

pengawasan Pengelola Gudang yang terakreditasi. Sistem Resi

Gudang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

pemasaran yang telah dikembangkan di berbagai negara. Sistem ini

terbukti telah mampu meningkatkan efisiensi sektor agroindustri

karena baik produsen maupun sektor komersial dapat mengubah

status sediaan bahan mentah dan setengah jadi menjadi suatu

produk yang dapat diperjualbelikan secara luas. bahwa hal ini

dimungkinkan karena Resi Gudang juga merupakan instrumen

keuangan yang dapat diperjualbelikan, dipertukarkan, dan dalam

perdagangan. derivatif dapat diterima sebagai alat penyelesaian

transaksi kontrak berjangka yang jatuh tempo di bursa berjangka.


DAFTAR PUSTAKA

Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta.

H.R Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Tan Kamelo, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan,
Alumni, Bandung.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2007, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok


Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta.

Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum
Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung.

H. Salim HS, 2003, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW, Sinar Grafika, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai