DIABETES MELITUS
DISUSUSN KELOMPOK IV :
INDRA (3351161447)
RAHAYU (3351161447)
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat
dan Hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan makalah mengenai “Interaksi
Obat Diabetes Melitus“.
Makalah ini berisikan informasi mengenai interaksi obat kardiovaskuler
yang terfokus pada gangguan jantung mulai dari definisi penyakit hingga studi
kasus yang terjadi berkaitan dengan obat-obat diabetes melitus beserta analisis
resep dengan pemecahan masalah terkait obat. Penulis menyadari bahwa selama
penulisan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
sebab itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Afifah B. Sutjiatmo, M.S., Apt, selaku dosen mata kuliah yang telah
membantu penulis dalam menyusun makalah ini,
2. Rekan-rekan yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan
penyusunan makalah ini,
3. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak
kekurangan, baik dari hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca. Aamiin.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 2
1.3 Tujuan Makalah ........................................................................... 2
1.4 Kegunaan Makalah ....................................................................... 3
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
mengendalikan komplikasi yang mungkin timbul, mencegah dan mengendalikan
efek samping obat, memberikan rekomendasi penyesuaian rejimen dan dosis obat
yang harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan dokter yang merawat
penderita, yang kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan
kondisi penderita, merupakan peran yang sangat sesuai dengan kompetensi dan
tugas seorang apoteker. Demikian pula apoteker dapat juga memberikan tambahan
ilmu pengetahuan kepada penderita tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan kondisi dan pengelolaan diabetes, mulai dari pengetahuan tentang etiologi
dan patofisiologi diabetes sampai dengan farmakoterapi dan pencegahan
komplikasi yang semuanya dapat diberikan dengan bahasa yang mudah dipahami,
disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan kondisi penderita. Pentingnya peran
apoteker dalam keberhasilan penatalaksana diabetes ini menjadi lebih bermakna
karena penderita diabetes umumnya merupakan pelanggan tetap apotik, sehingga
frekuensi pertemuan penderita diabetes dengan apoteker di apotik mungkin lebih
tinggi daripada frekuensi pertemuannya dengan dokter. Peluang ini seharusnya
dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka memberikan pelayanan
kefarmasian yang profesional.
5
1.4 Kegunaan Makalah
Sebagai informasi dasar untuk mengenal rdiabetes melitus dan untuk
menambah wawasan serta pengetahuan pembaca mengenai diabetes melitus.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Prevalensi
7
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi DM tertinggi berada pada daerah
DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan
Kalimantan Timur (2,3%).
2.3 Patofisiologi
8
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa
tersebut dieksresikan dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh
pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis
osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsi).
2. Diabetes Tipe II
9
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, pilidipsia, luka
pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur.
3. Diabetes Gestasional
2.4 Etiologi
10
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah
keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan,
dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita
hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah
trimester kedua.
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya dapat pulih sendiri
beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi
yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi
kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko
mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan
lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol
metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.
11
Jika menggunakan kerangka teori berupa model Risk Factors & End Points
dari penyakit tidak menular, faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan
kejadian diabetes mellitus adalah sebagai berikut:
Umur
Penelitian Iswanto (2004) menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara umur dengan kejadian diabetes mellitus. Diabetes Tipe-1 yang diduga
diakibatkan oleh faktor genetik sebagian besar terjadi pada usia anak-anak dan
remaja. Sementara itu, diabetes Tipe-2 biasanya banyak terjadi pada usia 40 tahun
ke atas karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intoleransi glukosa.
Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas
dalam memproduksi insulin (Budhiarta dkk., 2005 dalam Sujaya, 2009).
12
Penelitian dari Universitas Yale menunjukkan bahwa pada individu yang
berusia lebih tua,terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar
35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30%
dan memicu terjadinya resistensi insulin (Yale News, 2010).
Jenis Kelamin
Beckles dan Thompson Reid (2001) dalam Grant, dkk. (2009) memaparkan
bahwa variasi proporsi diabetes mellitus, khususnya pada wanita dapat disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu dampak dari diabetes gestasional pada ibu dan bayi, serta
tingginya prevalensi diabetes mellitus pada wanita yang berusia tua, yang
disebabkan oleh usia harapan hidup wanita yang lebih tinggi dari pria. Selain itu,
wanita juga lebih rentan terkena faktor-faktor risiko diabetes mellitus
dibandingkan dengan pria (Beckles dan Thompson Reid, 2001 dalam Grant, dkk.,
2009). Faktor-faktor risiko tersebut di antaranya indeks massa tubuh yang serta
tekanan darah yang lebih tinggi pada wanita (Juutilainen, 2004).
Ras
Variasi kejadian diabetes menurut suku atau ras ini juga dipengaruhi oleh
kebiasaan makan dari masing-masing ras. Penelitian pada masyarakat Bali tahun
2009 menunjukkan bahwa masyarakat yang lebih banyak mengkonsumsi
makanan tradisional dengan kandungan lemak dan karbohidrat yang tinggi
memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami Diabetes Melitus (Sujaya,
2009). Hasil serupa juga ditemukan dalam penelitian kepada Ras Fiji yang
mengkonsumsi protein, lemak, dan karbohidrat yang lebih tinggi. Ras tersebut
memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena Diabetes Melitus dibandingkan dengan
Ras Jepang dan Vietnam (Tomisaka dkk., 2002 dalam Sujaya, 2009).
Faktor Genetik
Penelitian dari Genome-Wide Association menemukan bahwa terdapat jenis
Single Nucleotide Polimorphisms (SNPs) yang terkait dengan fungsi sel β
pankreas yang memicu terjadinya DM. Namun, faktor lain seperti obesitas dan
rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor yang lebih penting (Sladek, 2007
dalam Praet, 2009).
Riwayat Keluarga
13
Penelitian dari Lies (1998) menunjukkan bahwa adanya riwayat diabetes
melitus pada keluarga (orang tua atau kakek-nenek) berhubungan signifikan
dengan kejadian diabetes mellitus pada seseorang. Hasil ini diperkuat oleh
penelitian Iswanto (2004) yang menemukan bahwa adanya riwayat diabetes pada
kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, kakak, atau adik berhubungan signifikan
dengan kejadian diabetes mellitus.
Penyakit diabetes diturunkan menurut Hukum Mendel secara resesif
autosomal dengan penetrasi inkomplit. Apabila kedua orang tua merupakan
penderita diabetes mellitus, maka semua anaknya juga akan menderita penyakit
tersebut. Sedangkan jika salah satu orangtua dan kakek menderita diabetes, maka
50% dari anak-anaknya akan terkena diabetes (Himawan, 1973).
Konsumsi Zat
Gizi Menurut penelitian Sujaya (2009), konsumsi karbohidrat yang tinggi
dapat meningkatkan risiko terkena DM sebanyak 10,28 kali. Selain itu, orang
dengan konsumsi lemak yang tinggi berisiko 5,25 kali lebih besar untuk terkena
diabetes, dibandingkan dengan orang yang konsumsi lemaknya rendah. Sementara
itu, pada penduduk pria di Amerika Serikat, pola makan western, yaitu yang
mengandung daging, kentang goreng, dan susu yang berlemak tinggi terbukti
berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya DM (Van Dam dkk., 2002
dalam Sujaya, 2009). Konsumsi karbohidrat yang tinggi ini akan semakin
meningkatkan risiko DM jika diiringi asupan serat yang rendah (Gross dkk., 2004
dalam Sujaya, 2009)
Aktivitas Fisik
Hasil penelitian Lies (1998) menemukan bahwa aktivitas fisik seseorang
memiliki hubungan yang signfikan dengan kejadian DM Tipe-2, dengan. Hasil
tersebut diperkuat oleh penemuan serupa pada penelitian Yuniatun (2003).
Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan jumlah energi yang dikonsumsi melebihi
jumlah energi yang dikeluarkan, sehingga menimbulkan keseimbangan energi
positif yang disimpan pada jaringan adipose. Hal ini menyebabkan terjadinya
resistensi insulin yang berkembang menjadi DM Tipe-2 (WHO, 2003 dalam
Sujaya, 2009). Oleh karena itu, disarankan bagi anak dari penderita DM Tipe-2
14
untuk mengatur asupan makanan dengan tepat, menghindari overweight, dan
melakukan aktivitas fisik secara teratur untuk mencegah timbulnya diabetes
mellitus (Pipicelli dkk., 2009).
Penyakit Mental
Saat seseorang mengalami stress, tubuhnya akan memproduksi hormone
kortisol secara berlebihan. Produksi kortisol yang berlebih ini akan
mengakibatkan sulit tidur, depresi, tekanan darah merosot, yang kemudian akan
membuat individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makan berlebih. Oleh karena
itu, ahli nutrisi biologis Shawn Talbott menjelaskan bahwa pada umumnya orang
yang mengalami stress panjang juga akan mempunyai kecenderungan berat badan
yang berlebih (Siagian, 2012). Berat badan berlebih adalah salah satu faktor risiko
diabetes mellitus.
Individu dengan skizofrenia dan penyakit mental serius lainnya mempunyai rate
DM yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum (Goldberg, 2007).
Hipertensi
Hipertensi biasanya terjadi bila tekanan darah mencapai lebih dari 140 mmHg
(sistolik) dan 85-90 mmHg (diastolik). Apabila kondisi hipertensi pada seseorang
dibiarkan tanpa perawatan. Maka kondisi ini dapat menyebabkan penebalan
pembuluh darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi
menyempit. Hal ini akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam
darah menjadi terganggu (Zieve, 2012).
Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, prevalensi Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT) dan diabetes mellitus (DM) cenderung lebih tinggi pada kelompok yang
menderita hipertensi, dibandingkan dengan yang tidak hipertensi. Pada kelompok
yang hipertensi, persentase TGT dan DM adalah masing-masing sebesar 15,1%
dan 9%. Angka yang lebih rendah ditemukan pada kelompok yang tidak
hipertensi, dengan persentase TGT dan DM masing-masing sebesar 8,4% dan
3,4%.
Obesitas
Kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein, dan
lemak yang merupakan faktor risiko dari obesitas menyebabkan meningkatnya
15
Asam Lemak atau Free Fatty Acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan
menurunkan translokasi transporter glukosa ke membran plasma, dan
menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada jaringan otot dan adipose
(TeixeiraLemos dkk., 2011). Prevalensi DM sejalan dengan tingkat obesitas.
Semakin berat tingkat obesitas, semakin tinggi pula prevalensi DM. Setiap
peningkatan 1 kg berat badan dapat meningkatkan risiko terjadinya DM sebesar
4,5% (Webber, 2004 dalam Sujaya, 2009). Selain itu, pada penelitian Lies (1998)
ditemukan bahwa indeks massa tubuh memiliki hubungan yang bermakna dengan
kejadian diabetes mellitus.
2.6 Terminologi
16
Kadar Insulin <7 %
Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid, paru dan
jantung
c. Evaluasi Laboratorium
HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien yang mencapai
sasaran terapi dan yang memiliki kendali glikemik stabil. dan 4 kali dalam 1 tahun
pada pasien dengan perubahan terapi atau yang tidak mencapai sasaran terapi.
Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
17
d. Penapisan Komplikasi Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap
penderita yang baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan :
2.7 Komplikasi
DM sering disebut dengan the great imitator, yaitu penyakit yang dapat
menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai keluhan. Penyakit ini
timbul secara perlahan-lahan, sehingga seseorang tidak menyadari adanya
berbagai perubahan dalam dirinya. Karena itu, jelas bahwa DM bisa menjadi
penyebab terjadinya komplikasi baik yang akut maupun kronis.
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia
18
alkoholik, adanya tumor yang mensekresi glukagon, malnutrisi, dan yang
jarang terjadi pada sepsis. Hipoglikemia dapat juga terjadi tanpa gejala
awal pada sebagian pasien DM yang juga menderita hipertensi, khususnya
di malam hari atau saat menggunakan obat bloker beta (obat hipertensi).
Pada awalnya ketika glukosa darah berada pada tingkat 40-50 mg/dl,
pasien DM mengalami gemetaran, keringat dingin, mata kabur, lemah,
lapar, pusing, sakit kepala, tegang, mual, jantung berdebar, dan kulit
dingin. Pada saat glukosa darah di bawah 40 mg/dl, pasien akan merasa
mengantuk, sukar bicara seperti orang mabuk, dan bingung. Dan pada saat
glukosa di bawah 20 mg/dl keluhan atau gejala yang terjadi adalah kejang,
tidak sadarkan diri (koma hipoglikemia), dan bisa menyebabkan kematian.
b. Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah gawat darurat akibat
hiperglikemia dimana terbentuk banyak asam dalam darah. Hal ini terjadi
akibat sel otot tidak mampu lagi membentuk energi sehingga dalam
keadaan darurat ini tubuh akan memecah lemak dan terbentuklah asam
yang bersifat racun dalam peredaran darah yang disebut keton. Keadaan ini
terjadi akibat suntikan insulin berhenti atau kurang, atau mungkin karena
lupa menyuntik atau tidak menaikkan dosis padahal ada makanan ekstra
yang menyebabkan glukosa darah naik.20,37 Biasanya paling sering
19
ditemukan pada penderita DM Tipe 1, namun pada penderita DM Tipe 2
pada keadaan tertentu seperti stress, infeksi, kelainan vaskuler ataupun
stress emosional juga beresiko mendapatkan KAD.
Keluhan dan gejala KAD timbul akibat adanya keton yang
meningkat dalam darah. Keluhan dan gejala tersebut berupa nafas yang
cepat dan dalam, nafas bau keton atau aseton, nafsu makan turun, mual,
muntah, demam, nyeri perut, berat badan turun, capek, lemah, bingung,
mengantuk, dan kesadaran menurun sampai koma.35 Hasil pengamatan di
bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM tahun 1990, terdapat 152 pasien
DM yang dirawat dengan CFR sebesar 24,9 % dari 15 kasus KAD
c. Hiperosmolar Non-Ketotik
Hiperosmolar Non-Ketotik adalah suatu keadaan dimana kadar
glukosa darah sangat tinggi sehingga darah menjadi sangat “kental”, kadar
glukosa darah DM bisa sampai di atas 600 mg/dl. Glukosa ini akan
menarik air keluar sel dan selanjutnya keluar dari tubuh melalui kencing.
Maka, timbullah kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi. Gejala
Hiperosmolar Non-Ketotik mirip dengan ketoasidosis. Perbedaannya, pada
Hiperosmolar Non-Ketotik tidak dijumpai nafas yang cepat dan dalam
serta berbau keton. Gejala yang ditimbulkan adalah rasa sangat haus,
banyak kencing, lemah, kaki dan tungkai kram, bingung, nadi berdenyut
cepat, kejang dan koma.
2. Komplikasi Kronik
Kadar gula darah pada penderita DM dapat dikontrol. Jika kadar gula darah
tetap tinggi akan timbul komplikasi kronik. Komplikasi kronik diartikan sebagai
kelainan pembuluh darah yang akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung,
gangguan fungsi ginjal, dan gangguan saraf. Komplikasi kronik sering dibedakan
berdasarkan bagian tubuh yang mengalami kerusakan, seperti kerusakan pada
saraf, ginjal, mata, jantung, dan lainnya.
20
DM dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal. Ginjal menjadi tidak
dapat menyaring zat yang terkandung dalam urin. Bila ada kerusakan ginjal, racun
tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal
bocor keluar. Penderita DM memiliki resiko 20 kali lebih besar menderita
kerusakan ginjal dibandingkan dengan orang tanpa DM. Gambaran gagal ginjal
pada penderita DM yaitu : lemas, mual, pucat, sesak nafas akibat penimbunan
cairan. Adanya gagal ginjal dibuktikan dengan kenaikan kadar kreatinin/ureum
serum ditemukan berkisar 2-7 % dari penderita DM. selain itu adanya proteinuria
tanpa kelainan ginjal yang lain merupakan salah satu tanda awal nefropati
diabetik.
c. Kerusakan Mata
21
tinggi menyebabkan rusaknya pembuluh darah retina bahkan dapat menyebabkan
kebocoran pembuluh darah kapiler. Darah yang keluar dari pembuluh darah inilah
yang menutup sinar yang menuju ke retina sehingga penglihatan penderita DM
menjadi kabur. Kerusakan yang lebih berat akan menimbulkan keluhan seperti
tampak bayangan jaringan atau sarang laba-laba pada penglihatan mata, mata
kabur, nyeri mata, dan buta. Selain menyebabkan retinopati, DM juga dapat
menyebabkan lensa mata menjadi keruh (tampak putih) yang disebut katarak serta
dapat menyebabkan glaucoma (menyebabkan tekanan bola mata).
d. Penyakit jantung
e. Hipertensi
22
gembung, dan kotoran keras. Keadaan sebaliknya adalah kadang-kadang
menunjukkan keluhan diare, kotoran banyak mengandung air tanpa rasa sakit
perut.
23
Kadar HbA1c <7mg/dl
Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat,
protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
Karbohidrat : 60-70%
Protein : 10-15%
Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal.
24
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi
insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam
salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat
mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter
status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan
3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya
diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300
mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang
mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak
jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama
daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak.
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling
tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan
lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat
membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa
risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat
seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan
mineral.
Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan
nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk
penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan
asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah
raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang,
dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total
25
30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri
pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa.
2) Terapi Farmakologi
26
dan masa kerja pendek, sedangkan mula kerja (onset) fase 2 berlangsung
lebih lambat, namun dengan lama kerja (durasi) yang lebih lama pula.
Disamping kadar gula darah dan hormon-hormon saluran cerna, ada
beberapa faktor lain yang juga dapat menjadi pemicu sekresi insulin, antara
lain kadar asam lemak, benda keton dan asam amino di dalam darah, kadar
hormon-hormon kelenjar pankreas lainnya, serta neurotransmiter otonom.
Kadar asam lemak, benda keton dan asam amino yang tinggi di dalam darah
akan meningkatkan sekresi insulin.
Dalam keadaan stres, yaitu keadaan dimana terjadi perangsangan syaraf
simpatoadrenal, hormon epinefrin bukan hanya meninggikan kadar glukosa
darah dengan memacu glikogenolisis, melainkan juga menghambat
penggunaan glukosa di sel-sel otot, jaringan lemak dan sel-sel lain yang
penyerapan glukosanya dipengaruhi insulin. Dengan demikian, glukosa darah
akan lebih banyak tersedia untuk metabolisme otak, yang penyerapan
glukosanya tidak bergantung pada insulin. Dalam keadaan stres, sel-sel otot
terutama menggunakan asam lemak sebagai sumber energi, dan epinefrin
memang menyebabkan mobilisasi asam lemak dari jaringan.
27
metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein dan
mineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta
meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga
mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel.
Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif
dan komplikasi yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh.
Penggolongan Sediaan Insulin
Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang
terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration).
Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga insulin reguler
2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)
3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat
4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)
28
Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh sebab itu
jenis sediaan insulin mana yang diberikan kepada seorang penderita dan
berapa frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual, bahkan
seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu. Umumnya, pada
tahap awal diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang, kemudian
ditambahkan insulin dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia
setelah makan. Insulin kerja singkat diberikan sebelum makan, sedangkan
Insulin kerja sedang umumnya diberikan satu atau dua kali sehari dalam
bentuk suntikan subkutan. Namun, karena tidak mudah bagi penderita
untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia sediaan campuran tetap dari
kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja sedang (NPH).
Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit, tetapi
memanjang pada penderita diabetes yang membentuk antibodi terhadap
insulin. Insulin dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan otot. Gangguan
fungsi ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di dalam darah
(IONI, 2000).
Insulin harus disimpan di lemari es pada temperatur 2-8o C. Insulin vial Eli
Lily yang sudah dipakai dapat disimpan selama 6 bulan atau sampai 200
suntikan bila dimasukkan dalam lemari es. Vial Novo Nordisk insulin yang
sudah dibuka, dapat disimpan selama 90 hari bila dimasukkan lemari es.
Insulin dapat disimpan pada suhu kamar dengan penyejuk 15-20o C bila
seluruh isi vial akan digunakan dalam satu bulan. Penelitian menun- jukkan
bahwa insulin yang disimpan pada suhu kamar lebih dari 30° C akan lebih
cepat kehilangan potensinya. Penderita dianjurkan untuk memberi tanggal
29
pada vial ketika pertama kali memakai dan sesudah satu bulan bila masih
tersisa sebaiknya tidak digunakan lagi.
Penfill dan pen yang disposable berbeda masa simpannya. Penfill regular
dapat disimpan pada temperatur kamar selama 30 hari sesudah tutupnya
ditusuk. Penfill 30/70 dan NPH dapat disimpan pada temperatur kamar
selama 7 hari sesudah tutupnya ditusuk.
Untuk mengurangi terjadinya iritasi lokal pada daerah penyuntikan yang
sering terjadi bila insulin dingin disuntikkan,
dianjurkan untuk mengguling-gulingkan alat suntik di antara telapak
tangan atau menempatkan botol insulin pada suhu kamar, sebelum
disuntikkan.
Terapi Obat Hipoglikemik Oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat
sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis
obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan
komplikasi yang ada.
b) PENGGOLONGAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap
insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan
tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin
secara lebih efektif.
30
Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang
bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia).
Disebut juga “starch-blocker”.
Dalam tabel 8 disajikan beberapa golongan senyawa hipoglikemik oral beserta
mekanisme kerjanya.
31
Inhibitor α- Acarbose Miglitol Menghambat kerja enzim-enzim
glukosidase pencenaan yang mencerna
karbohidrat, sehingga
memperlambat absorpsi glukosa ke
dalam darah
Golongan Sulfonilurea
Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan.
Sampai beberapa tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat
hipoglikemik oral merupakan golongan sulfonilurea. Obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk penderita
diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak
pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonilurea
sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid.
Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar
pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel Langerhans pankreas
masih dapat berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah
pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan
sekresi insulin oleh kelenjar pancreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan
perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat glukosa (atau kondisi
hiperglikemia) gagal merangsang sekresi insulin, senyawa-senyawa obat ini
masih mampu meningkatkan sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat
golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita diabetes yang
kelenjar pankreasnya masih mampu memproduksi insulin, tetapi karena
sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan sel-sel
Langerhans kelenjar pancreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea tidak bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonilurea
menghambat degradasi insulin oleh hati.
Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup baik,
sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi, obat ini tersebar ke
32
seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat pada protein plasma
terutama albumin (70-90%).
Efek Samping (Handoko dan Suharto, 1995; IONI, 2000)
Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea umumnya
ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan
gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare,
sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala. Gangguan susunan
syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya. Gejala
hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan
anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida dapat
meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi
apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati
atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat
hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang.
33
Fimediab (First Medipharma) dan ginjal. (Handoko dan Suharto,
Glidanil (Mersi) Soegondo,
1995; 1995b).
Gluconic (Nicholas)
Glimel (Merck)
Hisacha (Yekatria Farma)
Latibet (Ifars)
34
Diamicron (Darya Varia) diberikan pada penderita gangguan
Glibet (Dankos) hati
fungsi dan ginjal yang ringan (Soegondo,
Glicab (Tempo Scan 1995b).
Pacific)
Glidabet (Kalbe Farma)
Glikatab (Rocella Lab)
Glucodex (Dexa Medica)
Glumeco (Mecosin)
Gored (Bernofarm)
Linodiab (Pyridam)
Nufamicron (Nufarindo)
Pedab (Otto)
Tiaglip (Tunggal IA)
Xepabet (Metiska Farma)
Zibet (Meprofarm)
35
Ingelheim) 1995b).
Golongan Biguanida
Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati
(hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan
biguanida tidak merangsang sekresi insulin, dan hampir tidak pernah
menyebabkan hipoglikemia. Satu-satunya senyawa biguanida yang masih
36
dipakai sebagai obat hipoglikemik oral saat ini adalah metformin. Metformin
masih banyak dipakai di beberapa negara termasuk Indonesia, karena
frekuensi terjadinya asidosis laktat cukup sedikit asal dosis tidak melebihi
1700 mg/hari dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati.
Efek Samping (Soegondo, 1995b)
Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah, kadang-
kadang diare, dan dapat menyebabkan asidosis laktat.
Kontra Indikasi
Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita gangguan
fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal, penyakit jantung kongesif dan wanita
hamil. Pada keadaan gawat juga sebaiknya tidak diberikan biguanida.
37
Neodipar (Aventis)
Rodiamet (Rocella)
Tudiab (Meprofarm)
Zumamet (Prima Hexal)
38
tabel 9. antidiabetik oral golongan tiazolidindion
Obat Hipoglikemik Oral Keterangan
Cara kerja hampir sama dengan
Rosiglitazone diekskresi
pioglitazon, melalui urin dan feses.
efek hipoglikemik
Mempunyai yang cukup baik jika
Contoh Sediaan: dikombinasikan dengan metformin. Pada
Avandia ini
saatbelum beredar di Indonesia.
(GlaxoSmithKline)
39
plasma puasa kurang dari 180 mg/dl. Obat ini hanya mempengaruhi kadar
glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah
setelah itu.
Obat-obat inhibitor -glukosidase dapat diberikan sebagai obat tunggal
atau dalam bentuk kombinasi dengan obat hipoglikemik lainnya. Obat ini
umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap
sampai 150-600 mg/hari. Dianjurkan untuk memberikannya bersama suap
pertama setiap kali makan.
Efek Samping (Soegondo, 1995b)
Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan
kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah pengobatan berlangsung
lebih lama. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu
makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Bila diminum
bersama-sama obat golongan sulfonilurea (atau dengan insulin) dapat terjadi
hipoglikemia yang hanya dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi tidak dapat
diatasi dengan pemberian gula pasir. Obat ini umumnya diberikan dengan
dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap, serta dianjurkan untuk
memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan.
Acarbose
Acarbose dapat diberikan dalam terapi
Contoh Sediaan: kombinasi dengan sulfonilurea, metformin,
Precose
40
2.9 Interaksi Obat
Obat diabetes (Oral dan Insulin) Alkohol Meningkatkan efek obat diabetes
(hipoglikemik)
41
Obat diabetes oral dan insulin amfetamin Menurunkan efek dari obat diabetes
sehingga hiperglikemik tidak terobati
42
BAB III
STUDI KASUS
KASUS
Seorang pasien perempuan usia 57 tahun menderita DM hiperglikemia dengan
kadar glukosa darah sewaktu 420 mg/dL. Riwayat penyakit hipertensi 170/110
mmHg. Riwayat pengobatan glukodex 2 kali sehari, untuk hipertensi diltiazem 30
mg 3 kali sehari, captopril 25 mg 3 kali sehari, dan aspirin 100 mg 1 kali sehari.
PEMCAHAN KASUS
Subjective:
1. Jenis kelamin : perempuan
2. Usia : 57 tahun
Objective
1. DM hiperglikemia
2. Hipertensi
3. Kadar glukosa darah sewaktu 420 mg/dL
4. TD 170/110 mmHg
5. Glukodex 2 kali sehari
6. Diltiazem 30 mg 3 kali sehari
7. Captopril 25 mg 3 kali sehari
8. Aspirin 100 mg 1 kali sehari
Assessment
43
1. Hipertensi yang diderita pasien merupakan komplikasi dari penyakit DM dan
karena faktor usia.
2. Kadar gula darah sewaktu tetap 420 mg/dL karena pemberian glukodex yang
tidak tepat indikasinya bagi pasien.
3. Aspirin diberikan untuk mengatasi aterosklerosis yang terjadi pada pasien
akibat hipertensi dan diabetes.
Plan
1. Obat diltiazem tidak perlu diberikan kepada pasien karena tidak efektif untuk
pengobatan hipertensi pasien.
Pengobatan hipertensi stage II dengan komplikasi DM adalah obat-obat golongan
ACE inhibitor atau ARB. Captopril adalah golongan obat ACE inhibitor,
sedangkan diltiazem adalah golongan CCB. Dosis Captopril yang digunakan sudah
tepat yaitu 25 mg 3 kali sehari.
2. Glukodex diindikasikan untuk penderita DM tipe 2 ringan – sedang, sedangkan
pasien menderita DM hiperglikemia. Obat DM hiperglikemia adalah golongan
tiazolidindion yaitu pioglitazon dan rosiglitazon. Jadi, pemberian glukodex
digantikan dengan pioglitazon 1 kali sehari 30 mg. Dosis dapat ditingkatkan sampai
1 kali sehari 45 mg. Diberikan sebelum atau sesudah makan.
3. Aterosklerosis sangat dipengaruhi oleh kadar kolesterol yang tinggi (khususnya
LDL), merokok, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, obesitas, dan kurang
aktivitas fisik. Penggunaan aspirin (75-162 mg) aman untuk pencegahan primer
pada penderita DM tipe 2 di atas usia 40 tahun atau penderita dengan risiko
kardiovaskular tambahan. Jadi, pemberian aspirin 100 mg 1 kali sehari untuk
pasien baik untuk mengatasi aterosklerosis yang ditimbulkan oleh hipertensi dan
DM yang dideritanya.
Monitoring
1. Tekanan darah (target < 130/80 mmHg)
2. LDL kolesterol (target < 100 mg/dL)
3. Penggunaan aspirin untuk pasien DM dengan hipertensi dan resiko jantung
44
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Pentingnya peran apoteker dalam keberhasilan penatalaksana diabetes ini
menjadi lebih bermakna karena penderita diabetes umumnya merupakan
pelanggan tetap apotik, sehingga frekuensi pertemuan penderita diabetes dengan
apoteker di apotik mungkin lebih tinggi daripada frekuensi pertemuannya dengan
dokter. Peluang ini seharusnya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam
rangka memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional.
45
DAFTAR PUSTAKA
46