Anda di halaman 1dari 10

Perbedaan prinsip yang mengatur tanaga kerja menurut Undang-undang dan peraturan yang

telah ada :

1. PP 32 Tahun 1996 bandingkan dengan Undang-undang


2. Apakah dengan Undang-undang tenaga kesehatan Indonesia bisa bergeser dengan

tenaga kesehatan asing ?


3. Undang-undang kesehatan 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, apakah Undang-

undang kesehatan ini sudah bisa ditetapkan secara menyeluruh di seluruh Indonesia ?
4. UUD No.29 Tahun 2004 tentang praktik Kedokteran, bagaimana korelasinya dengan

kebijakan Dokter Layanan Primer ?


5. UU No.8 Tahun 1999 ( Undang-undang tentang layanan primer ), bagaimana

penerapannya dengan kasus-kasus berbagai macam jenis obat palsu ?

Jawaban

1. Menurut kami perbedaan prinsip antara PP 32 Tahun 1996 dibandingan Undang-

undang dimana pada keduanya memiliki tujuan yaitu untuk pembangunan kesehatan

sebagai bagian integral dari Pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah

penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi

setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yang besar

artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia sebagai modal

Pembangunan Nasional. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan

kesejahteraan keluarga dan masyarakat dengan menanamkan kebiasaan hidup

sehat.
Untuk rnewujudkan hal tersebut di atas diselenggarakan berbagai upaya

kesehatan yang didukung antara lain oleh sumber daya tenaga kesehatan yang

memadai sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan. Oleh

karena itu pola pengembangan sumber daya tenaga kesehatan perlu disusun

secara cermat yang meliputi perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga

kesehatan yang berskala nasional.


Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan secara nasional disesuaikan dengan

masalah kesehatan, kemampuan daya serap dan kebutuhan pengembangan program

pembangunan kesehatan. Pengadaan tenaga kesehatan sesuai dengan perencanaan

kebutuhan tersebut diselenggarakan rnelalui pendidikan dan pelatihan baik oleh

Pemerintah dan/atau oleh masyarakat termasuk swasta sedangkan

pendayagunaannya diselenggarakan secara efektif dan merata.


Dalam rangka penempatan terhadap jenis tenaga kesehatan tertentu

ditetapkan kebijaksanaan melalui pelaksanaan masa bakti terutama bagi tenaga

kesehatan yang sangat potensial di dalam kebutuhan penyelenggaraan upaya

kesehatan. Disamping itu tenaga kesehatan tertentu yang bertugas sebagai

pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai dengan

kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan

kewajibarmya. Kompetensi dan kewenangan tersebut menunjukan kemampuan

profesional yang baku dan merupakan standar profesi untuk tenaga kesehatan

tersebut. Tenaga kesehatan yang melaksanakan tugas sesuai dengan standar

profesinya akan mendapatkan perlindungan hukum. Terhadap jenis tenaga

kesehatan tersebut di dalam, melaksanakan tugas profesinya tetap diperlukan izin.


Tenaga kesehatan sebagai pendukung upaya kesehatan dalam menjalankan

tugasnya harus selalu dibina dan diawasi. Pembinaan dilakukan untuk

mempertahankan dan meningkatkan kemampuannya, sehingga selalu tanggap

terhadap permasalahan kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan

pengawasan dilakukan terhadap kegiatannya agar tenaga kesehatan tersebut dapat

melaksanakan tugasnya sesuai dengan kebijaksanaan peraturan perundang-undangan

dan sistem yang telah ditetapkan. Setiap penyimpangan pelaksanaan tugas oleh

tenaga kesehatan mengakibatkan konsekuensi dalam bentuk sanksi.


Sehingga pada intinya secara garis besar undang- undang mengatur secara

keseluruhan mengenai sistem kesehatan di Indonesia baik secara sistem, institusi,


maupun pemberian obat pada pasien sedangkan peraturan pemerintah No 32 Tahun

1996 lebih berfokus pada hak dan kewajiban tenaga kesehatan dalam menunjang

Undang-undang sehingga terjadinya masyatrakat Indonesia yang sehat secara fisik,

jasmani, dan psikologis.


2. Menurut kami sangat bisa terjadi bergesernya tenaga asing di Indonesia dimana pada

Undang-undang di Indonesia bersifat general dan terbuka yang terpenting pada

undang-undang kesehatan adalah terciptanya masyarakat Indonesia yang sehat

denga cara yang global baik secara keilmuan maupun fasilitas kesehatan. Sesuai

dengan definisi Globalisasi adalah peristiwa mendunia atau proses membuana dari

keadaan lokal atau nasional yang lebih terbatas sebelumnya. Artinya pembatasan

antar negeri untuk perpindahan barang, jasa, modal, manusia, teknologi, pasar, dan

masih banyak hal lain menjadi tidak berarti atau malahan hilang sama sekali.

Globalisasi di berbagai sektor yang mengarah pada pasar bebas tidak bisa dihindari

oleh negara-negara lain termasuk diantaranya Indonesia. Di era ini, batas negara

semakin menghilang, sementara kemajuan teknologi dan informasi berkembang

demikian cepat. Globalisasi mempengaruhi perubahan di semua sektor, tidak

terkecuali di bidang kesehatan. Apalagi akan diberlakukannya Asean Free Trade

Area (AFTA) atau istilah lainnya Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun

2015 ini.
Indonesia sebagai negara berkembang dan merupakan negara yang cukup

diminati oleh negara asing. Pertama, karena memiliki potensi pasar yang besar

terkait dengan jumlah penduduk yang besar yaitulebih dari 200 juta penduduk.

Kedua, sekarang ini kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup menjanjikan.

Dengan potensi pasar yang besar tidak mengherankan jika kelak banyak dokter atau

tenaga kesehatan asing yang berniat bekerja di Indonesia. Hal ini tampaknya

menakutkan profesi kesehatan, karena ketakutan untuk bersaing, seperti kita ketahui
kualitas sumber daya manusia kesehatan kita rendah serta penguasaan teknologi

yang terbatas pula.


Adapun sesuai dengan persyaratan dari Kementerian Kesehatan yang diatur

dalam permenkes 67 / 2013 yang mengacu pada UU 39 / 2004 tentang

ketenagakerjaan bahwa tenaga kesehatan asing yang ingin bekerja di Indonesia yaitu

berusia muda sekitar 30 – 45 tahun, dan merupakan lulusan dari perguruan tinggi

yang mutunya diakui secara internasional, dan telah memperoleh lisensi dari negara

asalnya. Selain itu harus lolos kualifikasi dan kompetensi serta diprioritaskan pada

penguasaan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Tenaga medis asing

tersebut juga harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dari konsil kedokteran

untuk dokter dan perawat oleh Majelis Tenaga Kerja Indonesia (MTKI). Tenaga

kerja asing yang masuk pun harus diseleksi dulu oleh kolegium untuk bisa

mendapatkan STR. Kolegiumlah yang menentukan apakah sebuah rumah sakit

tersebut boleh menggunakan tenaga kesehatan asing tersebut.


Seharusnya liberalisasi pada bidang kesehatan justru menjadi cambuk bagi

kita, dimana kita perlu pemusatan diri untuk meningkatkan mutu atau

profesionalisme sehingga apapun yang terjadi di masa mendatang tenaga kesehatan

Indonesia tidak perlu takut lagi di negeri sendiri dan diluar negeri. Bila Indonesia

dapat menambah jumlah, jenis serta dapat meningkatkan mutu tenaga medisnya,

maka akan turun minat rumah sakit asing di Indonesia mempekerjakan tenaga

kesehatan asing, karena Indonesia sudah dapat memenuhi kuota tenaga kesehatan

seperti hal nya dokter atau dokter spesialis dan biaya yang dikeluarkanpun relatif

murah, sebab biaya mempekerjakan dokter asing lebih mahal. Kalau dianalisis dari

sudut pandang yang lain, sebenarnya dokter Indonesia tidak perlu takut dengan

masuknya dokter asing karena ada kemungkinan pelayanan kesehatan yang

diselenggarakan oleh dokter asing tidak sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
kesehatan masyarakat Indonesia sebagai akibat dari sistem pendidikan serta latar

belakang sosial budaya yang berbeda.


Seharusnya kehadiran AFTA atau MEA disikapi dengan kepala dingin. Upaya

pihak Indonesia untuk meningkatkan daya saing tenaga kesehatan Indonesia dapat

dilakukan dengan pertama, meningkatkan jumlah, jenis dan mutu tenaga profesional

kesehatan Indonesia dengan penyempurnaan kurikulum, sistem pengajaran dan

ujian, serta mengadakan program pendidikan kesehatan yang komprehensif sehingga

tenaga kesehatan Indonesia punya standar yang bertaraf internasional, dan siap

menghadapi serangan tenaga asing, atau terjadi perpindahan para tenaga kesehatan

Indonesia ke luar negeri karena sudah memilki standar internasional. Kedua,

menetapkan kebijakan yang mengharuskan tenaga kesehatan asing mengikuti ujian

profesi sesuai standar bila akan bekerja di Indonesia, serta memberlakukan peraturan

timbal balik yang artinya tenaga kesehatan asing yang dibenarkan bekerja di

Indonesia adalah yang berasal dari negara yang juga membolehkan tenaga kesehatan

Indonesia bekerja di negara tersebut. Ketiga, Indonesia memerlukan lembaga yang

dapat melakukan akreditasi kompetensi untuk menjaga profesionalisme para tenaga

kesehatan di Indonesia.
3. Bisa asalkan diawasi dan dijalankan dengan baik dimana termasuk penatalaksanaan

peraturan didaerah terpencil dengan fasilitas yang minimal tetap harus dijalaknkan

dengan baik. Selain alasan diatas Menurut saya UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009

dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia karena sudah mencakup hal-hal yang

megnatur kesehatan di Indonesia baik kegiatan kesehatan kuratif, preventif, maupun

hal-hal yang menyangkut dengan kesehatan estetika dan juga hal penting yang itu

mencakup peraturan pelayanan kesehatan di kota maupun daerah terpencil sudah

dicantumka detail n secar di dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 maka hal ini
menjadikan dapat dilaksanakannya peraturan tersebut di Seluruh Indonesia namun

perlu diawasi agar berjalan dsesuai dengan faedahnya.


4. Menurut saya UUD No.29 Tahun 2004 tentang praktik Kedokteran sangat lengkap

dan jelas sudah tercantum baik syarat menjadi seorang dokter dalam perizinan

praktek, tugas pokok seorang dokter sesuai bidang keilmuan yang dikuasai dan

dimiliki seorang dokter berdasarkan pendidikan yang telah ditempuh,termasuk hak

dan kewajiban yang harus dijalankan seorang dokter dalam menjalankan tugas dan

praktiknya yang diselarasakan dengan bidang keilmuan dan etika kedokteran sesuai

dengan sumpahnya. Pengaturan definisi Dokter Layanan Primer (DLP) dalam UU

Pendidikan Kedokteran belum jelas apakah spesialis atau bukan. UU Pendidikan

Kedokteran hanya menyebutkan DLP setara dengan dokter spesialis. Sementara

surat tanda registrasi (STR) hanya diperuntukkan bagi dokter spesialis, tidak

disebutkan untuk DLP.“Kalau dia dokter (umum) atau dokter spesialis, biasanya

tertera di ijazahnya. Sementara DLP belum tentu ada ijazahnya,” maka sangat

diperlukan sidang lanjutan pengujian UU Pendidikan Kedokteran di ruang sidang

MK.
Sebagian negara DLP bertugas memberi pelayanan kesehatan pertama dan

merawatnya. Kalau dokter yang merawatnya tidak sanggup menanganinya akan

dirujuk ke rumah sakit lain. Di Inggris dan Amerika, DLP disebut general practice

atau dokter umum. “Itu sejalan dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran yang hanya mengenal dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dokter

gigi spealis. Tidak ada DLP” Terbitnya perkonsil itu, disebabkan distribusi dokter

spesialis di daerah-daerah tertentu belum merata. Karenanya, IDI bersama kolegium

terkait memberi pelatihan keahlian tertentu bagi dokter umum, sehingga dokter yang

ditempatkan di daerah terpencil atau perbatasan. Dokter diberi STR dengan

kewenangan tambahan sesuai tingkatan levelnya. Persoalannya terletak sertifikasi


DLP hanya diselenggarakan oleh fakultas kedokteran yang terakreditasi. Keterangan

seorang dokter menyatakan 80 persen tugas DLP sama dengan dokter umum, kenapa

dokter umum harus berpendidikan lagi dengan biaya mahal, padahal pekerjaan yang

dilakukan sama?” Faktanya umumnya tugas-tugas dokter umum hampir sama

seperti yang dilakukan DLP. Terlebih, apabila dokter umum yang mengantongi STR

berpraktik DLP bisa berujung dipidana karena tidak sesuai kompetensi. Padahal,

kegiatan yang dilakukan sama yang dilakukan di lapangan.


Selain itu, menyangkut pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional

(JKN) akan ada aturan yang bisa bekerja sama dengan BPJS hanya DLP. Maka,

dokter umum tidak bisa apa-apa. Terus terang kami merasa dinafikan, tidak ada arti

selama ini.. Sebelumnya, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia

(PDUI) mempersoalkan sekitar 15 pasal dalam UU Pendidikan Kedokteran terkait

uji kompetensi, sertifikasi kompetensi, dan dokter layanan primer. Pasal-pasal itu

dinilai menghambat/melanggar akses pelayanan dokter (umum) atas pelayanan

kesehatan masyarakat. Sebab, hanya dokter yang berstatus dokter layanan primer

yang berhak berpraktik di masyarakat yang diwajibkan mengikuti pendidikan uji

kompetensi lagi dengan biaya yang mahal. Misalnya, Pasal 36 menyebutkan seorang

dokter sebelum diangkat sumpah harus memiliki sertifikat uji kompetensi yang

dikeluarkan perguruan tinggi kedokteran atau kedokteran gigi bekerjasama dengan

asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi

dengan organisasi profesi. Aturan itu memunculkan dualisme lembaga

penyelenggara uji kompetensi dokter. Uji kompetensi dokter dan sertifikasi

kompetensi dokter sebenarnya wewenang Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Peraturan

Konsil Kedokteran (Perkonsil) No. 10 Tahun 2012 tentang Standar Pendidikan

Profesi Dokter Indonesia dan Perkonsil No. 11 Tahun 2012 tentang Standar

Kompetensi Dokter Indonesia yang di dalamnya termasuk mengatur kompetensi


yang harus dikuasai DLP. Sebenarnya aturan itu sudah lengkap dan sebagian telah

dipraktekkan seperti adanya dokter ahli kesehatan anak, dokter ahli kandungan,

dokter penyakit dalam di puskesmas.


5. Berdasarkan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, khususnya bab

III pasal 4 mengenai hak konsumen, yaitu


a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;


d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;
e. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;
f. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya.
Namun pada penerapan kasusnya tidak dapat dipungkiri, maraknya pemalsuan

obat berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Pelaku pemalsuan obat seakan-

akan tidak menghiraukan akibat yang ditimbulkan dari tindakan pemalsuan yang

mereka lakukan. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pemalsuan

obat antara lain :


1. Perkembangan Teknologi
Canggihnya pemalsuan obat tidak terlepas pula dari kemajuan industri grafis.

melihat perkembangan teknologi grafis tersebut berupa fotokopi warna,

hologram, dan hires scanner, yang membuat produk palsu sulit dibedakan dengan

aslinya.
2. Keinginan mendapatkan keuntungan
Praktik pemalsuan dan peredaran obat palsu sepenuhnya dimotivasi oleh

“kerakusan” dan kepentingan bisnis atau keinginan mendapatkan keuntungan


semata. Bagi pemalsu obat, memalsukan, mengedarkan, atau menjual obat palsu

merupakan bisnis yang sangat menggiurkan dengan risiko yang relatif minim. Ini

juga alasan mengapa yang paling banyak dipalsukan adalah obat-obat bermerek

internasional yang umumnya mahal dan fast move (cepat laku). Maraknya

pemalsuan dan perdagangan obat di indonesiamenurut Direktur Eksekutif IPMG

Parulian Simanjuntak, juga dilatari pertimbangan membuat obat palsu jauh lebih

murah ketimbang mengembangkan sendiri obat originiter atau memproduksi obat

paralelnya. Sebagai gambaran, untuk mengembangkan satu jenis obat saja,

diperlukan dana investasi untuk riset sekitar 800 juta dollar AS hingga 1,2 miliar

dollar AS. Pertimbangan mahalnya ongkos distribusi juga harus ditanggung dan

beban pajak seperti pajak pertambahan nilai 10 persen. Sama halnya seperti

pembuatan obat yang berasal dari obat-obat kadaluarsa juga akan diperoleh

keuntungan yang besar jika obat-obat tersebut diedarkan ke masyarakat. Sehingga

dapat dikatakan perlu biaya yang besar untuk membuat produk obat yang original

dibandingkan dengan obat yang tidak diregristrasi dan juga pada kasus

pendaurulangan obat dari obat “sampah”.


3. Sanksi yang diberikan pada pemalsu obat masih ringan
Masih tingginya peredaran obat palsu di Indonesia karena lemahnya kontrol dari

pemerintah dalam memberikan sanksi kepada pelaku pemalsu obat.Selain

pengontrolan yang lemah, pemerintah juga tidak memperbaiki regulasi obat. Pola

industri farmasi tidak dikelola dengan benar sehingga perkembangannya melebihi

kebutuhan obat di Indonesia. Penegakan hukum dalam soal obat palsu ini, juga

sangat lemah., sanksi yang dijatuhkan pengadilan untuk pelaku pemalsuan obat,

sangat ringan. Misalnya, hukuman percobaan selama dua bulan atau denda

beberapa ratus ribu rupiah. Padahal, omzet penjualan obat palsu itu sangat besar.

Sanksi yang ringan tidak menimbulkan efek jera, sanksi hukum yang ringan ini
cukup mengherankan. Sebab, sanksi pemalsu obat menurut Undang-Undang

(UU) Perlindungan Konsumen Tahun 1999 sebenarnya lumayan berat. Pelaku

diancam pidana maksimal lima tahun dan denda Rp 2 milyar.Sedangkan versi UU

Kesehatan Tahun 1992, pemalsu bisa dikenai kurungan penjara 15 tahun dan

denda Rp 300 juta.

Anda mungkin juga menyukai