Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENERAPAN KOLABORASI PENDIDIKAN DAN


PRAKTIK ANTAR PROFESI KESEHATAN

Di Susun Oleh :
FAOZARO WARUWU

PRODI D-III KEPERAWATAN


STIKes IMELDA MEDAN
T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang tiada pernah terputus
rahmat dan karunia-Nya. Berkat bantuan dari semua pihak, akhirnya saya dapat
menyelesaikan makalah mengenai “Penerapan Kolaborasi Pendidikan dan Praktik
antar Profesi Kesehatan”

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini, masih terdapat


banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Dengan demikian, Penulis
mangharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca guna
menambah pembendaharaan ilmu pengetahuan.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok


profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda
keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari
anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim
kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli
gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya
memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai
antar sesama anggota tim.

Proses sinergi dan pemahaman antar profesi dapat dibangun sejak calon-
calon tenga professional ini duduk dibangku kuliah. Melakukan aktifitas
bersama untuk menyelesaikan suatu masalah yang dapat dilihat dari berbagai
macam perspektif profesi akan meningkatkan kesadaran diri tentang
keterbatasan profesi, meningkatkan pemahaman arti pentingya kerja tim
profesi dan pada akhirnya memunculkan perasaan penghargaan antar anggota
tim kesehatan. Saat ini peraturan yang jelas tertulis hanyalah rumah sakit
pendidikan untuk dokter dan dokter gigi, sementara profesi lain tidak diatur.
Pertanyaanya adalah, apakah akan tercipta generasi dokter yang baik jika
tenaga kesehatan lain di dalam rumah sakit tidak diatur untuk menciptakan
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang lebih baik, Siapakah yang bisa
dijadikan contoh peran kolaborasi professional dalam melayani pasien, Bila
dokter memiliki keunggulan dalam menegakan diagnosa penyakit, bukankah
farmasi lebih tahu tentang pilihan obat yang paling tepat, Bukankah perawat
yang lebih tahu tentang respon akibat penyakit dan pengobatanya.
Sebagai seorang kolaborator, perawat melakukan kolaborasi dengan
klien, pper group serta tenaga kesehatan lain. Kolaborasi yang dilakukan
dalam praktek di lapangan sangat penting untuk memperbaiki. Agar perawat
dapat berperan secara optimal dalam hubungan kolaborasi tersebut, perawat
perlu menyadari akuntabilitasnya dalam pemberian asuhan keperawatan dan
meningkatkan otonominya dalam praktik keperawatan. Faktor pendidikan
merupakan unsur utama yang mempengaruhi kemampuan seorang
profesional untuk mengerti hakikat kolaborasi yang berkaitan dengan
perannya masing-masing, kontribusi spesifik setisp profesi, dan pentingnya
kerja sama. Setiap anggota tim harus menyadari sistem pemberian asuhan
kesehatan yang berpusat pada kebutuhan kesehatan klien, bukan pada
kelompok pemberi asuhan kesehatan. Kesadaran ini sangat dipengaruhi oleh
pemahaman setiap anggota terhadap nilai-nilai profesional. yaitu melakukan
sharing perencanaan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, membuat
tujuan dan tanggung jawab, melakukan kerja sama dan koordinasi dengan
komunikasi terbuka.

Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini,
Bagaimana pasien menanganinya,, bantuan apa yang dibutuhkannya, Dan
apa yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu
menilai status kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan
rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para
pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan
dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu
yang membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang
mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.

Perbedaan antara dokter dan perawat dalam upaya kolaboratif terlihat


cukup mencolok. Dokter dapat menentukan atau memandang kolaborasi
dalam perspektif yang berbeda dari perawat. Mungkin dokter berpikir bahwa
kerjasama tersirat dalam tindak lanjut sehubungan dengan mengikuti perintah
/instruksi dari pada saling partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Meskipun komunikasi merupakan komponen yang diperlukan, itu saja tidak
cukup untuk memungkinkan kolaborasi terjadi. Gaya maupun cara
berkomunikasi juga berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi.
Pelaksanaan instruksi dokter oleh perawat dipandang sebagai kolaborasi oleh
dokter sedangkan perawat merasa mereka sedang diperintahkan untuk
melakukan sesuatu. Kemungkinan kedua adalah bahwa perawat tidak merasa
nyaman “menantang” dokter dengan memberikan sudut pandang yang
berbeda.. Atau, mungkin input yang perawat berikan tidak dihargai atau
ditindak lanjuti, sehingga interaksi tersebut tidak dirasakan oleh perawat
sebagai kolaborasi.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Setelah penulisan makalah ini penulis memahami hubungan perawat dan


dokter serta profesi kesehatan lainnya.

2. Tujuan khusus

Setelah penulisan makalah ini penulis dapat :

a. Memahami tentang kolaborasi antara perawat dengan profesi kesehatan


yang lain
b.Gambaran kinerja tenaga kesehatan dilahan praktik
c. peran perawat terhadap kolaborasi
d. Kesenjangan antara profesi keperawat dengan dokter
e. Penerapan hubungan antara perawat – pasien, perawat dan perawat,
perawat – profesi lain dan perawatan dengan masyarakat.
f. Memahami etika hubungan tim keperawatan
g. Memahami hubungan perawat dengan dokter.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Landasan teori

Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau


perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan
kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan
pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan
kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara
dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan
mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam
batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta
respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu,
keluarga dan masyarakat.

2.2 Definisi perawat

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di


dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Jadi dari pengertian perawat tersebut dapat artikan
bahwa seorang dapat dikatakan sebagai perawat dan mempunyai
tanggungjawab sebagai perawat manakala yang bersangkutan dapat
membuktikan bahwa dirinya telah menyelesaikan pendidikan perawat baik
diluar maupun didalam negeri yang biasanya dibuktikan dengan ijazah atau
surat tanda tamat belajar. Dengan kata lain orang disebut perawat bukan dari
keahlian turun temurun, malainkan dengan memalui jenjang pendidikan
perawat.( Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/MenKes/SK/XI/2001
tentang Registrasi dan Praktik Perawat pada pasal 1 ayat 1)

2.3 Definisi dokter


Secara operasional, definisi “Dokter” adalah seorang tenaga kesehatan
(dokter) yang menjadi tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk
menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang
jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin, sedini dan
sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam
koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan
menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung
tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang
diselenggarakannya adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang
diperolehnya selama pendidikan kedokteran.

Perasaan saling tergantung (interdependensi) untuk kerja sama dan


bekerja sama. Bekerja bersama dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi
kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan
agar tujuan atau target yang telah ditentukan dapat dicapai. Selain itu,
menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk
berkomunikasi anatar profesi secara formal tentang asuhan klien. Untuk hasil
akhir asuhan kesehatan dapat dioptimalkan.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kolaborasi Dalam Profesi Kesehatan

Proses sinergi dan pemahaman antar profesi dapat dibangun sejak calon-
calon tenga professional ini duduk dibangku kuliah. Melakukan aktifitas
bersama untuk menyelesaikan suatu masalah yang dapat dilihat dari berbagai
macam perspektif profesi akan meningkatkan kesadaran diri tentang
keterbatasan profesi, meningkatkan pemahaman arti pentingya kerja tim
profesi dan pada akhirnya memunculkan perasaan penghargaan antar anggota
tim kesehatan. Saat ini peraturan yang jelas tertulis hanyalah rumah sakit
pendidikan untuk dokter dan dokter gigi, sementara profesi lain tidak diatur.
Pertanyaanya adalah, apakah akan tercipta generasi dokter yang baik jika
tenaga kesehatan lain di dalam rumah sakit tidak diatur untuk menciptakan
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang lebih baik, Siapakah yang bisa
dijadikan contoh peran kolaborasi professional dalam melayani pasien, Bila
dokter memiliki keunggulan dalam menegakan diagnosa penyakit, bukankah
farmasi lebih tahu tentang pilihan obat yang paling tepat, Bukankah perawat
yang lebih tahu tentang respon akibat penyakit dan pengobatanya.

Ronde bersama di rumah sakit, diskusi kasus dan pengelolaan kasus


bersama akan sangat bermanfaat bukan hanya untuk profesi atau mahasiswa
kesehatan namun juga untuk pasien. Dengan kerjasama, duplikasi
pemeriksaan dan wawancara serta duplikasi tindakan akan dapat
dihindarkan. Melalui kerja tim, pemeriksaan dan tindakan serta monitoring
data penting tidak akan terlewatkan. Dari kegiatan ini calon-calon
profesioanal tahu bagaimana menjadikan pelayanan yang efektif dan efisien
yang berfokus pada kebutuhan pasien. Kebutuhan pembelajaran dilakukan
tetap dalam koridor beneficiency dan non maleficiency.
Setiap profesi tenaga kesehatan memiliki keunggulan yang tidak bisa
digantikan oleh profesi lain. Namun dalam beberapa area, setiap profesi
memiliki kemiripan dan kedekatan hubungan yang luar biasa yang sering
dikenal sebagai area abu-abu atau gray area. Pada wilayah ini setiap profesi
merasa memiliki kemampuan dan hak untuk menjalankan praktek
profesionalnya. Sehingga area abu menjadi daerah yang ‘diperebutkan’.
Paradigma perebutan wilayah seperti ini harus dirubah menjadi paradigma
baru yang lebih konstruktif, yaitu menjadikan daerah abu-abu menjadi area
of common interest. Area yang menjadi perhatian bersama para profesi
karena besarnya magnitude area itu dan resiko dampak yang juga luar biasa
sehingga harus ditangani bersama. Area ini bila tidak ditangani dapat
menimbulkan potensi bahaya penyakit dan bahaya social yang sangat besar
bagi masyarakat. Contoh masalah ini adalah persalinan normal, imunisasi
dan vaksinasi serta pengobatan rutin masyarakat. Bila karena suatu hal
profesi kesehatan lain tidak ada dan profesi kesehatan lainya tidak
diperkenankan menangani masalah ini, maka dimanakah nurani para hamba-
hamba kesehatan, Apakah persalinan bisa ditunda, Apakah hanya demam
tinggi dan diare yang tidak spesifik harus dirujuk hingga 45 kilometer atau
ditunda hingga dua hari, Bila kesepakatan antar profesi tenaga kesehatan
dalam menangani area of common interest ini dapat dilakukan dengan baik,
kehidupan bersama profesi-profesi kesehatan akan lebih mulia dan
dimuliakan oleh masyarakat.

3.2 Komponen Dalam Kolaborasi Pelayanan Kesehatan

Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok


profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda
keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari
anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim
kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli
gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya
memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai
antar sesama anggota tim.

Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi


pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu
rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal
hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim.

Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam


interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain.
Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi
pelayanan kesehatan.

Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan


mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas
pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering
berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal
pemberian pengobatan.

Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja


dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai
kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab,
komunikasi, otonomi dan koordinasi seperti skema di bawah ini.

Dasar-dasar kompetensi koaborasi :

a. Komunikasi
b. Respek dan kepercayaan

c. Memberikan dan menerima feed back

d. Pengambilan keputusan
e. Manajemen konflik

Komunikasi sangat dibutuhkan daam berkolaborasi karena kolaborasi


membutuhkan pemecahan masalah yang lebih kompleks, dibutuhkan
komunikasi efektif yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim. Pada
dasar kompetensi yang lain, kualitas respek dapat dilihat lebih kearah honor
dan harga diri, sedangkan kepercayaan dapat dilihat pada mutu proses dan
hasil. Respek dan kepercayaan dapat disampaikan secara verbal maupu non
verbal serta dapat dilihat dan dirasakan dalam penerapannya sehari-hari.Feed
back dipengaruhi oleh persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri,
kepercayaan diri, kepercayaan, emosi, lingkungan serta waktu, feed back
juga dapat bersifat negatif maupun positif. Dalam melakukan kolaborasi juga
akan melakukan manajemen konflik, konflik peran umumnya akan muncul
dalam proses. Untuk menurunkan konflik maka masing-masing anggota
harus memahami peran dan fungsinya, melakukan klarifikasi persepsi dan
harapan, mengidentifikasi kompetensi, mengidentifikasi tumpang tindih
peran serta melakukan negosiasi peran dan tanggung jawabnya.

3.3 Keberhasilan Kolaborasi Perawat Dalam Pelayanan Kesehatan

Menurut Hanson & Spross, 1996 terwujudnya suatu kolaborasi


tergantung pada beberapa kreiteria yaitu:

1. Adanya rasa saling percaya dan menghormati.


2. Saling memahami dan menerima keilmuan masing-masing.

3. Memiliki citra diri positif.

4. Memiliki kematangan profesional yang setara (yang timbul dari


pendidikan dan pengalaman.

5. Mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan.


6. Keinginan untuk bernegosiasi

Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :

a. Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama

b. Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya

c. Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik

d. Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang

tergabung dalam tim.

Model Praktek Kolaborasi :

a. Interaksi Perawat-Dokter, dalam persetujuan pratek.

b. Kolaborasi Perawat – Dokter, dalam memberikan pelayanan.

c. Tim Interdisiplin atau komite.

Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar


jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses
kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi.
Bagaimana masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus
dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang
sama.

Penerapan hubungan antara perawat dan profesi lain yang memiliki


bidang kesehatan yang saling berketergantungan satu sama lain misalnya
seorang dokter pasti membutuhkan, perawat, apoteker dan lain-lain , yang
saling berkaitan satu sama lain.

Selain penerapan-penerapan dengan perawat dan profesi lain, perawat


juga harus menerapkan hubungan antara perawat dan masyarakat Perawat
mengemban tugas tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai
dan medukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan
masyarakat.dan tetap menghargai privasi yang ada dalam masyarakat berupa
Privasi pasien. Menghargai harkat martabat pasien,Sopan santun dalam
pergaulan,saling menghormati, saling membantu, peduli terhadap lingkung.

3.2 Kolaborasi Antara Dokter Dan Perawat

Pada saat ini berkembang paradigma baru dalam upaya pemberian


palayanan kesehatan yang bermutu dan konfrehensif, tentu hal ini dipicu
ketika WHO pada tahun 1984 mendefinisikan sehat yang meliputi sehat
fisik,sehat psikis,sehat sosial, dan sehat spiritual. Dulu orang memandang
masing –masing berdiri sendiri, hanya sedikit keterkaitan antara satu sama
lainnya. Oleh karena itu penanganan kesehatan pada umumnya akan
melibatkan berbagai elemen disiplin ilmu yang saling menunjang.

Hubungan dokter dan perawat dalam pemberian asuhan kesehatan


kepada pasien merupakan hubungan kemitraan ( partnership) yang lebih
mengikat dimana seharusnya terjadi harmonisasi tugas, peran dan tanggung
jawab dan sistem yang

Terbuka.Sebagaimana American Medical Assosiasi ( AMA ), 1994,


menyebutkan kolaborasi yang terjadi antara dokter dan perawat dimana
mereka merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan
berbagai nilai – nilai yang saling mengakui dan menghargai terhadap setiap
orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat.

Apabila kolaborasi antara dokter dan perawat berjalan sebagaimana


dimaksudkan tentu berdampak langsung terhadap pasien, karena banyak
aspek positif yang dapat dihasilkan tetapi pada kenyataannya terutama dalam
praktek banyak hambatan kolaborasi antara dokter dan perawat sehingga
kolaborasi sulit tercipta.

3.4 Hambatan Kolaborasi Dokter dan Perawat

a. Dominasi Kekuasan

Dari pengamatan penulis terutama dalam praktek Asuhan


Keperawatan perawat belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi
dengan baik khususnya dengan dokter walaupun banyak pekerjaan yang
seharusnya dilakukan dokter dikerjakan oleh perawat, walaupun kadang
tidak ada pelimpahan tugasnya dan wewenang. Hal ini karena masih
banyaknya dokter yang memandang bahwa perawat merupakan tenaga
vokasional.

Degradasi keperawatan ke posisi bawahan dalam hubungan


kolaborasi perawat-dokter, secara empiris hal ini menunjukkan bahwa
dokter berada di tengah proses pengambilan keputusan dan perawat
melaksanakan keputusan tersebut. Pada tahun 1968, psikiater Leonard
Stein menggambarkan hubungan perawat-dokter pada kenyataanya
perawat menjadi pasif.

b. Perbedaan Tingkat Pendidikan/Pengetahuan

Perbedaan tingkat pendidikan dan pengetahuan dokter dan perawat


secara umum masih jauh dari harapan hal ini dapat berdampak pada
interprestasi terhadap masalah kesehatan pasien yang berbeda, tentu juga
akan berdampak pada mutu asuhan yang diberikan.

c. Komunikasi
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif,
bertanggung jawab dan saling menghargai antar kolaborator, catatan
kesehatan pasien akan menjadi sumber utama komunikasi yang secara
terbuka dapat dipahami sebagai pemberi informasi dari disiplin profesi
untuk pengambilan keputusan. Kesenjangan tingkat pendidikan dan
pengetahuan akan menghambat proses komunikasi yang efektif.

d. Cara Pandang

Perbedaan antara dokter dan perawat dalam upaya kolaboratif terlihat


cukup mencolok. Dokter dapat menentukan atau memandang kolaborasi
dalam perspektif yang berbeda dari perawat. Mungkin dokter berpikir
bahwa kerjasama tersirat dalam tindak lanjut sehubungan dengan
mengikuti perintah /instruksi dari pada saling partisipasi dalam
pengambilan keputusan. Meskipun komunikasi merupakan komponen
yang diperlukan, itu saja tidak cukup untuk memungkinkan kolaborasi
terjadi.

Gaya maupun cara berkomunikasi juga berpengaruh terhadap


efektivitas komunikasi. Pelaksanaan instruksi dokter oleh perawat
dipandang sebagai kolaborasi oleh dokter sedangkan perawat merasa
mereka sedang diperintahkan untuk melakukan sesuatu. Kemungkinan
kedua adalah bahwa perawat tidak merasa nyaman “menantang” dokter
dengan memberikan sudut pandang yang berbeda.. Atau, mungkin input
yang perawat berikan tidak dihargai atau ditindak lanjuti, sehingga
interaksi tersebut tidak dirasakan oleh perawat sebagai kolaborasi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Setiap profesi tenaga kesehatan memiliki keunggulan yang tidak bisa


digantikan oleh profesi lain. Namun dalam beberapa area, setiap profesi
memiliki kemiripan dan kedekatan hubungan yang luar biasa yang sering
dikenal sebagai area abu-abu atau gray area. Pada wilayah ini setiap profesi
merasa memiliki kemampuan dan hak untuk menjalankan praktek
profesionalnya. Sehingga area abu menjadi daerah yang ‘diperebutkan’.
Paradigma perebutan wilayah seperti ini harus dirubah menjadi paradigma
baru yang lebih konstruktif, yaitu menjadikan daerah abu-abu menjadi area
of common interest. Area yang menjadi perhatian bersama para profesi
karena besarnya magnitude area itu dan resiko dampak yang juga luar biasa
sehingga harus ditangani bersama. Area ini bila tidak ditangani dapat
menimbulkan potensi bahaya penyakit dan bahaya social yang sangat besar
bagi masyarakat

4.2 Saran

1. Untuk Pendidikan: Perlu adanya sosialisasi praktik kolaborasi dan


managed care diantara tim kerja kesehatan atau profesi kesehatan mulai
dari situasi pendidikan.
2. Untuk Rumah sakit: Untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
kesehatan perlu adanya peningkatan pendidikan perawat dan komunikasi
yang baik ke pasien maupun antar tim kerja, dan untuk meningkatkan
praktik kolaborasi perlu adanya komitmen bersama antara pemimpin
(struktural) dan fungsional (profesi kesehatan), dimana pimpinan dapat
mengadopsi managed care dan mensosialisasikan serta dapat diterapkan
pada pelayanan.

Daftar Pustaka

Departemen kesehatan RI (2004). Profile Indonesia 2004.

Ismani, Nila.2001. Etika Keperawatan. Jakarta: Widia Medika

http://bankdata.depkes.go.id/Profil/Indo04/

http://chairulums.wordpress.com/2009/06/30/hubungan-perawat-dokter/

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/14/humaniora/3531067.htm.

http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0711/01/184756.htm ( 14 Mei 2008).

Rachmawati, Evy. 2007 Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan Masih Rendah.

www. Kompas.com/kompas-cetak/ 2001. Diskusi Era Baru: Perawat Ingin Jadi


Mitra Dokter.

www.nursingworld. Canon. 2005. New Horizons for Collaborative Partnership.

www. Nursingworld. Gardner. 2005. Ten Lessons in Collaboration.

Anda mungkin juga menyukai