Anda di halaman 1dari 53

duniaaskep 8:16 AM on 25/09/2012 Reply

Pemasangan Central Venous Pressure (CVP)

1. Pengertian
CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari vena tepi sehingga ujungnya berada di dalam
atrium kanan atau di muara vena cava. CVP disebut juga kateterisasi vena sentralis (KVS)

Tekanan vena sentral secara langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan. Secara tidak
langsung menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan ventrikel kanan pada akhir
diastole. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena sentral adalah 3-8 cmH2O atau
2-6 mmHg. Sementara menurut Sutanto (2004) nilai normal CVP adalah 4 – 10 mmHg.

Perawat harus memperhatikan perihal :


1. Mengadakan persiapan alat – alat
2. Pemasangan manometer pada standard infus
3. Menentukan titik nol
4. Memasang cairan infus
5. Fiksasi
6. Fisioterapi dan mobilisasi

2. Tujuan
1. Mengetahui tekanan vena sentralis (TVS)
2. Untuk memberikan total parenteral nutrition (TPN) ; makanan kalori tinggi secara intravena
3. Untuk mengambil darah vena
4. Untuk memberikan obat – obatan secara intra vena
5. Memberikan cairan dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat
6. Dilakukan pada penderita gawat yang membutuhkan erawatan yang cukup lama

CVP bukan merupakan suatu parameter klinis yang berdiri sendiri, harus dinilai dengan
parameter yang lainnya seperti :

 Denyut nadi
 Tekanan darah
 Volume darah
 CVP mencerminkan jumlah volume darah yang beredar dalam tubuh penderita, yang
ditentukan oleh kekuatan kontraksi otot jantung. Misal : syock hipovolemik –> CVP
rendah

3. Persiapan untuk pemasangan

a. Persiapan pasien
Memberikan penjelasan pd klien dan klg ttg:
– tujuan pemasangan,
– daerah pemasangan, &
– prosedur yang akan dikerjakan

b. Persiapan alat

– Kateter CVP
– Set CVP
– Spuit 2,5 cc
– Antiseptik
– Obat anaestesi lokal
– Sarung tangan steril
– Bengkok
– Cairan NaCl 0,9% (25 ml)
– Plester

4. Cara Kerja
a. Daerah yang Dipasang :
 Vena femoralis
 Vena cephalika
 Vena basalika
 Vena subclavia
 Vena jugularis eksterna
 Vena jugularis interna

b. Cara Pemasangan :

 Penderita tidur terlentang (trendelenberg)


 Bahu kiri diberi bantal
 Pakai sarung tangan
 Desinfeksi daearah CVP
 Pasang doek lobang
 Tentukan tempat tusukan
 Beri anestesi lokal
 Ukur berapa jauh kateter dimasukkan
 Ujung kateter sambungkan dengan spuit 20 cc yang diisi NaCl 0,9% 2-5 cc
 Jarum ditusukkan kira – kira 1 jari kedepan medial, ke arah telinga sisi yang berlawanan
 Darah dihisap dengan spuit tadi
 Kateter terus dimasukkan ke dalam jarum, terus didorong sampai dengan vena cava
superior atau atrium kanan
 Mandrin dicabut kemudian disambung infus -> manometer dengan three way stopcock
 Kateter fiksasi pada kulit
 Beri betadhin 10%
 Tutup kasa steril dan diplester

5. Keuntungan Pemasangan di Daerah Vena Sublavia


1. Mudah dilaksanakan (diameter 1,5 cm – 2,5 cm)
2. Fiksasi mudah
3. Menyengkan penderita
4. Tidak mengganggu perawatan rutin dapat dipertahankan sampai 1 minggu

6. Cara Menilai CVP dan Pemasangan Manometer


1. Cara Menentukan Titik Nol

CVP Manometer

 Penderita tidur terlentang mendatar


 Dengan menggunakan slang air tang berisi air ± setengahnya -> membentuk lingkaran
dengan batas air yang terpisah
 Titik nol penderita dihubungkan dengan batas air pada sisi slang yang satu. Sisi yang lain
ditempatkan pada manometer.
 Titik nol manometer dapat ditentukan
 Titik nol manometer adalah titik yang sama tingginya dengan titik aliran V.cava superior,
atrium kanan dan V.cava inferior bertemu menjadi satu.

Liat gambar di bawah ini


Posisi pasien saat pengukuran CVP

7. Penilaian CVP

 Kateter, infus, manometer dihubungkan dengan stopcock -> amati infus lancar atau tidak
 Penderita terlentang
 Cairan infus kita naikkan ke dalam manometer sampai dengan angka tertinggi -> jaga
jangan sampai cairan keluar
 Cairan infus kita tutup, dengan memutar stopcock hubungkan manometer akan masuk ke
tubuh penderita
 Permukaan cairan di manometer akan turun dan terjadi undulasi sesuai irama nafas, turun
(inspirasi), naik (ekspirasi)
 Undulasi berhenti -> disitu batas terahir -> nilai CVP
 Nilai pada angka 7 -> nilai CVP 7 cmH2O
 Infus dijalankan lagi setelah diketahui nilai CVP

8. Nilai CVP

 Nilai rendah : < 4 cmH2O


 Nilai normal : 4 – 10 cmH2O
 Nilai sedang : 10 – 15 cmH2O
 Nilai tinggi : > 15 cmH2O

Penilaian CVP dan Arti Klinisnya


CVP sangat berarti pada penderita yang mengalami shock dan penilaiannya adalah sebagai
berikut :
1. CVP rendah (< 4 cmH2O)

 Beri darah atau cairan dengan tetesan cepat.


 Bila CVP normal, tanda shock hilang -> shock hipovolemik
 Bila CVP normal, tanda – tanda shock bertambah -> shock septik

2. CVP normal (4 – 14 cmH2O)

 Bila darah atau cairan dengan hati – hati dan dipantau pengaruhnya dalam sirkulasi.
 Bila CVP normal, tanda – tanda shock negatif -> shock hipovolemik
 Bila CVP bertambah naik, tanda shock positif -> septik shock, cardiogenik shock

3. CVP tinggi (> 15 cmH2O)

 Menunjukkan adanya gangguan kerja jantung (insufisiensi kardiak)


 Terapi : obat kardiotonika (dopamin).

8. Faktor -faktor yang Mempengaruhi CVP


1. Volume darah :

 Volume darah total


 Volume darah yang terdapat di dalam vena
 Kecepatan pemberian tranfusi/ cairan

2. Kegagalan jantung dan insufisiensi jantung


3. Konstriksi pembuluh darah vena yang disebabkan oleh faktor neurologi
4. Penggunaan obat – obatan vasopresor
5. Peningkatan tekanan intraperitoneal dan tekanan intrathoracal, misal :

 Post operasi illeus


 Hematothoraks
 Pneumothoraks
 Penggunaan ventilator mekanik
 Emphysema mediastinum

6. Emboli paru – paru


7. Hipertensi arteri pulmonal
8. Vena cava superior sindrom
9. Penyakit paru – paru obstruksi menahun
10. Pericarditis constrictiva
11. Artevac ; tersumbatnya kateter, ujung kateter berada di dalam v.jugularis inferior

http://duniaaskep.wordpress.com/2012/09/25/pemasangan-central-venous-pressure-cvp/

central vena pressure


Central Venouse Pressure
Central Venouse Pressure
Tekanan vena sentral secara langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan. Secara tidak langsung
menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan ventrikel kanan pada akhir diastole. Menurut
Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena sentral adalah 3-8 cmH2O atau 2-6 mmHg. Sementara
menurut Sutanto (2004) nilai normal CVP adalah 4 – 10 mmHg.
Tempat Penusukan Kateter
Pemasangan kateter CVP dapat dilakukan secara perkutan atau dengan cutdown melalui vena sentral
atau vena perifer, seperti vena basilika, vena sephalika, vena jugularis interna/eksterna dan vena
subklavia.
Gelombang CVP
Gelombang CVP terdiri dari, gelombang:
a= kontraksi atrium kanan
c= dari kontraksi ventrikel kanan
x= enggambarkan relaksasi atrium triskuspid
v= penutupan katup trikuspid
y= pembukaan katup trikuspid
Cara Pengukuran CVP
Pengukuran CVP secara nonivasif dapat dilakukan dengan cara mengukur tekanan vena jugularis. Secara
invasif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) memasang kateter CVP yang ditempatkan pada vena
kava superior atau atrium kanan, teknik pengukuran dptemnggunakan manometer air atau transduser,
2) Melalui bagian proksimal kateter arteri pulmonalis . Pengukuran ini hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan sistem transduser.
Tekanan Vena Jugularis
Pasien dalam posisi berbaring setengah duduk,kemudian perhatikan; 1) denyut vena jugularis interna,
denyut ini tidak bisa diraba tetapi bisa dilihat. Akan tampak gel a (kontraksi atrium), c (awal kontraksi
ventrikel-katup trikuspid menutup), gel v (pengisian atrium-katup trikuspid masih menutup), 2)
normal,pengembungan vena setinggi manubrium sterni, 3) ila lebih tinggi bearti tekanan hidrostatik
atrium kanan meningkat, misal pada gagal jantung kanan . Menurut Kadir A (2007), dalam keadaan
normal vena jugularis tidak pernah membesar, bila tekanan atrium kanan (CVP) naik sampai 10 mmHg
vena jugulais akan mulai membesar. Tinggi CVP= reference point tinggi atrium kanan ke angulus ludovici
ditambah garis tegak lurus, jadi CPV= 5 + n cmH2O.
Pemantauan CVP dengan Manometer
Persiapan untuk pemasangan
a. Persiapan pasien
Memberikan penjelasan pd klien dan lg ttg:
– tujuan pemasangan,
– daerah pemasangan, &
– prosedur yang akan dikerjakan
b. Persiapan alat
– Kateter CVP
– Set CVP
– Spuit 2,5 cc
– Antiseptik
– Obat anaestesi lokal
– Sarung tangan steril
– Bengkok
– Cairan NaCl 0,9% (25 ml)
– Plester
Persiapan untuk Pengukuran
a. Persiapan Alat
– Skala pegnukur
– Selang penghubung (manometer line)
– Standar infus
– Three way stopcock
– Pipa U
– Set infus
b. Cara Merangkai
– Menghubungkan set infus dg cairan NaCl 0,9%
– Mengeluarkan udara dari selang infuse
– Menghubungkan skala pengukuran dengan threeway stopcock
– Menghubungkan three way stopcock dengan selang infuse
– Menghubungkan manometer line dengan three way stopcock
– Mengeluarkan udara dari manometer line
– Mengisi cairan ke skala pengukur sampai 25 cmH2O
– Menghubungkan manometer line dengan kateter yang sudah terpasang
c. Cara Pengukuran
– Memberikan penjelasan kepada pasien
– Megatur posisi pasien
– Lavelling, adalah mensejajarkan letak jantung (atrium kanan) dengan skala pengukur atau tansduser
– Letak jantung dapat ditentukan dg cara membuat garis pertemuan antara sela iga ke empat (ICS IV)
dengan garis pertengahan aksila
– Menentukan nilai CVP, dengan memperhatikan undulasi pada manometer dan nilai dibaca pada akhir
ekspirasi
– Membereskan alat-alat
– Memberitahu pasien bahwa tindakan telah selesai
Pemantauan dengan Transduser
Dilakukan pada CVP, arteri pulmonal, kapiler arteri pulmonal, dan tekanan darah arteri sistemik.
a. Persiapan pasien
– Memberikan penjelasan ttg: tujuan pemasangan, daerah pemasangan, dan prosedur yang akan
dikerjakan
– Mengatur posisi pasien sesuai dengan daerah pemasangan
b. Persiapan untuk penusukan
– Kateter sesuai kebutuhan
– Set instrumen steril untuk tindakan invasif
– Sarung tangan steril
– Antiseptik
– Obat anestesi lokal
– Spuit 2,5 cc
– Spuit 5 cc/10 cc
– Bengkok
– Plester
c. Persiapan untuk pemantauan
– Monitor
– Tranduser
– Alat flush
– Kantong tekanan
– Cairan NaCl 0,9% (1 kolf)
– Heparin
– Manometer line
– Spuit 1 cc
– Three way stopcock
– Penyanggah tranduser/standar infus
– Pipa U
– Infus set
d. Cara Merangkai
– Mengambil heparin sebanyak 500 unit kemudian memasukkannya ke dalam cairan infuse
– Menghubungkan cairan tsb dg infuse
– Mengeluarkan udara dari selang infuse
– Memasang cairan infus pada kantong tekanan
– Menghubungkan tranduser dg alat infuse
– Memasang threeway stopcock dg alat flush
– Menghubungkan bagian distal selang infus dengan alat flush
– Menghubungkan manometer dg threeway stopcock
– Mengeluarkan udara dari seluruh sistem alat pemantauan (untuk memudahkan beri sedikit tekanan
pada kantong tekanan)
– Memompa kantong tekanan sampai 300 mmHg
– Menghubungkan kabel transduser dengan monitor
– Menghubungkan manometer dengan kateter yang sudah terpasang
– Melakukan kalibrasi alat sebelumpengukuran
e. Cara Kalibrasi
– Lavelling
– Menutup threeaway ke arah pasien dan membuka threeway ke arah udara
– Mengeluarkan cairan ke udara
– Menekan tombol kalibrasi sampai pada monitor terlihat angka nol
– Membuka threeway kearah klien dan menutup ke arah udara
– Memastikan gelombang dan nilai tekanan terbaca dengan baik
Peranan Perawat
1. Sebelum Pemasangan
– Mempersiapkan alat untuk penusukan dan alat-alat untuk pemantauan
– Mempersiapkan pasien; memberikan penjelasan, tujuan pemantauan, dan mengatur posisi sesuai dg
daerah pemasangan
2. Saat Pemasangan
– Memelihara alat-alat selalu steril
– Memantau tanda dan gejala komplikasi yg dpt terjadi pada saat pemasangan spt gg irama jtg,
perdarahan
– Membuat klien merasa nyaman dan aman selama prosedurdilakukan
3. Setelah Pemasangan
– Mendapatkan nilai yang akurat dengan cara: 1) melakukan Zero Balance: menentukan titik nol/letak
atrium, yaitu pertemuan antara garis ICS IV dengan midaksila, 2) Zero balance: dilakukan pd setiap
pergantian dinas , atau gelombang tidak sesuai dg kondisi klien, 3) melakukan kalibrasi untuk
mengetahui fungsi monitor/transduser, setiap shift, ragu terhadap gelombang.
– Mengkorelasikan nilai yg terlihat pada monitor dengan keadaan klinis klien.
– Mencatat nilai tekanan dan kecenderungan perubahan hemodinamik.
– Memantau perubahan hemodinamik setelah pemberian obat-obatan.
– Mencegah terjadi komplikasi & mengetahui gejala & tanda komplikasi (spt. Emboli udara, balon pecah,
aritmia, kelebihan cairan,hematom, infeksi,penumotorak, rupture arteri pulmonalis, & infark pulmonal).
– Memberikan rasa nyaman dan aman pada klien.
– Memastikan letak alat2 yang terpasang pada posisi yang tepat dan cara memantau gelombang
tekanan pada monitor dan melakukan pemeriksaan foto toraks (CVP, Swan gans).
Pemantauan Tekanan Vena SentralKateterisasi vena intra torakal sering dilakukan pada anak sakit kritis.
Salah satu indikasinya adalah untuk mengukur tekanan vena sentral6. Tekanan vena sentral
menggambarkan preload ventrikel kanan atau tekanan akhir diastolik ventrikel kanan sehingga dapat
memberikan informasi tentang volume darah, gambaran ventrikel kanan, serta kapasitas
vena8,9,12,19.Pemantauan tekanan vena sentral dilakukan pada pasien anak yang menjalani operasi
jantung atau prosedur bedah lainnya dimana terjadi kehilangan darah atau perpindahan cairan dalam
jumlah yang besar. Juga dilakukan pada pasien yang mendapat obat vasoaktif, nutrisi parenteral, atau
untuk mendapatkan akses vena karena tidak adekuatnya vena perifer4,8,9,10.Pengukuran tekanan vena
sentral dilakukan pada percabangan vena cava dan atrium kanan. Hal ini sama pada bayi, anak, dan
orang dewasa. Pemasangan kateter vena sentral dapat dilakukan melalui v. jugularis interna, v.
antekubiti, v. brakialis, v. subclavia, serta v. femoralis. Pada pasien kecil, v. subclavia dan jugularis
interna lebih mudah digunakan8,9,13,18.Pengukuran tekanan vena sentral dilakukan dengan
pemasangan jarum atau kateter pada vena dan dihubungkan dengan suatu transduser. Biasanya
dipasang pada saat operasi setelah induksi anestesi atau intubasi sedangkan pada ruang rawat intensif
dilakukan dengan sedasi dan anestesi lokal. Pemasangannya harus dipandu dengan pemeriksaan EKG
untuk mendeteksi terjadinya aritmia. Kateter yang digunakan bervariasi sesuai dengan usia anak, yaitu
nomor 3 untuk anak dengan berat badan kurang dari 3 kg, nomor 4 untuk berat badan kurang dari 10 kg,
nomor 5 untuk berat badan 10 sampai 20 kg, serta nomor 6 untuk berat badan lebih dari 20
kg4.Tekanan vena sentral diukur dengan transduser tekanan dalam milimeter air raksa (mmHg) atau
manometer air (cm H2O). Untuk mengkonversi air raksa ke air, nilai air raksa dikalikan 1,36 (mmHg x
1,36); untuk mengkonversi air ke air raksa, nilai air dibagi 1,36 (cm H2O : 1,36)9,18.Tekanan vena sentral
pada bayi yang sehat antara -2 sampai +4 mmHg, dan anak yang menderita kelainan jantung bawaan
antara 4--8 mmHg. Pada pasien yang memakai ventilator nilainya antara 2--6 mmHg dan sering tidak
toleran dengan tekanan yang rendah antara 0--3 mmHg. Nilai tekanan vena sentral yang lebih dari 8
mmHg biasanya sering disertai dengan disfungsi miokard atau tekanan dalam torak yang meninggi
seperti pada pneumotorak, tamponade jantung, regurgitasi trikuspid, hipertensi pulmonal, atau gagal
ventrikel4,9,18.Jika peninggian nilai tekanan vena sentral kurang 3 mmHg setelah pemberian cairan,
misalnya 50--200 cc, maka tambahan cairan masih dapat diberikan. Sedangkan bila peninggian tekanan
lebih dari 7 mmHg, berarti cairan yang diberikan telah maksimal18.Pada beberapa keadaan, didapatkan
penurunan tekanan vena sentral, preload ventrikel kanan, serta curah jantung. Sistem kardiopulmonal
yang lain normal, seperti pada dehidrasi berat, sepsis, perdarahan, diabetik ketoasidosis, dan lain-lain.
Pada kasus-kasus yang berat, penanganannya sebaiknya dipandu dengan pemasangan tekanan vena
sentral sehingga didapatkan data tentang kebutuhan cairan yang baik untuk membantu curah
jantung18.Kelemahan pemeriksaan tekanan vena sentral sebagai indikator preload otot jantung adalah
bahwa tekanan vena sentral hanya mengukur tekanan sisi kanan saja sehingga tidak menggambarkan
tekanan sistemik. Toussain dkk.17 memperlihatkan kelemahan pemeriksaan tekanan vena sentral
dibandingkan dengan tekanan baji pada diagnosa tanpa gangguan jantung dan lebih jelek lagi pada yang
ada gangguan jantung. Shoemaker dkk. (1988) memperlihatkan bahwa pemeriksaan tekanan vena
sentral dan parameter non-invasif yang lain seperti frekuensi jantung, EKG, serta urine output sama
tidak adekuatnya untuk mendeteksi gagal sirkulasi4,8,17.Komplikasi pemasangan tekakan vena sentral
adalah bakteremia, emboli udara, hematom lokal, pneumotorak, dan sepsis. Oleh karena itu, kateter
vena sentral harus dicabut atau diganti setelah 3 hari pemasangan4,6,8.

http://mizzbarby.blogspot.com/2011/01/central-vena-pressure.html

MURMUR / BISING JANTUNG


Posted on May 21, 2010 by Yayan_Akhyar | 7 Comments

0
Rate This

@Author : Yayan A. Israr

Bising jantung terjadi akibat adanya aliran turbulen darah melalui jalan yang

sempit, baik itu


penyempitan mutlak/ organik maupun penyempitan relatif (jumlah darah yang berlebih melalui
lubang/ lumen yang normal)

Untuk menentukan adanya bising, seluruh dinding thoraks harus diperiksa secara sistematis dan
cermat, bahkan juga pada daerah leher dan abdomen. Pada setiap bising harus diperinci berturut-
turut :

 Waktu terjadinya bising pada siklus jantung, apakah pada fase sistolik, diastolik, atau terus
menerus.
 Kontur bising, apakah platu, Kresendo, dekresendo, atau kresendo-dekresendo.
 Derajat bising, yang dibagi dalam skala 1-6 :
1. Derajat I, bising sangat lemah yang hanya terdengar oleh pemeriksa yang berpengalaman di
tempat yang tenang.
2. Derajat II, bising lemah tapi mudah di dengar, penjalaran terbatas.
3. Derajat III, bising cukup keras, tidak disertai dengan getaran bising, penjalaran sedang sampai
luas
4. Derajat IV, bising yang keras dengan disertai getaran bising, penjalaran luas.
5. Derajat V, bising keras, yang juga terdengar meskipun stetoskop tidak seluruhnya menempel di
dinding thoraks, penjalaran luas.
6. Derajat VI, bising sangat keras, terdengar bila stetoskop diangkat 1 cm dari dinding thoraks,
Penjalaran sangat luas.

 Pungtum maksimum yaitu tempat terdengarnya bising paling keras.


 Penjalaran, yang dapat terjadi melalui 2 cara yaitu penjalaran ke semua arah/ tidak spesifik
akibat konduksi dinding dada dan penjalaran yang khas sesuai dengan aliran darah. Penentuan
jenis penjalaran yang kedua ini mempunyai nilai diagnostic yang lebih penting.
 Tinggi nada (pitch), pada bayi dan anak tinggi nada bising berkisar pada frekuensi medium. Nada
yang sangat tinggi atau sangat rendah penting untuk diagnostik.
 Kualitas bising, yang dapat bersifat kasar, vibrasi, meniup tanpa vibrasi dan lain-lain
 Perubahan intensitas akibat fase respirasi atau perubahan posisi. Anak besar dapat diminta
menahan nafas waktu inspirasi atau ekspirasi. Anak diperiksa pada posisi telentang, miring ke
kiri, dan duduk dengan posisi membungkuk ke depan.

Secara umum bising dapat dibagi dalam :

1. Bising organik, tejadi akibat kelainan struktural pada system kardiovaskuler.


2. Bising fungsional, yang terjadi akibat kedaan curah jantung yang meningkat. Misalnya pada
anemia, demam, tirotoksikosis, latihan fisik, ansietas, dan lain-lain.
3. Bising inosen, ialah bising normal yang disebabkan turbulensi fisiologis atau vibrasi dalam ruang
jantung/ pembuluh darah. Pelbagai bising inosen dapat ditemukan pada 50-70% anak normal.

Ciri-ciri bising inosen :

 Biasanya terdapat pada fase sistolik, kecuali dengung vena.


 Biasanya pendek dengan penjalaran buruk/ tidak khas.
 Intensitas lemah, biasanya sampai derajat 2.
 Dengan perubahan posisi, bising inosen cenderung melemah/ menghilang/ berubah
intensitasnya
 Dengan maneuver valsava, intensitas bising berkurang atau menghilang sama sekali.

http://yayanakhyar.wordpress.com/2010/05/21/murmur-bising-jantung/

Bising Jantung
Posted on Agustus 16, 2009 by kim02
1 Vote

Tugas Kardiologi
Oleh : Abdul Hakim Ritonga
Judul : BISING JANTUNG (murmur)

Bising jantung (cardiac murmur) timbul akibat aliran turbulen dalam bilik (dinding jantung) dan
pembuluh darah jantung, sumbatan terhadap aliran atau adanya aliran dari diameter kecil ke
diameter yang lebih besar. Aliran turbulen ini terjadi bila melalui struktur yang abnormal
(penyempitan lubang katup, insufisiensi katup,atau dilatasi segmen arteri), atau akibat aliran
darah yang cepat sekali melalui struktur yang normal, atau akibat aliran darah balik yang
abnormal (regurgitasi) 1,2,3
Turbulensi menyebabkan arus berlawanan (eddies) yang memukul dinding dan menimbulkan
getaran yang didengar pemeriksa sebagai bising. Bising dapat pula timbul bila sejumlah besar
darah mengalir melalui lubang normal. Dalam keadaan ini lubang normal relatif stenotik untuk
volume yang bertambah itu. 1
Bising jantung digambarkan menurut:
1. Waktu relatifnya terhadap siklus jantung
2. Intensitasnya
3. Lokasi atau daerah tempat bunyi itu terdengar paling keras dan
4. Sifat-sifatnya 2
Untuk menentukan daerah dengan bising jantung maksimal sering digunakan lima daerah standar
pada dinding dada yaitu: daerah aorta, trikuspidalis, pulmonalis, mitralils atau apikal, dan titik
erb (ICS II, parasternalis sinistra). Tempat-tempat ini merupakan tempat yang paling sering
dipakai untuk lokalisasi daerah bising maksimum. Bising terdengar paling keras pada daerah-
daerah yang terletak searah dengan aliran darah yang melalui katup, bukan di daerah tempat
katup-katup itu berada. Spesifikasi sifat-sifat bunyi yang unik (seperti bunyi tinggi, kualitas,
lama, atau penyebarannya) juga harus ditulis sewaktu menggambarkan suatu bising jantung. 2
Semua bising jantung dapat dilokalisasi tempat terdengarnya yang paling keras (pungtum
maksimum bising). Bising mitral biasanya terdengar paling keras di apeks, bising trikuspid di
para sternal kiri bawah, bising pulmonal di sela iga 2 tepi kiri sternum, bising aorta di sela iga ke
2 tepi kanan atau kiri sternum. 4
Lokalisasi suatu bising adalah tempat bising itu paling keras terdengar (punctum maximum).
Punctum maximum bising tertentu perlu ditentukan untuk membedakan bising itu dengan bising
lain yang mungkin terdengar juga di tempat yang sama karena penyebaran dari tempat lain.
Selain itu, punctum maximum dan penyebaran suatu bising berguna untuk menduga darimana
bising itu berasal. Misalnya dengan punctum maximum pada apeks kordis yang menyebar ke
lateral sampai ke belakang, biasanya adalah bising yang berasal dari katup mitral. 3
Dalam pemeriksaan bising jantung harus diperhatikan:
- Fase dimana bising itu terjadi dan saat bising tersebut
- Intensitas dan nada bising
- Bentuk (tipe) bising serta lama dan saatnya bising
- Lokasi bising dengan punctum maximum-nya serta arah penjalaran bising (punctum maximum)
adalah tempat dimana bising itu terdengar paling keras
- Apakah bising yang terdengar berubah-ubah menurut posisi badan atau pernafasan
- Tinggi nada
- Kualitas
- Hubungan dengan pernafasan
- Hubungan dengan posisi tubuh 1,2
Terlebih dahulu ditetapkan dengan tepat dalam fase mana bising jantung itu terdengar; bising
jantung dibagi menjadi bising sistolik dan bising diastolik. 2
1. Bising Diastolik
Bising diastolik terjadi sesudah bunyi S2 saat relaksasi ventrikel. Bising stenosis mitralis dan
insufisiensi aorta terjadi selama diastolik. 2
Bising diastolik terdengar dalam fase diastolik (diantara BJ II dan BJ I) sesudah BJ II. Macam-
macam bising jantung diastolik menurut saatnya:

- Early diastolik
Terdengar segera sesudah BJ II. Bila bising ini terutama terdengar di daerah basal jantung,
mungkin sekali disebabkan insufisisensi aorta, bising ini timbul sebagai akibat aliran balik pada
katup aorta. Bising mulai bersamaan dengan bunyi jantung II, dekresendo, dan berhenti sebelum
bunyi jantung I; terdapat pada insufisiensi aorta atau insufisiensi pulmonal.
- Mid-diastolik
Terjadi akibat aliran darah berlebih (stenosis relatif katup mitral atau trikuspid), misalnya pada
defek septum ventrikel besar, duktus ateriosus persisten yang besar, defek septum atrium besar,
insufisiensi mitral/ trikuspid berat. Terdengar kurang lebih pada pertengahan fase diastolik. Bila
terdengar dengan punctum maximum di apeks, menunjukkan adanya stenosis mitral.
- Diastolik akhir (Pre-systolic)
Dimulai pada pertengahan fase diastolik, kresendo dan berakhir bersamaan dengan bunyi jantung
I (terdengar pada akhir fase diastolik, tepat sebelum BJ I). Bising jantung tersebut terdapat pada
stenosis mitral organik dengan punctum maximum-nya biasanya di apeks kordis. 3,4

Tabel 1. Bising diastolik 1


Stenosis Regurgitasi aorta
Lokasi Apeks Daerah aorta
Penyebaran Tidak ada Tidak ada
Bentuk Dekresendo Dekresendo
Nada Rendah Tinggi
Kualitas Bergemuruh Meniup
Tanda terkait S1 mengeras
Opening snap
RV rock
Aksentuasi perisistolik S3
PMI terdorong ke lateral
Tekanan nadi melebar
Denyut meloncat
Bising austin flint
Bising ejeksi sistolik

Bising atrioventrikular diastolik dimulai pada waktu tertentu setelah S2 dengan membukanya
katup atrioventrikular Stenosis mitral dan stenosis trikuspid merupakan contoh bising jenis ini.
Ada jeda di antara S2 dan permulaan bising. Relaksasi isovolumetrik sedang terjadi selama
periode ini. Bisingnya berbentuk dekresendo, dan dimulai dengan opening snap, jika katupnya
mobil. Bising ini bernada rendah dan paling jelas didengar dengan bel stetoskop dan pasien
berbaring dalam posisi dekubitus lateral kiri. Karena katup atrioventrikular mengalami stenosis,
pengisian cepat tidak terjadi dan ada perbedaan tekanan di sepanjang diastol. Jika pasien
mempunyai irama sinus yang normal, kontraksi atrium akan memperbesar perbedaan tekanan
pada akhir diastole, atau presistole, dan akan terjadi peningkatan bising pada saat ini. Bising
atrioventrikular diastolik merupakan tanda yang sensitif dan spesifik untuk stenosis katup
atrioventrikular. 1
Bising semillunar diastolik dimulai segera setelah S2, seperti terdengar pada regurgitasi aorta
atau pulmonal. Berbeda dengan bising atrioventrikular diastolik, setelah S2 tidak ada
keterlambatan sampai mulai timbulnya bising itu. Bising bernada tinggi berbentuk dekresendo
dan paling jelas didengar dengan diafragma stetoskop, dengan pasien dalam posisi duduk
membungkuk ke depan. Bising semulinar diastolik adalah suatu tanda dengan sensitivitas rendah
tetapi spesifitas tinggi. 1
2. Bising Sistolik
Bising sistolik dianggap sebagai bising ejeksi, yaitu bising selama mid-diastolik sesudah fase
awal kontraksi isovolumetrik, atau bisa juga dianggap sebagai bising insufisiensi yang terjadi
pada seluruh sistolik. Bising yang terjadi pada seluruh sistolik disebut sebagai pansistolik atau
holosistolik. 2
Bising sistolik terdengar dalam fase sistolik (di antara BJ I dan BJ II) sesudah bunyi jantung I.
Dikenal 4 macam bising sistolik:

- Bising holosistolik (Tipe pansistolik)


Timbul sebagai akibat aliran yang melalui bagian jantung yang masih terbuka (seharusnya dalam
keadaan tertutup pada kontraksi jantung) dan mengisi seluruh fase sistolik. Bising dimulai
bersamaan dengan bunyi jantung I, terdengar sepanjang fase sistolik dan berhenti bersamaan
dengan bunyi jantung II, terdapat pada defek septum ventrikel, insufisiensi mitral, atau
insufisiensi trikuspid.
- Bising sistolik dini
Bising mulai terdengar bersamaan dengan bunyi jantung I dekresendo, dan berhenti sebelum
bunyi jantung II; bising ini terdapat pada defek septum ventrikel kecil, biasanya jenis muskular.
- Bising ejeksi sistolik (ejection systolic)
Timbul akibat aliran darah yang dipompakan melalui bagian yang menyempit dan mengisis
sebagian fase sistolik. Misalnya pada stenosis aorta, dimana bising tersebut mempunyai punctum
maximum di daerah aorta dan mungkin menjalar ke apeks kordis. Bising dimulai setelah bunyi
jantung I, bersifat kresendo-dekresendo, dan berhenti sebelum bunyi jantung II; bising ini
terdapat pada bising inosen, bising fungsional, stenosis pulmonal atau stenosis aorta, defek
septum atrium, atau tetralogi fallot.
- Bising sitolik akhir
Bising mulai setelah pertengahan fase sistolik, kresendo, dan berhenti bersama dengan bunyi
jantung II; terdapat pada insufisiensi mitral kecil dan prolaps katup mitral.3,4

Tabel 2. Bising sistolik 1


Stenosis aorta Regurgitasi mitral
Lokasi Daerah aorta Apeks
Penyebaran Leher Aksila
Bentuk Wajik Holosistolik
Nada Sedang Tinggi
Kualitas Kasar Meniup
Tanda terkait A2 melemah
Ejection click
S4
Tekanan denyut sempit
Denyut meningkat perlahan dan terlambat S1
S3
Titik impuls maksimum difus dan pindah ke lateral.

Tabel 3. Perbedaan bising sistolik lain 1


Stenosis pulmonal Regurgitasi trikuspid Defek septum ventrikel Venous hum Innocent murmur
Lokasi Daerah pulmonar Daerah trikuspid Daerah trikuspid Di atas klavikula Tersebar luas
Penyebaran leher Kanan sternum Kanan sternum Kanan leher Minimal
Bentuk wajik holosistolik holosistolik kontinu Wajik
Nada sedang Tinggi tinggi tinggi Sedang
Kualitas kasar meniup kasar Menderu, mendengung Berdenting, bergetar

3. Bising diastolik dan sistolik


- Bising kontinu
Bising ini dimulai setelah bunyi jantung I, bersifat kresindo, mencapai puncaknya pada bunyi
jantung II kemudian dekresendo dan berhenti sebelum bunyi jantung I berikutnya; terdapat pada
duktus arteriosus persisten, fistula, atau pirau ekstrakardial lainnya.

- Bising to and fro


Merupakan kombinasi bising ejeksi sistolik dan bising diastolik dini; terdapat pada kombinasi
stenosis aorta dan insufisiensi aorta, stenosis pulmonal dan insufisiensi pulmonal 4
Pada penjalaran bising yang dicari ialah ke arah mana bising paling baik dijalarkan. Bising mitral
biasanya menjalar baik ke lateral/aksila, bising pulmonal ke sepanjang tepi kiri sternum, dan
bising aorta ke apeks dan daerah karotis. 4
Nada dan kualitas bising sebaiknya juga diperhatikan. Bising dengan nada rendah (low pitched)
pada umumnya berkualitas kasar (rumblling quality), bising dengan nada tinggi (high pitched)
kadang-kadang juga berkualitas seperti bunyi tiupan. Kadang-kadang bising jantung sedemikian
nyaringnya sehingga terdengar seperti musik. Bising semacam ini disebut sea-gull (elang laut)
murmur. 3
Intensitas (kerasnya) bising, tergantung pada:
- Kecepatan aliran darah melalui tempat terbentuknya bising itu.
- Banyaknya aliran darah melalui tempat timbulnya bising itu.
- Keadaan kerusakan-kerusakan yang terdapat pada daun-daun katup atau beratnya penyempitan.
- Kepekatan darah.
- Daya kontraksi miokardium 2
Derajat intensitas bising jantung menurut American Heart Association), dinilai dengan skala I
sampai VI.
Skala I : Intensitas terendah, sering tidak terdengar oleh pemeriksa
yang belum berpengalaman
Skala II : Intensitas rendah, biasanya dapat didengar oleh pemeriksa
yang belum berpengalaman.
Skala III : Intensitas sedang tanpa thrill
Skala IV : Intensitas sedang dengan thrill
Skala V : Bising terkuat yang dapat didengar bila stetoskop
diletakkan di dada. Berkaitan dengan thrill
Skala VI : Intensitas terkuat: dapat didengar sewaktu stetoskop
diangkat dari dada. Berkaitan dengan thrill. 1
Dari nada dan kualitas bising tidaklah dapat dibedakan bising faali atau bising yang terjadi
karena kelainan jantung organis. 3
Bising dapat dilukiskan, misalnya, sebagai derajat “II/VI”, “derajat IV/VI”, atau “derajat II-
III/VI”. Tiap bising yang berkaitan dengan thrill paling sedikit mempunyai derajat IV/VI. Perlu
diketahui bahwa bising derajat IV/VI lebih kuat daripada bising derajat II/VI hanya karena ada
turbulensi yang lebih besar, kedua-duanya mungkin mempunyai makna klinis, mungkin pula
tidak. Penulisan “/VI” dipakai karena ada sistem penggolongan lain yang kurang populer yang
hanya memakai empat kategori. Aksioma penting yang perlu diingat adalah: umumnya,
intensitas bising tidak memberikan informasi mengenai beratnya keadaan klinis. 3
Kadang-kadang intensitas bising berubah-ubah pada gerakan badan atau pernafasan dan sikap
badan. Intensitas bising harus ditentukan pada punctum maximum bising, selanjutnya harus pula
ditentukan arah penyebaran bising menurut intensitasnya. 3
Identifikasi dan deskripsi bunyi-bunyi ekstrakardia juga penting dilakukan. Biasanya,
pembukaan katup tidak menimbulkan bunyi; akan tetapi pada daun katup yang menebal dan
kaku seperti pada stenosis mitralis, timbul bunyi yang dapat didengar dan disebut sebagai
opening snap, bunyi ini terjadi pada awal diatolik. Sedangkan inflamasi perikardium akan
menyebabkan friction rub yang terdengar seperti bunyi gesekan kertas ampelas yang kasar. 2
Bising jantung tidak selalu menunjukkan keadaan sakit. Pada anak-anak seringkali terdengar
bising sistolik yang innocent. Pada keadaan anemia dan keadaan demam seringkali terdengar
bising jantung faali, dalam hal ini kita sebut hemic murmur yang tidak menunjukkan kelainan
jantung organik. Hal ini disebabkan aliran darah yang menjadi lebih cepat dari biasa dan
kepekatan darah yang menurun. 3

Ikhtisar penemuan auskultasi pada beberapa kelainan jantung:


A. Bising inosen
Bising inosen adalah bising yang tidak berhubungan dengan kelainan organik atau kelainan
struktural jantung. Bising ini sering sekali ditemukan pada anak normal; pada lebih dari 75%
anak normal pada suatu saat dapat ditemukan bising inosen. Bising ini dibedakan dari bising
fungsional, yaitu bising akibat hiperaktivitas fungsi jantung, misalnya pada anemia atau
tirotoksikosis.
Karakteristik bising inosen:
1. Hampir selalu berupa bising ejeksi sistolik, kecuali dengan vena (venous hum) dan bising a.
Mamaria (mammary soufle) yang bersifat bising kontinu
2. Berderajat 3/6 atau kurang, sehingga tidak disertai getaran bising
3. Penjalarannya terbatas, meskipun kadang-kadang dapat terdengar pada daerah luas di
prekordium
4. Cenderung berubah intensitasnya dengan perubahan posisi; biasanya bising ini terdengar lebih
baik bila pasien terlentang dan menghilang atau melemah bila pasien duduk, kecuali pada
dengung vena yang justru baru dapat terdengar bila pasien duduk
5. Tidak berhubungan dengan kelainan struktural jantung
B. Defek septum atrium
Pada defek septum atrium bunyi jantungI normal, atau mengeras bila defek besar. Bunyi jantung
II terdengar terpecah lebar dan menetap (wide and fixed split). Beban volume jantung kanan
akibat pirau dari atrium kiri ke atrium kanan menyebabkan waktu ejeksi ventrikel kanan
memanjang, sehingga bunyi jantung II terpecah lebar. Variasi akibat pernafasan tidak terjadi,
karena setiap perubahan volume di atrium kanan akan diimbangi oleh perubahan besarnya pirau
dari atrium kiri ke atrium kanan.
C. Defek septum ventrikel
Pada defek septum ventrikel tanpak komplikasi, bunyi jantung I dan II normal. Bunyi jantung III
dapat terdengar cukup keras apabila terdapat dilatasi ventrikel. Bising yang khas aialah bising
pansistolik di sela iga ke-3 dan ke-4 tepi kiri sternum yang menjalar ke sepanjang tepi kiri
sternum. Biasanya makin kecil defek makin keras bising yang terdengar, karena arus turbulen
lebih nyata. Kebanyakan bising bersifat meniup, bernada tinggi, berderajat 3/6 samapi 6/6. Pada
defek septum muskular yang kecil, bising mungkin hanya terdengar pada awal fase sistolik oleh
karena kontraksi miokardium akan menutup defek. Pada defek septum ventrikel besar sering
terdengar bising mid-diastolik di apeks akibat stenosis mitral relatif. Karena resistensi vaskular
paru yang masih tinggi, maka pada bayi baru lahir dengan defek septum ventrikel belum
terdengar bising. Bising baru terdengar bila resistensi vaskular paru telah menurun (menurun 2-6
minggu).
D. Duktus arteriosus persisten
Pirau dari aorta ke a. Pulmonalis menyebabkan terjadinya bising kontinu di sela iga ke-2 tepi kiri
sternum yang menjalar ke daerah infraklavikular, daerah karotis, bahkan sampai ke punggung.
Bunyi jantung I dan II biasanya normal, meskipun bunyi jantung II sulit diidentifikasi karena
tertutup oleh puncak bising. Pada bayi baru lahir, karena resistensi vaskuler paru yang masih
tinggi, sering hanya terdengar bising sistolik. Bising mid-diastolik di apeks juga dapat terdengar
bila pirau kiri ke kanan besar
E. Stenosis pulmonal
Bunyi jantung I normal, bunyi jantung II terpecah agak lebar dan lemah, bahkan pada stenosis
berat bunyi jantung II terdengar tunggal karena P2 tidak terdengar. Bising ejeksi sitolik terdengar
di sela iga ke-2 di tepi kiri sternum. Pada stenosis pulmonal valvular sering terdengar klik; bunyi
abnormal ini tidak terdengar pada stenosis infundibular atau stenosis valvular berat. Makin berat
stenosisnya, makin lemah P2 dan makin panjang bising yang terdengar, sampai mungkin
menempati seluruh fase sistolik.
F. Tetralogi fallot
Karakteristik bunyi dan bising jantung pada tetralogi fallot mirip dengan bunyi dan bising
jantung pada stenosis pulmonal, tetapi makin berat stenosisnya makin lemah bising yang
terdengar, karena lebih banyak dialihkan ke ventrikel kiri dan aorta dari pada ke a. Pulmonalis.
Pada tetralogi fallot dapat terdengar klik sistolik akibat dilatasi aorta.
G. Stenosis aorta
Pada stenosis aorta berat dapat terjadi reversed splitting, artinya A2 mendahului P2 dan terdengar
lebih jelas pada saat ekspirasi. Bising yang terdengar ialah bising ejeksi sistolik di sela iga ke-2
tepi kanan atau tepi sternum dan menjalar dengan baik ke apeks dan daerah karotis, biasanya
disertai getaran bising. Pada stenosis valvular terdengar klik yang mendahului bising.
H. Insufisiensi pulmonal
Pada insufisiensi pulmonal bising diastolik dini terdengar akibat regurgitasi darah dari a.
Pulmonalis ke ventrikel kanan pada saat diastole. Bising terdengar di sela iga ke-2 tepi kiri
sternum. Bising diastolik dini pada insufisiensi pulmonal yang menyertai hipertensi pulmonal
berat disebut bising graham steele, bunyi jantung II biasanya mengeras dengan split sempit.
I. Insufisiensi aorta
Karakteristik bising pada insufisiensi aorta mirip dengan bising pada insufisiensi pulmonal,
dengan nada yang kadang-kadang sangat tinggi hingga baru terdengar jelas apabila membran
stetoskop ditekan cukup keras pada dinding dada. Pada insufisiensi aorta berat dapat terdengar
bising mid-diastolik di apeks yang disebut bising Austin-Flint.
J. Insufisiensi mitral
Insufisiensi mitral lebih sering merupakan gejala sisa penyakit jantung reumatik. Pada
insufisiensi ringan bunyi jantung I normal, sedangkan pada insufisiensi berat bunyi jantung I
melemah. Bising yang khas ialah bising pansistolik bersifat meniup, terdengar paling keras di
apeks yang menjalar ke aksila dan mengeras bila pasien miring ke kiri. Derajat bising dari 3/6
samapai 6/6. Pada insufisiensi berat dapat terdengar bising mid-diastolik bernada rendah di
apeks. Pada valvulitis mitral akibat demam reumatik akut bising jantung yang sering terdengar
ialah kombinasi bising pansistolik dan mid diastolik di daerah apeks (disebut bising carrey-
coombs).
K. Stenosis mitral
Bunyi jantung I pada stenosis mitral organik sangat mengeras, bunyi jantung II dapat normal
atau terpecah sempit dengan P2 keras bila sudah terjadi hipertensi pulmonal. Bising yang khas
ialah bising mid-diastolik dengan aksentuasi presistolik (bising presistolik) bernada rendah,
berkualitas rumbling seperti suara guntur, dan terdengar paling baik di apeks.
L. Prolaps katup mitral
Bunyi jantung I dan II pada pasien prolaps katup mitral biasanya normal. Bising yang terdengar
adalah bising sistolik akhir, mirip dengan bising pada insufisiensi mitral ringan, dan biasanya
didahului oleh klik sistolik, oleh karena itu kelainan ini disebut juga click murmur syndrome.
Pada sebagian kasus hanya dapat ditemukan klik sedangkan bising tidak terdengar. Prolaps katup
mitral lebih sering terdapat pada wanita remaja, atau dewasa muda, dan pada sebagian besar
kasus etiologinya tidak diketahui.
M. Bunyi gesekan perikard (pericardial friction rub)
Bunyi gesekan perikard terdengar baik pada fase sistolik maupun fase diastolik, terdengar
seolah-olah dekat di telinga pemeriksa dan makin jelas bila diafragma stetoskop ditekan lebih
kuat di dinding dada. Intensitas bunyi ini bervariasi pada fase siklus jantung. Keadaan ini dapat
terdengar pada perikarditis, terutama pada perikarditis tuberkulosa dan perikarditis reumatik.
Suara sejenis yang bervariasi dengan siklus pernapasan disebut friksi pleuroperikardial; keadaan
ini lebih sering berarti normal, akibat dekatnya jantung dengan paru, akan tetapi mungkin pula
menunjukkan terdapatnya adhesi pleuroperikardium. 4
DAFTAR PUSTAKA

1. Swartz Mark. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Hal; 204-214, EGC: Jakarta; 1995
2. Price Sylvia, Wilson Lorraine. Patofisiologi Konsep Klilnis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Hal;553-554. EGC: Jakarta;2006
3. Markum. H.M.S. Anamnesis dan Pemriksaan Fisis. Hal; 95-100, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005
4. Matondang. C.S. Dr. Prof, Wahidayat Iskandar Dr. DR. Prof, Sastroasmoro Sudigdo Dr. DR.
Prof. Diagnosis Fisis pada Anak. Edisi 2. Hal; 83-93. CV. Sagung Seto: Jakarta; 2003

http://kim02.wordpress.com/2009/08/16/bising-jantung/

Membaca Hasil EKG (Elektrokardiografi)


Posted on November 16, 2011 by sandurezu

9 Votes

EKG atau Elektrokardiogram adalah suatu representasi dari potensial listrik otot jantung yang
didapat melalui serangkaian pemeriksaan menggunakan sebuah alat bernama elektrokardiograf.
Melalui EKG (atau ada yang lazim menyebutnya ECG {in English: Electro Cardio Graphy}) kita
dapat mendeteksi adanya suatu kelainan pada aktivitas elektrik jantung melalui gelombang irama
jantung yang direpresentasikan alat EKG di kertas EKG.

Berikut ini sedikit catatan saya tentang bagaimana cara membaca hasil pemeriksaan EKG yang
tergambar di kertas EKG. Saya sarankan untuk terlebih dahulu memahami aktivitas elektrik
jantung dan cara memasang EKG. Mudah-mudahan bisa jadi bahan diskusi.

1. IRAMA JANTUNG

Irama jantung normal adalah irama sinus, yaitu irama yang berasal dari impuls yang dicetuskan
oleh Nodus SA yang terletak di dekat muara Vena Cava Superior di atrium kanan jantung. Irama
sinus adalah irama dimana terdapat gelombang P yang diikuti oleh kompleks QRS. Irama
jantung juga harus teratur/ reguler, artinya jarak antar gelombang yang sama relatif sama dan
teratur. Misalkan saya ambil gelombang R, jarak antara gelombang R yang satu dengan
gelombang R berikutnya akan selalu sama dan teratur.

Jadi, yang kita tentukan dari irama jantung adalah, apakah dia merupakan irama sinus atau bukan
sinus, dan apakah dia reguler atau tidak reguler.

 Irama Sinus, seperti yang saya tulis di atas, yakni adanya gelombang P, dan setiap gelombang P
harus diikuti oleh kompleks QRS. Ini normal pada orang yang jantungnya sehat.
 Irama Bukan Sinus, yakni selain irama sinus, misalkan tidak ada kompleks QRS sesudah
gelombang P, atau sama sekali tidak ada gelombang P. Ini menunjukkan adanya blokade impuls
elektrik jantung di titik-titik tertentu dari tempat jalannya impuls seharusnya (bisa di Nodus SA-
nya sendiri, jalur antara Nodus SA – Nodus AV, atau setelah nodus AV), dan ini abnormal.
 Reguler, jarak antara gelombang R dengan R berikutnya selalu sama dan teratur. Kita juga bisa
menentukan regulernya melalui palpasi denyut nadi di arteri karotis, radialis dan lain-lain.
 Tidak reguler, jarak antara gelombang R dengan R berikutnya tidak sama dan tidak teratur,
kadang cepat, kadang lambat, misalnya pada pasien-pasien aritmia jantung.

2. FREKUENSI JANTUNG

Frekuensi jantung atau Heart Rate adalah jumlah denyut jantung selama 1 menit. Cara
menentukannya dari hasil EKG ada bermacam-macam. Bisa kita pakai salah satu atau bisa
semuanya untuk membuat hasil yang lebih cocok. Rumusnya berikut ini:

1) Cara 1

HR = 1500 / x

Keterangan: x = jumlah kotak kecil antara gelombang R yang satu dengan gelombang R
setelahnya.

2) Cara 2

HR = 300 / y

Keterangan: y = jumlah kotak sedang (5×5 kotak kecil) antara gelombang R yang satu dengan
gelombang R setelahnya. (jika tidak pas boleh dibulatkan ke angka yang mendekati, berkoma
juga ga masalah)

3) Cara 3

Adalah cara yang paling mudah, bisa ditentukan pada Lead II panjang (durasi 6 detik,
patokannya ada di titik-titik kecil di bawah kertas EKG, jarak antara titik 1 dengan titik
setelahnya = 1 detik, jadi kalau mau 6 detik, bikin aja lead II manual dengan 7 titik).

Caranya adalah:

HR = Jumlah QRS dalam 6 detik tadi itu x 10.


Nanti yang kita tentukan dari Frekuensi jantung adalah:

 Normal: HR berkisar antara 60 – 100 x / menit.


 Bradikardi= HR < 60x /menit
 Takikardi= HR > 100x/ menit

3. AKSIS

Aksis jantung menurut definisi saya adalah, proyeksi jantung jika dihadapkan dalam vektor 2
dimensi. Vektor 2 dimensi disini maksudnya adalah garis-garis yang dibentuk oleh sadapan-
sadapan pada pemeriksaan EKG. Sadapan (Lead) EKG biasanya ada 12 buah yang dapat
dikelompokkan menjadi 2:

1. Lead bipolar, yang merekam perbedaan potensial dari 2 elektroda/ lead standar, yaitu lead I, II
dan III.
2. Lead unipolar, yang merekam perbedaan potensial listrik pada satu elektroda yang lain sebagai
elektroda indiferen (nol). Ada 2: (a) unipolar ekstrimitas (aVL, aVF, dan aVR); (b) unipolar
prekordial (V1, V2, V3, V4, V5 dan V6)

Setiap lead memproyeksikan suatu garis/ vektor tertentu. Urutannya bisa dilihat dari gambaran berikut
ini:
Aksis jantung normal (positif) adalah antara -30° sampai dengan 120° (ada yang mendefinisikan sampai
100° saja). Sebenarnya ini adalah proyeksi dari arah jantung sebenarnya (jika normal dong ). Pada
kertas EKG, kita bisa melihat gelombang potensial listrik pada masing-masing lead. Gelombang disebut
positif jika arah resultan QRS itu ke atas, dan negatif jika ia kebawah. Berikut ini arti dari masing-masing
Lead:

 Lead I = merekam beda potensial antara tangan kanan (RA) dengan tangan kiri (LA), dimana
tangan kanan bermuatan (-) dan tangan kiri bermuatan positif (+).
 Lead II = merekam beda potensial antara tangan kanan (RA) dengan kaki kiri (LF), dimana tangan
kanan bermuatan negatif (-), dan kaki kiri bermuatan positif (+)
 Lead III = merekam beda potensial antara tangan kiri (LA) dengan kaki kiri (LF), dimana tangan
kanan bermuatan negatif (-) dan tangan kiri bermuatan positif (+)
 Lead aVL = merekam potensial listrik pada tangan kiri (LA), dimana tangan kiri bermuatan positif
(+), tangan kanan dan kaki kiri membentuk elektroda indiferen (potensial nol)
 Lead aVF = merekam potensial listrik pada kaki kiri (LF), dimana kaki kiri bermuatan positif (+),
tangan kiri dan tangan kanan nol.
 Lead aVR = merekam potensial listrik pada tangan kanan (RA), dimana tangan kanan positif (+),
tangan kiri dan kaki kiri nol.

Nah, secara elektrofisiologi, arus potensial listrik jantung berasal dari SA node lalu meluncur ke
AV node, bundle His, cabang septal dan sampai ke serabut purkinje. Arus itu bermuatan negatif
(-). Jika arus itu menuju lead yang bermuatan positif (+), maka di kertas EKG akan muncul
gelombang ke atas, (kan tarik-menarik gitu..), kalau arus itu menjauhi lead yang bermuatan (+)
tersebut, maka di kertas EKG dia akan muncul sebagai gelombang ke bawah. (Arus menuju dan
menjauhi lead itu layaknya bisa di imajinasikan sendiri kali ya, bayangkan saja lokasi leadnya
dan arah arus elektrofisiologi jantungnya. Sama halnya jika diibaratkan, lead itu kayak orang
yang lagi berdiri memandangi sebuah mobil yang lagi jalan dalam suatu arena balap. Ada orang
yang melihat mobil itu dari sudut segini, ada yang dari segitu, jadi ntar penafsiran mereka beda-
beda. Jika digabungkan, maka dapatlah mereka menyimpulkan apa yang terjadi dari mobil balap
itu.)

Itulah mengapa arah gelombang di lead aVR bernilai negatif (gelombangnya terbalik), karena
arah arus jantung berlawanan dengan arah lead/ menjauhi lead, sedangkan di lead-lead lainnya
bernilai positif (gelombangnya ke atas).

Cara menentukan aksis dari kertas EKG itu adalah:

1. Lihat hasil di Lead I, perhatikan resultan gelombang di kompleks QRS. (ingat lagi pelajaran vektor
di fisika, hehe). Jika resultan gaya Q, R dan S nya positif, (maksudnya jika gelombang R-nya lebih
tinggi daripada jumlah Q dan S {bisa dihitung jumlah kotaknya}), maka lead I = positif (+). Jika R-
nya lebih rendah daripada jumlah Q dan S, maka lead I = negatif (-). Ini semacam resultan gaya.
Bagusnya digambar di buku petak matematika itu agar lebih paham.. He.
2. Lihat hasil di Lead aVF, perhatikan hal yang sama, apakah lead aVF nya positif atau negatif.
3. Jika masih ragu lihat lagi di Lead II (lead II hasilnya lebih bagus karena letak lead II searah dengan
arah jantung normal). tentukan apakah lead II nya positif atau negatif.

Nah, cara menginterpretasikannya bisa dibuatkan tabel berikut ini:


Aksis / Lead Normal LAD RAD
I + + -
aVF + - +
II + - +

 Aksis Normal = ketiga lead tersebut bernilai positif, artinya jantung berada di antara aksis -30°
sampai dengan 120° (ada yang menyebutkan sampai 100° saja).
 LAD (Left Axis Deviation), artinya aksis / arah proyeksi jantungnya bergeser ke kiri, atau di atas –
3o°. Kalau demikian tentu gak mungkin aVF atau lead II nya positif, pasti negatif kan.. Ini
biasa terjadi jika adanya pembesaran ventrikel kiri/ LVH (Left Ventricular Hypertrophy), sehingga
arah jantungnya jadi ga normal lagi, agak naik gitu. Misalnya pada pasien-pasien hipertensi
kronis dsb.
 RAD (Right Axis Deviation), artinya aksisnya bergeser ke kanan, atau di atas 120°. Kalau ke kanan
tentu lead I-nya akan negatif, sedangkan aVF dan II positif. Biasanya ini terjadi jika adanya
pembesaran jantung kanan/ RVH (Right Ventricular Hypertrophy).
4. Gelombang P

Gelombang P adalah representasi dari depolarisasi atrium. Gelombang P yang normal:

 lebar < 0,12 detik (3 kotak kecil ke kanan)


 tinggi < 0,3 mV (3 kotak kecil ke atas)
 selalu positif di lead II
 selalu negatif di aVR

Yang ditentukan adalah normal atau tidak:

 Normal
 Tidak normal:
 P-pulmonal : tinggi > 0,3 mV, bisa karena hipertrofi atrium kanan.
 P-mitral: lebar > 0,12 detik dan muncul seperti 2 gelombang berdempet, bisa karena hipertrofi
atrium kiri.
 P-bifasik: muncul gelombang P ke atas dan diikuti gelombang ke bawah, bisa terlihat di lead V1,
biasanya berkaitan juga dengan hipertrofi atrium kiri.

5. PR Interval

PR interval adalah jarak dari awal gelombang P sampai awal komplek QRS. Normalnya 0,12 –
0,20 detik (3 – 5 kotak kecil). Jika memanjang, berarti ada blokade impuls. Misalkan pada pasien
aritmia blok AV, dll.

Yang ditentukan: normal atau memanjang.

6. Kompleks QRS

Adalah representasi dari depolarisasi ventrikel. Terdiri dari gelombang Q, R dan S. Normalnya:

 Lebar = 0.06 – 0,12 detik (1,5 – 3 kotak kecil)


 tinggi tergantung lead.

Yang dinilai:

- Gelombang Q: adalah defleksi pertama setelah interval PR / gelombang P. Tentukan apakah


dia normal atau patologis. Q Patologis antara lain:

 durasinya > 0,04 (1 kotak kecil)


 dalamnya > 1/3 tinggi gelombang R.

- Variasi Kompleks QRS

 QS, QR, RS, R saja, rsR’, dll. Variasi tertentu biasanya terkait dengan kelainan tertentu.
- Interval QRS, adalah jarak antara awal gelombang Q dengan akhir gelombang S. Normalnya
0,06 – 0,12 detik (1,5 – 3 kotak kecil). Tentukan apakah dia normal atau memanjang.

7. Tentukan RVH/LVH

Rumusnya,

 RVH jika tinggi R / tinggi S di V1 > 1


 LVH jika tinggi RV5 + tinggi SV1 > 35

8. ST Segmen

ST segmen adalah garis antara akhir kompleks QRS dengan awal gelombang T. Bagian ini
merepresentasikan akhir dari depolarisasi hingga awal repolarisasi ventrikel. Yang dinilai:

 Normal: berada di garis isoelektrik


 Elevasi (berada di atas garis isoelektrik, menandakan adanya infark miokard)
 Depresi (berada di bawah garis isoelektrik, menandakan iskemik)

9. Gelombang T
Gelombang T adalah representasi dari repolarisasi ventrikel. Yang dinilai adalah:

 Normal: positif di semua lead kecuali aVR


 Inverted: negatif di lead selain aVR (T inverted menandakan adanya iskemik)

5 Penyakit Jantung Bawaan dan Pencegahannya


Penulis : Dr. Widodo Judarwanto Sp.A | Senin, 24 Desember 2012 | 17:20 WIB

Dibaca: 5850

Komentar: -

Share:
Shutterstock

Ilustrasi penyakit jantung anak

TERKAIT:

 Mengapa Tangan Anak Sering Berkeringat?


 Menyusui Bayi Penderita Kelainan Jantung Bawaan
 Penyakit Jantung Bawaan Bisa Dideteksi Lewat USG
 Periksa Kehamilan Teratur Cegah PJB
 Penyakit Jantung Tak Kenal Usia

KOMPAS.com - Penyakit Jantung Bawaan atau PJB adalah kelainan jantung yang terjadi pada
bayi sejak dalam kandungan. Janin dalam kandungan memiliki kompensasi yang baik terhadap
kelainan ini, sehingga tanpa kontrol kehamilan yang baik seringkali PJB tidak terdiagnosa
sebelum bayi dilahirkan.

Setiap jenis PJB memiliki penanganan yang berbeda satu sama lain, bergantung pada klasifikasi
(sianotik atau non sianotik), kelainan struktur, dan keparahan defek jantung. Dampak kematian
dan morbiditas yang menganggu maka perlu memahami lebih jauh mengenai tanda-tanda
penyakit ini, sehingga dapat melakukan deteksi dini terhadap penyakit jantung bawaan pada
anak-anak.

PJB adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang ditemukan sejak bayi dilahirkan. Kelainan
ini terjadi pada saat janin berkembang dalam kandungan. PJB yang paling banyak ditemukan
adalah kelainan pada septum bilik jantung atau dikenal dengan sebutan ventricular septal defect
(VSD) dan diikuti oleh kelainan pada septum serambi jantung atau lebih dikenal dengan nama
Atrial Septal Defect (ASD).

Masyarakat awam sering melihat kedua kelainan jantung ini dikenal dengan sebutan jantung
bocor. Jenis kelainan struktur lainnya dapat berupa patent ductus arteriosus, transposition of
great arteries, dan kelaianan katup jantung. Seringkali PJB juga timbul dalam bentuk gabungan
beberapa kelainan, seperti yang terjadi pada tetralogi fallot, yang mencakup 4 kelainan pada
jantung. Di antara berbagai kelainan bawaan yang ada, PJB merupakan kelainan yang paling
sering ditemukan.

Prevalensi PJB di Indonesia sekitar 8-10 dari 1.000 kelahiran hidup, dengan sepertiga di
antaranya bermanifestasi dalam kondisi kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari
kegawatan pada bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian. Di Indonesia, dengan
populasi 200 juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2%, diperkirakan terdapat sekitar 30.000
penderita PJB.

Penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa setiap tahun sedikitnya 35.000 bayi menderita
kelainan ini dan 90% di antaranya dapat meninggal bila di tahun pertama kehidupan bayi tidak
dilakukan perawatan yang adekuat. Menurut Children Heart Foundation, pada setiap tahun
sebanyak 1.000.000 bayi di seluruh dunia lahir dengan penyakit jantung bawaan. Sekitar 100.000
diantaranya tidak akan dapat melewati tahun pertama kehidupannya, dan ribuan bayi lainnya
akan meninggal sebelum mencapai usia dewasa. Keadaan ini seringkali tidak disadari oleh
masyarakat awam, sehingga angka kematian anak-anak yang disebabkan oleh penyakit jantung
ini terus meningkat.

Penyakit jantung bawaan adalah penyakit jantung yang dibawa sejak lahir, di mana kelainan
pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung terjadi akibat gangguan atau kegagalan
perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Penyebab PJB sendiri
sebagian besar tidak diketahui, namun beberapa kelainan genetik seperti sindroma Down dan
infeksi Rubella (campak Jerman) pada trimester pertama kehamilan ibu berhubungan dengan
kejadian PJB tertentu.

Secara umum terdapat 2 kelompok besar PJB yaitu PJB sianotik dan PJB asianotik. PJB sianotik
biasanya memiliki kelainan struktur jantung yang lebih kompleks dan hanya dapat ditangani
dengan tindakan bedah. Sementara PJB asianotik umumnya memiliki lesi (kelainan) yang
sederhana dan tunggal, namun tetap saja lebih dari 90% di antaranya memerlukan tindakan
bedah jantung terbuka untuk pengobatannya. Pada PJB sianotik, bayi baru lahir terlihat biru oleh
karena terjadi percampuran darah bersih dan darah kotor melalui kelainan pada struktur jantung.
Pada kondisi ini jaringan tubuh bayi tidak mendapatkan cukup oksigen yang sangat berbahaya,
sehingga harus ditangani secara cepat. Sebaliknya pada PJB non sianotik tidak ada gejala yang
nyata sehingga seringkali tidak disadari dan tidak terdiagnosa baik oleh dokter maupun oleh
orang tua. Gejala yang timbul awalnya berupa lelah menyusui atau menyusui sebentar-sebentar
dan gejala selanjutnya berupa keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan.

Inilah 5 penyakit jantung bawaan pada anak

1. VSD (Ventracular Septal Defect)/ Sekat Bilik Jantung Berlubang

VSD adalah kelainan jantung berupa lubang pada sekat antarbilik jantung yang menyebabkan
kebocoran aliran darah pada bilik kiri dan kanan jantung. Kebocoran ini membuat sebagian darah
kaya oksigen kembali ke paru-paru sehingga menghalangi darah rendah oksigen memasuki paru-
paru. Bila lubangnya kecil, VSD tidak memberikan masalah berarti. Bila besar, bayi dapat
mengalami gagal jantung. VSD adalah kelainan jantung bawaan yang paling sering terjadi (30%
kasus). Gejala utama dari kelainan ini adalah kesulitan menyusui dan gangguan pertumbuhan,
nafas pendek dan mudah lelah. Bayi dengan VSD besar cepat tidur setelah kurang menyusui,
bangun sebentar karena lapar, mencoba menyusu lagi tetapi cepat kelelahan, tertidur lagi, dan
seterusnya.

2. PDA (Persisten Duktus Arteriosus Persisten)

Duktus arteriosus adalah pembuluh darah yang menghubungkan arteria pulmonalis dengan
bagian aorta distal dari arteria subklavia, yang akan mengalami perubahan setelah bayi lahir,
yaitu : "Normal postnatal patency" : Secara fungsional, duktus arteriosus masih terbuka karena
hipoksia atau pada bayi kurang bulan, dan akan menutup sendiri bila keadaan yang mendasari
telah membaik. "Delayed, non surgical closure" : Duktus arteriosus akan menutup baik
fungsional maupun anatomis, tetapi hal ini terjadi lebih lambat walaupun keadaan-keadaan yang
mendasari telah membaik. Penutupan ini terjadi karena secara normal menutup sendiri, atau
secara abnormal yaitu karena infeksi atau trombosis pada duktus arteriosus tersebut. "Persistent
patency of the ductus" (PDA) : Duktus arteriosus tetap terbuka secara anatomis sampai dewasa.
Tindakan pembedahan dilakukan secara elektif (sebelum masuk sekolah). Tindakan pembedahan
dilakukan lebih dini bila terjadi : Gangguan pertumbuhan, Infeksi saluran pernafasan bagian
bawah berulang, Pembesaran jantung/payah jantung dan Endokarditis bakterial 6 bulan setelah
sembuh

3. PS (Pulmonary Stenosis)/ Penyempitan Katup Paru

PS adalah penyempitan katup paru yang berfungsi mengatur aliran darah rendah oksigen dari
bilik kanan jantung ke paru-paru. Dengan penyempitan ini, bilik kanan harus bekerja keras
memompa darah sehingga makin lama makin membesar (hipertrofi). PS terjadi pada 10% kasus.
Banyak penderita yang baru terdiagnosis setelah dewasa. Bila demikian, dampaknya mungkin
sudah sangat merusak berupa penyakit paru, risiko stroke tinggi dan usia harapan hidup yang
rendah.

4. ASD (Atrial Septal Defect) / Sekat Serambi Jantung Berlubang

Atrial Septal Defect (ASD) adalah terdapatnya lubang di antara dua serambi jantung atau
terdapat hubungan antara atrium kanan dengan atrium kiri yang tidak ditutup oleh katup. ASD
adalah adanya lubang atau defek pada sekat yang memisahkan atrium kiri dan kanan. Lubang ini
menimbulkan masalah yang sama dengan VSD, yaitu mengalirkan darah kaya oksigen kembali
ke paru-paru. ASD terjadi pada 5-7% kasus dan lebih banyak terjadi pada bayi perempuan
dibandingkan bayi laki-laki.

5. TF (Tetralogi Fallot)

TOF adalah komplikasi kelainan jantung bawaan yang khas, dan melibatkan empat kondisi:
Sekat bilik jantung berlubang (VSD), penyempitan katup paru (PS), bilik kanan jantung
membesar (hipertrofi) dan akar aorta tepat berada di atas lubang VSD. Pada penyakit ini yang
memegang peranan penting adalah defek septum ventrikel dan stenosis pulmonalis, dengan
syarat defek pada ventrikel paling sedikit sama besar dengan lubang aorta. Lubang VSD
biasanya besar dan darah mengalir dari bilik kanan melalui lubang ini menuju bilik kiri. Hal ini
terjadi karena adanya hambatan pada katup paru. Setelah masuk ke bilik kiri, darah yang rendah
oksigen itu dipompa ke aorta dan mengalir ke seluruh tubuh. Itulah sebabnya bayi penderita TOF
memiliki kulit yang membiru karena kekurangan oksigen.

Gejala

PJB seringkali ditemukan pada masa kanak-kanak. Akan tetapi, tidak semua kelainan jantung
bawaan langsung menimbulkan gejala saat lahir. Beberapa kelainan jantung bawaan sulit untuk
dideteksi pada masa kanak-kanak, sehingga kelainan tersebut baru dapat ditemukan saat remaja
dan dewasa. Pada umumnya kelainan jantung bawaan yang berat dapat menimbulkan gejala
dalam bererapa bulan pertama setelah lahir, sehingga seringkali dapat terdeteksi pada masa
kanak-kanak. Akan tetapi kelainan jantung bawaan yang ringan seringkali tidak menimbulkan
keluhan, sehingga seringkali pula tidak terdeteksi. Umumnya kelainan jantung bawaan ringan
akan terdeteksi saat anak tersebut datang berobat ke dokter.

Penyakit jantung bawaan dapat dibagi menjadi dua. Penyakit jantung bawaan biru dan penyakit
jantung bawaan tanpa biru. Penyakit jantung bawaan biru lebih cepat menimbulkan gejala dan
paling mudah dikenali. Gejala yang paling sering ditemukan adalah bayi menjadi biru saat
menangis (bibir, kuku, dan lidah menjadi biru). Wajah bayi tampak pucat dan biru, ujung kaki
dan tangan juga kuku terlihat kebiruan akibat kurangnya aliran darah.

Biru dan sesak ini akan tampak lebih jelas bila bayi menangis atau mengedan saat buang air
besar, secara umum fisik tampak lemas, lelah dan malas menyusu,bayi sering demam batuk
pilek. Pada saat menghisap ASI, bayi sering berhenti dan nafas tersengal-sengal wajah kebiruan.
Gejala-gejala lainnya antara lain, sulit bernapas, nafsu makan rendah, bayi sering tersedak atau
terbatuk saat menyusu, berkeringat berlebih saat makan atau minum susu, pertumbuhan dan
perkembangan terhambat, berat badan sulit meningkat atau cenderung menurun, terlambat
berjalan, aktivitas anak berkurang, anak terlihat lemah, dan anak sering mengalami demam yang
tidak diketahui penyebabnya.

Diagnosis

Penyakit jantung pada janin di dalam kandungan kebanyakan tidak menimbulkan gejala yang
signifikan. Oleh karena itu PJB seringkali tidak terdiagnosa sampai bayi dilahirkan.

Penyakit kelainan jantung bawaan bisa di diagnosis sejak masa kehamilan yakni memasuki usia
kehamilan 16 hingga 20 minggu dengan pemeriksaan USG kandungan. Semakin dini diagnose
dapat di ketahui maka harapan untuk proses penyembuhan akan semakin besar.

Pada PJB sianotik, diagnosa dapat langsung dilakukan (bayi terlihat biru dan sesak) dan
membutuhkan penanganan yang cepat.
Pada PJB non sianotik, pemeriksaan fisik pada bayi barus lahir memegang peranan yang
terpenting. Apabila pada pemeriksaan fisik oleh dokter terdapat kecurigaan kelainan jantung,
maka beberapa pemeriksaan tambahan harus dilakukan, antara lain ekokardiografi,
elektrokardiografi (EKG), roentgen (X-Ray) dada, oksimetri, sampai kateterisasi atau angiografi.
Namun dengan kemajuan teknik ekokardiografi, prosedur angiografi yang invasif cenderung
berkurang.

Penyebab

Penyebab kelainan jantung bawaan sebagian besar (90%) tidak diketahui. Faktor lingkungan
seperti: ibu merokok, minum obat di luar resep dokter, infeksi waktu hamil dikatakan memegang
peranan 3%. Sisanya 7% karena turunan. Karena penyebabnya sebagian besar belum diketahui
dan faktor turunan hanya 7%, kemungkinan untuk melahirkan anak dengan kelainan jantung
bawaan relatif kecil.

Kebanyakan ahli menduga timbulnya PJB pada bayi-bayi baru lahir disebabkan oleh gabungan
beberapa faktor, diantaranya adalah infeksi virus TORCH pada saat kehamilan, penyakit gula
pada saat kehamilan, kebiasaan merokok, konsumsi obat tertentu seperti asam retinoat untuk
pengobatan jerawat, alkohol, dan faktor genetik atau keturunan.

Infeksi TORCH (toksoplasma, rubela, cytomegalovirus/CMV dan herpes simplex) adalah


sekelompok infeksi yang dapat ditularkan dari wanita hamil kepada bayinya. Ibu hamil yang
terinfeksi TORCH berisiko tinggi menularkan kepada janinnya yang bisa menyebabkan cacat
bawaan atau PJB. Dugaan terhadap infeksi TORCH baru bisa dibuktikan dengan melakukan
pemeriksaan darah atau skrining. Jika hasilnya positif, atau terdapat infeksi aktif, selanjutjnya
disarankan pemeriksaan diagnostik berupa pengambilan sedikit cairan ketuban untuk diperiksa di
laboratorium

Faktor keturunan dapat dilihat apabila saudara kandung atau orang tua dari bayi yang menderita
PJB juga memiliki kelainan yang sama. Riset menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki
kelainan jantung lebih berisiko memiliki anak yang berkelainan jantung pula. Kelainan juga
dapat disebabkan gangguan perkembangan jantung pada janin karena infeksi seperti rubella dan
toksoplasma, obat-obatan, alkohol dan zat-zat beracun yang dikonsumsi ibunya. Kelainan gen
seperti sindrom Down dan Turner juga berkorelasi dengan kelainan jantung bawaan.

Pencegahan

- Pemeriksaan antenatal atau pemeriksaan saat kehamilan yang rutin sangat diperlukan. Dengan
kontrol kehamilan yang teratur, maka PJB dapat dihindari atau dikenali secara dini.

- Kenali faktor risiko pada ibu hamil yaitu penyakit gula maka kadar gula darah harus dikontrol
dalam batas normal selama masa kehamilan, usia ibu di atas 40 tahun, ada riwayat penyakit
dalam keluarga seperti diabetes, kelainan genetik down sindrom , penyakit jantung dalam
keluarga. Perlu waspada ibu hamil dengan faktor resiko meskipun kecil kemungkinannya.

- Pemeriksaan antenatal juga dapat mendeteksi adanya PJB pada janin dengan ultrasonografi
(USG). Pemeriksaan ini sangat tergantung dengan saat dilakukannya USG, beratnya kelainan
jantung dan juga kemampuan dokter yang melakukan ultrasonografi. Umumnya, PJB dapat
terdeteksi pada saat USG dilakukan pada paruh kedua kehamilan atau pada kehamilan lebih dari
20 minggu. Apabila terdapat kecurigaan adanya kelainan jantung pada janin, maka penting untuk
dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan fetal ekokardiografi. Dengan pemeriksaan ini, gambaran
jantung dapat dilihat dengan lebih teliti.

- Pencegahan dapat dilakukan pula dengan menghindarkan ibu dari risiko terkena infeksi virus
TORCH (Toksoplasma, Rubela, Sitomegalovirus dan Herpes). Skrining sebelum merencanakan
kehamilan. Skrining ini yang juga dikenal dengan skrining TORCH adalah hal yang rutin
dilakukan pada ibu-ibu hamil di negara maju, namun di Indonesia skrining ini jarang dilakukan
oleh karena pertimbangan finansial. Lakukan imunisasi MMR untuk mencegah penyakit morbili
(campak) dan rubella selama hamil.

- Konsumsi obat-obatan tertentu saat kehamilan juga harus dihindari karena beberapa obat
diketahui dapat membahayakan janin yang dikandungnya. Penggunaan obat dan antibiotika bisa
mengakibatkan efek samping yang potensial bagi ibu maupun janinnya. Penggunaan obat dan
antibiotika saat hamil seharusnya digunakan jika terdapat indikasi yang jelas. Prinsip utama
pengobatan wanita hamil dengan penyakit adalah dengan memikirkan pengobatan apakah yang
tepat jika wanita tersebut tidak dalam keadaan hamil. Biasanya terdapat berbagai macam pilihan,
dan untuk alasan inilah prinsip yang kedua adalah mengevaluasi keamanan obat bagi ibu dan
janinnya

- Hindari paparan sinar X atau radiasi dari foto rontgen berulang pada masa kehamilan

- Hindari paparan asap rokok baik aktif maupuin pasif dari suami atau anggota keluarga di
sekitarnya.

- Hindari polusi asap kendaraan dengan menggunakan masker pelindung agar tidak terhisap zat -
zat racun dari karbon dioksida.

http://health.kompas.com/read/2012/12/24/17204326/5.Penyakit.Jantung.Bawaan.dan.Pencegahanny
a

Sehat Jantung Anakku

didedikasikan untuk anak-anak dengan problem jantung

Menu utama
Langsung ke isi

 Beranda
 Tentang majalah ini

Cari

Agustus 13, 2012

GEJALA DAN TANDA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN PADA ANAK

 Tinggalkan Komentar

Seperti telah disebutkan sebelumnya, Penyakit jantung bawaan (PJB) dibagi menjadi 2
kelompok besar yaitu yang asianotik ( tidak biru) dan yang sianotik (biru).

Apa saja gejala dan tanda-tandanya anak kita menderita PJB? Anak saya saat lahir
dikatakan sehat oleh dokter, namun sekarang dikatakan menderita PJB, bagaimana bisa
demikian?
Ini adalah pertanyaan yang seringkali ditanyakan oleh orangtua yang anaknya didiagnosis PJB
saat usianya sudah beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun. PJB tidak selalu memberikan
gejala segera saat lahir. Beberapa bayi lahir nampak sehat, menangis kuat dan saat diperiksa oleh
dokter tidak ditemukan kelainan pada jantungnya.

Gejala-gejala yang dapat dijumpai pada bayi penderita PJB adalah sebagai berikut:

1. Pada saat bayi:

 Saat lahir dapat dijumpai gangguan pernapasan. Pada yang berat bahkan dapat berakibat
kematian. Pada PJB biru, anak tampak biru meskipun tidak sesak napas dan aktif. Namun
demikian, pada yang kompleks gejala sesak napas dan biru dapat nampak bersamaan
 Pada beberapa kasus yang berat dan kompleks, bayi baru lahir segera memburuk dan meninggal
dalam waktu dua hari bersamaan dengan menutupnya pembuluh arteriosus Botalli. PJB yang
terakhir ini disebut sebagai PJB yang bergantung pada duktus (duct dependent lesion)Anak
menetek tidak kuat, sering melepaskan puting ibu istirahat sebentar kemudian melanjutkan
minum lagi.
 Saat menetek/minum, bayi nampak berkeringat banyak di dahi, napas terengah-engah. Minum
tidak bisa banyak dan tidak lama.
 Berat badan tidak naik-naik atau naik kurang dari grafik/pita pertumbuhan yang sesuai pada
KMS.
 Anak sering sakit batuk dan sesak napas yang sering disebut sebagai pneumonia atau
bronkopneumonia.
 Daya tahan tubuh terhadap penyakit kurang, sebagai akibatnya bayi sering sakit-sakitan.
 Anak yang menderita PJB biru, saat lahir nampak kebiru-biruan di mulut dan lidah serta ujung-
ujung jari, meskipun anak tampak aktif ceria dan menangis kuat. Pada beberapa anak, warna
kebiruan pada mulut, lidah dan ujung-ujung jari tersebut baru nampak setelah berusia beberapa
bulan.
 Serangan biru dapat terjadi pada anak dengan PJB biru yang ditandai dengan bayi menangis
terus menerus tidak berhenti-berhenti. Anak tampak semakin biru, napas tersengal-sengal. Bila
berat, dapat mengakibatkan kejang bahkan kematian.
 Kelainan jantung sering juga ditemukan secara tidak sengaja oleh dokter pada saat bayi berobat
utk penyakit lainnya atau saat datang untuk imunisasi. Dokter mendengar adanya bising jantung
saat memeriksa jantung bayi dengan menggunakan stetoskop.

2. Gejala pada anak

 Berat badan anak naik tidak memuaskan dengan kata lain pertumbuhannya terhambat
 Perkembangan terlambat
 Cepat lelah saat bermain, napas terengah-engah, berkeringat banyak lebih dari anak yang lain.
 Anak yang menderita PJB biru: tampak kebiruan pada mulut, lidah dan ujung-ujung jari, sering
jongkok saat bermain, ujung jari membulat sehingga jari2 tampak seperti pemukul genderang.
 Serangan biru ditandai dengan napas terengah-engah, anak tampak lebih biru daripada
biasanya, bila berat mengakibatkan anak pingsan bahkan kematian.Pertumbuhan dan
perkembangannyapun terlambat

3. Pada remaja
 Tanda-tanda masa remajanya terlambat, misalnya pada anak perempuan terlambat haid,
payudara masih rata.
 Pada anak laki-laki pertumbuhan cepatnya tertunda.
 Anak tampak kurus
 Aktivitas tidak mampu berlari jauh atau bermain lama seperti anak lainnya
 Sering batuk-batuk dan napas terengah-engah
 Berkeringat banyak pada wajah saat beraktivitas
 Pada yang sudah diketahui menderita kebocoran jantung, bila sampai remaja tidak ada tindakan
koreksi, dapat mengakibatkan sindroma Eisenmenger, yaitu anak yang semula tidak sianosis
(biru), mulai nampak kebiruan seperti penderita PJB sianotik. Kondisi ini sangat berbahaya.

Apa yang harus dilakukan orang tua bila dijumpai tanda dan gejala di atas?

Gejala dan tanda pada pernapasan, aktivitas dan hambatan kenaikan berat badan merupakan hal
yang paling sering dijumpai dan merupakan penanda dini dan penting pada PJB. Oleh sebab itu,
bila menjumpai hal tersebut, jangan ragu-ragu untuk segera memeriksakan anak ke dokter. Dapat
ke dokter umum atau dokter spesialis anak terlebih dahulu, namun untuk memastikan jenis
kelainannydiperlukan rujukan ke dokter spesialis anak konsultan penyakit jantung anak untuk
pemeriksaan lebih lanjut menggunakan echocardiography dan mungkin bahkan diperlukan
pemeriksaan lanjutan yang sifatnya invasif, yaitu kateterisasi jantung.

Jangan menunda pemeriksaan karena merasa takut, apa lagi bila kemudian “shopping” dulu
mulai dari bidan, dukun, pengobatan tradisonal, berbagai dokter dan klinik, selain memboroskan
biaya dan waktu, penundaan diagnosis akan dapat berdampak kurang baik bagi kesehatan adek.

Kemana pemeriksaan diagnosis pasti dapat dilakukan?

Pemeriksaan untuk diagnosis pasti pada anak tidak dapat dipungkiri memerlukan perlengkapan
yang canggih, di antaranya pemeriksaan dengan foto rontgen dada, pemeriksaan rekam listrik
jantung (elektrokardiografi=EKG), pemeriksaan USG jantung atau echocardiography.
Echocardiography adalah pemeriksaan canggih yang dapat mengetahui adanya kelainan struktur
(kecacatan jantung) sekaligus menilai fungsinya, wpe,eriksaan ini sama sekali tidak menyakitkan
dan tidak memerlukan persiapan secara khusus. Pada anak yang kevil dan selalu rewel,
seringkali diperlukan pemberian obat tertentu agar dapat dilakukan dengan tenang, namun ini
tidak selalu perlu dilakukan. Pada keadaan – keadaan dimana dengan pemeriksaan
echocardiography saja masih belum mencukupi untuk mendiagnosis pasti, maka diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu kateterisasi jantung, CT scan dan angiography tiga dimensi dan
sebagainya. Pemeriksaan – pemeriksaan tersebut terdapat di RS rujukan yang cukup besar dan
memberikan pelayanan jantung anak. Saat ini RS semacam ini tersebar cukup banyak di
Indonesia.

Mengapa pada saat kehamilan PJB anak saya tidak terdeteksi?

Pemeriksaan anatomi jantung sampai saat ini tidak secara rutin dilakukan. Yang dilakukan oleh
dokter kandungan yang rutin adalah mendengarkan irama jantung janin apakah normal atau
tidak. Pemeriksaan echocardiography pada janin (fetal echocardiography) dilakukan bila terdapat
indikasi tertentu, misalnya: dijumpai gangguan irama, riwayat PJB pada ibu, riwayat PJB pada
anak-anak sebelumnya, kematian dimasa perinatal yang berukang pada anak sebelumnya, ibu
menderita penyakit tertentu. Pemeriksaan ini sudah dapat dilakukan pada RS tertentu yang
memiliki sarana echocardiography dan tenaga konsulen penyakit jantung pada anak.

Apa yang harus dilakukan ibu untuk dapat mencegah terjadinya PJB?

Kehamilan harus direncanakan dengan baik. Jantung adalah organ penting yg sudah terbentuk
pada usia kehamilan belum genap satu bulan, sehingga seringkali ibu belum menyadari bahwa
dirinya hamil.

Oleh sebab itu, menjaga kesehatan calon ibu sejak masa kanak-kanak, remaja dan pernikahan
serta merencanakan kehamilan yang sehat Sangatlah penting bagi kesehatan calon adek.

Anindita, Aryamukti Raya 649 semarang, 14 agustus 2012

http://sehatjantunganakku.wordpress.com/2012/08/13/gejala-dan-tanda-penyakit-jantung-bawaan-
pada-anak/

← Hello world!
Tentang penulis: →

Penyakit Jantung Bawaan (PJB)


Posted on March 2, 2011 by sudiarie

A. Pengertian

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa sejak
lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada
akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung sudah lengkap; jadi
kelainan pembentukan jantung terjadi pada awal kehamilan. Penyebab PJB
seringkali tidak bisa diterangkan, meskipun beberapa faktor dianggap
berpotensi sebagai penyebab (Rahayoe, 2006).

Kelainan jantung kongenital atau bawaan adalah kelainan jantung atau malformasi yang muncul
saat kelahiran, selain itu kelainan jantung kongenital merupakan kelainan anatomi jantung yang
dibawa sejak dalam kandungan sampai dengan lahir Kebanyakan kelainan jantung kongenital
meliputi malformasi struktur di dalam jantung maupun pembuluh darah besar, baik yang
meninggalkan maupun yang bermuara pada jantung (Nelson, 2000). Kelainan ini merupakan
kelainan bawaan tersering pada anak, sekitar 8-10 dari 1.000 kelahiran hidup. Kelainan jantung
bawaan ini tidak selalu memberi gejalan segera setelah bayi lahir, tidak jarang kelainan tersebut
baru ditemukan setelah pasien berumur beberapa bulan atau bahkan ditemukan setelah pasien
berumur beberapa tahun Kelainan ini bisa saja ringan sehingga tidak terdeteksi saat lahir.
Namun pada anak tertentu, efek dari kelainan ini begitu berat sehingga diagnosis telah dapat
ditegakkan bahkan sebelum lahir. Dengan kecanggihan teknologi kedokteran di bidang diagnosis
dan terapi, banyak anak dengan kelainan jantung kongenital dapat ditolong dan sehat sampai
dewasa (Ngustiyah, 2005).

Kelainan jantung bawaan dapat melibatkan katup-katup yang menghubungkan ruang-ruang


jantung, lubang di antara dua atau lebih ruang jantung, atau kesalahan penghubungan antara
ruang jantung denga arteri atau vena. Dalam diagnosa PJB, perhatian utama ditujukan terhadap
gejala klinis gangguan sistem kardiovaskuler pada masa neonatus. Indikasinya seperti sianosis
sentral (kebiruan pada lidah, gusi, dan mucosa buccal bukan pada ekstremitas dan perioral,
terutama terjadi saat minum atau menangis), penurunan perfusi perifer (tidak mau minum, pucat,
dingin, dan berkeringat disertai distres nafas), dan takipneu > 60x / menit(terjadi setelah
beberapa hari atau minggu, karena takipneu yang terjadi segera setelah lahir menunjukkan
kelainan paru, bukan PJB) (Manuaba, 2002).

Kelainan jantung kongenital beraneka raga. Pada bayi yang lahir dengan kelainan ini, 80%
meninggal dalam tahun pertama, di antaranya 1/3 meninggal pada minggu pertama dan ½ dalam
1-2 bulan (Prawirohardjo, 1999).

B. Anatomi Jantung

Jantung manusia terdiri dari dua sisi yang terbagi dalam empat ruangan. Sisi jantung kanan
berfungsi memompa darah kotor dari tubuh ke paru, tempat darah mendapatkan kembali zat
asam. Darah kaya zat asam ini akan kembali ke sisi jantung kiri, kemudian dipompakan ke
seluruh tubuh. Agar proses berjalan baik diperlukan kesempurnaan dari lima komponen berikut.
Pembuluh darah vena yang mengangkut darah kembali ke jantung dari tubuh dan paru, serambi
jantung yang menampung darah yang kembali ke jantung, bilik jantung yang memompa darah ke
luar dari jantung ke paru dan tubuh, keempat katup jantung yang mengatur arah aliran darah,
serta pembuluh darah aorta (mengangkut darah berkadar tinggi zat asam dari bilik jantung kiri ke
seluruh tubuh), dan pembuluh darah paru (mengangkut darah kotor dari bilik jantung kanan ke
paru) (Nelson, 2000).

Kelainan yang dapat terjadi di antaranya kelainan pada sekat antara serambi atau bilik jantung
sehingga menyebabkan percampuran darah sisi jantung kanan dan kiri, penyumbatan atau
tertutupnya salah satu katup jantung sehingga terjadi obstruksi aliran darah, kebocoran dari salah
satu katup jantung sehingga terjadi pengaliran balik darah ke ruangan asal, hubungan tidak
normal antara vena, jantung, dan pembuluh darah besar jantung sehingga menyebabkan arah
aliran darah ke tempat yang salah, serta penyumbatan baik pada vena yang bermuara ke jantung
atau pembuluh darah besar yang meninggalkan jantung sehingga menurunkan aliran darah.
Kelainan otot jantung juga ada yang kongenital, bisa melemahkan otot jantung hingga terjadi
gagal jantung. Jenis kelainan jantung kongenital terbanyak adalah bocornya, baik sekat serambi
maupun bilik jantung, transposisi pembuluh darah besar dan tetap terbukanya saluran
penghubung antara aorta dan pembuluh darah paru (Latief, 2005).

C. Penyebab Kelainan Jantung Kongenital


Dalam banyak kasus, sesuatu yang tidak beres dalam perkembangan awal janin. Beberapa
kondisi jantung rusak karena gen atau kromosom. Sering kali, kita tidak mengerti mengapa
jantung bayi tidak berkembang normal (Britis heart foundation, 2009).

Di Indonesia diperkirakan sekitaar 40.000 bayi lahir dengan penyakit jantung bawaan (PJB)
setiap tahun dan sebagian besar meninggal sebelum mencapai usia satu tahun. Pada garis besar,
kelainan yang Nampak pada bayi saat dilahirkan dapat berupa biru atau tidak biru. Sering kali
bayi menunjukkan gejala gagal tumbuh kembang, ataupun sakit saluran pernafasan berulang.
Sebagian besar kasus tidak diketahui penyebabnya dan multifaktorial. Faktor-faktor
penyebabnya diantaranya adalah infeksi virus rubella (German rubella) pada masa kehamilan
ibu, genetik misalnya pada sindroma down, ataupun karena obat-obatan yang dimakan selama
hamil (Arief, 2007).

Kelainan ini bisa saja ringan sehingga tidak terdeteksi saat lahir. Namun pada anak tertentu, efek
dari kelainan ini begitu berat sehingga diagnosis telah dapat ditegakkan bahkan sebelum lahir.
Dengan kecanggihan teknologi kedokteran di bidang diagnosis dan terapi, banyak anak dengan
kelainan jantung kongenital dapat ditolong dan sehat sampai dewasa.

Sebab-sebab kelainan jantung bawaan dapat bersifat eksogen, atau endogen.

a. Eksogen : infeksi rubella atau penyakit virus lain, obat-obat yang diminum ibu (misalnya
thalidomide), radiasi dan sebagainya yang dialami ibu pada kehamilan muda dapat merupakan
faktor terjadinya kelainan jantung kongenital. Diferensiasi lengkap susunan jantung terjadi pada
kehamilan bulan kedua. Faktor eksogen mempunyai pengaruh terbesar terhadap terjadinya
kelainan jantung dalam masa tersebut.

b. Endogen : Faktor genetik/kromosom memegang peranan kecil dalam terjadinya kelainan


jantung congenital (Prawirohardjo, 1999).

Menurut Latief, dkk (2005) penyakit jantung bawaan (PJB) merupaka kelainan yang disebebkan
oleh gangguan perkembangan sistem kardiovaskular pada embrio. Terdapat peranan faktor
endogen dan eksogen. Masih disangsikan apakah tidak ada faktor lain yang mempengaruhinya.
Faktor tersebut adalah:

1) Lingkungan: diferensial bentuk jantung lengkap pada akhir bulan kedua kehamilan.
Faktor penyebab PJB terutama terdapat selama dua bula pertama kehamilan ialah rubella pada
ibu dan penyakit virus lain, talidomid, dan mungkin obat-obat lain, radiasi. Hipoksia juga dapat
menjadi penyebab PDA.

2) Hereditas: Faktor genetik mungkin memegang peranan kecil saja, sedangkan kelainan
kromosom biasanya tidak terdapat. Walaupun demikian beberapa keluarga mempunyai insiden
PJB tinggi, jenis PJB yang sama terdapat pada anggota keluarga yang sama.

Menurut Ontoseno, Teddy (2007) perubahan sistem sirkulasi pada saat lahir terjadi saat tangisan
pertama. Ketika itulah terjadi proses masuknya oksigen yang pertama kali ke dalam paru.
Peristiwa ini membuka alveoli, pengembangan paru serta penurunan tahanan ekstravaskuler paru
dan peningkatan tahanan oksigen sehingga terjadi vasodilatasi disertai penurunan tahanan dan
penipisan dinding arteri pulmonalis. Hal ini mengakibatkan penurunan tekanan ventrikel kanan
serta peningkatan saturasi oksigen sistemik. Perubahan selanjutnya, terjadi peningkatan aliran
darah ke paru secara progresif, sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan di atrium kiri
sampai melebihi tekanan atrium kanan. Kondisi ini mengakibatkan penutupan foramen ovale
juga peningkatan tekanan ventrikel kiri disertai peningkatan tekanan serta penebalan sistem arteri
sistemik. Peningkatan tekanan oksigen sistemik dan perubahan sintesis serta metabolisme bahan
vasoaktif prostaglandin mengakibatkan kontraksi awal dan penutupan fungsional dari duktus
arteriosus yang mengakibatkan berlanjutnya penurunan tahanan arteri pulmonalis. Pada neonatus
aterm normal, konstriksi awal dari duktus arteriosus terjadi pada 10-15 jam pertama kehidupan,
lalu terjadi penutupan duktus arteriosus secara fungsional setelah 72 jam postnatal. Kemudian
disusul proses trombosis, proliferasi intimal dan fibrosis setelah 3-4 minggu postnatal yang
akhirnya terjadi penutupan secara anatomis. Pada neonatus prematur, mekanisme penutupan
duktus arteriosus ini terjadi lebih lambat, bahkan bisa sampai usia 4-12 bulan.

Pemotongan tali pusat mengakibatkan peningkatan tahanan vaskuler sistemik, terhentinya aliran
darah dan penurunan tekanan darah di vena cava inferior serta penutupan duktus venosus,
sehingga tekanan di atrium kanan juga menurun sampai di bawah tekanan atrium kiri. Hal ini
mengakibatkan penutupan foramen ovale, dengan demikian ventrikel kanan hanya mengalirkan
darahnya ke arteri pulmonalis. Peristiwa ini disusul penebalan dinding ventrikel kiri oleh karena
menerima beban tekanan lebih besar untuk menghadapi tekanan arteri sistemik. Sebaliknya
ventrikel kanan mengalami penipisan akibat penurunan beban tekanan untuk menghadapi
tekanan arteri pulmonalis yang mengalami penurunan ke angka normal.

Penutupan duktus venosus, duktus arteriosus, dan foramen ovale diawali penutupan secara
fungsional kemudian disusul adanya proses proliferasi endotel dan jaringan fibrous yang
mengakibatkan penutupan secara anatomis (permanen).Tetap terbukanya duktus venosus pada
waktu lahir mengakibatkan masking effect terhadap total anomalous pulmonary venous
connection di bawah diafragma. Tetap terbukanya foramen ovale pada waktu lahir
mengakibatkan masking effect terhadap kelainan obstruksi jantung kanan. Tetap terbukanya
duktus arteriosus pada waktu lahir mengakibatkan masking effect terhadap semua PJB dengan
ductus dependent sistemic dan ductus dependent pulmonary circulation (Teddy, 2007).

D. Tanda Dan Gejala

Manifestasi klinis kelainan jantung kongenital sangat bervariasi, tergantung macam kelainannya.
Kelainan yang menyebabkan penurunan aliran darah ke paru atau percampuran darah berkadar
tinggi zat asam dengan darah kotor dapat menimbulkan sianosis, ditandai oleh kebiruan di kulit,
kuku jari, bibir, dan lidah. Ini karena tubuh tidak mendapatkan zat asam memadai akibat
pengaliran darah kotor ke tubuh. Pernapasan si anak akan lebih cepat dan nafsu makan
berkurang. Daya toleransi gerak yang rendah mungkin ditemukan pada anak yang lebih tua.
Kelainan yang dapat menyebabkan sianosis atau kebiruan adalah penyumbatan katup pulmonal
(antara bilik jantung kanan dan pembuluh darah paru) yang mengurangi aliran darah ke paru,
tertutupnya katup pulmonal (pada muara pembuluh darah paru) yang menghambat aliran darah
dari bilik jantung kanan ke paru, tetralogi fallot (kelainan yang ditandai oleh bocornya sekat bilik
jantung, pembesaran bilik jantung kanan, penyempitan katup pulmonal dan transposisi aorta),
serta tertutupnya katup trikuspidal (terletak antara serambi dan bilik jantung kanan) yang
menghambat aliran darah dari serambi ke bilik jantung kanan. Selain itu, gejala kebiruan juga
bisa muncul jika terjadi transposisi pembuluh darah besar, gangguan pertumbuhan ruangan,
katup dan pembuluh darah yang berhubungan dengan sisi jantung kiri, serta kelainan akibat salah
bermuaranya keempat vena paru yang seharusnya ke serambi jantung kiri (Nelson, 2002).

Beberapa jenis kelainan jantung kongenital juga dapat menyebabkan gagal jantung. Kelainan ini
menyebabkan terjadinya aliran darah dari sisi jantung kiri ke sisi jantung kanan yang secara
progresif meningkatkan beban jantung. Gejala dari gagal jantung berupa menurut Sudarti dan
Endang (2010) adalah sebagai berikut:

1. Napas cepat

2. Sulit makan dan menyusu

3. Berat badan rendah

4. Infeksi pernapasan berulang

5. Toleransi gerak badan yang rendah

Termasuk dalam kelainan ini adalah bocornya sekat serambi atau bilik jantung, menetapnya
saluran penghubung antara aorta dan pembuluh darah paru yang seharusnya tertutup setelah
lahir, gangguan pertumbuhan ruangan, katup dan pembuluh darah yang berhubungan dengan sisi
jantung kiri, bocornya sekat antara serambi dan bilik jantung serta kelainan katup jantung,
gagalnya pemisahan pembuluh darah besar jantung, serta terputusnya segmen aorta.
Penyempitan katup jantung dan pembuluh darah besar kadang kala hanya menimbulkan gejala
ringan. Gejala gagal jantung baru terlihat jika terjadi peningkatan beban jantung (Nelson, 2010).

Derajat PJB yang berat pada umumnya menunjukkan gejala pada umur 6 bulan pertama dan
sering juga pada masa neonatus. Beraneka ragam manifestasi klinis dapat ditimbulkan, namun
ada empat hal gejala yang paling sering ditemukan pada neonatus dengan PJB, yaitu:

a. Sianosis: adalah manifestasi jelas PJB pada neonatus. Sekali dinyatakan sianosis sentral
bukan akibat kelainankelainan paru-paru, serebral atau metabolik atau kejadiankejadian
perinatal, maka perlu segera diperiksa untuk mencari PJB derajat berat walaupun tanpa bising
jantung.

b. Takipnea: Takipnea adalah tanda yang biasa ditemukan pada bayi dengan shunt kiri-kanan
(misal Ventricular Septal Defect atau PatentDuctus Arteriosus), obstruksi vena Pulmonalis
(anomali total aliran vena pulmonalis) dan kelainan lainnya dengan akibat gagal jantung
misalnya pada dugaan secara diagnosa klinik,adanya Aorta koarktasi dimana pulsasi nadi
femoralis melemah/tidak teraba.

c. Frekuensi jantung abnormal: takikardia atau bradikardia


d. Bising jantung (Irwanto, 2008).

E. Penggolongan penyakit jantung bawaan dan Penanganannya

Kelaianan yang termasuk dalam penyakit jantung bawaan banyak sekali jenis nya, mencakup
gangguan pada bilik dan atau serambi jantung serta gangguan pada pembuluh darah jantung.
Apapun jenis kelaian pada penyakit jantung bawaan, semuanya mengakibatkan ketidaklancaran
sirkulasi darah, karena Jantung sebagai salah satu organ vital dalam tubuh memiliki tugas
memompa dan mengalirkan darah keseluruh bagian tubuh (Cyntia, 2010).

Sebagian besar cacat jantung baik menghambat aliran darah di jantung atau pembuluh dekat, atau
menyebabkan darah mengalir melalui hati dalam pola abnormal. Jarang terjadi cacat di mana
hanya satu ventrikel (ventrikel tunggal) hadir, atau kedua arteri paru-paru dan aorta timbul dari
ventrikel yang sama (ventrikel outlet ganda). Sebuah cacat jarang ketiga terjadi ketika kanan atau
sisi kiri jantung tidak lengkap terbentuk – hipoplasia jantung (American Health Association,
2010).

Beberapa jenis penyakit jantung bawaan yang banyak diderita adalah sebagai berikut:

1. PJB non-sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah, misalnya defek septum


ventrikel(DSV), defek septum atrium (DSA), dan duktus arterio sus persisten(DAP).

2. PJB non-sianotik dengan vaskularisasi paru normal. Pada golongan ini termasuk stenosis
aorta (SA), stenosis pulmonal (SP), dan koarktasio aorta.

3. PJB sianotik dengan vaskularisasi paru berkurang. Pada golongan ini yang paling banyak
adalah tetralogi fallot(TF).

4. PJB sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah; misalnya transposisi arteri besar (TAB).

Hipoksia janin juga dapat menjadi penyebab terjadinya PJB, yakni duktus arteriosus persisten.
Angka kejadian PJB baik negara maju maupun di negara berkembang hampir sama, yakni sekitar
6 sampai 10 per 1000 kehamilan hidup, atau rata-rata 8 per 1000 kelahiran hidup (Maryunani,
2002).

1. PJB Non-Sisnotik Dengan Vaskularisasi Paru Bertambah.

Termasuk dalam kelompok ini adalah defek septum ventrikel (DSV), defek septum atrium
(DSA), dan duktus arteriosus persisten (DAP), terdapatnya defek pada septu ventrkel, atrium,
atau duktus yang tetap terbuka menyebabkan adanya pirau (kebocoran) darah dari kiri ke kanan
karena tekanan jantung di bagian kiri lebih tinggi daripada di bagian kanan (Arie dan
Kristiyanasari, 2009).

a. Defek Septum Ventrikel

1) Pengertian
Defek septum ventrikel (DSV) terjadi bila sekat (septum) ventrikel tidak terbentuk sempurna.
Akibatnya darah dari bilik kori mengalir ke bilik kanan pada saat sistole. Besarnya defek
bervariasi dari hanya beberapa mm sampai beberapa cm. Pada defek besar dengan resistensi
vaskular paru meninggi tekanan bilik kanan akan sama dengan bilik kiri sehingga pirau kiri ke
kanan hanya sedikit. Bila makin besar defek dan makin tinggi tekanan bilik kanan akan terjadi
pirau kanan kekiri berkurangnya darah yang beredar kedalam tubuh menyebabkan pertumbuhan
anak terhambat.

Aliran darah ke paru juga bertambah yang menyebabkan anak sering menderita infeksi saluran
pernafasan. Pada DSV kecil pertumbuhan anak tidak terganggu sedangkan pada DSV besar
dapat terjadi gagal jantung dini yang memerlukan pengobatan medis yang intensif atau bahkan
oprasi.

DSV kecil, defek berdiameter sekitar 1-5 mm. pertumbuhan anak normal walapun ada
kecenderungan terjadi infeksi saluran pernpasan. DSV kecil tidak memerlukan tindakan bedah
karena tidak menyebabkan gangguan hemodinamik, dan resiko oprasi lebih besar dari pada
resiko terjadinya endokarditis. Anak dengan DSV kecil mempunyai prognosis baik, dan dapat
hidup normal. Tidak diperlukan pengobatan. Bahaya yang mungkin timbul adalah endokarditis
infektif. Oprasi penutupan dapat dilakukan bila dikehendaki orang tua. Pasien dengan DSV kecil
diperlukan seperti anak normal dengan pengecualian bahwa kepada pasien harus diberikan
pencegaan terhadap endokarditis.

DVS besar/sangat besar, diameter DVS lebih dari setengah ostium aorta. Tekanan ventrikel
kanan biasanya meninggi. Curah sekuncup jantung kanan sering lebih dari 2 kali curah sekuncup
jantung kiri (Maryunani, 2002).

2) Gambaran Klinis

Pada pemeriksaan selain didapatkan pertumbuhan terhambat, anak terlihat pucat, banyak
keringat bercucuran, ujng-ujung jari hiperemik. Diameter dada bertambah, sering terlihat
penonjolan pada dada kiri, tanda yang menonjol ialah napas pendek dan retaksi pada jugulum,
sela intrakosatal dan regio epigastrium. Pada anak yang kurus terlihat impuls jantung yang
hiperdinamik (Maryunani, 2002).

3) Penatalaksanaan Medis

Pasien dengan DSV besar perlu pertolongan dengan obat-obatan untuk mengatasi gagal jantung.
Biasanya diberikan digoksin dan diuretik, misalnya Lasix. Bila obat dapat memperbaii keadaan,
yang dilihat dengan membaliknya pernapasan dan pertambahan berat badan, maka oprasi dapat
ditunda sampai usia 2-3 tahun. Tindakan bedah sangat menolong karena tanpa tindakan tersebut
harapan hidup berkurang. Oprasi bila perlu dilakukan pada umur muda jika pengobatan medis
untuk mengatasi gagal jantung tidak berhasil (Maryunani, 2002).

4) Penatalaksaan Keperawatan
Pasien DSV baru dirawat di rumah sakit bila sedang mendapat infeksi saluran napas, karena
biasanya sangat dispnea dan sianosis sehingga pasien terlihat payah. Masalah pasien yang perlu
diperhatikan ialah bahaya terjadinya gagal jantung, resiko terjadi infeksi saluran napas,
kebutuhan nutrisi, gangunan rasa aman dan nyaman, kurangnya penhetahuan orang tua mengenai
penyakit.

Bahaya terjadinya gagal jantung. Dengan adanya pirau dari kiri ke kanan darah yang mengalir
ke balik kanan menjadi lebih banyak. Ini berarti beban arteri pulmonalis dan otot bilik kanan
yang ototnya tidak setebal bilik kiri akan menjadi lebih berat dab akibatnya akan terjadi gagl
jantung. Bayi memerlukan perawatan yang baik dan pengawasan medis teratur agar bila terjadi
suatu lekas dapat diambil tindakan karena itu bayi harus secara teratur kontrol di bagian
kardiologi atau dokter yang menanganinya.

Resiko terjadi infeksi saluran pernapasan. Gejala infeksi adalah demam, batuk dan napas
pendek-pendek, bayi sukar jika diberi minum atau makan. Keadaan ini biasanya mendorong
orang tua untuk membawa anaknya berobat. Dalam perawatan perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :

a) Ruangan harus cukup ventilasi, tetapi tidak boleh terlalu dingin.

b) Baringkan dengan kepala lebih tinggi (semi-fowler)

c) Jika bsanyak lendir baringkan dengan letak kepala ekstensi dengan memberi ganjal di
bawah bahunya (untuk memudahkan lendir keluar)

d) Sering isap lendeirnya; bila terlihat banyak lendir di dalam mulut, bila akan memberi
minum, atau bila akan mengubah sikap berbaringnya.

e) Ubah sikap berbaringnya setiap 2 jam, lap dengan air hangat bagian yang bekas tertekan
dan diberi bedak.

f) Bila dispena sekali berikan O2 2-4 per menit. Lebih baik periksa astrup dahulu untuk
menentukan kebutuhan O2 yang sebenarnya sesuai dengan kebutuhan. Mungkin perlu korelasi
asidosis.

g) Observasi tanda vital, terutama pernapasan, suhu dan nadi, catat dalam catatan perawatan.

Kebutuhan nutrisi. Karena bayi susah makan/minum susu maka masukan nutrisi tidak
mencukupi kebutuhannya untuk pertumbuhan. Kecukupan makanan sangat diperlukan untuk
mempertahankan kesehatan bayi sebelum oprasi. Makanan bayi yang terbaik adalah ASI, bila
tidak ada ASI diganti dengan susu formula yang cocok. Berikan makanan tambahan sesuai denga
umurnya.

Gangguan rasa aman dan nyaman. Gangguan rasa aman dan nyaman sama dengan pasien lain.
Yang perlu lebih diperhatikan, hindarkan pasien kedinginan terutama malam hari atau pada saat
udara dingin. Perawatan untuk mempertahankan kenyamanan pasien DSV:
1. Baringkan semi-fowler untuk menghindari isi rongga perut mendesak paru.

2. Berikan O2 sesuai dengan keadaan sianosisnya (rumat 1-2L/menit). Jika sianosis sekali dapat
sampai 4 L. Bila O2 diperlukan lebih dari 24 jam, kateter harus dipindahkan kelubang hidung lain
dengan dibersihkan lebih dahulu. O2 harus melalui pelembab.

3. Ubah posisi tidur setiap 2-3 jam, dan lap tubuhnya supaya kering (pasien biasanya banyak
keringat) kemudian dibedaki; hati-hati debu bedak yang terhirup menyebabkan pasien batuk.
Alas tempat tidur harus kering dan licin.

4. Selimuti pasien agar tidak kedinginan, tetapi tidak boleh mengganggu pernafasannya(terlalu
berat di dada) pakaikan kaos kaki. Jangan pakai gurita.

5. Hati-hati jika mengisap lendir, jangan mundurkan kateter.

6. Jika bekas infus terjadi hematoma, oleskan jel tarombophob atau kompresdengan alkohol.
Hindari infeksi dengan bekerja secara aseptik.

7. Jika orang tua tidak menunggui harus lebih diperhatikan; ajaklah berbicara walaupun
pasiennya seorang bayi.

Kurang pengetahuan orang tua mengenai penyakit. Orang tua pasien perlu diberitahu bahwa
pengobatan anaknya hanya dengan jalan oprasi. Selama oprasi belum dilakukan anak akan selalu
menderita infeksi saluran pernapasan berkurang sedangkan untuk oprasi diperlukan kesehatan
tubuh yang baik (Maryunani, 2002).

b. Defek Septum Atrium

1. Defek sinus venosus dan defek vena kava superior

2. Defek fosa ovalis atau disebut DSA sekundum

3. Defek septum atrium primum

1) Gambaran Klinis

Secara klinik ketiga jenis defek tersebut serupa. Biasanya anak dengan DSA tidak terlihat
menderita kelainan jantung karena pertumbuhan dan perkembangannya biasa seperti anak lain
yang tidak ada kelainan. Hanya pada pirau kiri ke kanan yang sangat besar pada stres anak cepat
lelah dan mengeluh dispnea, dan sering memdapat infeksi saluran napas. Pada pemeriksaaan
palpasi terdapat kelainan ventrikel kanan hiperdinamik di parasternal kiri. Pada pemeriksaan
auskltasi, foto toraks EKG dapat lebih jelas adanya kelainan DSA ini. Diagnosis dipastikan
dengan pemeriksaaan ekokardiografi.

2) Penatalaksaaan Medik
DSA kecil tidak perlu oprasi karena tidak memnyebabkan gangguan hemodinamik atau bahaya
(Maryunani, 2002).

c. Duktus Arteriosus Presisten

1) Pengertian

Pada masa janin duktus arteriosus diperlukan untuk mengalirkan darah dari a. piulmonalis ke
aorta (paru janin belum berfungsi, sesehingga hanya memerlukan sedikit darah; karenanya,
sebagian besar darah dari a. pulmonalis dialirkan ke aorta melalui duktus asteriosus). Setelah
bayi lahir, duktus ini menutup. DAP terjadi bila duktus tidak menutup setelah bayi lahir,
penyebab DAP bermacam-macam, antara lain infeksi rubela pada ibu, dan prematuritas.

2) Gambaran Klinis

DAP kecil kelainan biasanya ditemukan secara terduga karena anak tanpa keluhan;
pertumbuhannya dan perkembangannya ana normal. Pada DAP sedang dan besar sering terjadi
infeksi saluran napas berulang serta anak lekas lelah. Anak tampak kurus, bahkan dapat kurang
gizi berat bila terjadi gagaj jantung yang lama.

Pada DAP besar, teraba aktivitas kiri bertambah, sering teraba getaran bising di sela iga kedua
kiri. Tanda khas denyut nadi berupa pulsus seler yakni nadi teraba kuat. Pengukuran tekanan
darah menunjukkan perbedaan tekanan sistolik dan diastolik (tekanan nadi) yang lebar. Ini
terjadi akibat kebocoran darah dari aorta pada waktu sistole maupun diastole. Pada dan diastole
dapat kelainan berupa bising khas pada DAP, yakni bising sistolik dan diastolik, yang tersebut
bising kontinu (continuous murmur) atau mechinery murmur di sela iga kedua kiri.

3) Penatalaksanaan Medis

Pengobatan definitif untuk DAP adalah pembedahan. DAP kecil dapat dioprasi kapan saja
dikehendaki. Pada DAP besar dapat diberikan digoksin dan diuretik untuk mengurangi gagal
jantung, meski sering tidak menolong. Oprasi dilakukan pada masa bayi bila gejala beraat. Pada
bayi prematur DAP dapat ditutup dengan obat anti prostaglandin, misalnya indometasin yang
harus diberikan sedini mungkin (usia < 1 minggu).

4) Penatalaksanaan Keperawatan

Berbagai resiko sepeti golongan pada DSV terjadi pada DAP, dengan demikian perawat bayi dan
anak dengan DAP serupa dengan pada DSV (Maryunani, 2002).

1. Penyakit Jantung Bawaan Non-Sianotik Dengan Vaskularisasi Paru Normal

Termasuk dalam golongan ini adalah stenosis aorta, stenosis pulmonal, dan koarktasio aorta.
Stenosis aorta dan koarktasio aorta banyak dilaporkan pada orang kulit putih, namun jarang pada
orang Asia.
a. Stenosis Aorta

Terdapat tempat bentuk stenosis aorta dengan tempatnya:

1) Stenosis aorta valvular; ialah adanya penyempitan akibat penebalan katub aorta(kelainan
merupakan jenis yang terbanyak).

2) Stenosis aorta subvalvular; penyempitan pada jalan aliran keluar ventrikel kiri di bawah
katup.

3) Stenosis aorta supravalvular; sama dengan koarktasio aorta desendens. Letak penyempitan di
atas katup aorta

a) Prognosis

Sebenarnya setnosis aorta cukup berbahaya untuk kehidupan anak karena dapat terjadi
peninggian tekanan pada ventrikel kiri. Pada stenosis aorta sedang dan berat pasien dilarang ikut
olahraga (mutlak) karena membahayakan kesehatannya. Pada stenosis aorta ringan olahraga
boleh dilakukan.

b) Gambaran klinis

Umumnya tanpa keluhan. Bila terdapat keluhan nyeri dada dan pusing merupakan tanda bahaya
karena anak dapat meninggal mendadak (darah yang beredar menjadi kurang dan otak menderita
kekurangan darah dan O2). Pada palpasi, impuls ventrikel kiri kuat di prekordium, teraba getaran
bising pada fosa suprasternalis sepanjang pembuluh darah leher paling jelas di atas karotis.
Dengan cara anak didudukkan tangan kiri si pemeriksaan dilingkarkan ke leher anak, jari
telunjuk dan tangan meraba arteria karotis kiri. Pada auskultasi yang cermat biasanya dapat
diidentifikasi sifat-sifat dan tingkat stenosis.

c) Penatalaksanaan medis

Karena katup aorta masih dalam pekembangan biasanya tindakan bedah tidak dilakukan kecuali
jika terdapat perbedaan tekanan lebih 70 mm Hg antara ventrikel dan aorta.

d) Penatalaksanaan keperawatan

Jika telah diketahui bahwa anak menderita stenosis aorta orang tua harus selalu memperhatikan
agar aktivitas anak tidak melebihi kemampuannya sesuai petunjuk dokter. Jika anak mengeluh
pusing supaya segera istirahaat (berbaring). Jika anak mengeluh sering rasa nyeri di dada dan
pusing supaya dibawa berobat walaupun belumwaktunya harus kontrol teratur ke dokter jantung
anak pemeliharaan kesehatan perlu diperhatikan (orang tua harus diberitahu bahwa anak dapat
meninggal mendadak jika ia menderita sakit di dada dan pusing).

b. Stenosis pulmonas
Stenosis mungkin terdapat di katup atau infundibulum. Stenosis katup (valvular) sering
ditemukan tanpa ada keluhan lain, sedangkan PS infundibular sering kombinasi dengan DSV.

a) Gambaran klinis

Umumnya pasien berwajah bulat, tidak terdapat gangguan pertambahan berat badan. Karena
tanpa keluhan orang tua tidak menduga bahwa anaknya menderita kelainan pada jantungnya.
Pada palpasi aktivitas ventrikel kanan teraba jelas pada perkordium, pada PS sedang dan berat
sering teraba getaran bising pada sela iga ketiga dan kedua kiri dan di fosa suprasternalis. Dari
auskultasi dapat diketahui secara terperinci sifat dan derajat penyempitan bising sistolik pada SP
bersifat ejeksi. Bergantung pada beratnya sianosis, pucuk bising terdapat pada awal atau akhir
fase sistole. Pada SP ringan dan sedang sering terdengar klik sistolik yang pada fase ekspirasi
menjadi lebih jelas. Segera setelah klik maka bising dekresendo mulai terdengar dan kemudian
berakhir dengan penutupan katup pulmonal.

b) Penatalaksanaan medis

Jika tekanan ventrikel kanan 70 mm Hg, maka terdapat indikasi untuk operasi. Sekarang makin
populer pelebaran penyempitan SP dengan kateter balon, dan dilaporkan hasilnya baik.

c) Penatalaksanaan keperawatan

Kegiatan anak harus dibatasi sesuai dengan petunjuk dokter dan istirahat harus diperhatikan.
Pada anak yang sudah mengerti hal tersebut perlu pula diberitahukan secara kontinu pasien harus
datang konsultasi ke dokter jantung anak/dokter yang menangani.

c. Koartasia aorta

Koartasia aorta adalah kelainan yang terjadi pada aorta berupa adanya penyempitan di dekat
percabangan arteria subklavia kiri dari arkus aorta dan pangkal duktus arteriosus Bottali.

a) Gambaran klinis

Pada umumnya koarktasio aorta banyak ditemukan pada anak umur sekolah dan remaja, tetapi
pada bayi bila menderita gagl jantung dalam umur 3 bulan pertama juga dapat disebabkan karena
koarktasio aorta. Kelainan ini terutama terdapat pada anak dengan pembuluh darah kolateral
kurang atau pada pasien dengan DAP. Pada umumnya tidak ada keluhan maka biasanya kelainan
ini diketemukan secara kebetulan. Pada anak umur sekolah bila terdapat keluhan pusing dan kaki
dingin merupakan pertanda adanya hipertensi bagian atas tubuh. Keluhan lain dapat berupa nyeri
kepala yang hebat serta epistksis hilang timbul. Anak yang menderita koarktasio aorta
mempunyai bentuk badan yang atletis dan umum terjadi pada anak pria.

Untuk menguatkan dugaan adanya koarktasio aorta selain dengan melihat gambaran femoralis
dalam waktu bersamaan. Hasilnya arteria radialis lebih kuat dan arteia femoralis teraba lemah.

Pada auskultasi terdengar bising koartasio pada punggung yang merupakan bising obstruksi.
b) Penatalaksanaan medis

Untuk mencegah komplikasi biasanya dioperasi pada umur sekitar 6 tahun. Jika terdapat gejala
hipertensi yang tinggi bagian tubuh atas atau gagal jantung dapat dilakukan operasi sebelum 6
tahun.

c) Penatalaksanaan keperawatan

Masalah pasien yang utama adalah resiko terjadinya pendarahan bagian tubuh atas (daerah
kepala) sehubungan dengan adanya penyempitan di beberapa tempat pada aorta. Walaupun
resiko terjadi pendarahan. Tetapi karena pasien biasanya tanpa keluhan, atau keluhan baru timbul
setelah berumur 20-30 tahun, maka bila diagnsis tealh diketahui orang tua atau pasien sendiri
harus selalu waspada. Misalnya jika ada keluhan pusing yang hebat atau terjadi pendarahan
hidung yang lama harus segera pergi ke dokter selain cara periodik kontrol di dokter jantung
anak.

1. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik Dengan Vaskularisasi Paru Berkurang

Yang paling sering pada golongan ini adalah tetralogi faliot. (TF). TF adalah kelainan jantung
bawaan dengan gejala sianosis yang timbul sejak bayi lahir, dan bertambah nyata jika bayi
menangis / menetek lama. Bila kelainan ringan sianosis baru timbul setelah anak besar. Terdapat
4 kelainan pad TF yakni defek septum ventrikel, stenosis pulmonalis, hipertrofi ventrikel kanan
dan overrriding aorta.

a. Gambaran klinis

Derajat stenosis pulmonal dan besarmya DSV menentukan gambarankliniknya. Pada stenosis
pulmonal sedang atau berat dalam keadaan istirahat dan stres.

Penderita TF yang berat dapat terjadi serangan sianotik berupa sianosis yang makin hebat
disertai takipnea dan hiperventilasi dan jika berlangsung lama disertai penurunan kesadaran.
Dapat disertai kejang-kejang bahkan berakibat fatal. Keadaan ini tidak diketahui sejak semula
(bayi baru lahir), sering baru ditemukan setelah bayi dibawa berkonsultasi dengan keluhan
bahwa jika bayi sedang minum atau menangis menjadi sianosis. Jika bayi menangis keras
sianosis bertambah hebat, pucat kemudian jatuh pingsan. Atau anak yang sudah dapat berjalan
sering tiba-tiba ia jongkok ketika sedang bermain atau sedang berjalan. Hal itu sebenarnya
merupakan usaha tubuh untuk mngetasi kekurangan darah yang mengalir ke otak.

Pada umumnya pasien TF mengalami gangguan tumbuh kembang. Karena kelemahan tubuh atau
disebut penurunan toleransi latihan pasien mengalami kesukaran dalam makan/minum. Pada
pasien TF diketemukan gigi geligi sianotik, serta kondisinya buruk karena perkembangan
emailnya buruk. Selain gangguan pertumbuhan juga terjadi kelainan ortopedi berupa skoliosis
yang merupakan gejala patognomonik untuk pasien TF.

b. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk mengetahui adanya TF dan menentukan pengobatannya diperlukan pemeriksaan EKG,
kateterisasi jantung dan angiografi. Dari kateterisasi jantung dapat diketahui derajat dan sifat
stenosis pulmonas atau pirau kanan ke kiri. Dengan angiografi melihat secara anatomis ukuran
overriding aorta, sifat stenosis pulmonas, besarnya ventrikel kiri dan kedudukan septum
ventrikel.

c. Penatalaksanaan Medis

Pertolongan untuk pasien TF hanya dengan dioperasi. Jika TF dengan sianosis ringan dapat
dilakukan hanya dengan satu tahap pada umur 3-5 tahun. Pada TF dengan sianosis berat yang
terjadi sebelum umur 6 bulan operasi dilakukan 2 tahap. Tahap ke-2 pada umur 3-5 tahun. Pasien
TF yang sedang mendapat serangan anoksia harus ditolong dengan memberikan sikap knee chest
atau menungging dengan kepala dimiringkan sambil diberikan O2 melalui air minimal 2 L per
menit. Diberikan juga suntikan morfin dosis 1mg/kg BB secara subkutan. Bila perlu koreksi
dehidrasi dan asidosis metabolik. Setiap tindakan yang dapat menimbulkan bakteremia seperti
mencabut gigi, sirkumsisi, kateterisasi urine harus dilindungi dengan antibiotik 1 hari sebelum
dan 3 hari setelahnya untuk mencegah endokarditis bakterialis.

d. Penatalaksanaan Keperawatan

Walaupun pasien Tf selalu tampak sianosis (hanya TF ringan tidak sianosis) tetapi tidak selalu
dirawat di rumah sakit kecuali jika dokter memandang perlu. Oleh karena itu, orang tua pasien
perlu diberikan petunjuk perawatan anaknya. Masalahnya pasien yang perlu diperhatikan ialah
bahaya terjadi anoksia, kebutuhan nutrisi, risiko terjadi komplikasi, dan kurangnya pengetahuan
orang tua mengenai penyakit.

e. Resiko terjadinya komlikasi

Adanya berbagai kelainan yang terdapat pada psien TF harus disadari bahwa infeksi dan
komplikasi mudah terjadi karena daya tahan tubuhnya sangat rendah. Komplikasi yang sering
ialah infeksi saluran napas, tetapi jua dehidrasi akibat sukarnya makan dan minum. Untuk
mengetahui cukup atau tidaknya pemberian cairan pada pasien yang dirawat di rumah sakit
setiap memberikan minum atau makan misalnya susu, sari buah atau minum air putih dan
makanan lainnya harus dicatat perawatan den setiap hari dievaluasi.

Bila tidak dapat per oral mungkin perlu per sonde. Untuk menilai kecukupan gizinya pasien
ditimbang berat badannya 2 kali seminggu, tetapi bila perlu setiap hari atau 2 hari dengan
pertimbangan dari catatan harian mengenai pemasukan makanan dan cairan lainya. Jika pasien
dipasang infus, tetasan harus diperhatikan agar tidak terjadi kelebihan.

1. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik Dengan Vaskularisasi Paru Bertambah

Dengan golongan ini yang terbanyak adalah transposisi arteri besar (TAB), atau transposition of
the great arteries (TGA). Kelainan berupa adanya pemindahan asal dari aorta dan arteri
pulmonalis, aorta keluar dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis dari ventrikel kiri. Selain
kelainan asal aorta dan arteri pulmonalis pada TAB terdapat kelainan pada jantung yang
menyertai TAB seperti letak katup aorta, katup pulmonal dan sebagainya. Pada PJB yang disebut
komplet ialah adanya katup aorta di kanan pada lengkung aorta ke kanan.

a. Gambaran klinis

TAB merupakan PJB yang sering membawa kematian pada masa bayi (80% meninggal pada
masa bayi dan 5% pada masa prasekolah). Diduga penyebab kematian pada masa bayi karena
TAB yang menyebabkan ialah terjadinya gagal jantung, terutama pada anak dengan aliran darah
ke paru yang bertambah. Gejala khas pada pasien TAB ialah bayi lahir dalam keadaan sianosis,
pucat kebiru-biruan yang disebut picasso blue. Sianosis merata ke seluruh tubuh kecuali jika
resistensi vaskular paru sangat tinggi, bagian tubuh sebelah atas akan lebih sianotik daripada
bagian bawah, venektasi jelas pada jari-jari. Bayi dengan TAB pada umumnya pada waktu lahir
berat badan dan panjang badannya seperti anak normal. Baru pada bulan ketiga terdapat
kelambatan pertambahan berat badan dan panjang badan serta perkembangan otot terganggu.

b. Penatalaksanaan medis

Dengan operasi memungkinkan pasien TAB dapat bertahan hidup.

c. Penatalaksanaan keperawatan

Sama dengan pasien TF dan penyakit jantung lainnya. Bedanya tidak perlu tindakan memberikan
sikap knee-chest karena sianosis selalu terdapat, maka O2 harus diberikan terus menerus secara
rumat. Dalam bangsal tersebut watan pasien penyakit jantung perawat yang bertugas di ruang
tersebut diharapkan memahami kelainan yang diderita oleh setiap pasien sehingga dapat
menentukan tindakan sewaktu-waktu diperlukan. Selain itu juga mengetahui bagaimana
persiapan pasien untuk suatu tindakan seperti:

 Membuka rekaman EKG, bila perlu dapat membacanya.


 Mengukur tekanan darah secara benar.
 Mempersiapkan pasien untuk keteterisasi jantung atau oprasi.
 Mengambil darah untuk pemeriksaan gas darah arteri.

Untuk membuat atau membaca EKG diperlukan keterampilan tersendiri, oleh karena itu, perlu
laihan dahulu sampai dapat betul mengerjakan.

Suatu hari sebelum kateterisasi bagian yang akan dimaksudkan kateter pada lipat siku tangan
kanan dan lipat paha kanan dibersikan dengan air dan sabun, selanjutnya dikompres dengan
alkohol 70%. Esok harinya ssampai dibawa ke bagian laboratorium kateterisasi dikompres terus
dengan alkohol. Malamharinya (sebelum kateterisasi) pukul 20.00 diberi valium per oral 5-10
mg (sesuai instruksi) dan pagi harinya pukul 05.00 diberi lagi valium dosis sama. Pukul 06.00
diperiksa analisis gas darah arteri. Biasanya pagi (pukul 05.00) obat-obatan per oral untuk hari
itu diminnum sekalian minum terakhir untuk pagi itu dengan teh manis satu gelas. Selanjutnya
puasa sampai kateterisasi selesai. Infus dipasang sebelum berangkat ke lab pada tangan atau kaki
kiri.
d. Persiapan kateterisasi jantung

ü Pemeriksaan darah. Untuk darah besar, masa perdarahan, pembekuan dan protombin(PPT)

ü Foto toraks (cor analisa)

ü Rekaman EKG

e. Perawatan pascakateterisasi

Pengawasan tanda vital setiap 15 menit selama 2jam pertama; setiap 30 menit pada 2 jam kedua
dan setiap jam pada2 jam ketiga. Selanjutnya, jika sewaktu-waktu anak telah sadar betul boleh
diberi minum sedikit-sedikit, dan jika tidak muntah anak boleh makan. Adakalanya pasien
mendapat sampai tinggi suhunya; jika terjadi demikian kompres dingin dan berikan banyak
minum. Jika 1-2 hari tidak ada kelainan pasien di pulangkan.

f. Persiapan sebelum operasi

Jika pasien telah ditentukan kapan operasi, sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan lengkap
dahulu. Pemeriksaan darah lengkap, masa pembekuan, masa perdarahan, PTT, elektrolit, fungsi
hati, gula darah, HbsAG, asam urat, hapusan tenggorok, fototoraks,EKG, ekokardiografi. Telah
dikonsulkan kebagian gigi/ mulut, THT dan bagian fisioterapi. Sehari sebelum operasi dilakukan
pembersihan tubuh ekstra dengan air dan sabun terutama bagian yang akan dioperasi. Bila perlu
dicukur, selanjtnya dikompres dengan alkohol. Mulai tengah malam puasa, pukul 16.00
diberikan obat terakhir, pasang infus. Berikan dorongan agar anak tidak takut dan anjurkan untuk
berdoa (Maryunani. 2002).

DAFTAR PUSTAKA

American Healt Association. 2010. Congenital heart desease. http://www.americanheart.org.


diakses Tanggal: 1 Juli 2010.

Arief, I. 2007. Penyakit jantung bawaan. http://www.cyntiasari.com. Diakses Tanggal: 1 Juli


2010.

Arief dan Kristiyanasari, Weni, 2009. Neonatus dan asuhan keperawatan anak. Yogyakarta:
Nuha Medika.

British heart foundation. 2009. Beating heart desease together. http://www.nhlbi.nih.gov.


Diakses Tanggal: 1 Juli 2010.

Cyntiasari. 2010. Tentang penyakit jantung bawaan. http://www.cyntiasari.com. Diakses


Tanggal: 1 Juli 2010.

Febrian. 2009. Laporan tutorial blok kardiovaskuler skenario 2 defek septum ventrikel.
http://febrianfn.wordpress.com. Diakses tanggal: 7 Juni 2010.
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=2507&coid=1&caid=34.

Irwanto. 2008. Penyakit jantung bawaan. http://irwanto-fk04usk.blogspot.com. Diakses Tanggal:


1 Juli 2010

Latief , dkk. 2005. Ilmu Kesehatan Anak ,buku kuliah 2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk
Pendidikan Bidan. 2002. Jakarta: EGC.

Maryunani, Anik. Dkk. 2002. Asuhan Kegawatdaruratan dan penyulit pada neonatus. Jakarta:
Trans info Media

Nelson, (2000), Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.

Ngustiyah. 2005. Perawatan anak Sakit edisi 2. Jakarta: EGC.

Ontoseno, Teddy. 2007. Deteksi dini penyakit jantung bawaan pada bayi untuk indikasi
pembedahan. http://www.majalah-farmacia.com. Diakses tanggal: 7 Juni 2010.

Prawirohardjo sarwono, 1999. Ilmu Kebidanan edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

Rahayoe, A. 2006. Penanganan medis pada penyakit jantung bawaan.


http://www.indonesiaindonesia.com. Diakses Tanggal: 1 Juli 2010.

Rahman, A.M & Teddy, O. 2009. Deteksi dini penyakit jantung bawaan pada neonatus.
http://www.google.co.id/url. Diakses tanggal : 7 Juni 2010.

Roebiono, S.P. 2007. Diagnosis dan tatalaksanan penyakit jantung bawaan.


http://www.mhcs.health. Diakses tanggal: 7 Juni 2010.

Simposium sehari. FK Unair-RS DR Soetomo “Deteksi Penyakit Jantung Pembuluh Darah untuk
Indikasi Pembedahan”. 2007. Surabaya.

Sudarti dan Endang. 2010. Kebidanan Neonatus, bayi dan anak balita untuk mahasiswa
kebidanan. Yogyakarta: numed .

http://sudiarie.wordpress.com/2011/03/02/penyakit-jantung-bawaan-pjb/

Anda mungkin juga menyukai