Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

HIV adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sel-sel kekebalan
tubuh. Infeksi HIV pada anak merupakan masalah kesehatan yang sangat besar di dunia, dan
berkembang dengan kecepatan yang sangat berbahaya. Perjalanan alami, beratnya, dan
frekuensi penyakit pada anak yang menderita AIDS berbeda dengan anak yang mempunyai
sistem imun normal. Sejauh ini lebih dari 6.5 juta perempuan di Indonesia menjadi populasi
rawan tertular HIV. Lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular HIV.
Prevalensi penularan dari ibu ke bayi dalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV
dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%,
sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%.
AIDS atau Acquired Immunodefficiency Syndrome adalah kumpulan gejala akibat
penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Dampak acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) pada anak terus meningkat dan saat ini menjadi
penyebab pertama kematian anak di Afrika, dan peringkat keempat penyebab kematian
anak di seluruh dunia. Saat ini World Health Organization (WHO) memperkirakan 2,7 juta
anak di dunia telah meninggal karena AIDS.
Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali yaitu seorang
warga negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan
Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3
(tiga) kali diulang, menyatakan positif, namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika
Serikat ialah negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS.
Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering
infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal diperkirakan
sebesar 83% antara tahu 1992 sampai 2001. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi
pada hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-
utero, selama periode peripartum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan transmisi virus
melalui rute lain, seperti dari transfusi darah atau komponen darah relatif lebih jarang
ditemukan. Selain itu, sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab
terjadinya infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masa remaja.
Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada
anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus menjadi suatu
tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan
kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi
infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh,
sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati
generalisata, gangguan perkembangan yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit
kronis-berulang.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk
menjadi pencetus terjadinya AIDS. Sampai saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi
tentang ketepatan mekanisme perusakan sistem imun oleh HIV.
Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam
familia retrovirus yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang mempunyai
enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis kopi DNA dari genon RNA.
Virus ini masuk dalam sub familia lentivirus berdasarkan kesamaan segmen genon,
morfologi dan siklus hidupnya. Sub familia lentivirus mempunyai sifat dapat
menyebabkan infeksi laten, mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit
lama dan dapat fatal.
Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah
putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). AIDS adalah
penyakit fatal yang merupakan stadium lanjut dari infeksi HIV. Infeksi oleh HIV biasanya
berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya
infeksi oportunistik. Gejala umum yang sering terjadi pada anak adalah diare
berkepanjangan, sering mengalami infeksi atau demam lama, tumbuh jamur di mulut, badan
semakin kurus dan berat badan terus turun. Serta gangguan sistem dan fungsi organ tubuh
lainnya yang berlangsung kronis atau lama. Secara primer HIV dan AIDS terjadi pada
dewasa muda, tapi jumlah anak-anak dan remaja yang terkena semakin bertambah
jumlahnya.

Etiologi HIV

Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency Virus
(HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae.Sampai
sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga
disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai
pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya
belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering,
dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-
III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.
Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada
tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di
Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan
internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya
yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia
masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai
reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan
keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.

Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA
(Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung
terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 akan berikatan dengan reseptor
CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit,
sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel
enterokromafin). Sedangkan gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja
sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang
berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium. Karena
bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif
terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan
dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya,
tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh.
HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.
KARAKTERISASI VIRUS HIV

Gambar 1. Struktur anatomi HIV-1 dan HIV - 2


Partikel HIV terdiri atas inner core yang mengandung 2 untai DNA identik yang
dikelilingi oleh selubung fosfolipid. Genon HIV mengandung gen env yang mengkode
selubung glikoprotein, gen gag yang mengkode protein core yang terdiri dari protein p17
(BM 17.000) dan p24 (BM 24.000), dan gen pol yang mengkode beberapa enzim yaitu
: reverse trans-criptase, integrase dan protease. Enzim-enzim tersebut dibuuhkan dalam
proses replikasi. Selain itu HIV juga mengandung 6 gen lainnya yaitu vpr, vif, rev,
nef dan vpu yang mengatur proses reproduksi virus. Bagian paling infeksius dari HIV adalah
selubung glikoprotein gp 120 (BM 120.000) dan gp 41 (BM 41.000). Kedua glikoprotein
tersebut sangat ber-peran pada perlekatan virus HIV dengan sel hospes pada proses infeksi.
HIV dikelompokkan berdasarkan struktur genom dan antigenitasnya yaitu HIV-1 dan
HIV-2. Perbedaan infeksi kedua virus tersebut dapat dilihat pada tabel.
Tabel 1. Perbedaan infeksi HIV-2 dan HIV-1

Patofisiologi
Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem
imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel
Thelper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ
limfoid. Fungsi penting sel T helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan
sebagai stimulasi pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan
pembentukan antibodi, sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan
menyebabkan penderita mudah terinfeksi.
Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel
dendritik. Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut
ke sel-sel limfoid. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai
reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai
molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar
terhadap HIV, sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka
terhadap infeksi HIV. Limfosit-limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan
tampak sebagai limfadenopati dari sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja
dan orang dewasa. HIV akan menginfeksi sel CD4 yang sangat berespon terhadapnya
sehingga kehilangan respon dan kontrol pertumbuhan terhadap HIV. Ketika replikasi virus
melebihi batas (biasanya 3-6 minggu sejak infeksi) akan terjadi viremia yang tampak secara
klinis sebagai flulike syndrome (demam, rash, limfadenopati, atrhralgia) terjadi 50-70% pada
orang dewasa. Dengan terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan,
muatan virus dalam darah mengalami penurunan secara substansial, dan pasien memasuki
masa dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit. Mekanisme utama
infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus gp120 pada molekul
CD4.
Partikel HIV yang berikatan dengan molekul CD4 kemudian masuk ke dalam sel
hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp41
yang terdapat pada permukaan membran virus. Molekul CD4 banyak terdapat pada sel
limfosit T helper/ CD4+, narnun sel-sel lain seperti makrofag, monosit, sel dendritik, sel
langerhans, sel stem hematopoetik dan sel mikrogial dapat juga terinfeksi HIV melalui
ingesti kombinasi virus-antibodi atau melalui molekul CD4 yang diekspresikan oleh sel
tersebut.
Banyak bukti menunjukkan bahwa molekul CD4 memegang peranan penting pada
petogenesis dan efek sitopatik HIV.5 Percobaan tranfeksi gen yang mengkode molekul
CD4 pada sel tertentu yang tidak mempunyai molekul tersebut, menunjukkan bahwa sel yang
semula resisten ter-hadap HIV berubah menjadi rentan terhadap infeksi tersebut.8 Efek
sitopatik ini bervariasi pada sel CD4+, namun paling tinggi pada sel dengan densitas molekul
CD4 permukaan yang paling tinggi yaitu sel limfosit T CD4+.
Sekali virion HIV masuk ke dalam sel, maka enzim yang terdapat dalam
nukleoprotein menjadi aktif dan memulai siklus reproduksi virus. Nukleoprotein inti
virus menjadi rusak dan genom RNA virus akan ditranskripsi menjadi DNA untai ganda
oleh enzim reverse transcriptase dan kemudian masuk ke nukleus. Enzim integrase akan
mengkatalisa integrasi antara DNA virus dengan DNA genom dari sel hospes. Bentuk DNA
integrasi dari HIV disebut provirus, yang mampu bertahan dalam bentuk inaktif selama
beberapa bulan atau beberapa tahun tanpa memproduksi virion baru. Itu sebabnya infeksi
HIV pada seseorang dapat bersifat laten dan virus terhindar dari sistem imun hospes.
Partikel virus yang infeksius akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi.
Aktivasi sel T CD4+ yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan aktivasi provirus juga.
Aktivasi ini diawali dengan transkripsi gen struktural menjadi mRNA kemudian
ditranslasikan menjadi protein virus. Karena protein virus dibentuk dalam sel hospes,
maka membran plasma sel hospes akan disisipi oleh glikoprotein virus yaitu gp41 dan
gp120. RNA virus dan protein core kemudian akan membentuk membran dan menggunakan
membran plasma sel hospes yang telah dimodifikasi dengan glikoprotein virus, membentuk
selubung virus dalam proses yang dikenal sebagai budding. Pada beberapa kasus aktivasi
provirus HIV dan pembentukan partikel virus baru dapat menyebabkan lisisnya sel yang
terinfeksi.
Selama periode laten, HIV dapat berada dalam bentuk provirus yang berintegrasi
dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada beberapa faktor
yang dapat mengaktivasi proses transkripsi virus tersebut. Secara in vitrotelah dibuktikan
pada sel-T yang terinfeksi virus laten, rangsangan TNF (Tumor Necrosis Factor) dan IL-6
dapat meningkatkan produksi virus yang infeksius. Hal ini penting karena monosit pada
individu yang terinfeksi HIV cenderung melepaskan sitoksin dalam jumlah besar
sehingga dapat menyebabkan meningkatnya transkripsi virus.
Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan transkripsi provirus DNA pada HIV
sehingga berkembang menjadi AIDS yaitu; HTLV-1, cytomegalovirus, virus herpes simplex,
virus Epstein-Barr, adeno-virus, papovirus dan virus hepatitis B.

Gambar 2. Replikasi Virus HIV


Replikasi HIV-1 permulaan pada anak tidak menunjukkan adanya manifestai klinis
pada anak. Walaupun di tes dengan menggunakan PCR atau isolasi virus untuk
sequence asam nukleat dari virus, hanya 3 pola penyakit ditemukan pada anak-anak.
Tepatnya 15-25% bayi baru lahir yang terinfeksi HIV pada negara berkembang muncul
dengan perjalanan penyakit yang cepat, dengan gejala dan onset AIDS dalam beberapa bulan
pertama kehidupan, median waktu ketahanan hidup ialah 9 bulan jika tidak diobati. Pada
negara miskin, mayoritas bayi baru lahir akan mengalami perjalanan penyakit seperti ini.
Telah diketahui bahwa infeksi intrauterin bertepatan dengan periode pertumbuhan cepat CD4
pada janin. Migrasi yang normal dari sel-sel ini menuju ke sumsum tulang, limpa, dan timus
yang menghasilkan penyebaran sistemik HIV, tidak dapat dicegah oleh sistem imun yang
imatur dari janin. Infeksi dapat terjadi sebelum pembentukan ontogenik normal sel imun,
yang mengakibatkan gangguan dari imunitas. Anak-anak dengan keadaan seperti ini
menunjukkan hasil tes PCR yang positif (nilai median 11.000 kopi/ml) pada 48 jam pertama
kehidupan. Bukti ini menunjukkan terjadinya infeksi inuterin. Muatan virus akan terus
meningkat dalam 2-3 bulan (750000kopi/ml) dan menurun secara perlahan. Berbeda dengan
orang dewasa bahwa muatan virus pada anak-anak tetapi tinggi selama 1-2 tahun pertama.
Infeksi perinatal mayoritas yang terjadi di negara berkembang (60-80%) mengalami
pola penyakit yang kedua ini, yang mempunyai perjalanan penyakit yang lebih lambat,
dengan median ketahanan hidup selama 6 tahun. Banyak pasien dengan penyakit ini memiliki
tes kultur yang negatif dalam 1 minggu pertama kehidupan dan dipertimbangkan sebagai
pasien bayi yang terinfeksi intrapartum. Pada pasien mauatn virus akan meningkat dengan
cepat dalam 2-3 bulan pertama kehidupan (median 100.000 kopi/ml) dan menurun secara
lambat setelah 24 bulan. Ini berbeda dengan orang dewasa dimana muatan virus berkurang
dengan cepat setelah infeksi primer.
Pola ketiga dari perjalanan penyakit (long-term suvivors) muncul dalam jumlah kecil
(<5%) host, dan infeksi virus yang cacat (adanya defek pada gen virus). Perubahan sistem
imun anak-anak karena infeksi HIV akan menyerupai infeksi HIV pada orang dewasa.
Penurunan sel T akan kurang dramatis disebabkan karena pada bayi terjadi limfositosis
relatif. Sebagai contoh, jumlah CD4 1.500 sel/mm3 pada anak. Aktivasi sel B muncul pada
infeksi awal pada kebanyakan anak sebagai bukti hipergammaglobulinemia dengan kadar
antibodi anti-HIV-1 yang tinggi. Respon ini memperlihatkan adanya disregulasi dari supresi
sel T dari sintesis antibodi sel B dan peningkatan jumlah CD4 aktif dari respon humoral sel
limfosit B. Disregulasi dari sel B mendahului berkurangnya CD4 pada kebanyaka anak, dan
dapat berguna sebagai alat bantu diagnosis infeksi HIV pengganti bila tes diagnosis spesific
(PCR, kultur) tidak ada atau terlalu mahal. Meskipun peningkatan kadar imunoglobulin, bukti
dari produksi antibodi spesifik tidak muncul pada beberapa anak. Hipogamaglobulinemia
sangat jarang. Pengaruh terhadap sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa. Makrofag dan mikroglia mempunyai peran penting dalam dalam
neuropatogenesis HIV, dan dari data dilaporkan astrosit juga dapat berpengaruh. Meskipun
mekanisme pada sistem saraf pusat belum begitu jelas, pertumbuhan otak pada bayi muda
dipengaruhi 2 mekanisme, yaitu virus itu sendiri yang dapat menginfeksi bermacam-macam
sel otak secara langsung ,atau secara tidak langsung dengan cara mengeluarkan sitokin (IL-
1α, IL-1, TNF- α, IL-2) atau oksigen reaktif dari limfosit atau makrofag yang terinfeksi HIV.

Gambar 3. Patogenesis HIV

Anda mungkin juga menyukai