Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi, karena
individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu kromosom. Mereka
mempunyai tiga kromosom 21 dimana orang normal hanya mempunyai dua saja.
Kelebihan kromosom ini akan mengubah keseimbangan genetik tubuh dan
mengakibatkan perubahan karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta
gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh1
Sindroma Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas
perkembangan kromosom. Sindrom Down dapat disebut juga penyakit Mongoloid.
Yaitu berupa kelainan pada kromosom no 15 dan 21, yang biasanya kedua kromosom
ini berdekatan. Karena salah satu penyebab yang tidak seharusnya, terjadilah
pemecahan yang disebut dispuntum. Karena suatu penyebab, dapat juga keadaan ini
disebut translokasi yang sifatnya sama karena jumlahnya, tetapi pada pembentukan
gamet berlainan. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom
untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Sindroma Down merupakan
kelainan kromosom yang paling sering terjadi. Kelainan sindroma Down terjadi
karena kelebihan jumlah kromosom pada kromosom nomor 21, yang seharusnya dua
menjadi tiga, yang menyebabkan jumlah seluruh kromosom mencapai 47 buah,
sehingga disebut trisomi 21. Pada manusia normal jumlah kromosom sel
mengandung 23 pasangan kromosom. Akibat proses tersebut, terjadi goncangan
sistem metabolisme di dalam sel. Kelainan kromosom itu bukan merupakan faktor
keturunan.2
Anak yang menyandang sindroma Down ini akan mengalami keterbatasan
kemampuan mental dan intelektual, retardasi mental ringan sampai sedang, atau
pertumbuhan mental yang lambat. Selain itu, penderita seringkali mengalami

4
5

perkembangan tubuh yang abnormal, pertahanan tubuh yang relatif lemah, penyakit
jantung bawaan, alzheimer, leukemia, dan berbagai masalah kesehatan lain.6

2.2 EPIDEMIOLOGI
Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak
terjadi pada manusia. Kejadian sindroma Down diperkirakan satu per 800 sampai satu
per 1000 kelahiran. Pada tahun 2006, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
memperkirakan tingkat kejadiannya sebagai satu per 733 kelahiran hidup di Amerika
Serikat (5429 kasus baru per tahun). Sekitar 95% dari kasus ini adalah trisomi 21.
Sindroma Down terjadi pada semua kelompok etnis dan di antara semua golongan
tingkat ekonomi. Kebanyakan anak dengan Sindrom Down dilahirkan oleh wanita
yang berusia datas 35 tahun. Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan
angka kejadian pada orang kulit putih lebih tinggi dari orang hitam. Sumber lain
mengatakan bahwa angka kejadian 1,5 per 1000 kelahiran, terdapat pada penderita
retardasi mental sekitar 10 %, secara statistik lebih banyak di lahirkan oleh ibu yang
berusia lebih dari 30 tahun, prematur dan pada ibu yang usianya terlalu muda.7

2.3 ETIOLOGI
Penyebab kelainan kromosom adalah terjadinya pemecahan kromosom dan
pecahnya hilang/melekat pada kromosom lain. Kejadian ini disebut translokasi.
Pengaturan kembali yang dilakukan sel dapat menghasilkan keseimbangan normal
tetapi dapat juga menjadi tidak seimbang. Jika terjadi keseimbangan normal, total
materi genetik didalam sel dengan kromosom normal. Pengaturan semacam ini
biasanya tidak akan menimbulkan sindrom klinis. Apabila terjadi ketidakseimbangan
maka terjadi kelebihan atau kekurangan materi genetik dalam barisan sel-sel tersebut.
Pengaturan semacam ini biasanya menimbulkan perubahan dalam fenotif klinis.
Dijumpai penderita Sindrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom.
Individu ini ialah penderita Sindrom Down translokasi 46.t (14q21q). Setelah
kromosom dari orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya
6

hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan 1


autosom translokasi 14q21q. Jelaslah bahwa bahwa ibu merupakan “carrier” yang
walaupun memiliki 45 kromosom 45.XX.t (14q21q) ia adalah normal. Sebaliknya,
laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya , sampai
sekarang belum diketahui. 8

2.4 MANIFESTASI KLINIS


Anak dengan sindroma Down pada umumya memiliki berat badan lahir yang
kurang dari normal. Diperkirakan 20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gr
atau kurang.8 Secara fenotip karakteristik yang terdapat pada bayi dengan sindroma
Down yaitu: 8,9
• Sutura sagitalis yang terpisah
• Fisura palpebralis yang oblique
• Jarak yang lebar antara jari kaki I dan II
• “plantar crease” jari kaki I dan II
• Hiperfleksibilitas
• Peningkatan jaringan sekitar leher
• Bentuk palatum yang abnormal
• Tulang Hidung hipoplasia
• Kelemahan otot
• Hipotonia (Kaplan)
• Bercak Brushfield pada mata
• Mulut terbuka
• Lidah terjulur
• Lekukan epikantus
• “single palmar crease” pada tangan kiri
• ”single palmar crease” pada tangan kanan
• “Brachyclinodactily” tangan kiri
• “Brachyclinodactily” tangan kanan
7

• Jarak pupil yang lebar


 Tangan yang pendek dan lebar
• Oksiput yang datar
• Ukuran telinga yang abnormal
• Kaki yang pendek dan lebar
• Bentuk atau struktur telinga abnormal
• Letak telinga yang abnormal
• Kelainan tangan lainnya
• Kelainan mata lainnya
• Sindaktili
• Kelainan kaki lainnya
• Kelainan mulut lainnya
Karakteristik dari sindroma tersebut ada yang berubah dengan bertambahnya
umur anak, misalnya lekukan epikantus atau jaringan tebal di sekitar leher akan
berkurang dengan bertambahnya umur anak. Berdasarkan atas ditemukannya
karakteristik dengan frekuensi yang tinggi pada sindroma Down, maka gejala–gejala
tersebut dianggap sebagai “cardinal sign” dan petunjuk diagnostik dalam
mengidentifikasi sindroma Down secara klinis. Tetapi yang perlu diketahui adalah
tidak adanya kelainan fisik yang terdapat secara konsisten dan patognomonik pada
sindroma Down. Bentuk muka anak dengan sindroma Down pada umumnya mirip
dengan ras Mongoloid.10
8

Gambar 2.1 Neonatus dengan Sindroma Down.

Gambar 2.2 Penampakan klinis tangan anak dengan Sindroma Down.


Selain beberapa tampilan dari anak dengan sindroma Down terdapat juga
kelainan klinis antara lain: 9,11,12
 Cacat jantung bawaan, cacat jantung kongenital yang umum (40 - 50%) jantung
bawaan yang paling sering endocardial cushion defect (43%), ventricular septal
defect (32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy Fallot cacat septum
atrium (6%), dan isolated patent ductus arteriosus (4%), lesions pada patent
ductus arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis (9%). Sekitar 70% dari semua
endocardial cushion defects terkait dengan sindroma Down.
 Vision disorders
 Hearing disorders
9

 Obstructive sleep apnoea syndrome, terjadi ketika aliran udara inspirasi dari
saluran udara bagian atas ke paru-paru yang terhambat untuk 10 detik atau lebih
sehingga sering mengakibatkan hypoxemia or hypercarbia.
 Wheezing airway disorders
 Congenital defek pada gastrointestinal tract
 Coeliac disease
 Obesity dan bertubuh pendek selama remaja
 Transient myeloproliferative disorder
 Thyroid disorders, yaitu hipotiroidism
 Atlanto-axial instability,
 Anomali saluran kemih
 Masalah kulit seperti Atopik eksim, Seborrhoeic eczema, Alopecia areata,
Vitiligo Syringomas, Perforans elastosis serpiginosa, Onychomycosis, Tinea corporis,
Anetoderma, Folliculitis, Chelitis, Keratosis pilaris, Psoriasis , Cutis marmorata⁄ivedo
reticularis, Xerosis, hyperkeratosis Palmar atau hiperkeratosis plantar
 Behaviour problems, spontanitas alami, kehangatan, ceria, kelembutan dan
kesabaran sebagai karakteristik toleransi. Beberapa pasien menunjukkan kecemasan
dan keras kepala.
 Psychiatric disorder, Prevalensi dari 17.6% gangguan kejiwaan di kalangan anak-
anak dan di antara orang dewasa adalah 27,1%. Anak-anak dan remaja berada pada
risiko tinggi untuk autisme, attention deficit hyperactivity disorder dan conduct
disorder. Obsessive-compulsive disorder, Tourette syndrome, gangguan depresi, dan
dapat terjadi selama transisi dari remaja sampai dewasa.
 Gangguan Kejang 5-10 %, yaitu umumnya kejang infantil pada bayi, sedangkan-
kejang tonik klonik umumnya diamati pada pasien yang lebih tua.
10

Gambar 2.3 Tanda & gejala sindrom Down

2.5 Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh


2.5.1 Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek. Mereka
sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang rangka tubuh penderita
sindrom Down mempunyai ciri – ciri yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar,
adanya kondisi clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai
satu lipatan (20%), sendi jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari
kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%) 11
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan xerosis,
lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis – garis transversal pada telapak tangan,
hanya satu lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo,
follikulitis, abses dan infeksi pada kulit yang rekuren 11
11

Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent quatio (IQ)
mereka sering berada antara 20 – 85 dengan rata-rata 50. Hipotonia yang diderita
akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka sering mendapat gangguan
artikulasi
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan, sikap
ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan menunjukkan
perlakuan yang nakal dengan rasa ingin tahu yang tinggi
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada anak – anak
sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada yang
dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur,
hipogonadism, katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungan dengan
hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang, neoplasma,
penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu, pikun,
dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita sindrom Down.
Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang – orang lanjut
Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi
yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang
tengkorak yang lambat, sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid
serta hipoplasia pada sinus maksilaris
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting) karena
fissure palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik – titik
Brushfield, kesalahan refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus (20%),
blepharitis (33%), conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital,
pseudopapil edema, spasma nutans dan keratoconus
Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi
tulang hidung dan jembatan hidung yang rata
Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil dan
mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air liur, bibir bawah
yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan
12

sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan
sekunder, maloklusi gigi serta kerusakan periodontal yang jelas
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat.
Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering ditemukan. Kira – kira
60–80% anak penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 – 20 dB pada satu
telinga
2.5.2 Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia,
termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid. Diperkirakan 10%
bayi yang lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon preleukemic, yang berasal
dari progenitor myeloid pada hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1,
yang terlokalisir pada kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai
Transient Leukemia, Transient Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient
Abnormal Myelopoiesis (TAM)
2.5.3 Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom Down
dengan prevelensi 40-50%. Walaubagaimanapun kasus lebih sering ditemukan pada
penderita yang dirawat di RS (62%) dan penyebab kematian yang paling sering
adalah aneuploidy dalam dua tahun pertama kehidupan.
Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular Septal
Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion Defect (43%),
Ventricular Septal Defect (32%), Secundum Atrial Septal Defect (ASD) (10%),
Tetralogy of Fallot (6%), dan Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang
paling sering ditemukan adalah Patent Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic
Stenosis(9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion defects adalah terkait dengan
sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang dirawat, kira – kira 30% mempunyai
beberapa defek sekaligus pada jantung mereka
a. Atrioventricular septal defects (AVD)
13

Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana terjadinya


kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang tidak sempurna
sewaktu tahap embrio. Kelainan yang sering di hubungkan dengan AVD adalah
patent ductus arteriosus, coarctation of the aorta, atrial septal defects, absent atrial
septum, dan anomalous pulmonary venous return. Kelainan pada katup mitral juga
sering terjadi. Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi asimtomatik pada
dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula timbul pada dekade kedua dan
ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan pulmonary venous
return, yang akhirnya akan menjadi left-to-right shuntpada atrium dan ventrikel.
Akhirnya nanti akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara lain
takipnu dan penurunan berat badan
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan ada salah
satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada penderita dengan penyakit ini,
jaringan jantung pada bagian superior dan inferior tidak menutup dengan sempurna.
Akibatnya, terjadi komunikasi intratrial melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal
sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak katup atrioventikuler yang
abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta. Perfusi jaringan endokardial yang
tidak sempurna juga mangakibatkan lemahnya struktur pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting. Apabila
penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering terjadi melalui ostium
primum pada septum. Kalau penderita mendapat defek yang komplit, maka dapat
terjadi defek pada septum ventrikel dan juga insufisiensi valvular. Kemudian akan
terjadi volume overloading pada ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti
dengan gagal jantung pada awal usia. Sekiranya terjadi overload pulmonari, dapat
terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti dengan gagal jantung kongestif
b. Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada kondisi
dimana adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel. Kondisi ini boleh terjadi
sebagai anomali primer, dengan atau tanpa defek kardiak yang lain. Kondisi ini dapat
14

terjadi akibat kelainan seperti Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular


(AV) canal defects, transposition of great arteries,dan corrected transpositions
c. Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau jalur
yang menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau sebaliknya,
melalui septum interatrial. Apabila tejadinya defek pada septum ini, darah arterial dan
darah venous akan bercampur, yang bisa atau tidak menimbulkan sebarang gejala
klinis. Percampuran darah ini juga disebut sebagai ‘shunt’. Secara medis, right-to-
left-shunt adalah lebih berbahaya
d. Tetralogy of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada anak
yang sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah yang kaya oksigen
dengan darah yang kurang oksigen. Terdapat empat abnormalitas yang sering terkait
dengan Tetralogy of fallot. Pertama adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya
pengecilan atau tahanan pada katup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan
katup terbuka kearah luar dari ventrikel kanan. Ini akan menimbulkan restriksi pada
aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat yang akhirnya akan
menimbulkan hipertrofi pada ventrikel. Kedua adalah ventricular septal defect. Pada
kondisi ini, adanya lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan
menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen bercampur.
Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh dan
menimbulkan gejala klinis berupa sianosis. Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal.
Keempat adalah pulmonary valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis
yang minimal terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru. Tetapi jika
stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru adalah lebih sedikit maka
sianosis akan menjadi lebih berat
e. Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak gagal
menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi bising jantung.
15

Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas yang pendek dan aritmia jantung.
Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal jantung kongestif. Semakin besar PDA, semaki
buruk status kesehatan penderita
2.5.4 Immunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan
orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem
imun yang rendah. Contohnya mereka sangat rentan mendapat pneumonia
2.5.5 Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang
dapat ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%), TE fistula,
Meckel divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil
penelitian di Eropa dan Amerika didapatkan prevalensi mendapat Celiac disease pada
pasien sindrom Down adalah sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik,
yaitu spesifik pada human leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga
DQ8.
2.7.6 Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah gangguan
pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya sering pada usia awal
sekolah, sekitar 8 hingga 10 tahun. Insidens ditemukannya Graves disease juga
dilaporkan meningkat. Prevelensi mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis
kongenital, hipertiroid primer, autoimun tiroiditis, dan compensated hypothyroidism
atau hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada penderita sindrom Down,
dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur
2.5.7 Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan psikiatri
atau prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risiko mendapat
gangguan psikis. Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional Defiant Disorder, gangguan disruptif
yang tidak spesifik dan gangguan spektrum Autisme.
16

2.6 Faktor Risiko


Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat
dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada
usia di atas 35 tahun. Walau bagaimanapun, wanita yang hamil pada usia muda tidak
bebas terhadap risiko mendapat bayi dengan sindrom Down.
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom Down
adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan sindrom
Down, atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat yang pernah mendapat
kondisi yang sama. Walau bagaimanapun kebanyakan kasus yang ditemukan
didapatkan ibu dan bapaknya normal (Livingstone, 2006).
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down berdasarkan
umur ibu yang hamil:
- 20 tahun: 1 per 1,500
- 25 tahun: 1 per 1,300
- 30 tahun: 1 per 900
- 35 tahun: 1 per 350
- 40 tahun: 1 per 100
- 45 tahun: 1 per 30

2.7 Diagnosis
Tidak ada kritera diagnosis khusus untuk sindroma Down. Namun, retardasi
mental merupakan gambaran yang menumpang tindih dengan sindroma Down.
Sebagian besar orang dengan sindroma ini mengalami retardasi mental sedang atau
berat, hanya sebagian kecil yang memiliki IQ diatas 50. Perkembangan mental
tampak normal dari lahir hingga usia 6 bulan dan nilai IQ secara bertahap menurun
dari hampir normal pada usia 1 tahun hingga sekitar 30 pada usia yang lebih tua.
Penurunan intelegensi dapat nyata atau jelas: uji infantil mungkin tidak
mengungkapkan tingkat defek sepenuhnya, yang mungkin tertungkap ketika uji yang
17

lebih canggih digunakan pada masa kanak-kanak awal. 1 Derajat atau tingkat
retardasi mental diekspresikan dalam berbagai istilah. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR)
memberikan empat tipe retardasi mental, yang mencerminkan tingkat gangguan
intelektual antara lain: retardasi mental ringan, sedang, berat, dan sangat berat.
Adapun kriteria diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV antara lain : 13
a. Fungsi intelektual yang secara bermakna di bawah rata-rata: IQ kira-kira 70
atau kurang pada tes IQ yang dilakukan secara individual (untuk bayi, pertimbangan
klinis adanya fungsi intelektual yang jelas di bawah rata-rata)
b. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif
sekarang (yaitu, efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang
dituntut menurut usianya dalam kelompok kulturalnya) pada sekurangnya dua bidang
keterampilan berikut: komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan
sosial/interpersonal, menggunakan sarana masyarakat, mengarahkan diri sendiri,
keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, liburan, kesehatan, dan keamanan.
c. Onset sebelum usia 18 tahun
Penulisan didasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan tingkat
gangguan intelektual:
a. Retardasi mental ringan : tingkat IQ 50-55 sampai 70
b. Retardasi mental sedang : tingkat IQ 35-40 sampai 50-55
c. Retardasi mental berat : tingkat IQ 20-25 sampai 35-40
d. Retardasi mental sangat berat : tingkat IQ dibawah 20 atau 25
e. Retardasi mental, keparahan tidak ditentukan : jika terdapat kecurigaan kuat
adanya retardasi mental tetapi inteligensi pasien tidak dapat diuji oleh tes inteligensi
baku.
Untuk gangguan kromosom dan metabolik, seperti sindroma Down, sindroma X
rapuh, dan fenilketonuria (PKU) merupakan gangguan yang sering dan biasanya
menyebabkan sekurangnya retardasi mental sedang. 13
18

Diagnosis Sindrom Down dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan


intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku
anak sekarang adalah secara bermakna di bawah tingkat yang diharapkan. Suatu
riwayat penyakit dan wawancara psikiatrik sangat berguna untuk mendapatkan
gambaran longitudinal perkembangan dan fungsi anak, sedangkan pemeriksaan fisik,
dan tes laboratorium dapat digunakan untuk memastikan penyebab dan prognosis.
Pada anamnesis riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau
pengasuh, dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, kelahiran,
riwayat keluarga retardasi mental, dan gangguan herediter. Selain itu, sebagai bagian
riwayat penyakit, klinisi sebaiknya menilai latar belakang sosiokultural pasien, iklim
emosional di rumah, dan fungsi intelektual pasien.
Pada pemeriksaan fisik berbagai bagian tubuh mungkin memiliki karakteristik
tertentu yang sering ditemukan pada orang dengan retardasi mental seperti sindroma
Down ini dan kemungkinan memiliki penyebab pranatal. Pemeriksaan fisik pasien
dengan sindroma Down dapat dilihat dari gambaran klinis fisik pasien yang telah
dijelaskan sebelumnya. 12

2.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom
Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test dan/atau
sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat memberi hasil pasti apakah
bayi yang dikandung menderita sindrom Down atau tidak.
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal
Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 – 14 kehamilan. Apa
yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh
daripada sepulah bayi dengan sindrom Down dapat dikenal pasti dengan teknik ini.
Hasil uji sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil
yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan adalah plasma protein-
19

A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal
menjadi indikasi bahwa mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung (Mayo
Foundation for Medical Education and Research (MFMER), 2011).
b. Amniocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang
kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom janin. Amniosentesis merupakan
pemeriksaan yang berguna untuk diagnosis berbagai kelainan kromososm bayi
terutama sindroma Down, di mana dengan mengambil sejumlah kecil cairan amniotik
dari ruang amnion secara transabdominal antara usia kehamilan 14-16 minggu.
Amniosentesis dianjurkan untuk semua wanita hamil di atas usia 35 tahun. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
c. Chorionic villus sampling (CVS)
CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut
akan diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan
minggu kesembilan hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
d. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS)
PUBS adalah tehnik di mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk
melihat kromosom janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini
dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko
keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical Education and
Research (MFMER), 2011).
e. Pemeriksaan sitogenik
Diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan studi sitogenetika.
Karyotyping sangat penting untuk menentukan risiko kekambuhan. Dalam translokasi
sindrom Down, karyotyping dari orang tua dan kerabat lainnya diperlukan untuk
konseling genetik yang tepat.
f. Interphase fluorescence in situ hybridization (FISH)
FISH dapat digunakan untuk diagnosis cepat. Hal ini dapat berhasil di kedua
diagnosis prenatal dan diagnosis pada periode neonatal. Mosaicism yang tersembunyi
20

untuk trisomi 21 sebagian dapat menerangkan hubungan yang telah dijelaskan antara
sejarah keluarga sindroma Down dan risiko penyakit Alzheimer. Skrining untuk
mosaicism dengan FISH diindikasikan pada pasien tertentu dengan gangguan
perkembangan ringan dan mereka dengan Alzheimer onset dini.
g. Ekokardiografi
Tes ini harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk
mengidentifikasi penyakit jantung bawaan, terlepas dari temuan pada pemeriksaan
fisik.
h. Skeletal Radiografi
Kelainan kraniofasial termasuk brachycephalic microcephaly, hypoplastic
facial bones dan sinuses. Tes ini diperlukan untuk mengukur jarak atlantodens dan
untuk menyingkirkan atlantoaxial instabilitas pada umur 3 tahun. Radiografi juga
digunakan sebelum anesthesia diberikan jika terdapat tanda-tanda spinal cord
compression. Penurunan sudut iliac dan acetabular juga dapat ditemukan pada bayi
baru lahir.13

2.9 Diagnosis Banding Sindroma Down


Adapun diagnosis banding dari sindroma Down adalah : 14
a. Hipotiroidisme
Terkadang gejala klinis sindroma Down sulit dibedakan dengan
hipotiroidisme. Secara kasar dapat dilihat dari aktivitasnya karena anak-anak dengan
hipotiroidisme sangat lambat dan malas, sedangkan anak dengan sindroma Down
sangat aktif
b.Akondroplasia
c. Rakitis
d.Sindrom Turner
e. Penyakit Trisomi
21

2.10 PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif
untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom
juga dapat mengalami kemunduran dari sistim tubuhnya. Dengan demikian penderita
harus mendapatkan support maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam
menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran
perkembangan baik fisik maupun mentalnya.

a. Medikamentosa
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya
defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia
akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut
menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini
memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.
b. Non medikamentosa
1. Fisio Terapi.
 Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar untuk
mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap
perkembangan yang berkelanjutan.
 Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk
menggerakkan tubuhnya seperti duduk dan berjalan dengan cara/gerakan yang
tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan Down
Syndrome dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah yang
dapat mengganggu posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi.
 Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome menyesuaikan
gerakannya untuk mengkompensasi otot lemah yang dimilikinya, sehingga
selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur.
 Dapat dilakukan seminggu sekali
22

2. Terapi Bicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami
keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata.
3. Terapi Okupasi. Melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman,
kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya
anak DS tergantung pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas
tanpa ada komunikasi dan tidak memperdulikan orang lain. Terapi ini membantu
anak mengembangkan kekuatan dan koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
4. Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan
kemampuan akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan
pelajaran dari sekolah biasa.
5. Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah
rangsangan / sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang
mengalami gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik
kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan
terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat.
6. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy). Mengajarkan anak DS yang sudah
berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai
dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
7. Terapi alternatif. Penanganan yang dilakukan oleh orangtua tidak hanya
penanganan medis tetapi juga dilakukan penanganan alternatif. hanya saja terapi jenis
ini masih belum pasti manfaatnya secara akurat karena belum banyak penelitian yang
membuktikan manfaatnya, meski tiap pihak mengklaim dapat menyembuhkan DS.
Terapi alternatif tersebut di antaranya adalah :
Terapi Akupuntur. Dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh
tertentu dengan jarum. Titik syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi
sang anak.
Terapi Musik. Anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat
senang dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi
23

mereka dengan begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan
mengakibatkan fungsi tubuhnya yang lain juga membaik
Terapi Lumba-Lumba. Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis tapi hasil
yang sangat mengembirakan bagi mereka bisa dicoba untuk anak DS. Sel-sel
saraf otak yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika mendengar suara
lumba-lumba.
Terapi Craniosacral. Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang
ringan pada syaraf pusat. Dengan terapi ini anak DS diperbaiki metabolisme
tubuhnya sehingga daya tahan tubuh lebih meningkat.
Terapi-terapi alternatif lainnya, ada yang berupa vitamin, supplemen maupun
dengan pemijatan pada bagian tubuh tertentu.
Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis yang
sama dengan anak yang normal. Mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan,
imunisasi, kedaruratan medis, serta dukungan dan bimbingan dari keluarga, tetapi
terdapat beberapa keadaan di mana anak dengan sindroma Down memerlukan
perhatian khusus antara lain: 8
a. Pemeriksaan mata dan telinga serta pendeteksian fungsi tiroid pada bayi baru lahir
dan rutin pada anak sindroma Down
b. Penyakit jantung bawaan, intervensi dini dengan pemeriksaan kardiologi pada
bayi baru lahir
c. Status Nutrisi, perlu perhatian meliputi kesulitan menyusu pada bayi sindroma
Down dan pencegahan obesitas pada usia anak dan remaja
d. Kelainan tulang
e. Pendidikan, sebagai intervensi dini terhadap kelainan perkembangan terutama
menyangkut kemampuan kognitif dan perkembangan social
f. Monitoring pertumbuhan dan perkembangan dengan kurva spesial untuk
sindroma Down dan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak
sindroma Down
g. Perawatan mulut dan gigi
24

h. Atlanto-axial instability screening pada usia tiga tahun


i. Konseling genetik.

2.11 PROGNOSIS
Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun.
Selain perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan
fisik. Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan
kelainan jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk
prognosis.15 Sebesar 44% penderita sindroma Down hidup sampai 60 tahun dan
hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko terkena leukemia pada
sindroma Down adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer yang lebih
dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun.14
Beberapa penderita sindroma Down mengalami hal-hal berikut:
a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.
b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.
c. Pada usia 30 tahun menderita dementia (berupa hilang ingatan, penurunan
kecerdasan dan kepribadian).
d. Gangguan tiroid.
Bisa terjadi kematian dini pada penderita sindroma Down meskipun banyak
juga penderita yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan kelainan
jantung bawaan. Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita
ini yang mengakibatkan 80% kematian. Anak-anak dengan sindroma Down memiliki
risiko tinggi untuk menderita kelainan jantung dan leukemia. Jika terdapat kedua
penyakit tersebut maka angka harapan hidupnya berkurang dan jika kedua penyakit
tersebut tidak ditemukan maka anak bisa bertahan sampai dewasa.
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan.
Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat hidup sehingga
berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung kongenital sering menjadi faktor yang
menentukan usia penderita sindrom Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia
25

Esofagus dengan atau tanpa fistula transesofageal, Hirschsprung disease, atresia


duodenal dan leukemia akan meningkatkan mortalitas (William, 2002).
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas yang
tinggi karena mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi seperti tonsil
yang membesar dan adenoids, lingual tonsils, choanal stenosis, atau glossoptosis
dapat menimbulkan obstruksi pada saluran nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat
menyebabkan Serous Otitis Media, Alveolar Hypoventilation, Arterial Hypoxemia,
Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor
pulmonale dan gagal jantung (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital yang tidak
stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan
pendengaran, visus, retardasi mental dan defek yang lain akan menyebabkan
keterbatasan kepada anak – anak dengan sindrom Down dalam meneruskan
kelangsungan hidup. Mereka juga akan menghadapi masalah dalam pembelajaran,
proses membangunkan upaya berbahasa, dan kemampuan interpersonal (Cincinnati
Children's Hospital Medical Center, 2006).

2.12 KOMPLIKASI
Anak-anak dengan sindrom Down bisa mempunyai berbagai komplikasi, ada
yang menjadi lebih menonjol sesuai dengan umur yang semakin meningkat, antara
komplikasi yang timbul termasuk:
a. Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskular
Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai murmur,
anak penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat defek pada jantung.
Apabila resistensi pada vaskular pulmonari dapat dideteksi, kemungkinan terjadinya
shunt dari kiri ke kanan dapat dikurangi, sehingga dapat mencegah terjadinya gagal
jantung awal. Apabila tidak dapat dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan
hipertensi pulmonal yang persisten dengan perubahan pada vaskular yang ireversibel
(Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
26

Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada jantung


dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap operasi yang
dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi dilakukan apabila anak sudah berusia
6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi sudah lebih baik dan anak yang dioperasi mampu
hidup lebih lama (Kallen B, 1996).
Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal atrioventrikuler,
symptom biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai dengan shunting sistemik-
pulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi, disertai dengan peningkatan risiko
terjadinya hipertensi arteri pulmonal. Resistensi pulmonal yang meningkat dapat
memicu terjadinya kebalikan dari shunting sistemik-pulmonal yang diikuti dengan
sianosis (Baliff JP, 2005).
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menderita
hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol pulmonal yang lebih tipis dan fungsi
endotelial yang terganggu (Galley R, 2005).
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat mencegah
terjadinya kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada paru - paru. Apalagi
dengan pengobatan yang terkini (prostacyclin, endothelin, antagonis reseptor dan
phosphodiesterase-5-inhibitor) didapatkan mampu memperbaiki status klinis dan
jangka hidup bagi penderita hipertensi arteri pulmonal (Livingstone, 2006).
Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah pada
penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi dimana
didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis pada penderita sindrom
Down (Tyler, 2004)
b. Leukemia. Anak-anak dengan sindrom Down lebih cenderung menderita
leukemia. Hal ini berdasarkan pengamatan bahawa leukemia tertentu dapat
berhubungan dengan defek pada kromosom 21.
27

c. Penyakit menular. Disebabkan sistem imun yang terganggu, penderita


sindrom Down lebih mudah terkena serangan penyakit menular seperti radang
paru-paru.
d. Demensia. Resiko untuk terkena demensia di waktu tua, tanda dan gejala
demensia sering muncul sebelum berumur 40 tahun. Mereka yang menderita
demensia juga mempunyai kecenderungan yang tinggi menderita kejang.
e. Apnea tidur. Disebabkan oleh perubahan pada sel jaringan dan tulang yang
menyebabkan penyempitan pada jalan pernafasan, risiko untuk terjadinya
sleep apneu tinggi
f. Obesitas. Penderita sindrom Down mempunyai kecenderungan yang lebih
besar untuk menjadi obes daripada penduduk umum.
g. Lain-lain. Sindrom Down juga bisa dikaitkan dengan keadaan kesehatan yang
lain, termasuk masalah gastrointestinal, masalah tiroid, menopause awal,
kehilangan pendengaran, penuaan dini, masalah tulang dan masalah
penglihatan.
Sekitar 20% janin sindrom Down mengalami abortus spontan antara masa
kehamilan 10-16 minggu. Banyak janin tidak berimplantasi pada endometrium atau
ibu mengalami keguguran sebelum usia kehamilan 6-8 minggu.

2.13 PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom
melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal
kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan Down
syndrome atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati
memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki resiko melahirkan anak
dengan Down syndrome lebih tinggi. Down Syndrome tidak bisa dicegah, karena DS
merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Deteksi dini
sindrom Down dilakukan pada usia janin mulai 11 minggu (2,5 bulan) sampai
14minggu. Dengan demikian, orangtua akan diberi kesempatan memutuskan segala
28

hal terhadap janinnya. Jika memang kehamilan ingin diteruskan, orangtua setidaknya
sudah siap secara mental.
Amniocentesis - Merupakan prosedur invasif di mana jarum melewati perut
ibu bagian bawah ke dalam rongga ketuban dalam rahim. Cairan ketuban yang cukup
akan dicapai mulai sekitar 14 minggu kehamilan. Untuk diagnosis prenatal,
kebanyakan amniocenteses dilakukan antara 14 dan 20 minggu kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) – dilakukan antara minggu 11-12 kehamilan.
Dalam prosedur ini, sebuah kateter dimasukkan melalui vagina melalui leher rahim
dan masuk ke dalam rahim ke berkembang ke plasenta di bawah bimbingan USG.
Pendekatan alternatifnya adalah transvaginal dan transabdominal. Penggunaan kateter
memungkinkan sampel sel dari chorionic vili plasenta. Sel-sel ini kemudian akan
dilakukan analisis kromosom untuk menentukan kariotipe janin.
Konseling genetik juga menjadi alternatif yang sangat baik, karena dapat
menurunkan angka kejadian sindrom down. Dengan biologi molekular misalnya
Gene targeting atau Homologous recombination gene dapat dinon-aktifkan. Sehingga
suatu saat gen 21 yang bertanggung jawab terhadap munculnya fenotip sindrom down
dapat di non aktifkan.8-10

Anda mungkin juga menyukai