PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom Down merupakan trisomi autosomal yang memiliki kesintasan lebih dari satu
tahun setelah lahir. Kelainan ini disebabkan oleh kesalahan acak, trisomi kromosom 21
selama meiosis maternal atau paternal. Serupa dengan kondisi lain yang dikelompokkan
sebagai suatu sindrom, beberapa karakteristik fenotip dapat tampak pada trisomi 21, namun
individu yang terkena biasanya memunculkan hanya sebagian tanda saja. Pada kasus sindrom
Insidensi yang dilaporkan di dunia adalah satu setiap 700 hingga satu setiap 800
kelahiran hidup (Kava et al., 2004). Sejak tahun 1979 hingga 2003, prevalensi sindrom Down
meningkat sebesar 31,1 %, dari 9,0 menjadi 11,8 setiap 10.000 kelahiran hidup di Amerika
Serikat (Shin et al., 2009). Indonesia berkontribusi sebanyak 15 % dari jumlah kasus sindrom
Down di dunia. Suatu penelitian di Serang menunjukkan bahwa dalam kurun waktu empat
tahun, ditemukan dua sampai empat kasus setiap tahunnya (Laksono et al., 2011).
Anak yang terkena sindrom Down rentan menderita penyakit respiratorik dan
malformasi jantung, infeksi, keganasan hematologi, dan hipotiroid (Klug et al., 2009;Mello et
al., 2010). Kejang dapat terjadi dalam dua puncak waktu pada sindrom Down, dengan 40 %
pasien mengalami awitan kejang sebelum usia satu tahun dan 40 % lainnya mengalami
kejang dalam dekade ketiga kehidupan atau setelahnya (Lott dan Dierssen, 2010).
dan 88 % (Kucik et al., 2013). Adanya kelainan jantung meningkatkan risiko kematian pasca
kelahiran hampir lima kali lipat dan berlanjut menjadi prediktor mortalitas paling bermakna
hingga usia 20 tahun (Kucik et al., 2013). Selama dua dekade terakhir usia saat kematian
lebih panjang hingga 50 tahun, namun mortalitas tetap lebih tinggi dibandingkan populasi
1
2
umum dengan infeksi saluran napas sebagai penyebab utama. Pada penelitian, anak dengan
sindrom Down secara bermakna memiliki peningkatan risiko kematian yang disebabkan oleh
harus diperhatikan setiap kunjungan dan setidaknya setiap tahun. Aspek-aspek tersebut
yang berpusat pada keluarga, kondisi kesehatan dan perkembangan sindrom Down sesuai
umur tertentu, program dukungan keuangan dan kesehatan sesuai dengan kemampuan anak
gizi dan aktivitas untuk mempertahankan berat badan yang sesuai. Penilaian tersebut
intervensi dini, pendidikan, dan pelatihan kejuruan dapat secara signifikan mempengaruhi
tingkat keaktifan anak dengan sindrom Down dan membantu masa peralihan mereka menuju
Berdasarkan hal yang disebut di atas, maka kami mengambil satu kasus pasien sindrom
Down, dengan manifestasi klinis berupa defek septum atrial, epilepsi, hipotiroid,
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. SKK Nama ayah : Tn. S
Tgl. Lahir : 19 Oktober 2012 (18 bulan) Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : D3
Alamat : Jl. Singomulanjoyo no. 17 RT 04 RW 01 Pekerjaan : Wiraswasta
Masuk RS : 15/01/2014 Nama ibu : Ny. RO
No. RM : 01.60.62.xx Umur : 26 tahun
Tgl. Periksa : 03/02/2014 Pendidikan: SLTA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pasien diambil sebagai kasus panjang pada usia 18 bulan.
3
Anak lahir spontan, cukup bulan, dengan berat badan 2.600 gram, tanpa asfiksia,
disertai celah di bibir dan langit-langit. Saat berusia dua minggu, anak dirawat selama satu
minggu di rumah sakit karena kuning, mendapat fototerapi, kemudian membaik dan
diperbolehkan pulang. Selama di rumah, anak terkadang sesak hingga biru-biru pada bibir
Usia tiga bulan, anak dibawa berobat ke rumah sakit karena muncul benjolan di lipat
paha kiri. Dalam perawatan, orang tua mengetahui bahwa anaknya menderita kebocoran
jantung, sindrom Down, dan gizi buruk. Benjolan di lipat paha didiagnosis sebagai hernia
inguinalis, dapat direduksi dengan pembedahan, dan anak disarankan untuk menjalani
Hasil ekokardiografi saat anak berusia enam bulan adalah ASD kecil dan pulmonary
stenosis berat. Anak kemudian dirawat karena keluhan napas grok-grok, sering henti napas,
dan untuk perbaikan gizi. Selama perawatan, anak kejang hampir setiap hari hingga henti
napas. Hasil EEG abnormal epileptiform difus dengan dominasi hemisfer kiri. Kejang
berkurang setelah mendapat dosis fenobarbital 2x12,5 mg per oral, carbamazepin 1x25 mg
per oral, dan topamax sprinkle 3x5 mg per oral. Pemeriksaan kadar T4 <0,30 dan TSH >75,0
mengarah pada hipotiroid, sehingga mendapat terapi levotiroksin 30 mcg/hari. Dari gejala
klinis yang ada, pasien dikatakan menderita sindrom Down dengan celah bibir dan celah
langit-langit.
Bulan Januari 2014 saat berusia 16 bulan, anak kembali dirawat karena keluhan demam
selama 2 minggu, batuk, sesak, dan rewel. Saat itu anak didiagnosis sebagai SIRS (systemic
inflammatory response syndrome), prolonged fever, susp. pneumonia, DF: no heart failure,
DE: PJB asianotik, DA: ASD dengan PS, hipotiroid, uncontrolled epilepsy, GDD,
labiognatopalatoskisis, dan sindrom Down. Anak dirawat selama kurang lebih 1 bulan.
4
Selama perawatan, demam berfluktuasi disertai batuk dan sesak. Kejang berupa gerakan tiba-
tiba tangan kanan masih sering terjadi. Dilakukan pelacakan terhadap infeksi kongenital.
BERA dilakukan dengan hasil profound, distal neural hearing loss, diusulkan menjalani
speech training. Hasil serologi untuk toxoplasma, rubella dan CMV tidak menunjukkan
infeksi pada anak. Ekokardiografi ulang menunjukkan ASD sedang, L to R shunt, PS valvar
berat, vegetasi katup pulmonal. Dari hasil tersebut, anak didiagnosis menderita endokarditis
infektif dan menjalani ekokardiografi ulang setelah 2 minggu. Sebagai terapi epilepsi, karena
topamax sprinkle tidak dapat dihancurkan sementara anak makan menggunakan NGT, obat
anti epilepsi diganti menjadi depakene 20 mg/kg/hari. EEG ulang menyimpulkan klinis
bangkitan umum. Pada awal Februari 2014 pneumonia membaik, frekuensi kejang menjadi
berkurang dengan asam valproat, dosis levotiroksin sementara dihentikan sambil menunggu
hasil pemeriksaan fT4 dan TSH yang akan dilanjutkan saat rawat jalan, ekokardiografi ulang
Epilepsy (G40.1)
Deafness (H90.3)
C. Tujuan
Tujuan pemantauan kasus panjang ini adalah untuk mengamati luaran klinis jangka
panjang anak sindrom Down, dengan gejala berupa defek septum atrial, hipotiroid, epilepsi,
5
melakukan skrining dan intervensi dini terhadap perjalanan alamiah kondisi tersebut sehingga
labiognatopalatoskisis berupa skrining dan pemantauan gejala yang muncul pada berbagai
organ. Telaah dari berbagai multidisiplin yaitu kardiologi, endokrin, neurologi, gigi dan
bedah mulut, dan tumbuh kembang diperlukan untuk evaluasi dan terapi dini dari gejala yang
D. Manfaat
Manfaat untuk pasien adalah dengan pemantauan secara komprehensif dan berkala
secara rutin untuk dapat dilakukan penanganan yang menyeluruh dan berkesinambungan,
sehingga anak dapat tumbuh kembang secara optimal dan mencapai kemandirian dalam
mengenai kondisi anak serta kelainan yang menyertai dan ikut berperan dalam penanganan
Manfaat untuk peserta PPDS antara lain menambah pengetahuan dan ketrampilan
tentang cara diagnosis, baik secara klinis maupun laboratoris, serta kewaspadaan dini
terhadap permasalahan pada sindrom Down dan dalam melakukan pemantauan terhadap
Manfaat bagi ilmu pengetahuan mengembangkan pola pemantauan yang efektif untuk
deteksi dini perjalanan alamiah kelainan yang timbul pada sindrom Down di Indonesia.