Anda di halaman 1dari 71

1.

KLASIFIKASI INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS)

1. IMS yang disebabkan oleh peradangan.

2. IMS yang disebabkan oleh erosi.

3. Penyakit lain.

PENYAKIT PERADANGAN

Adapun penyebab peradangan pada IMS yang paling sering dijumpai, adalah:

1. Bakteri : IMS yang disebabkan oleh bakteri adalah Gonore, Klamidia

2. Jamur : IMS yang disebabkan oleh jamur adalah Kandidiasis

3. Parasit : IMS yang disebabkan oleh parasit adalah Trikomoniasis.

Bakteri:

1. GONORE (GO)

Gonore atau yang sering kita sebut kencing nanah adalah salah satu jenis infeksi menular
seksual (IMS) yang umum dan disebabkan oleh bakteri bernama Neisseria gonorrhoeae atau
gonococcus. Gonore dapat menyerang siapapun baik Perempuan maupun laki-laki bisa
terjangkit infeksi ini. Bakteri gonococcus biasanya ditemukan di cairan penis dan vagina dari
orang yang terinfeksi.

2.KLAMIDIA

Infeksi Klamidia adalah IMS yang disebabkan oleh bakteri Chlamydia trachomatis yang
terutama menyerang leher rahim.

3.VAGINOSIS BAKTERIAL

Adalah infeksi pada alat kelamin yang disebabkan oleh campuran bakteri Gardnerella
Vaginalis dan Bakteri Anaerob.

Jamur

KANDIDIASIS VAGINA

Adalah keputihan yang disebabkan oleh jamur Candida albicans. Pada keadaan normal spora jamur ini memang
terdapat di kulit maupun di dalam lubang kemaluan perempuan. Tetapi pada keadaan tertentu (penyakit
kencing manis, kehamilan, pengobatan steroid, antibiotik), jamur ini dapat meluas sedemikian rupa sehingga
menimbulkan keputihan. Penyakit ini tergolong IMS, tetapi pasangan seksual dan perempuan yang terinfeksi
jamur ini dapat mengeluh gatal dengan gejala bintik-bintik kemerahan di kulit kelamin.

Parasit

TRIKOMONIASIS
Adalah IMS yang disebabkan oleh parasit Trichomonas Vaginalis

PENYAKIT EROSI (IRITASI, LECET)

I. SIPILIS (Raja Singa)

II. HERPES

Herpes kelamin merupakan IMS yang disebabkan virus Herpes Simplek (HSV) tipe 1 dan 2
yang menimbulkan luka atau lecet pada kelamin.

PENYAKIT LAIN

I. KUTIL KELAMIN

Kutil kelamin atau Kandiloma Akuminata merupakan salah satu bentuk IMS yang disebabkan
oleh Human papilloma virus(HPV) yaitu berupa kutil di sekitar alat kelamin, bahkan sampai
kebagian dalam liang kemaluan dan leher rahim.

II. KUTU

Kutu yang muncul di bulu alat kelamin, lain dari kutu yang muncul di rambut kepala

KLASIFIKASI INFEKSI SALURAN KEMIH

Klasifikasi ISK secara garis besar dibagi menjadi ISK simpleks (uncomplicated) dan ISK
rumit (complicated).

ISK simpleks diartikan sebagai sistitis pada wanita yang tidak hamil, tidak memiliki
gangguan sistem imun, tidak memiliki kelainan anatomi dan fungsi dari saluran kemih, dan
tidak menunjukkan gejala adanya invasi jaringan atau infeksi sistemik.

Semua jenis ISK yang tidak termasuk ke dalam ISK simple digolongkan sebagai ISK rumit /
dengan penyulit.

ISK dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi terjadinya infeksi menjadi ISK bagian bawah
dan ISK bagian atas.

 ISK bagian bawah terdiri dari sistitis (infeksi pada kandung kemih) dan urethritis (infeksi
pada uretra).

 ISK bagian atas terdiri dari ureteritis (ureter), pyelitis (tubulus kolektivus bagian atas),
pyelonefritis (parenkim ginjal)

2. ISK PADA DEWASA

2.1 Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan bakteriuria patogen
dengan colony forming units per mL CFU/ ml urin > 105, dan lekositouria >10 per lapangan pandang besar,
disertai manifestasi klinik4 ISK akhir-akhir ini juga didefinisikan sebagai suatu respon inflamasi tubuh terhadap
invasi mikroorganisme pada urothelium.

2.2 Epidemilogi
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit yang paling sering ditemukan di praktik umum. Kejadian
ISK dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria, dan faktor predisposisi yang
mengakibatkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal. ISK cenderung terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai factor predisposisi.

Menurut penelitian, hampir 25-35% perempuan dewasa pernah mengalami ISK selama hidupnya.
Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah
(School girls) 1% meningkat menjadi 5 % selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik
meningkat mencapai 30% pada laki-laki dan perempuan jika disertai faktor predisposisi .

2.3 Etiologi
Pada umumnya ISK disebabkan oleh mikroorganisme tunggal seperti:

 Eschericia coli merupakan mikroorganisme yang paling sering diisolasi dari pasien dengan ISK
simtomatik maupun asimtomatik
 Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak laki-laki berusia 5
tahun), Klebsiella spp dan Stafilokokus dengan koagulase negatif
 Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang dijumpai, kecuali pasca kateterisasi

2.4 Patogenesis
Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri simtomatik tergantung dari patogenitas bakteri sebagai
agent, status pasien sebagai host dan cara bakteri masuk ke saluran kemih (bacterial entry.)

2.4.1 Peranan Patogenisitas Bakteri (agent)


Tidak semua bakteri dapat menginfeksi dan melekat pada jaringan saluran kemih. Bakteri tersering yang
menginfeksi saluran kemih adalah E.coli yang bersifat uropathogen.

Strain bakteri E. coli hidup atau berkoloni di usus besar atau kolon manusia. Beberapa strain bakteri E.
coli dapat berkoloni di daerah periuretra dan masuk ke vesika urinaria. Strain E. coli yang masuk ke saluran
kemih dan tidak memberikan gejala klinis memiliki strain yang sama dengan strain E. coli pada usus (fecal
E.coli), sedangkan strain E. coli yang masuk ke saluran kemih manusia dan mengakibatkan timbulnya
manifestasi klinis adalah beberapa strain bakteri E. coli yang bersifat uropatogenik dan berbeda dari sebagian
besar E.coli di usus manusia (fecal E.coli). Strain bakteri E.coli ini merupakan uropatogenik E.coli (UPEC) yang
memiliki faktor virulensi8.
 Peranan Perlengketan Mukosa oleh Bakteri (Bacterial attachment of mucosa)
Fimbriae atau pili memiliki ligand di permukaannya yang berfungsi untuk berikatan dengan reseptor
glikoprotein dan glikolipid pada permukaan membran sel uroepithelial. Fimbriae atau pili dibagi berdasarkan
kemampuan hemaaglutinasi dan tipe sugar yang berada pada permukaan sel. Pada umumnya P fimbriae yang
dapat menaglutinasi darah, berikatan dengan reseptor glikolipid antigen pada sel uroepithelial, eritrosit
(antigen terhadap P blood group) dan sel-sel tubulus renalis. Sedangkan fimbriae tipe 1 berikatan dengan sisa
mannoside pada sel uroepithelial3.

 Peranan Faktor Virulensi


Setelah fimbrae atau pili berhasil melekat pada sel uroepithelial (sel epitel saluran kemih), maka proses
selanjutnya dilakukan oleh faktor virulensi lainnya. Sebagian besar uropatogenik E.coli (UPEC) menghasilkan
hemolysin yang befungsi untuk menginisiasi invasi UPEC pada jaringan dan mengaktivasi ion besi bagi kuman
patogen (sekuestrasi besi). Keberadaan kaspsul K antigen dan O antigen pada bakteri yang menginvasi jaringan
saluran kemih melindungi bakteri dari proses fagositosis oleh neutrofil. Keadaan ini mengakibatkan UPEC dapat
lolos dari berbagai mekanisme pertahanan tubuh host. Beberapa penelitian terakhir juga mengatakan bahwa
banyak bakteri seperti E.coli Peranan Variasi Fase Faktor Virulensi

Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan bergantung dari respon faktor luar.
Konsep variasi MO ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi yang bervariasi di antara individu dan
lokasi saluran kemih. Oleh karena itu ketahanan hidup bakteri berbeda dalam vesika urinaria dan ginjal 1.

2.4.2 Peranan Faktor Tuan Rumah (host)


 Faktor Predisposisi Pencetus ISK
Menurut penelitian, status saluran kemih merupakan faktor risiko pencetus ISK. faktor bakteri dan status
saluran kemih pasien mempunyai peranan penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi
bakteri sering mengalami kambuh (eksaserbasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi saluran kemih.
Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan gangguan
proses klirens normal dan sangat peka terhadap infeksi 1.

Selain itu urin juga memiliki karakter spesifik (osmolalitas urin, konsentrasi urin, konsentrasi asam
organik dan pH) yang dapat menghambat pertumbuhan dan kolonisasi bakteri pada mukosa saluran kemih.
Menurut penelitian urin juga mengandung faktor penghambat perlekatan bakteri yakni Tamm-Horsfall
glycoprotein, dikatakan bahwa bakteriuria dan tingkat inflamasi di saluran kemih meningkat pada defisit THG.
THG membantu mengeliminasi infeksi bakteri pada saluran kemih dan berperan sebagai salah satu mekanisme
pertahanan tubuh3.

Retensi urin, stasis, dan refluks urin ke saluran cerna bagian atas juga dapat meningkatkan
pertumbuhan bakteri dan infeksi. Selain itu, abnormalitas anatomi dan fungsional saluran kemih yang dapat
menganggu aliran urin dapat meningkatkan kerentanan host terhadap ISK1,3. Keberadaan benda asing seperti
adanya batu, kateter, stent dapat membantu bakteri untuk bersembunyi dari mekanisme pertahanan host 3,9

 Status Imunologi Pasien


Lapisan epitel pada dinding saluran kemih mengandung membran yang melindungi jaringan dari infeksi dan
berkapasitas untuk mengenali bakteri dan mengaktivasi mekanisme pertahanan tubuh. Sel uroepithelial
mengekspresikan toll-like receptors

Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah dan status secretor mempunyai
kontribusi untuk kepekaan terhadap ISK. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan golongan darah AB, B
dan PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe golongan darah lewis1.

2.4.3 Cara Bakteri Menginvasi Saluran Kemih (bacterial entry)


Terdapat beberapa rute masuk bakteri ke saluran kemih. Pada umumnya, bakteri di area periuretra naik atau
secara ascending masuk ke saluran genitourinaria dan menyebabkan ISK 1,2,3 Sebagian besar kasus pielonefritis
disebabkan oleh naiknya bakteri dari kandung kemih, melalui ureter dan masuk ke parenkim ginjal. Kejadian ISK
oleh karena invasi MO secara ascending juga dipermudah oleh refluks vesikoureter. Pendeknya uretra wanita
dikombinasikan dengan kedekatannya dengan ruang depan vagina dan rektum merupakan predisposisi yang
menyebabkan perempuan lebih sering terkena ISK dibandingkan laki-laki 3,4

Penyebaran secara hematogen umumnya jarang, namun dapat terjadi pada pasien dengan
immunocompromised dan neonatus. Staphylococcus aureus, Spesies Candida, dan Mycobacterium tuberculosis
adalah kuman patogen yang melakukan perjalanan melalui darah untuk menginfeksi saluran kemih 2,3,4,9.

Penyebaran limfatogenous melalui dubur, limfatik usus, dan periuterine juga dapat menyebabkan
invasi MO ke saluran kemih dan mengakibatkan ISK. Selain itu, invasi langsung bakteri dari organ yang
berdekatan ke dalam saluran kemih seperti pada abses intraperitoneal, atau fistula vesicointestinal atau
vesikovaginal dapat menyebabkan ISK3.

2.5 Klasifikasi
Berdasarkan letak anatomi, ISK digolongkan menjadi:

 Infeksi Saluran Kemih Atas


Infeksi saluran kemih atas terdiri dari pielonefritis dan pielitis. Pielonefritis terbagi menjadi pielonefritis akut
(PNA) dan pielonefritis kronik (PNK). Istilah pielonefritis lebih sering dipakai dari pada pielitis, karena infeksi
pielum (pielitis) yang berdiri sendiri tidak pernah ditemukan di klinik 4.

Pielonefritis akut (PNA) adalah radang akut dari ginjal, ditandai primer oleh radang jaringan interstitial
sekunder mengenai tubulus dan akhirnya dapat mengenai kapiler glomerulus, disertai manifestasi klinik dan
bakteriuria tanpa ditemukan kelainan radiologik. PNA ditemukan pada semua umur dan jenis kelamin
walaupun lebih sering ditemukan pada wanita dan anak-anak. Pada laki-laki usia lanjut, PNA biasanya disertai
hipertrofi prostat.

Pielonefritis Kronik (PNK) adalah kelainan jaringan interstitial (primer) dan sekunder mengenai tubulus dan
glomerulus, mempunyai hubungan dengan infeksi bakteri (immediate atau late effect) dengan atau tanpa
bakteriuria dan selalu disertai kelainan-kelainan radiologi. PNK yang tidak disertai bakteriuria disebut PNK fase
inaktif. Bakteriuria yang ditemukan pada seorang penderita mungkin berasal dari pielonefritis kronik fase aktif
atau bakteriuria tersebut bukan penyebab dari pielonefritis tetapi berasal dari saluran kemih bagian bawah
yang sebenarnya tidak memberikan keluhan atau bakteriuria asimtomatik. Jadi diagnosis PNK harus
mempunyai dua kriteria yakni telah terbukti mempunyai kelainan-kelainan faal dan anatomi serta kelainan-
kelainan tersebut mempunyai hubungan dengan infeksi bakteri. Dari semua faktor predisposisi ISK,
nefrolithiasis dan refluks vesiko ureter lebih memegang peranan penting dalam patogenesis PNK. Pielonefritis
kronik mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Pada PNK juga
sering ditemukan pembentukan jaringan ikat parenkim 1.

 Infeksi Saluran Kemih Bawah


Infeksi saluran kemih bawah terdiri dari sistitis, prostatitis dan epidimitis, uretritis, serta sindrom uretra.
Presentasi klinis ISKB tergantung dari gender. Pada perempuan biasanya berupa sistitis dan sindrom uretra
akut, sedangkan pada laki-laki berupa sistitis, prostatitis, epidimitis, dan uretritis.

Sistitis terbagi menjadi sistitis akut dan sistitis kronik. Sistitis akut adalah radang selaput mukosa kandung
kemih (vesika urinaria) yang timbulnya mendadak, biasanya ringan dan sembuh spontan ( self-limited disease)
atau berat disertai penyulit ISKA (pielonefritis akut). Sistitis akut termasuk ISK tipe sederhana ( uncomplicated
type). Sebaliknya sistitis akut yang sering kambuh (recurrent urinary tract infection) termasuk ISK tipe
berkomplikasi (complicated type), ISK jenis ini perlu perhatian khusus dalam pengelolaannya.

Sistitis kronik adalah radang kandung kemih yang menyerang berulang-ulang (recurrent attact of cystitis)
dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan atau penyulit dari saluran kemih bagian atas dan ginjal. Sistitis
kronik merupakan ISKB tipe berkomplikas, dan memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor
predisposisi4.

Sindrom uretra akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme (steril), sering
dinamakan sistitis abakterialis karena tidak dapat diisolasi mikroorganisme penyebabnya. Penelitian terkini
menunjukkan bahwa SUA disebabkan oleh MO anaerobik.

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis ISK (simtomatologi ISK) dibagi menjagi gejala-gejala lokal, sistemik dan perubahan urinalisis.
Dalam praktik sehari-hari gejala cardinal seperti disuria, polakisuria, dan urgensi sering ditemukan pada hampr
90% pasien rawat jalan dengan ISK akut4.

Tabel 2.5 Simtomatologi ISK

Lokal Sistemik

 Disuria  Panas badan sampai menggigil


 Polakisuria  Septicemia dan syok
 Stranguria
 Tenesmus
 Nokturia Perubahan urinalisis
 Enuresis nocturnal
 Prostatismus  Hematuria
 Inkontinesia  Piuria
 Nyeri uretra  Chylusuria
 Nyeri kandung kemih  Pneumaturia
 Nyeri kolik
 Nyeri ginjal

Manifestasi klinik pada infeksi saluran kemih atas dan infeksi saluran kemih bawah pada pasien dewasa
dapat dilihat pada gambar berikut:

Pada pielonefritis akut (PNA), sering ditemukan panas tinggi (39.5°C-40,5°C), disertai menggigil dan
sakit pinggang1. Pada pemeriksaan fisik diagnostik tampak sakit berat, panas intermiten disertai menggigil dan
takikardia. Frekuensi nadi pada infeksi E.coli biasanya 90 kali per menit, sedangkan infeksi oleh kuman
staphylococcus dan streptococcus dapat menyebabkan takikardia lebih dari 140 kali per menit. Ginjal sulit
teraba karena spasme otot-otot. Distensi abdomen sangat nyata dan rebound tenderness mungkin juga
ditemukan, hal ini menunjukkan adanya proses dalam perut, intra peritoneal. Pada PNA tipe sederhana
(uncomplicated) lebih sering pada wanita usia subur dengan riwayat ISKB kronik disertai nyeri pinggang ( flank
pain), panas menggigil, mual, dan muntah. Pada ISKA akut (PNA akut) tipe complicated seperti obastruksi,
refluks vesiko ureter, sisa urin banyak sering disertai komplikasi bakteriemia dan syok, kesadaran menurun,
gelisah, hipotensi hiperventilasi oleh karena alkalosis respiratorik kadang-kadang asidosis metabolik.

Pada pielonefritis kronik (PNK), manifestasi kliniknya bervariasi dari keluhan-keluhan ringan atau tanpa
keluhan dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan urin rutin. Presentasi klinik PNK dapat berupa proteinuria
asimtomatik, infeksi eksaserbasi akut, hipertensi, dan gagal ginjal kronik (GGK).

Manifestasi klinik pada sistitis akut dapat berupa keluhan-keluhan klasik seperti polakisuria, nokturia,
disuria, nyeri suprapubik, stranguria dan tidak jarang dengan hematuria. Keluhan sistemik seperti panas
menggigil jarang ditemukan, kecuali bila disertai penyulit PNA. Pada wanita, keluhan biasanya terjadi 36-48 jam
setelah melakukan senggama, dinamakan honeymoon cystitis. Pada laki-laki, prostatitis yang terselubung
setelah senggama atau minum alkohol dapat menyebabkan sistitis sekunder 1,4.

Pada sistitis kronik, biasanya tanpa keluhan atau keluhan ringan karena rangsangan yang berulang-
ulang dan menetap. Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan nyeri tekan di daerah pinggang, atau teraba
suatu massa tumor dari hidronefrosis dan distensi vesika urinaria.

Manifestasi klinis sindrom uretra akut (SUA) sulit dibedakan dengan sistitis. Gejalanya sangat miskin,
biasanya hanya disuri dan sering kencing1.

2.7 Pemeriksaan Penunjang Diagnosis


2.7.1 Analisis urin rutin
Pemeriksaan analisa urin rutin terdiri dari pH urin, proteinuria (albuminuria), dan pemeriksaan mikroskopik
urin.
Urin normal mempunyai pH bervariasi antara 4,3-8,0. Bila bahan urin masih segar dan pH >8 (alkalis)
selalu menunjukkan adanya infeksi saluran kemih yang berhubungan dengan mikroorganisme pemecah urea
(ureasplitting organism). Albuminuria hanya ditemukan ISK. Sifatnya ringan dan kurang dari 1 gram per 24 jam.

Pemeriksaan mikroskopik urin terdiri dari sedimen urin tanpa putar (100 x) dan sedimen urin dengan
putar 2500 x/menit selama 5 menit. Pemeriksaan mikroskopik dengan pembesaran 400x ditemukan bakteriuria
>105 CFU per ml. Lekosituria (piuria) 10/LPB hanya ditemukan pada 60-85% dari pasien-pasien dengan
bakteriuria bermakna (CFU per ml >10 5). Kadang-kadang masih ditemukan 25% pasien tanpa bakteriuria. Hanya
40% pasien-pasien dengan piuria mempunyai bakteriuria dengan CFU per ml >10 5. Analisa ini menunjukkan
bahwa piuria mempunyai nilai lemah untuk prediksi ISK.

2.7.2 Uji Biokimia


Uji biokimia didasari oleh pemakaian glukosa dan reduksi nitrat menjadi nitrit dari bakteriuria terutama
golongan Enterobacteriaceae. Uji biokimia ini hanya sebagai uji saring (skrinning) karena tidak sensitif, tidak
spesifik dan tidak dapat menentukan tipe bakteriuria.

2.7.3 Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan Colony Forming Unit (CFU) ml urin. Indikasi CFU per ml antara lain
pasien-pasien dengan gejala ISK, tindak lanjut selama pemberian antimikroba untuk ISK, pasca kateterisasi, uji
saring bakteriuria asimtomatik selama kehamilan, dan instrumentasi. Bahan contoh urin harus dibiakan lurang
dari 2 jam pada suhu kamar atau disimpan pada lemari pendingin. Bahan contoh urin dapat berupa urin tengah
kencing (UTK), aspirasi suprapubik selektif.

Interpretasi sesuai dengan kriteria bakteriura patogen yakni CFU per ml >10 5 (2x) berturut-turut dari UTK,
CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai lekositouria > 10 per ml tanpa putar, CFU per ml >10 5 (1x) dari UTK
disertai gejala klinis ISK, atau CFU per ml >10 5 dari aspirasi supra pubik. Menurut kriteria Kunin yakni CFU per
ml >105 (3x) berturut-turut dari UTK..

2.7.4 Renal Imaging Procedures


Renal imaging procedures digunakan untuk mengidentifikasi faktor predisposisi ISK, yang biasa digunakan
adalah USG, foto polos abdomen, pielografi intravena, micturating cystogram dan isotop scanning. Investigasi
lanjutan tidak boleh rutin tetapi harus sesuai indikasi antara lain ISK kambuh, pasien laki-laki, gejala urologik
(kolik ginjal, piuria, hematuria), hematuria persisten, mikroorganisme jarang (Pseudomonas spp dan Proteus
spp), serta ISK berulang dengan interval ≤6 minggu.

2.8 Terapi
2.8.1 Infeksi saluran kemih atas (ISKA)
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut (PNA) memerlukan rawat inap untuk memelihara status
hidrasi dan terapi antibiotik parenteral minimal 48 jam. Indikasi rawat inap pada PNA antara lain kegagalan
dalam mempertahankan hidrasi normal atau toleransi terhadap antibiotik oral, pasien sakit berat, kegagalan
terapi antibiotik saat rawat jalan, diperlukan investigasi lanjutan, faktor predisposisi ISK berkomplikasi, serta
komorbiditas seperti kehamilan, diabetes mellitus dan usia lanjut.
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternative terapi antibiotic IV
sebagai terapi awal selama 48-72 jam, sebelum adanya hasil kepekaan biakan yakni fluorokuinolon,
amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan sefalosporin spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.

2.8.2 Infeksi saluran kemih bawah (ISKB)


Prinsip manajemen ISKB adalah dengan meningkatkan intake cairan, pemberian antibiotik yang adekuat, dan
kalau perlu terapi simtomatik untuk alkanisasi urin dengan natrium bikarbonat 16-20 gram per hari

Pada sistitis akut, antibiotika pilihan pertama antara lain nitrofurantoin, ampisilin, penisilin G, asam
nalidiksik dan tetrasiklin. Golongan sulfonamid cukup efektif tetapi tidak ekspansif. Pada sistitis kronik dapat
diberikan nitrofurantoin dan sulfonamid sebagai pengobatan permulaan sebelum diketahui hasil
bakteriogram4.

2.9 Komplikasi
Komplikasi ISK bergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana (uncomplicated) dan ISK tipe berkomplikasi
(complicated).

2.9.1 ISK sederhana (uncomplicated)


ISK akut tipe sederhana yaitu non-obstruksi dan bukan pada perempuan hamil pada umumnya merupakan
penyakit ringan (self limited disease) dan tidak menyebablan akibat lanjut jangka lama.

2.9.2 ISK tipe berkomplikasi (complicated)


ISK tipe berkomplikasi biasanya terjadi pada perempuan hamil dan pasien dengan diabetes mellitus. Selain itu
basiluria asimtomatik (BAS) merupakan risiko untuk pielonefritis diikuti penurun laju filtrasi glomerulus (LFG).

Abses perinefritik merupakan komplikasi ISK pada pasien DM (47%), nefrolitiasis (41%), dan obstruksi
ureter (20%).

2.10 Prognosis
Prognosis pasien dengan pielonefritis akut, pada umumnya baik dengan penyembuhan 100% secara klinik
maupun bakteriologi bila terapi antibiotika yang diberikan sesuai. Bila terdapat faktor predisposisi yang tidak
diketahui atau sulit dikoreksi maka 40% pasien PNA dapat menjadi kronik atau PNK. Pada pasien Pielonefritis
kronik (PNK) yang didiagnosis terlambat dan kedua ginjal telah mengisut, pengobatan konservatif hanya
semata-mata untuk mempertahankan faal jaringan ginjal yang masih utuh. Dialisis dan transplantasi dapat
merupakan pilihan utama.

Prognosis sistitis akut pada umumnya baik dan dapat sembuh sempurna, kecuali bila terdapat faktor-
faktor predisposisi yang lolos dari pengamatan. Bila terdapat infeksi yang sering kambuh, harus dicari faktor-
faktor predisposisi. Prognosis sistitis kronik baik bila diberikan antibiotik yang intensif dan tepat serta faktor
predisposisi mudah dikenal dan diberantas.

3. INFEKSI SALURAN KEMIH PADA ANAK


 Defenisi
ISK adalah keadaan adanya infeksi (pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri)
dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung
kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna

 Epidemiologi

 ISK dapat terjadi pada 5% anak perempuan dan 1-2% anak laki-laki.

 Kejadian ISK pada bayi baru lahir dengan berat lahir rendah mencapai 10-100
kali lebih besar dibanding bayi dengan berat lahir normal (0,1-1%).

 Sebelum usia 1 tahun, ISK lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.
Sedangkan setelahnya, sebagian besar ISK terjadi pada anak perempuan.

 Rasio ini terus meningkat sehingga di usia sekolah, kejadian ISK pada anak
perempuan 30 kali lebih besar dibanding pada anak laki-laki.

 Dan pada anak laki-laki yang disunat, risiko ISK menurun hingga menjadi 1/5-
1/20 dari anak laki-laki yang tidak disunat.

 Etiologi dan faktor risiko

 Escherichia coli adalah penyebab paling umum pada anak-anak, hingga 80%. Pada
bayi baru lahir (0-28 hari), infeksi diperantarai oleh aliran darah. Sedangkan setelah
usia itu, ISK umumnya terjadi dengan naiknya bakteri ke saluran kemih.

 Staphylococcus saprophyticus

 Proteus mirabilis. Selain menyebabkan infeksi, bakteri ini mengeluarkan zat yang
dapat memfasilitasi pembentukan batu di saluran kemih.

 Mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan ISK adalah beberapa bakteri yang
umumnya menginfeksi saluran cerna dan Candida albicans, jamur yang umumnya
menginfeksi pasien dengan kateter (kateter : semacam selang) pada saluran kemihnya,
kekebalan tubuh yang rendah, diabetes mellitus, atau pasien dalam terapi antibiotik.
Sebagian besar ISK tidak dihubungkan dengan faktor risiko tertentu. Namun pada
ISK berulang, perlu dipikirkan kemungkinan faktor risiko seperti :

 Kelainan fungsi atau kelainan anatomi saluran kemih

 Gangguan pengosongan kandung kemih (incomplete bladder emptying)

 Konstipasi

 Operasi saluran kemih

 Kekebalan tubuh yang rendah

 Patofisiologi dan patogenesis

 Setelah lahir, area periuretra, termasuk uretra bagian distal, menjadi tempat
kolonisasi mikroorganisme aerob dan anaerob yang berfungsi sebagai barier
pertahanan terhadap kolonisasi kuman patogen saluran kemih. Pada anak yang
lebih kecil, enterobacteria dan enterococcus merupakan flora normal di
saluran kemih. Eschericia coli merupakan bakteri gram negatif yang dominan
pada anak perempuan, sedangkan E coli dan Proteus sp pada anak laki-laki.
Anak balita sering terkena ISK karena kolonisasi periuretra oleh E coli,
enterococci, dan Proteus sp. Pada umumnya kuman patogen ini ditemukan
pada tahun pertama kehidupan dan jarang didapatkan setelah >5 tahun.

 Hampir semua ISK menyebar secara asendens. Gangguan dari flora periuretra
normal, yang merupakan bagian dari pertahanan tubuh melawan kolonisasi
bakteri patogen, mempermudah terjadinya ISK. Bakteri dari flora periuretra
berada di distal uretra, tetapi urine normal berada dalam keadaan steril di
proksimal uretra, kandung kemih, dan bagian proksimal lainnya pada saluran
kemih. Kuman patogen saluran kencing dapat mencapai kandung kemih dan
berkembang biak bila infeksi terjadi. Bakteri patogen tersebut berada di distal
uretra dan mungkin dapat mencapai kandung kemih sebab aliran turbulen
urine pada saat berkemih yang normal atau karena ketidakmampuan berkemih.
Kolonisasi di kandung kemih yang berhasil tak terjadi bila mekanisme
pertahanannya tak terganggu karena buang air kecil normalnya dapat
membersihkan kontaminasi bakteri secara lengkap.

 Manifestasi klinis

Gejala bervariasi sesuai usia.

 Anak baru lahir-2 bulan : sering tak ada gejala di saluran kemih. ISK
ditemukan dengan adanya sepsis neonatus, kuning berkepanjangan, gagal
tumbuh, tak mau menyusu.

 Anak 2 bulan - 2 tahun :Bayi dan anak-anak pada usia ini memiliki gejala
demam yang tidak diketahui sebabnya ( >38oC). Usia ini memiliki resiko
tinggi luka pada ginjal dibanding usia yang lebih tua, karena tanda yang
kurang menyebabkan keterlambatan pengobatan dengan antibiotik. Aturan 3
hari dapat membantu untuk mencegah hal tersebut terjadi. Contohnya jangan
hanya mengawasi bayi atau anak-anak dengan febris 3 hari yang tak diketahui
sebabnya tanpa pemeriksaan urine untuk evaluasi infeksi. Bayi sering
mendapat demam dan gejala lainnya, seperti rewel, tak mau menyusu, nyeri
perut, muntah dan diare.

 Anak dengan usia 1-2 tahun datang dengan gejala sugestif sistitis akut. Gejala
biasanya menangis saat berkemih atau kencing yang berbau busuk tanpa
adanya demam (suhu <38oc).

 Anak usia 2-6 tahun :Pada kelompok dengan demam ISK sering memiliki
gejala sistemik yaitu tak nafsu makan; rewel dan nyeri pada perut, panggul
dan punggung dengan atau tanpa kelainan berkemih.Pasien dengan sistitis akut
memiliki gejala berkemih dengan sedikit atau tanpa peningkatan suhu.
Disfungsi berkemih termasuk urgensi, frekuensi, hesistensi, disuria dan
inkontinensia urine.Nyeri suprapubis atau perut dapat ditemukan dan adanya
bau busuk pada urine.

 Anak usia lebih tua dan adolesen: Sering mengenai saluran bagian bawah,
tetapi pyelonefritis akut masih mungkin. Gejalanya mirip pada anak usia 2-6
tahun.
 Pemeriksaan penunjang

 Kultur : Kultur yang negatif akan menyingkirkan diagnosis ISK. Sedangkan


pada kultur yang positif, proses pengambilan contoh urin harus diperhatikan.
Jika kultur positif berasal dari aspirasi suprapubik atau kateterisasi, maka hasil
tersebut dianggap benar. Namun jika kultur positif diperoleh dari kantung
penampung urin, perlu dilakukan konfirmasi dengan kateterisasi atau aspirasi
suprapubik.

Kultur urine dilakukan dengan wadah yang steril yang melekat di daerah
perineal, yang tak menunjukkan pertumbuhan atau sangat sedikit (<10000
style="">Colony-forming unit[CFU]/ml), menjadi bukti yang kuat tak adanya
ISK.

 Urinalisis : Komponen urinalisis yang paling penting dalam ISK adalah


esterase leukosit, nitrit, dan pemeriksaan leukosit dan bakteri mikroskopik.
Namun tidak ada komponen urinalisis yang dapat menggantikan pentingnya
kultur sehingga kultur tetap merupakan keharusan untuk mendiagnosis ISK.

 penatalaksanaan

Pyelonefritis akut :

 anak dengan pyeloneritis akut umumnya memerlukan cairan oral atau parenteral
dan antipiretik, sesegera terapi antibakteri. Asupan yang sesuai adalah 1-1,5X
kebutuhan rumatan biasa. Pada penyakit yang lebih ringan dapat diberikan
ccairan parenteral, pemberian antibakteri dan dapat dirawat di rumah. Pada
keadaan yang lebih berat seringnya perlu perawatan lebih.

Perawatan khusus pada anak dengan pyelonefritis akut yang terkomplikasi.

 Penyediaan cairan parenteral yang sesuai, umumnya 1-1,5x dari rumatan


biasanya.
 Pengobatan dengan cephalosporin generasi ketiga, ceftriaxone, atau cefotaxime.
Tambahkan ampicillin bila terdapat kokus gram positif dalam sedimen urine
atau bila tak ditemukan kuman. Gentamicin sebagai pilihan lain pada bayi
cukup bulan yang >7 hari, anak yang lebih dewasa dan adolesen yang alergi
cephalosporin. Monitor fungsi ginjal dan kadar aminoglikosida darah bila
pengobatan ini berlanjut lebih dari 48-72 jam.

 Kultur urine dan tes sensitivitas dapat dilakukan pada 48 jam. Bila kuman
pathogen sensitif terhadap antibiotik yang digunakan, lanjutkan terapi dengan
rute parenteral hingga ada perbaikan klinis dan afebril setelah 24-36 jam.
Antibiotik oral yang efektif melawan organisme yang menginfeksi kemudian
digantikan dengan antiobiotik parenteral. Lanjutan terapi antibiotik oral kira-
kira untuk 10 hari setelah terapi parenteral berakhir. Lalu dilanjutkan dengan
terapi antibiotik untuk mencegah reinfeksi, diteruskan minimal hingga
dilakukan VCUG.

Table 3. Antibiotic agents for oral treatment of UTI

Antibacterial Agent Daily Dose and Interval

Sulfisoxazole 120-150 mg/kg, divided q4-6h

Trimethoprim/sulfamethoxazol 6-12 mg/kg TMP, 30-60 mg/kg SMX,


e divided q12h

Amoxicillin* 20-40 mg/kg, divided q8h

Cephalexin 20-50 mg/kg, divided q6h

Cefixime 8 mg/kg, divided q12-24h

Cefpodoxime 10 mg/kg, divided q12h


Loracarbef 15-30 mg/kg, divided q12h

Nitrofurantoin† 5-7 mg/kg, divided q6h

Pada beberapa komunitas, sebagian besar strain e. Coli resisten terhadap


amoxicillin

Nitrofurantoin mungkin dapat digunakan untuk mengobati ISK
bawah, tapi karena rendahnya daya penetrasi ke jaringan,
nitrofurantoin tak sesuai untuk infeksi ginjal.

o Table 4. Obat antibiotik untuk mencegah reinfeksi.

Agent Single Daily Dose

Nitrofurantoin* 1-2 mg/kg

Trimethoprim/sulfamethoxazole* 1-2 mg/kg TMP, 5-10 mg/kg SMX

Trimethoprim 1-2 mg/kg

 Jangan gunakan nitrofurantoin dan sulfa pada bayi <>

Penanganan anak dengan sistitis akut

 Anak dengan sistitis akut biasanya tidak memerlukan perawatan medis khusus,
selain terapi antibiotik yang sesuai dan menilai kembali frekuensi urine dan
masalah inkontinensia. Pada keadaan tertentu, analgesik diperlukan untuk
disuria atau spasme kandung kemih yang berat.

 Bila respon klinis tak bagus setelah 2-3 hari, penggantian terapi mungkin
diperlukan. Dan bila memuaskan, terapi tak perlu diganti, walaupun data
laboratorium menunjukkan bahwa bakteri tak sesuai dengan antibiotik yang
digunakan.
 Diikuti selama 5-7 hari untuk mengikuti gejala klinis dan mengevaluasi ulang
urinenya. Secara umum, terapi antibiotik selama 5-7 hari cukup untuk anak
dengan sistitis akut. Dosis tunggal dapat digunakan pada perempuan remaja
dengan sistitis akut. Terapi dosis tungal biasanya dapat menggunakan
amoxicillin (3gr) atau trimethroprim/sulfamethoxazole (320mg/1600mg, 2
tablet kekuatan ganda).

 Berendam di air hangat selama 20-30 menit, 3-4 x per hari, sering meringankan
gejala. Dan penggunaan analgesik sistemik dengan asetaminofen atau
analgesik di kandung kemih dengan phenazopyridine hydrochloride
(Pyridium) dapat sangat membantu, dan tak boleh digunakan lebih dari 48 jam
because resiko methemoglobinemi, anemia hemolitik, dan efek samping lain.

 Pasien dengan ketidaknyamanan berkemih berat dapat diperingan dengan


pemberian belladona dan opium suppositoria rektal yang sesuai. Tak boleh
digunakan lebih dari 4 kali sehari dan tak lebih dari 2 hari.

Pada anak 2 bulan – 2 tahun dengan kecurigaan ISK dan tampak sakit berat, antibiotik
dapat diberikan secara parenteral. Perawatan di rumah sakit diindikasikan jika ada gejala
sepsis atau bakteremia. Sebagian pihak mengindikasikan perawatan di rumah sakit dan
pemberian antibiotik parenteral pada anak di bawah 6 bulan.

Sedangkan pada anak yang tidak tampak sakit berat, antibiotik yang diberikan
umumnya per oral (diminum). Beberapa antibiotik yang dapat digunakan adalah :

 Amoxicillin 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Sekitar 50% bakteri penyebab ISK
resisten terhadap amoxicillin. Namun obat ini masih dapat diberikan pada ISK
dengan bakteri yang sensitif terhadapnya.

 Co-trimoxazole atau trimethoprim 6-12 mg trimethoprim/kg/hari dalam 2 dosis.


Sebagian besar ISK akan menunjukkan perbaikan dengan cotrimoxazole.
Penelitian menunjukkan angka kesembuhan yang lebih besar pada pengobatan
dengan cotrimoxazole dibandingkan amoxicillin.

 Cephalosporin seperti cefixime atau cephalexin. Cephalexin kira-kira sama


efektif dengan cotrimoxazole, namun lebih mahal dan memiliki spectrum luas
sehingga dapat mengganggu bakteri normal usus atau menyebabkan
berkembangnya jamur (Candida sp.) pada anak perempuan.
 Co-amoxiclav digunakan pada ISK dengan bakteri yang resisten terhadap
cotrimoxazole. Harganya juga lebih mahal dari cotrimoxazole atau cephalexin.

 Obat-obatan seperti asam nalidiksat atau nitrofurantoin tidak digunakan pada


anak-anak yang dikhawatirkan mengalami keterlibatan ginjal pada ISK. Selain
itu nitrofurantoin juga lebih mahal dari cotrimoxazole dan memiliki efek
samping seperti mual dan muntah.

Lama pemberian antibiotik pada ISK umumnya adalah 7 hari pada infeksi akut.
Walaupun ada pihak yang menganjurkan 10-14 hari, namun pemberian dalam waktu
sepanjang itu memberikan kemungkinan lebih besar untuk terjadinya resistensi, gangguan
bakteri normal di usus dan vagina, dan menyebabkan candidiasis.

Pemberian antibiotik dalam jangka waktu pendek (<5>

Sedangkan pengobatan parenteral umumnya dilakukan dengan cephalosporin seperti


ceftriaxone 75 mg/kg setiap 24 jam. Sebagian pihak memilih gentamicin 7.5 mg/kg per 24
jam dan benzylpenicillin 50 mg/kg per 6 jam untuk anak di atas 1 bulan

Selain antibiotik, pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi gejala


contohnya adalah penurun demam jika diperlukan. Obat-obatan lain yang pada orang dewasa
digunakan untuk ISK, umumnya tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak-anak.

Jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari setelah pengobatan, contoh urin harus kembali
diambil dan diperiksa ulang. Kultur ulang setelah 2 hari pengobatan umumnya tidak
diperlukan jika diperoleh perbaikan dan bakteri yang dikultur sebelumnya sensitif terhadap
antibiotik yang diberikan. Jika sensitivitas bakteri terhadap antibiotik yang diberikan atau
tidak dilakukan tes sensitivitas/resistensi sebelumnya, maka kultur ulang dilakukan setelah 2
hari pengobatan.

Pencegahan:

 Hindari penggunaan antibiotik spektrum luas (cth. Amoxicillin, cephalexin),


yang dapat melemahkan pertahanan alami melawan kolonisasi.

 Atasi konstipasi bila pasien terdapat disfungsi berkemih yang terkait dengan
pelebaran kronik rektum dengan feses.
 Bila disfungsi berkemih menjadi faktor pencetus, perintahkan pasien untuk
kencing secara teratur.

 Pertimbangkan khitan pada neonatus laki-laki.

 Komplikasi dan prognosis

Komplikasi:

 Reaksi alergi merupakan resiko terapi antibiotik.

 Anak dengan pielonefritis akut dapat berkembang menjadi inflamasi lobus ginjal
atau abses ginjal.

 Inflamasi parenkim ginjal dapat mengawali pembentukan jaringan parut.

 Komplikasi jangka panjang dari pielonefritis akut adalah hipertensi, fungsi ginjal
terganggu, ESRD dan komplikasi terhadap kehamilan (cth. ISK, hipertensi pada
kehamilan, BBLR).

Prognosis:

Kerusakan ginjal pada komplikasi jangka panjang sebagai konsekuensi dari ISK
kadang-kadang ditemukan di awal abad ke-20, ketika pielonefritis akut menjadi sebab
sering hipertensi dan ESRD pada perempuan muda. Hipertensi, fungsi ginjal
terganggu, ESRD sekarang sering didapatkan pada bayi dengan kerusakan ginjal
intrauterine. Anak dengan resiko komplikasi ini biasanya ditemukan dengan USG
saluran kemih yang menunjukkan hidronefrosis. Penelitian pada neonatus
menyebutkan bahwa kerusakan ginjal terkait dengan obstruksi di saluran keluar
kandung kemih atau hidronefrosis non obstruktif karena VUR yang berat. Anak ini
mungkin mendapat tambahan kerusakan ginjal sebagai hasil dari infeksi, tetapi ISK
bukan faktor utama penyebab komplikasi renal.

 ISK bawah : kompentensi 4A


4. Vaginosis Bakterial

Definisi

Vaginosis bakterial merupakan salah satu keadaan yang


berkaitan dengan adanya keputihan yang tidak normal pada wanita usia
reproduksi. VB merupakan sindrom polimikroba , yang mana
laktobasilus vagina normal, khususnya yang menghasilkan hidrogen
peroksidase digantikan oleh berbagai bakteri anaerob dan mikoplasma.
Bakteri yang sering ada pada VB adalah G. vaginalis, Mobiluncus sp,
Bacteroides sp dan M. hominis.

Epidemiologi

Menentukan prevalensi VB sulit karena sepertiga sampai seperempat

wanita yang terinfeksi bersifat asimptomatik. VB merupakan infeksi vagina

yang paling sering pada wanita yang aktif melakukan hubungan seksual,

penyakit ini dialami pada 15% wanita yang mendatangi klinik ginekologi, 10-

11,12
25% wanita hamil dan 33-37% wanita yang mendatangi klinik IMS.

Prevalensi VB juga sangat bervariasi, dikarenakan kriteria diagnostik yang

berbeda serta perbedaan dalam sampel populasi klinik, beberapa penelitian

nasional telah dilakukan di Amerika serikat, prevalensi VB yang dilaporkan

oleh National Health and Nutrition Survey (NHAES) yang menegakkan VB

melalui kriteria Nuggent menemukan dari 12.000 pasien yang dikumpulkan,

prevalensi VB sebesar 29, 2% dan ditemukan prevalensi 3,13 kali lebih tinggi

pada Afro Amerika, Afrika dan Afro karibia dibandingkan dengan kulit

putih. Penelitian yang dilakukan Bhalla dan kawan- kawan (2007)


menyatakan prevalensi VB pada wanita di New Delhi India sebesar 17%,
sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ocviyanti dan kawan – kawan
(2010) menyatakan prevalensi VB di Indonesia sebesar 30, 7%.

Faktor – faktor resiko

Beberapa faktor diketahui merupakan faktor resiko terjadinya VB,


yaitu :

1. Aktivitas seksual

Dikatakan VB lebih jarang pada wanita paskapubertas tanpa


pengalaman seksual dibandingkan yang mempunyai pengalaman seksual.
Amsel dan kawan- kawan menemukan pada wanita tanpa pengalaman
seksual tidak menderita VB dari 18 orang yang diperiksa, sedangkan pada
wanita yang mempunyai pengalaman seksual didapatkan sebanyak 69 (24%)
menderita VB.Studi kohort longitudinal memberikan bukti bahwa wanita
yang memiliki banyak pasangan seksual pria pasangan seksual pria dalam 12
bulan terakhir berkaitan dengan terjadinya vaginosis bakterial. VB juga
meningkat pada wanita yang melakukan hubungan seksual dengan wanita
(women sex women/WSW ) dan berkaitan dengan wanita yang memiliki satu
atau lebih pasangan seksual wanita dalam 12 bulan terakhir Studi pada
lesbian memberikan bukti lebih jauh tentang peranan hubungan seksual
dalam penularan VB. Sekitar 101 lesbian yang mengunjungi klinik ginekologi
sebesar 29 % menderita VB begitu juga pasangan seksualnya. Kemungkinan
wanita menderita VB hampir 20 kali, jika pasangannya juga menderita VB.
Patogenesis terjadinya VB pada WSW ini masih belum jelas. Salah satu
penjelasan yang mungkin adalah adanya persamaan antara bakteri
anaerob yang berkaitan dengan gingivitis dan VB. Kebiasaan seksual
melalui anus dikatakan juga memegang peranan dalam terjadinya VB,
transfer perineal atau bakteri pada rektum ke vagina, telah diketahui
menjadi konsekuensi pada hubungan seksual melalui anal. Bakteri yang
sering, yaitu Echerria coli dan Streptococcus , dan hal ini memungkinkan
bahwa VB dapat ditimbulkan atau dicetuskan oleh hubungan seksual yang
tidak terlindungi , sehingga terjadi translokasi bakteri dari rektum ke
vagina.

2. Douching

Faktor epidemiologi lain juga penting dalam terjadinya VB. Studi


kohort terbaru dari 182 wanita menunjukkan terjadinya VB tidak hanya
berhubungan dengan pasangan seksual baru, tetapi juga berhubungan
dengan penggunaan douching vagina. Pemakaian douching vagina yang
merupakan produk untuk menjaga hiegene wanita bisa menyebabkan VB.
Kebiasaan douching dikatakan dapat merubah ekologi vagina, penelitian yang
dilakukan oleh Onderdonk dan kawan – kawan menyatakan douches yang
mengandung povidon iodine lebih mepunyai efek penghambatan terhadap
laktobasilus vagina dibandingkan yang mengandung air garam atau asam
asetat.

3. Merokok
Merokok dikatakan berkaitan dengan VB dan penyakit IMS lainnya,
dari penelitian yang dilakukan di Inggris dan Swedia, dikatakan merokok
dapat menekan sistem imun, sehingga memudahkan terjadinya infeksi
serta dapat menekan pertumbuhan laktobasilus yang menghasilkan
14,15
hidrogen peroksidase. Mekanisme lain yang menghubungkan antara
merokok dan VB adalah, dikatakan rokok mengandung berbagai zat kimia,
nikotin, kotinin, dan benzopirenediolepoxide, yang mana zat – zat kimia ini
ada pada cairan mukosa servik perokok dan secara langsung dapat
merubah mikroflora vagina atau merusak sel langerhan pada epitel servik
yang menyebabkan terjadinya imunosupresi lokal.

Penelitian yang dilakukan oleh Smart dan kawan – kawan (2003)


menyatakan resiko terjadinya VB sebanding dengan jumlah rokok yang
dihisap tiap hari, yang mana jika jumlah rokok yang dihisap makin banyak
(> 20 batang/perhari) maka resiko terkena VB juga makin besar.

4. Pengunaan AKDR

Amsel dkk, dan Holst dkk menemukan VB lebih sering ditemukan


pada wanita yang menggunakan AKDR dibandingkan yang tidak
menggunakannya (18,8 % vs 5,4% dengan p <0,0001 dan 35 % vs 16 %
dengan p <0,03). Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh Avonts dan
kawan –kawan melaporkan BV meningkat diantara pengguna AKDR
dibandingkan kontrasepsi oral hal ini mungkin disebabkan oleh bagian
ekor dari AKDR yang ada pada endoservik atau vagina menyebabkan
lingkungan untuk berkembangnya bakteri anaerob dan G.vaginalis , yang
mungkin memegang peranan dalam terjadinya VB pada wanita yang
menggunakan AKDR.

Etiologi

Ekosistem vagina normal sangat komplek, laktobasilus merupakan


spesies bakteri yang dominan (flora normal) pada vagina wanita usia
subur, tetapi ada juga bakteri lain yaitu bakteri aerob dan anaerob. Pada
saat VB muncul, terdapat pertumbuhan berlebihan dari beberapa spesies
bakteri, dimana dalam keadaan normal ditemukan dalam konsentrasi
rendah. Oleh karena itu VB dikategorikan sebagai salah satu infeksi
endogen saluran reproduksi wanita. Diketahui ada 4 kategori dari bakteri
vagina yang berkaitan dengan VB, yaitu : G.vaginalis, bakteri anaerob, M.
hominis dan mikroorganisme lainnya.

1. G. vaginalis
G. vaginalis merupakan bakteri berbentuk batang gram negatif,
tidak berkapsul dan nonmotile. Selama 30 tahun terakhir, berbagai
literatur menyatakan G. vaginalis berkaitan dengan VB. Dengan
media kultur yang lebih sensitif G. vaginalis dapat diisolasi pada
wanita tanpa tanda- tanda infeksi vagina. G.vaginalis diisolasi sekitar
>90 % pada wanita dengan VB. Saat ini dipercaya G.vaginalis
berinteraksi dengan bakteri anaerob dan M.hominis menyebabkan
VB. Gardner dan Duke juga mengisolasi organisme lain dan
berkesimpulan bahwa G.vaginalis bukan merupakan penyebab satu
– satunya VB.

2. Bakteri anaerob

Kuman batang dan kokus anaerob pertama kali diisolasi dari


vagina pada tahun 1897 dan dianggap berkaitan dengan sekret vagina
oleh Curtis. Pada tahun 1980, Spiegel menganalisis cairan vagina dari 53
wanita dengan VB menggunakan kultur kuantitatif anaerob dan gas
liquid chromatografi untuk mendeteksi metabolisme asam organik rantai
pendek dari flora vagina. Ditemukan bacteroides sp (sekarang disebut
provotella dan prophyromonas) sebesar 75% dan peptococcus (sekarang
peptostreptococcus) sebesar 36% dari wanita dengan VB. Penemuan
spesies anaerob berkaitan langsung dengan penurunan laktat dan
peningkatan suksinat dan asetat pada cairan vagina. Spiegel
menyimpulkan bahwa mikroorganisme anaerob berinteraksi dengan
11,12
G.vaginalis dalam menyebabkan VB. Mikroorganisme anaerob lain
yang dikatakan juga memiliki peranan dalam VB adalah Mobiluncus.
Mobiluncus selalu terdapat bersamaan dengan mikroorganisme lain yang
berhubungan dengan VB.

3. Mycoplasma genital

Tylor – Robinson dan McCormack (1980) yang pertama kali


berpendapat bahwa M.hominis berperan pada VB, bersimbiosis dengan
G.vaginalis maupun organisme patogen lainnya. Pheifer dan dan kawan –
kawan mendukung hipotesis ini dengan penemuan M. hominis pada 63
% wanita dengan VB dan 10 % pada wanita normal. Paavonen (1982)
juga melaporkan hubungan dari VB dengan M.hominis dan G.vaginalis
pada cairan vagina.

4. Mikroorganisme lainnya
Wanita dengan VB tidak mempunyai peningkatan streptokokus
grup B, stafilokokus koagulase negatif, tetapi mempunyai peningkatan
yang bermakna dari bakteri yang merupakan karier vagina yaitu
kelompok spesies streptococcus viridians, streptococcus asidominimus,
dan stresptocccus morbilorum. Suatu analisis multivariat menemukan
hubungan antara VB dengan empat kategori bakteri vagina yaitu ;
Mobiluncus spesies, kuman batang gram negatif anaerob, G.vaginalis dan
M.hominis. Prevalensi masing – masing mikroorganisme meningkat pada
wanita dengan VB. Selain itu organisme – organisme tersebut ditemukan
pada konsentrasi 100 – 1000 lebih besar pada wanita dengan VB
dibandingkan pada wanita normal, sedangkan konsentrasi laktobasilus
menurun pada wanita pasien VB.

Patogenesis

Pada lingkungan mikrobiologi vagina, secara alami terdapat bakteri


yang berperan sebagai penjaga ekosistem vagina dan mencegah gangguan
dari lingkungan luar yang dapat mempengaruhi lingkungan vagina. Flora
normal vagina ini didominasi oleh laktobasilus yang menghasilkan hidrogen
peroksidase, yaitu Lactobaciluss crispatus, Lactobasilus acidofilus serta
Lactobasilus rhamnosus. Laktobasilus penghasil hidrogen dapat ditemukan
sebesar 96% pada vagina normal dan hanya 6% pada wanita dengan
VB.Laktobasilus penghasil hidrogen ini juga memiliki kemampuan untuk
menghasilkan asam organik (asam laktat) sehingga menjaga ph vagina <4,7
dengan menggunakan glikogen pada epitel vagina sebagai substrat, selain
itu laktobasilus juga menghasilkan bakteriosin, suatu protein yang dapat
menghambat spesies bakteri lainnya. Laktobasilus yang tidak menghasilkan
hidogen ditemukan sebesar 4% pada wanita normal dan sebesar 36%
pada wanita dengan VB.

VB ditandai dengan hilangnyanya laktobasilus penghasil hidrogen


peroksidase dan pertumbuhan pesat spesies anaerob. Tidak diketahui
secara pasti mana peristiwa yang mendahului, apakah terdapat faktor
yang dapat menyebabkan kematian laktobasilus sehingga bakteri anaerob
ini berkembang secara pesat atau bakteri anaerob yang sangat banyak
jumlahnya menyebabkan laktobasilus menghilang. Pertanyaan dasar yang
merupakan patogenesis VB ini masih belum dapat terjawab sampai
sekarang.

Sejumlah perubahan biokimia juga telah dijelaskan, epitel vagina


normal dilapisi oleh lapisan musin tipis. Pada VB lapisan pelindung ini
digantikan oleh biofilm yang dihasilkan G.vaginalis. β defensin -1 dan
konsentrasi secretory leukosit protease inhibitor juga berkurang pada VB.
Interleukin (IL) 1 α, 1β dan reseptor 1 agonis meningkat, IL8 ( sitokin
leukotaktik primer ) berkurang.Terjadi peningkatan pada protein 70 kD
heat shock, enzim lytic sialidase, matriks metaloproteinase 8 dan
fosfolidase A2, nitrit oksida dan endotoksin juga ditemukan pada vagina
dengan VB. Kesemuanya ini dapat menghilangkan mekanisme proteksi
normal dan meningkatkan terjadinya proses inflamasi.

Gambaran klinik

Gejala klasik dari VB adalah bau yang biasanya dideskripsikan


sebagai fishy odor yang disebabkan oleh produksi amin (trimetalamin,
putresin dan kadaverin ) oleh bakteri anaerob. Volatilasi amin ini
meningkat dengan peningkatan pH , sehingga pasien sering merasa
keluhan ini makin memburuk jika terjadi peningkatan alkanin, misalnya
setelah berhubungan seksual ( karena adanya cairan sperma) atau selama
menstruasi. Hampir semua wanita dengan VB memiliki ph vagina >4,5 jika
diukur menggunakan kertas indikator pH. Meskipun pemeriksaan pH ini
membantu dalam pemeriksaan klinis tetapi tidak spesifik untuk VB.
Peningkatan sekret vagina sering tetapi bukan merupakan gejala yang
spesifik pada VB. Keluhan ini ditemukan sekitar 73 – 92% pada pasien VB.
Pemeriksaan mikroskopis cairan vagina ( dengan pembesaran 400 x)
memperlihatkan Clue cells pada 81% pasien VB dibandingkan bukan
pasien VB sebesar 6%. Clue cells merupakan sel epitel yang ditempeli oleh
bakteri sehingga tepinya tidak rata. Pada pasien VB tidak tampak inflamasi
vulva atau vagina.

Diagnosis

Diagnosis VB ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan didukung


oleh pemeriksaan laboratorium.

1. Kriteria Amsel

Amsel dan kawan –kawan menganjurkan dasar diagnosis VB


berdasarkan adanya paling tidak tiga tanda – tanda berikut : sekret
vagina berwarna putih yang homogen, pH cairan vagina > 4,5. adanya
fishy odor dari cairan vagina yang ditetesi KOH 10% ( whiff test ), serta
,
pada pemeriksaan mikroskop ditemukan Clue cells

a. Sekret vagina

Sekret vagina pada VB berwarna putih , melekat pada


dinding vagina, jumlahnya meningkat sedikit sampai sedang
dibandingkan wanita normal.
b. pH cairan vagina

pH normal vagina berkisar antara 3,8- 4,1, sedangkan pH


pada pasien VB biasanya 4,7 – 5,5. Pemeriksaan pH vagina
memerlukan kertas indikator pH rentang yang sesuai yaitu antara
4,0 sampai dengan 6,0. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan
pH vagina paling baik dilakukan pada bagian lateral atau posterior
fornik vagina dan langsung diperiksa/ditempatkan pada kertas pH.
pH vagina mempunyai sensitifitas yang paling tinggi pada VB tetapi
mempunyai spesifisitas yang paling rendah.

c. Malodor vagina ( whiff test )

Malodor pada vagina merupakan gejala yang paling sering


terjadi pada wanita dengan VB, untuk dapat membantu
membantu deteksi malodor bagi klinisi dapat dilakukan tes Whiff,
hasilnya positif jika tercium aroma yang khas berupa fishy odor

setelah ditetesi KOH 10%.

d. Pemeriksaan Clue Cells

Clue cells merupakan sel epitel skuamous vagina yang


tertutup banyak bakteri sehingga memberikan gambaran tepi yang
tidak rata. Tepi yang tidak rata ini akibat melekatnya bakteri
termasuk Gardnerella dan Mobiluncus. Clue Cells merupakan
kriteria terbaik untuk diagnosis VB.

2. Kultur

Kultur G. vaginalis hanya memberikan sedikit keuntungan


untuk mendiagnosis VB karena G.vaginalis merupakan flora vagina
sehingga didapatkan juga pada cairan vagina normal , meskipun
dalam konsentrasi rendah.

3.Pewarnaan gram
Dengan tujuan untuk mendiagnosis VB secara objektif ,
Spiegel dan kawan – kawan memperkenalkan pewarnaan gram
untuk diagnosis VB. Sistem skoring pewarnaan gram dipakai untuk
metode standar untuk diagnosis VB berdasarkan tiga morfotipe ,
yaitu kuman batang gram positif besar (laktobasilus), kuman
batang gram negatif kecil atau bervariasi (Gardnerella) dan kuman
batang anaerob

(Mobiluncus).

Selanjutnya, Nugent dan kawan – kawan memformulasikan


sistem skoring untuk pewarnaan gram, yang mana jika terdapat
banyak laktobasilus nilai skor akan kecil, sedangkan jika terdapat
banyak morfotipe Gardnerella dan bakteroides nilai skor akan
tinggi, dan akan ditambahkan satu atau dua poin jika terdapat
Mobiluncus. Skor 0-3 dianggap normal, skor 4- 6 dianggap
intermediat dan skor 7 – 10 didiagnosis dengan VB.

Diagnosis banding

VB dapat didiagnosis banding dengan trikomoniasis dan


kandidiasis. Pada trikomoniasis, pemeriksaan hapusan vagina hampir
menyerupai hapusan vagina VB, namun Mobilluncus dan clue cells tidak
pernah dijumpai. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan peningkatan sel
polimorfonuklear dan dengan preparat basah ditemukan protozoa. Whiff
test dapat positif pada trikomoniasis.

Pada kandidiasis, pemeriksaan mikroskop sekret vagina ditambah


KOH 10% berguna untuk mendeteksi hifa dan spora kandida. Keluhan
yang sering terjadi pada kandidiasis adalah gatal dan iritasi pada vagina.
Sekret vagina biasanya putih dan tebal, tanpa bau dan pH normal.

Pengobatan

Pengobatan direkomendasikan pada wanita yang memiliki gejala


VB. Tujuan pengobatan pada wanita tidak hamil ialah untuk
menghilangkan tanda dan gejala infeksi vagina, dan mengurangi resiko
untuk terkena penyakit , yaitu Chlamidia trachomatis, Neissseria
gonorhoea, HIV dan penyakit IMS lainnya. Berdasarkan Centre for Disease
Control and Prevention (CDC) tahun 2010 regimen pengobatan yang
direkomendasikan untuk VB pada wanita tidak hamil ialah metronidazol
500 mg yang diberikan dua kali sehari selama 7 hari, atau metronidazol
0,75% intravagina yang diberikan satu kali sehari selama 5 hari, atau
klindamisin krim 2% intravagina yang diberikan pada malam hari selama 7
hari. Atau regimen alternatif , yaitu tinidazol 2 gram, yang diberikan satu
kali sehari selama dua hari, atau tinidazol 1 gram yang diberikan satu kali
sehari selama 5 hari atau klindamisin 300 mg, yang diberikan dua kali
sehari selama lima hari atau klindamisin ovula 100 mg satu kali sehari
20
pada malam hari selama tiga hari. sedangkan pada wanita hamil ,
berdasarkan CDC tahun 2010 pengobatan yang direkomendasikan ialah ;
metronidazol 500 mg yang diberikan dua kali sehari selama 7 hari, atau
metronidazol 250 mg yang diberikan tiga kali sehari selama 7 hari atau
klindamisin 300 mg yang diberikan dua kali sehari selama 7 hari. Dari
beberapa penelitian dan metaanalisis dikatakan pemberian metronidazol
pada wanita hamil tidak berkaitan dengan efek teratogenik dan mutagenik
pada bayi. Dokter harus mempertimbangkan pilihan pasien, efek samping
yang mungkin terjadi , serta interaksi obat. Pasien harus diberitahukan
untuk tidak berhubungan seksual atau selalu memakai kondom dengan
tepat selama masa pengobatan.

Komplikasi

VB paling banyak dihubungkan dengan komplikasi pada obstetri


dan ginekologi yaitu dalam kaitan kesehatan reproduksi. VB merupakan
faktor resiko gangguan pada kehamilan, resiko kelahiran prematur dan
berat badan lahir rendah.Selain itu VB juga merupakan faktor resiko
mempermudah mendapat penyakit IMS lain, yaitu gonore, klamidia,
trikomoniasis, herpes genital dan HIV.VB meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi HIV melalui mekanisme diantaranya karena pH vagina
yang meningkat, menyebabkan berkurangnya jumlah Lactobacillus
penghasil hidrogen peroksidase dan produksi enzim oleh flora VB yang
menghambat imunitas terhadap HIV. Selain itu VB dikatakan juga dapat
menyebabkan infertilitas tuba, dimana dua penelitian yang dilakukan di
Glasgow dan Bristol menemukan rerata infertilitas tuba lebih tinggi pada
pasien VB dibandingkan yang tidak menderita VB. VB disertai peningkatan
resiko infeksi traktus urinarius dan infeksi traktus genitalis bagian atas.
Konsentrasi tinggi mikrorganisme pada suatu tempat cenderung
meningkatkan frekuensi infeksi ditempat yang berdekatan.

2.1. PENGERTIAN
Vulvovaginitis adalah peradangan atau infeksi pada vulva dan vagina. Vulvovaginal
kandidiasis adalah nama yang sering diberikan untuk Candida albicans vagina infeksi
berhubungan dengan dermatitis dari vulva (gatal ruam). 'Vaginal thrush', dan 'monilia' juga
nama-nama untuk Candida albicans infeksi.
Candida albicans adalah jamur ragi biasanya bertanggung jawab atas vulva gatal dan
pengosongan. Hal ini umumnya pelaku bahwa perempuan selalu merujuk pada setiap
Vulvovaginal gatal sebagai "infeksi jamur," tapi perlu diketahui bahwa semua tidak selalu
gatal disebabkan oleh ragi.

2.2. ETIOLOGI
Vulvovaginitis dapat mempengaruhi perempuan dari segala usia dan sangat umum. Hal ini
dapat disebabkan oleh bakteri, ragi, virus, dan parasit lain. Beberapa penyakit menular
seksual juga dapat menyebabkan vulvovaginitis, seperti yang bisa ditemukan berbagai bahan
kimia gelembung mandi, sabun, dan parfum. Faktor-faktor lingkungan seperti kebersihan
yang buruk dan alergen juga dapat menyebabkan kondisi ini.
Candida albicans, yang menyebabkan infeksi jamur, adalah salah satu penyebab paling
umum vulvovaginitis perempuan dari segala usia. Penggunaan antibiotik dapat menyebabkan
infeksi jamur dengan membunuh antijamur normal bakteri yang hidup di vagina. Infeksi
jamur kelamin biasanya menyebabkan gatal-gatal dan tebal, putih discharg vagina, dan gejala
lain. Untuk informasi lebih lanjut, lihat: ragi infeksi vagina. Penyebab lain adalah
vulvovaginitis bakteri vaginosis, suatu pertumbuhan berlebih dari jenis bakteri tertentu dalam
vagina. Bakteri vaginosis dapat menyebabkan tipis, warna abu-abu vagina dan bau amis.
Sebuah penyakit menular seksual yang disebut Trichomonas vaginitis infeksi adalah
penyebab umum lain. Infeksi ini mengarah ke kelamin gatal, bau vagina, dan vagina yang
berat, yang mungkin kuning-abu atau warna hijau.Gelembung mandi, sabun, vagina
kontrasepsi, feminin semprotan, dan parfum dapat menyebabkan iritasi ruam gatal di daerah
genital, sedangkan nonabsorbent ketat atau pakaian kadang-kadang menyebabkan ruam
panas.
Jengkel jaringan lebih rentan terhadap infeksi daripada jaringan normal, dan banyak
organisme penyebab infeksi berkembang dalam lingkungan yang hangat, lembab, dan gelap.
Tidak hanya faktor-faktor ini dapat berkontribusi pada penyebab vulvovaginitis, mereka
sering memperpanjang periode pemulihan.
Kurangnya estrogen pada wanita postmenopause dapat menyebabkan kekeringan vagina
dan penipisan kulit vagina dan vulva, yang juga dapat menyebabkan atau memperburuk
kelamin gatal dan terbakar.
Nonspesifik vulvovaginitis (di mana penyebab dapat diidentifikasi) dapat dilihat dalam
semua kelompok usia, tetapi paling sering terjadi pada anak gadis sebelum pubertas. Setelah
pubertas dimulai, vagina menjadi lebih asam, yang cenderung untuk membantu mencegah
infeksi.
Vulvovaginitis nonspesifik dapat terjadi pada anak perempuan dengan genital miskin
kebersihan dan ditandai oleh berbau busuk, coklat-hijau pelepasan dan iritasi labia dan
vagina. Kondisi ini sering dikaitkan dengan pertumbuhan berlebih dari suatu jenis bakteri
yang biasanya ditemukan di dalam tinja. Bakteri ini kadang-kadang menyebar dari anus ke
area vagina dengan mengusap dari belakang ke depan setelah menggunakan kamar mandi.
Pelecehan seksual harus dipertimbangkan pada anak-anak dengan infeksi yang tidak biasa
dan berulang episode dijelaskan vulvovaginitis. Neisseria gonorrhoeae, organisme yang
menyebabkan gonore, menghasilkan gonokokal vulvovaginitis di gadis-gadis muda.
Gonocorrhea vaginitis terkait dianggap sebagai penyakit menular seksual. Jika tes
laboratorium mengkonfirmasi diagnosis ini, gadis-gadis muda harus dievaluasi untuk
pelecehan seksual.
Sekitar 20% dari non-hamil wanita usia 15-55 pelabuhan Candida albicans dalam vagina.
Sebagian besar tidak mempunyai gejala dan itu berbahaya bagi mereka. Pertumbuhan yang
berlebihan dari Candida albicans menyebabkan berat dadih putih seperti vagina, rasa panas di
vagina dan vulva dan / atau ruam gatal di vulva dan kulit di sekitarnya.
Estrogen menyebabkan lapisan vagina untuk dewasa dan mengandung glikogen, sebuah
substrat yang Candida albicans berkembang. Kurangnya estrogen pada wanita yang lebih
muda dan lebih tua membuat kandidiasis Vulvovaginal jarang terjadi.
Pertumbuhan yang berlebihan dari Candida albicans terjadi paling sering dengan:
 Kehamilan
 Dosis tinggi pil KB kombinasi dan estrogen berbasis terapi penggantian hormon
 Sebuah rangkaian antibiotik spektrum luas seperti tetracycline atau amoxiclav
 Diabetes mellitus
 Anemia kekurangan zat besi
 Defisiensi imunologis misalnya, infeksi HIV
 Di atas kondisi kulit yang lain, sering psorias , Planus lumut atau lumut sclerosus.
 Penyakit lain

2.3. PATOFISIOLOGI
Proses infeksi dimulai dengan perlekatan Candida sp. pada sel epitel vagina.
Kemampuan melekat ini lebih baik pada C.albicans daripada spesies Candida lainnya.
Kemudian, Candida sp. mensekresikan enzim proteolitik yang mengakibatkan kerusakan
ikatan-ikatan protein sel pejamu sehingga memudahkan proses invasi. Selain itu, Candida sp.
juga mengeluarkan mikotoksin –diantaranya gliotoksin– yang mampu menghambat aktivitas
fagositosis dan menekan sistem imun lokal. Terbentuknya kolonisasi Candida sp.
memudahkan proses invasi tersebut berlangsung sehingga menimbulkan gejala pada pejamu.

2.4. MANIFESTASI KLINIS


Vulvovaginal gejala kandidiasis, yaitu, suatu pertumbuhan berlebih dari Candida
albicans, meliputi:
 Gatal, nyeri dan / atau pembakaran ketidaknyamanan pada vagina dan vulva
 Berat dadih putih seperti vagina
 Ruam merah terang yang mempengaruhi bagian dalam dan luar dari vulva, kadang-kadang
menyebar luas di pangkal paha untuk memasukkan daerah kemaluan, daerah inguinal dan
paha. Ini bisa berlangsung hanya beberapa jam atau bertahan selama berhari-hari, berminggu-
minggu, atau jarang, bulan.
Gejala mungkin kadang-kadang diperparah oleh hubungan seksual.

2.5. KOMPLIKASI
 Ketidaknyamanan yang tidak hilang
 Infeksi kulit (dari garukan)
 Komplikasi karena penyebab kondisi (seperti gonore dan infeksi kandida)

2.6. PENCEHAGAHAN
Untuk mencegah infeksi jamur, mengenakan pakaian katun agar udara dapat bersirkulasi.
Walaupun sejumlah obat untuk mengobati infeksi jamur baru-baru ini akan tersedia over-the-
counter, berhati-hati dalam membuat diagnosis diri terburu-buru.
Penggunaan kondom selama hubungan seksual bisa mencegah sebagian besar infeksi
menular seksual vagina. Tepat pas dan memadai penyerap pakaian, dikombinasikan dengan
baik kebersihan daerah genital juga mencegah banyak kasus infeksi non-vulvovaginitis.
Anak-anak harus diajarkan bagaimana cara benar membersihkan daerah genital saat
memandikan atau mandi. Tepat menyeka setelah menggunakan toilet juga akan membantu
(anak harus selalu menyeka dari depan ke belakang untuk menghindari memperkenalkan
bakteri dari anus ke vagina).Tangan harus dicuci bersih sebelum dan setelah menggunakan
kamar mandi.
2.7. PERAWATAN
Kadang-kadang Candida albicans infeksi tetap ada meski terapi konvensional yang
memadai. Pada beberapa wanita hal ini mungkin merupakan tanda kekurangan zat besi ,
diabetes melitus atau masalah imun, dan tes yang sesuai harus dilakukan.
Perempuan yang mengalami berulang Vulvovaginal Candida albicans melakukannya
karena infeksi persisten, daripada infeksi ulang. Tujuan dari perawatan dalam situasi ini
adalah untuk menghindari pertumbuhan berlebih dari kandida yang mengarah ke gejala,
daripada harus mampu mencapai pemberantasan menyelesaikan atau menyembuhkan.
Ada beberapa bukti bahwa langkah-langkah berikut dapat membantu:
 Kapas atau uap air-wicking pakaian dalam dan pakaian longgar - menghindari stoking nilon.
 Perendaman dalam garam mandi. Hindari sabun - menggunakan pembersih non-sabun atau
krim untuk mencuci berair.
 Terapkan hidrokortison krim untuk mengurangi gatal dan mengobati sekunder dermatitis
mempengaruhi vulva.
 Perlakukan dengan krim antijamur sebelum setiap periode menstruasi dan sebelum terapi
antibiotik untuk mencegah kambuh.
 Sebuah perjalanan panjang sebuah antijamur topikal agen kadang-kadang diperlukan (tapi
hal ini mungkin sendiri menyebabkan dermatitis atau hasil dalam non-proliferasi candida
albicans).
 Antijamur oral obat-obatan (itrakonazol atau flukonazol) dapat diambil secara teratur dan
sebentar-sebentar (misalnya sekali sebulan). Dosis dan frekuensi yang cukup bervariasi,
tergantung pada keparahan gejala. Oral agen antijamur mungkin tidak sesuai pada kehamilan.
Mereka membutuhkan resep.
 Asam borat (boraks) 600mg sebagai supositoria pada malam hari dapat membantu untuk
mengasamkan vagina dan mengurangi kehadiran khamir (albicans dan non-candida albicans).
Langkah-langkah berikut belum ditunjukkan untuk membantu.
 Perawatan pasangan seksual - laki-laki mungkin mendapatkan singkat reaksi kulit pada
penis, yang membersihkan cepat dengan krim antijamur. Memperlakukan laki-laki tidak
mengurangi jumlah episode kandidiasis pada pasangan wanita mereka.
 Khusus gula rendah, rendah ragi atau yoghurt tinggi diet
 Menempatkan yoghurt dalam vagina
 Obat alami (dengan pengecualian asam borat)

2.1 Gonore
2.1.1 Definisi

Gonore merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh

kuman Neiserria gonorrhoeae. Kuman ini hanya mempunyai satu host, yaitu

manusia dan dapat menginfeksi pria maupun wanita. Penularannya melalui kontak

2,13,14
seksual antar manusia (vaginal, anal, atau oral).

2.1.2 Epidemiologi

Insiden gonore masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh

15
dunia. Menurut data CDC, kasus gonore di Amerika mengalami peningkatan

dari tahun 2013 dengan 333.004 kasus menjadi 350.062 kasus di tahun 2014,

dimana jumlah kasus pria 186/.943 kasus sedangkan kasus wanita yaitu 162.608

kasus. Tidak semua kasus gonore bisa tercatat dengan baik di tiap negara salah

satunya dikarenakan masalah pengawasan. Jumlah kasus terbanyak didapatkan

16,17
pada usia 20-24 tahun untuk pria maupun wanita.

Prevalensi gonore pada WPS di Semarang yang diteliti tahun 2003

terdapat 59 kasus gonore dan 21 kasus gonore yang mengalami ko-infeksi dengan

klamidia dari total 250 kasus. Meskipun demikian, kemungkinan kasus yang

7
8

sebenarnya di populasi masih banyak yang belum terdeteksi karena sistem


15,18
pencatatan yang buruk.

2.1.3 Etiologi

Penyakit gonore disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, kuman

diplokokus gram negatif, dengan sisi cekung berdekatan sehingga seperti bentuk

14
ginjal. Ukuran diameter dari kuman ini adalah 0,6-1,0 µm serta tidak bergerak,

tidak membentuk spora, dan berada di dalam dan/ luar sel lekosit

15
polimorfonuklear (PMN) dan fastidius. Selain itu, kuman ini tidak dapat

bertahan lama untuk hidup di udara bebas, cepat mati dalam keadaan kering, tidak

tahan suhu diatas 39ºC. Pada suhu 35-37ºC, pH 7,2-7,6 dapat tumbuh secara

19,20
optimal serta membutuhkan CO2 dengan konsentrasi 2-10%.

Kuman ini terdiri dari 4 tipe, yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai pili pada

permukaannya, kecil dan bersifat virulen, sedangkan tipe 3 dan 4 tidak

14
mempunyai pili, lebih besar, tidak berpigmen dan tidak virulen. Fungsi dari pili

adalah untuk membantu proses penempelan kuman dengan permukaan mukosa

21
atau menyebabkan resistensi terhadap pengobatan gonore. Membran luar dari

19
kuman ini tersusun atas protein, fosfolipid, dan lipooligosakarida (LOS).
9

19
Gambar 1. Kuman Neisseria gonorrhoeae

2.1.4 Faktor Risiko

Gonore dapat terjadi pada semua manusia. Tetapi tidak semua manusia

mempunyai risiko tinggi untuk terinfeksi kuman penyebab gonore ini. Faktor-

faktor yang meningkatkan risiko untuk terinfeksi kuman Neissreia gonorrhoeae

adalah:

2. Semakin muda usia (<25 tahun) untuk melakukan hubungan seksual

pertama kali
3. Penggunaan obat-obatan terutama secara injeksi, peminum alkohol

4. Tinggal bersama di suatu tempat penahanan / penjara

5. Memiliki banyak pasangan seksual secara bersamaan dan bergantian

6. Berhubungan seksual dengan pasangan baru, penderita infeksi menular

seksual (heteroseksual, homoseksual, biseksual)

7. Tidak menggunakan kondom atau menggunakan kondom tapi tidak benar

(wanita memiliki risiko ±40-60% tertular oleh pasangannya yang

terinfeksi)

8. Kondisi tubuh yang rentan terhadap suatu infeksi

15,22,23
9. Sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah.
10

2.1.5 Patogenesis

Kuman Neisseria gonorrhoeae memiliki faktor virulensi yang berperan

penting dalam menginfeksi manusia. Faktor virulensi tersebut adalah :

4. Kapsul: untuk mencegah fagositosis

5. Pili: membantu penempelan kuman ke mukosa epitel, mencegah neutrofil

membunuh kuman

6. Protein por (protein I): mencegah fusi dari fagolisosom pada netrofil

7. Protein opa (protein II): membantu penempelan kuman pada kuman lain

dan sel, menurunkan respon imun

8. Lipooligosakarida: mempengaruhi aktivitas endotoksik

9. IgA-protease: menghancurkan IgA

Neisseria gonorrhoeae menempel pada permukaan mukosa epitel

kolumner menggunakan pili dan protein II lalu menuju ruang subepitelial

supaya bisa masuk ke dalam sel dalam waktu 24-48 jam. Dengan adanya

lipooligosakarida akan menstimulasi produksi Tumor Necrosis Factor (TNF)

dan menyebabkan kerusakan sel epitel mukosa dan lapisan submukosa secara
progresif dan menyebabkan terbentuknya eksudat. Selanjutnya netrofil segera

menuju ke lokasi kuman dan memakannya. Namun kuman tersebut tetap

masih dapat bertahan hidup di dalam netrofil sampai netrofil yang memakan

kuman tersebut mati dan melepaskan kuman Neisseria gonorrhoeae kembali.

24,25
Tetapi hal tersebut masih belum diketahui penyebabnya.
1
1

2.1.6 Manifestasi Klinik

Neisseria gonorrhoeae hanya dapat ditemukan pada manusia. Kuman ini

paling sering menyerang permukaan mukosa dengan epitel kolumner yaitu organ

genital (utama). Selain itu, faring dan rektum juga dapat terinfeksi baik pada pria

maupun wanita. Infeksi yang terjadi pada endoserviks, faring, dan rektum

biasanya asimptomatik. Seorang ibu yang akan melahirkan secara normal namun

menderita gonore dapat menularkan dan menyebabkan konjungtivitis pada bayi

26
yang dilahirkan.

26
Infeksi kuman ini pada pria menyebabkan uretritis. Masa inkubasi rata-

rata 2-5 hari. Gejala tersering untuk uretritis adalah urethral discharge (kencing

nanah) dan disuria (kesulitan untuk berkemih). Uretritis menyebabkan uretra

menjadi bengkak, merah, perabaan hangat, dan terasa nyeri. Pada saat berkemih,

penderita akan merasakan nyeri dan rasa seperti terbakar yang berlebih. Uretritis

yang tidak segera diterapi, akan menyebabkan tanda dan gejala yang muncul

15,24
bertambah berat dan memuncak dalam waktu 2 minggu.

Endoservik merupakan lokasi utama infeksi kuman Neisseria gonorrhoeae

26
dan menyebabkan servisitis pada wanita. Gejala yang muncul adalah vaginal
discharge (cairan purulen dengan bau tidak sedap), disuria, nyeri saat

berhubungan seksual, perdarahan inter menstrual, dan nyeri abdomen bawah

ringan. Gejala-gejala ini muncul 10 hari setelah pajanan. Namun umumnya infeksi

15,24
pada endoservik adalah asimptomatik (60-80%).
1
2

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

2.1.7.1 Spesimen

Spesimen dapat diambil dari uretra, endoservik, vagina, rektum, orofaring,

konjungtiva, cairan tubuh yang steril (cairan sinovial / cairan pleura / peritoneum).

Namun bergantung pada usia, dan jenis kelamin penderita gonore yang akan

diambil untuk bahan pemeriksaan. Pada pria lokasi pengambilan spesimen di

uretra, menggunakan swab yang dimasukan dan diputar selama 5 detik.

Sedangkan pada wanita, swab pada endoservik dan diputar selama 10 detik.

Pengambilan spesimen digunakan untuk pemeriksaan apusan dengan pewarnaan

15,27
gram, kultur, dan uji sensitivitas antibiotik.

2.1.7.2 Apusan

Kuman Neisseria gonorrhoeae diperiksa secara langsung dari eksudat

uretra dan endoservik dengan pewarnaan Gram. Hasil dikatakan positif bila

ditemukan adanya diplokokus gram negatif dengan bentuk seperti ginjal di dalam

dan atau diluar sel lekosit PMN. Apusan dengan spesimen eksudat uretra memiliki
spesifisitas (>99%) dan sensitivitas (>95%) lebih tinggi daripada eksudat

15
endoservik dengan spesifisitas (95%) dan sensitivitas (50%).
13

28
Gambar 2. Apusan Neisseria gonorrhoeae

2.1.7.3 Kultur

Saat ini pemeriksaan mikrobiologi yang digunakan untuk diagnosis infeksi

Neisseria gonorrhoeae adalah kultur dan apusan. Setelah pengambilan sampel,

oleskan dengan segera sampel pada media untuk kultur kuman ini. Media yang

digunakan adalah media selektif yang diperkaya salah satunya Thayer Martin

Agar. Selanjumtnya harus di inkubasi pada suhu 35º-37ºC, dengan atmosfer yang

mengandung 5%-10% CO2 selama 18-24 jam. Dalam waktu tersebut akan tumbuh

koloni kuman berbentuk cembung, permukaanya mengkilat, berdiameter 0,5-1,0


mm. Setelah inkubasi lebih dari 24 jam ukuran koloni akan bertambah lebar

dengan permukaan yang lebih kasar dan mengkilat. Namun tidak diperbolehkan

inkubasi lebih dari 48 jam dikarenakan koloni tidak dapat bertahan dan dapat
15,27,29
terjadi autolisis.

2.1.7.4 Tes Oksidase

Tes oksidase merupakan suatu tes untuk mengetahui apakah suatu bakteri

memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim oksidase. Aeromonas, Vibrio,

Neisseria, Moraxella, dan Campylobacter adalah kuman-kuman yang bila ditetesi


1
4

dengan reagen oksidase akan menghasilkan warna biru dalam 10-30 detik dan itu
30
berarti positif tes oksidase.

31
Gambar 3. Tes Oksidase positif

2.1.7.5 Tes Fermentasi

Metode fermentasi merupakan suatu pemeriksaan spesifik mikrobiologi

untuk kuman Neisseria species yang sudah sering digunakan. Tes ini diuji
menggunakan media TCA (Cystine Trypticase Agar) yang mengandung glukosa,

maltosa, sukrosa, laktosa, dan fruktosa serta phenol red sebagai indikatornya.

Tidak semua spesies kuman ini dapat memfermentasi semua kandungan bahan.

Hasil dari fermentasi berupa asam. Neisseria gonorrhoeae hanya dapat

32
memfermentasi glukosa.

31
Gambar 4. Tes Fermentasi positif
15

2.1.7.6 Uji Sensitivitas Antibiotik

Kemampuan antibiotik untuk melawan kuman dapat diukur dengan

menggunakan 2 metode untuk uji sensitivitas antibiotik yaitu metode dilusi dan

difusi. Metode difusi merupakan cara yang sering digunakan untuk uji sensitivitas

antibiotik. Cakram kertas atau tablet yang mengandung antibiotik diletakan pada

media yang sudah ditanami kuman. Maka akan terbentuk zona jernih disekitar

cakram. Ukuran zona tergantung pada kecepatan difusi antibiotik, derajat

sensitivitas kuman, dan kecepatan pertumbuhan kuman. Sedangkan pada metode

dilusi tujuannya adalah penentuan aktivitas antibitotik secara kuantitatif dengan

melihat Minimal Inhibitory Concentration (MIC). 2 kategori hasil yang sederhana

adalah sensitif atau resisten. Hasil sensitif pada antibiotik levofloksasin dengan uji

difusi bila didapatkan diameter ≥31 mm, sedangkan antibiotik tiamfenikol bila

33,34
didapatkan diameter ≥18 mm.

2.1.8 Komplikasi

Penyakit gonore yang tidak segera diobati dapat menyebabkan komplikasi.

Pada pria infeksi dari kuman ini dapat menyebabkan epididimo-orkitis.

Komplikasi yang terjadi pada wanita adalah PID (15%). PID dapat menyebabkan
infertilitas, nyeri panggul kronik, dan kehamilan ektopik. Pada pria dan wanita

8
memiliki risiko tinggi tertular HIV.
1
6

2.1.9 Terapi

Tabel 2. Terapi Gonore

Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Menular Seksual 2011 Indonesia Nomor 5 Tahun 2014

Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per Tiamfenikol 3,5 g, dosis tunggal, per

oral oral

Levofloksasin 500 mg, dosis tunggal, Ofloksasin 400 mg, dosis tunggal, per

per oral oral

Kanamisin 2 g, dosis tunggal, injeksi Kanamisin 2 g, dosis tunggal, injeksi

Intra Muskular (IM) Intra Muskular (IM)

Tiamfenikol 3,5 g, dosis tunggal, per Spektinomisin 2 g, dosis tunggal,

oral injeksi Intra Muskular (IM)

Seftriakson 250 mg, dosis tungggal,

injeksi Intra Muskular (IM)


Pemilihan pengobatan untuk gonore juga melihat tingkat sensitivitas dari

antibiotik yang akan digunakan. Setiap daerah memiliki tingkat sensitivitas

antibiotik yang berbeda sehingga terapi yang digunakan sebagai pilihan

6
pertamapun berbeda.
17

2.2 Levofloksasin

Levofloksasin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon generasi

ketiga. Golongan fluorokuinolon merupakan golongan kuinolon baru dengan atom

fluor pada cincin kuinolon, yang baru dipublikasikan tahun 1980. Penambahan

atom fluor ini membuat perubahan yang signifikan, seperti daya antibakterinya

35
meningkat, dan spektrum semakin luas.
36
Gambar 5. Struktur kimia levofloksasin
18

2.2.1 Farmakokinetik

Pemberian secara oral dapat diserap dengan baik pada saluran cerna.

Namun dapat terhambat bila pemberiannya bersama antasida. Bioavailabilitas

(95%) pemberian secara oral sama dengan pemberian parenteral. Distribusi

antibiotik ini baik pada berbagai organ tubuh. Waktu paruh levofloksasin 5-7 jam.

Antibiotik ini diberikan cukup 1 kali 1 hari. Kadar puncak di serum adalah 5,7

µg/mL dalam waktu 1-2 jam dengan dosis 500 mg. Dapat masuk ke jaringan dan

membunuh kuman yang ada di dalam sel jaringan. Metabolisme di hati dan

diekskresikan 87% melalui urin dalam waktu 48 jam dan sisanya melalui feses

35
dalam waktu 72 jam.

2.2.2 Farmakodinamik

Sifat dari levofloksasin adalah bakterisidal. Cara kerja dari antibiotik ini

adalah memblok sintesis DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) kuman dengan cara

menghambat topoisomerase II (DNA girase) dan IV pada kuman. Selain itu, daya

bunuh levofloksasin baik terhadap kuman gram positif dan sangat baik untuk

37
kuman aerob gram negatif.
2.2.3 Sediaan Obat

Levofloksasin dapat diberikan secara oral ataupun parenteral. Pemberian

oral menggunakan tablet 250 mg, 500 mg,dan 750 mg. Namun untuk kasus

36
gonore menggunakan tablet 500 mg, dosis tunggal, per oral.
19

2.2.4 Efek Samping

Beberapa efek samping yang timbul :

 Saluran cerna (tersering) : mual, muntah, rasa tidak nyaman di

perut, diare

 Sistem Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, gangguan tidur

 Perubahan kadar gula darah

 Tendinitis atau tendon ruptur biasanya pada tangan, bahu, dan


35
ankle.

2.3 Tiamfenikol

Tiamfenikol adalah antibiotik yang analog dengan kloramfenikol.

Antibiotik ini dapat digunakan untuk melawan kuman gram positif maupun gram

negatif, termasuk kuman Neisseria gonorrhoeae.


20
38
Gambar 6. Struktur kimia tiamfenikol

2.3.1 Farmakokinetik

Tiamfenikol dapat di absorbsi dengan baik pada pemberian per oral.

Antibiotik ini dapat masuk ke dalam cairan serebrospinal, tulang, dan sputum

serta memiliki waktu paruh yang panjang. Ekskresi nya melalui urin secara utuh,

35
sehingga dosis harus dikurangi pada pasien payah ginjal.

2.3.2 Farmakodinamik

Sifat dari antibiotik tiamfenikol adalah bakteriostatik ( menghambat

pertumbuhan atau reproduksi kuman). Cara kerja antibiotik ini adalah

menghambat sintesis protein kuman dengan menembus dinding sel dan mengikat
2
1

ribosom subunit 50s, dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan
35,38
peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.

2.3.3 Sediaan Obat

Tiamfenikol memiliki sediaan kapsul 250 dan 500 mg untuk dewasa serta

suspensi 125mg/ 5ml. Sediaan yang digunakan untuk gonore adalah sediaan

35
kapsul dengan dosis 3,5 g, dosis tunggal, dan per oral.

2.3.4 Efek Samping

Beberapa efek samping yang timbul :

 Depresi sumsum tulang reversibel

 Depresi eritropoesis

35
 Lekopeni, trombositopeni.

2.4 Resistensi
Mekanisme resistensi antibiotik terhadap kuman Neisseria gonorrhoeae

ini terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu terbatasnya akses antibiotik menuju target

(kuman) dan resistensi yang berhubungan dengan kuman itu sendiri. Akses

antibiotik menuju target terbatas dikarenakan permeabilitas dari kapsul kuman

berkurang dikarenakan perubahan pada protein porin, rusaknya antibiotik sebelum

berinteraksi dengan target, dan adanya ekspor aktif antibiotik dari sel. Afinitas

dari antibiotik akan berkurang bila terjadi perubahan pada kuman. Perubahan yang

terjadi diperantarai oleh perubahan pada kromosom atau plasmid. Kedua


22

perubahan tersebut dapat terjadi pada 1 kuman dan dapat meningkatkan


39
kemampuan resistensi kuman terhadap antibiotik.

Resistensi pada antibiotik dipengaruhi oleh perilaku pengobatan yang

salah, seperti penggunaan antibitoik tidak sesuai indikasi, lama penggunaan

antibiotik, terlalu sering menggunakan antibiotik, dan beberapa faktor lain, salah

satunya adalah perilaku seksual. Terjadinya resistensi pada suatu kuman, dapat

diberikan kepada kuman lain dengan cara mutasi, transduksi, transformasi, dan

35
konjugasi.

2.4.1 Resistensi Levofloksasin

Mekanisme resistensi golongan fluoroquinolon adalah berkurangnya akses

dari antibiotik ini karena adanya perubahan permeabilitas dan terjadinya efluk dari

sel. Selain itu juga terjadi mutasi pada gyrA, gen parC yang mengkode produksi

40
topoisomerase IV. Resistensi yang terjadi diperantarai oleh kromosom.

2.4.2 Resistensi Tiamfenikol


Mekanisme resistensi dari tiamfenikol, yaitu terjadinya inaktivasi
35
antibiotik oleh asetil transferase yang diperantarai oleh faktor R.
23

2.5 Kerangka Teori

pH

Strain kuman Neisseria Sensitivitas kuman

Suhu
gonorrhoeae Neisseria gonorrhoeae

Konsentrasi

CO2

Kebiasaan hubungan
Host
Frekuensi Lama Rasionalitas
seksual

penggunaan penggunaan penggunaan

antibiotik antibiotik antibiotik


Kondisi pertahanan

tubuh

Tingkat sosial, ekonomi

dan pendidikan
Pilihan antibiotik

Gonore (levofloksasin dan


tiamfenikol)

Gambar 7. Kerangka Teori

2.6 Kerangka Konsep

Levofloksasin

Sensitivitas Kuman

Neisseria gonorrhoeae

Tiamfenikol

Gambar 8. Kerangka Konsep


24

2.7 Hipotesis

2.7.1 Hipotesis Mayor

Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan sensitivitas

kuman Neisseria gonorrhoea terhadap levofloksasin dengan tiamfenikol

secara in vitro.

2.7.1 Hipotesis Minor

1. Neisseria gonorrhoeae resisten terhadap levofloksasin secara in


vitro.

2. Neisseria gonorrhoeae sensitif terhadap tiamfenikol secara in


vitro.

3. Neisseria gonorrhoeae lebih sensitif terhadap tiamfenikol

secara in vitro.

SIFILIS

Adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum yang bersifat akut dan
kronis ditandai dengan lesi primer diikuti dengan erupsi sekunder pada kulit dan selaput lendir.

A. Klasifikasi
Secara umum dapat dibagi menjadi dua

1.Kongenital

 Kongenital dini > dalam 2 pertama kehidupan bayi

 Kongenital lanjut > berlanjut setelah 2 tahun.


2.Didapat

 Stadium Primer ( Stadium 1)

Sifilis stadium I (Sifilis primer), timbul 10-90 hari setelah terjadi infeksi. Lesi
pertama berupa makula atau papula merah yang kemudian menjadi ulkus (chancre),
dengan pinggir keras, dasar ulkus biasanya merah dan tidak sakit bila dipalpasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas berupa chancre
serta ditemui Treponema pallidum pada pemeriksaan stadium langsung dengan
mikroskop lapangan gelap.

 Stadium Sekunder (Stadium 2)


Timbul setelah 6-8 minggu sejak S I. Pada beberapa kasus keadaan S II ini sering masih
disertai S I. Pada S II dimulai dengan gejala konsistensi seperti anoreksia, demam, athralgia,
angina. Dimulai dengan gejala konaistensi seperti anoreksia, demam, athralgia, dan angina.

 Laten Dini

Gejala klinis tidak tampak, tetapi hasil pemeriksaan tes serologi untuk sifilis positif.

 Laten Lanjut

Ditemukan sikatrik bekas stadium 1 pada genitalia atau makula atrofi bekas papul
papul stadium 2.Tes serologi positif. Telah diderita selama lebih dari 1 tahun.

 Tersier (Stadium 3)

Lesi pertama timbul 3-10 tahun setelah stadium 1 berupa gumma yang sirkumsip.
Dapat pula dijumpai kelainan pada tulang. Pada pemeriksaan radiologi terlihat
kelainan pada tibia, fibula, hunerus dan tengkorak berupa periostitis. Pemeriksaan
TSS positif.

 Kardiovaskular

Timbul 10-40 tahun setelah infeksi primer dan terdapat pada sekitar 10% kasus
lanjut dan 40% dapat bersama neurosifilis. Dibagi dalam tiga tipe : pada jantung,
pembuluh darah dan pembuluh darah sedang.

B. Epidemiologi

Angka kejadian mencapai 90% dinegara berkembang. WHO menperkirakan 12 juta


kasus baru terjadi di Afrika, Asia Sleatan, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Carribean.
Di Indonesia menurut laporan STBP 2011, angka kejadian meningkat dari tahun 2007
ke tahun 2011, dimana pada populasi wanita oenjaja seks langsung prevalensi nya
sebesar 10%,LSL 9%, WPTSL 3% dan pengguna narkoba disuntik 3%.
C. Etiologi

 Penyebab sifilis adalah bakteri dari famili Sprochaetaceae, ordo Spirochaetales dan
genus Treponema spesies Treponema Pallidum

D. Faktor Resiko

 Berganti ganti pasangan seksual

 Homoseksual dan psk

 Bayi dengan ibu yang menderita sifilis

 Hubungan seksual dengan penderita tanpa proteksi

 Sifilis kardiovaskular terjadi 3 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita setelah
15-30 tahun setelah infeksi.

E. Manifestasi Klinis
F.

Diagnosis

 Tes Serologi Sifilis

Secara umum, tes serologi sifilis terdiri atas dua jenis, yaitu:

1. Tes non-treponema
Termasuk dalam kategori ini adalah tes RPR (Rapid Plasma Reagin) dan VDRL
(Venereal Disease Research Laboratory).Tes serologis yang termasuk dalam
kelompok ini mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap bahan-
bahan lipid sel-sel T. Pallidum yang hancur.

2. Tes spesifik treponema

Termasuk dalam kategori ini adalah tes TPHA (Treponema Pallidum

Haemagglutination Assay), TP Rapid (Treponema Pallidum Rapid), TP-PA

(Treponema Pallidum Particle Agglutination Assay), FTA-ABS (Fluorescent

Treponemal Antibody Absorption).

Tes serologis yang termasuk dalam kelompok ini mendeteksi antibodi yang

bersifat spesifik terhadap treponema. Oleh karena itu, tes ini jarang

memberikan hasil positif palsu.Tes ini dapat menunjukkan hasil

positif/reaktif seumur hidup walaupun terapi sifilis telah berhasil .


G. Tatalaksana
10. Intoksikasi Jengkol
A. Kandungan Nutrisi dalam Biji Jengkol
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam biji jengkol terkandung nutrisi
yang diperlukan oleh tubuh antara lain karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin B,
fosfor, kalsium, dan besi. Kadar protein dalam biji jengkol (23,3 gram per 100 gram
bahan) melebihi kadar protein dalam tempe (18,3 gram per 100 gram bahan) sehingga
jengkol dapat menjadi sumber protein nabati.
Namun, selain kandungan nutrisi tersebut terdapat kandungan senyawa dalam
jengkol yang berisiko dapat menimbulkan keracunan yaitu asam jengkolat.

B. Asam Jengkolat
Asam jengkolat atau jengkolic acid (S,S’-methylenebicysteine) merupakan
senyawa sejenis asam amino non-protein yang mengandung unsur sulfur. Adanya
unsur sulfur ini menyebabkan asam jengkolat dapat menghasilkan bau yang kurang
sedap.
Kandungan asam jengkolat dalam biji jengkol bervariasi, tergantung varietas
dan usia bijinya. Biji jengkol muda mengandung asam jengkolat relatif lebih sedikit
daripada biji yang sudah tua. Pada biji jengkol tua terkandung asam jengkolat 1-2%
dari berat bijinya. Sebutir biji jengkol mentah dengan berat 15 gram dapat
mengandung sekitar 0,15 – 0,30 gram asam jengkolat.

C. Keracunan Asam Jengkolat


Mengkonsumsi biji jengkol mentah atau setengah matang diduga berperan
memberikan potensi risiko terjadinya keracunan jengkol karena asam jengkolat yang
terkandung dalam biji jengkol mentah masih dalam keadaan utuh dan aktif. Namun
demikian tidak semua orang yang mengkonsumsi jengkol akan mengalami keracunan
karena faktor utama penyebab kejadian keracunan akibat jengkol tergantung pada
daya tahan tubuh seseorang, dalam hal ini kondisi lambungnya, bukan usia biji
jengkol, jumlah jengkol yang dikonsumsi, atau cara memasaknya. Seseorang yang
mengkonsumsi jengkol dalam kondisi lambung yang asam akan lebih berisiko
mengalami keracunan.
Keracunan jengkol dapat terjadi akibat mengkristalnya asam jengkolat dalam
suasana asam yang bentuknya menyerupai jarum roset yang sukar larut dalam air,
baik dalam suasana asam maupun basa. Kristal ini dapat menyebabkan penyumbatan
pada saluran kencing (tractus urinarius) dan juga dalam ginjal sehingga pada kasus
yang parah dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Oleh karena itu, asam jengkolat
dikatakan bersifat nefrotoksik atau toksik terhadap ginjal.

D. Gejala Keracunan Asam Jengkolat


Seseorang yang mengkonsumsi jengkol umumnya akan menghasilkan bau
jengkol pada napas, mulut, dan urinnya. Keluhan gejala akibat keracunan umumnya
timbul 5 – 12 jam setelah sesorang mengkonsumsi jengkol. Gejala yang timbul dapat
berupa nyeri perut yang kadang-kadang disertai muntah, serangan kolik dan nyeri saat
berkemih, disuria (gangguan berkemih), dan hematuria (darah di dalam urin). Adanya
darah dalam urin disebabkan oleh adanya luka pada lambung, saluran kemih , bahkan
ginjal akibat terkena kristal asam jengkolat yang tajam.
Jika berlanjut, dapat terjadi gagal ginjal akut yang ditandai dengan fase oliguri-
anuria (pengeluaran urin yang sangat sedikit hingga tidak dapat keluar), yang
kemudian diikuti dengan fase poliuria (volume urim yang sangat besar dalam periode
tertentu).
Pada pemeriksaan urin dengan mikroskop di laboratorium, dapat ditemukan
hablur asam jengkolat berupa jarum runcing yang kadang-kadang bergumpal menjadi
ikatan atau berupa roset.

D. Penatalaksanaan Keracunan Asam Jengkolat


A. Ringan (nyeri pinggang dan nyeri pada perut)
1. Minum air yang banyak
2. Pemberian Na bikarbonat 2gr 4x1 hari secara oral hingga gejala hilang

B. Berat (oliguria, hematuria, anuria atau tidak dapat minum maka penderita perlu
dirujuk ke rumah sakit. Tindakan yang dilakukan di rumah sakit :
1. Bantuan hidup dasar (ABCs of Life Support)
2. Pemantauan ketat status cairan dan elektrolit pasien karena kondisi pasien dapat
memburuk secara tiba-tiba dan berat
3. Pemberikan cairan intravena dan elektrolit jika diperlukan untuk mengembalikan
dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Pemantauan fungsi ginjal dan alkalinasi urin untuk mengeluarkan kristal asam
jengkolat.
5. Jika terjadi gagal ginjal akut maka diberikan natrium bikarbonat melalui infus
dengan dosis yang disesuaikan hasil analisis gas darah.

E. Pencegahan Keracunan Asam Jengkolat

1. Hindari mengkonsumsi jengkol pada saat perut kosong (sebelum makan) dan/atau
jangan disertai makanan/ minuman lain yang besifat asam.
2. Hindari mengkonsumsi jengkol dalam keadaan mentah. Sebaiknya jengkol dimasak
terlebih dahulu sebelum dikonsumsi agar kandungan asam jengkolatnya dapat
berkurang. Jengkol mentah mengandung asam jengkolat lebih banyak daripada
jengkol yang sudah dimasak.
3. Biji jengkol dapat dipendam dahulu di dalam tanah sebelum dimasak agar
kandungan asam jengkolatnya dapat berkurang.
4. Jangan mengkonsumsi jengkol secara berlebihan, terutama bagi individu yang
mengalami gangguan ginjal.
12 jam setelah seseorang mengkonsumsi jengkol. Gejala yang timbul dapat berupa
nyeri perut yang kadang-kadang disertai muntah, serangan kolik dan nyeri saat
berkemih, disuria (gangguan berkemih), dan hematuria (darah di dalam urin). Adanya
darah dalam urin disebabkan oleh adanya luka pada lambung, saluran kemih, bahkan
ginjal akibat terkena kristal asam jengkolat yang tajam.
Jika berlanjut, dapat terjadi gagal ginjal akut yang ditandai dengan fase oliguri-anuria
(pengeluaran urin yang sangat sedikit hingga tidak dapat keluar), yang kemudian
diikuti dengan fase poliuria (volume urin yang sangat besar dalam periode tertentu).
Pada pemeriksaan urin dengan mikroskop di laboratorium, dapat ditemukan hablur
asam jengkolat berupa jarum runcing yang kadang-kadang bergumpal menjadi ikatan
atau berupa roset.

Anda mungkin juga menyukai