Anda di halaman 1dari 7

Tugas : Hukum Lingkungan

Dosen : Dr. H. Suparto Wijoyo, SH, M. Hum

RESENSI BUKU
REFLEKSI MATA RANTAI PENGATURAN HUKUM PENGELOLAAN
LINGKUNGAN SECARA TERPADU (STUDI KASUS PENCEMARAN
UDARA)

KIKI SANJAYA
NIM. 101414353007

PRODI MAGISTER KESEHATAN LINGKUNGAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
IDENTITAS BUKU
JUDUL :

Refleksi Matarantai Pengaturan Hukum


Pengelolaan Lingkungan secara Terpadu (Studi
Kasus Pencemaran Udara)

Penulis : Dr. H. Suparto Wijiyo, SH, M. Hum


Cetakan Pertama : 2005
Penerbit : Airlangga UniversityPress
Kampus C Unair, Jl. Mulyorejo Surabaya 60115
Telp. (031) 5992246, 5992247 Fax. (031)5992248
E-mail : aupsby@rad.net.id
Dicetak oleh : Airlangga University Press
(PNB. 029/08.09/AUP-B5E)
Jumlah halaman : 789 halaman
Tahun terbit : 2005
Judul BAB yang di resensi : BAB II Peraturan Perundang-Undangan (Tentang)
Pengendalian Pencemaran Udara
BAB II: Peraturan Perundang-Undangan (Tentang) Pengendalian
Pencemaran Udara

Peraturan perundang-undangan secara esensial menyangkut pembentukan


norma hukum iiyang berlaku keluar dan bersifat umum. Berpedoman pada UUD
1945 dan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 maupun UU No. 10 Tahun 2004, tata
urutan peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran udara secara garis
besar meliputi:

a. Undang-undang
b. Perpu
c. Peraturan Pemerintah
d. Keputusan Presiden/Peraturan Presiden, dan
e. Peraturan Daerah

Namun, hirarki peraturan perundang-undangan tersebut tidak dengan mudah


menggambarkan tat urutan tentang peraturan perundang-undangan pengendalian
pencemaran udara. Peraturan perundang-undangan mengenai pengendalian
pencemaran udara tidak hanya terbatas pada kelima aturan diatas, terdapat pula
banyak aturan-aturan hukum yang dapat digunakan dalam pengendalian
pencemaran udara seperti:

a. Keputusan Menteri
b. Keputusan Gubernur
c. Keputusan Bupati/Walikota
d. Keputusan-keputusan organ pemerintahan yang bersifat umum.

Adanya Undang-undang mengenai pengendalian pencemaran udara memang


tepat, namun dalam hal ini tidak dapat dikatan bahwa tata urutan peraturan
perundang-undangan pengendalian pencemaran udara dapat berakhir pada
Peraturan Daerah.. peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran udara
diawali dengan adanya Undang-undang dan pada akhirnya akan ditentukan oleh
Keputusan-keputusan organ pemerintahan.
Peraturan Perundang-undangan Pengendalian Pencemaran Udara di Amerika
Serikat, Belanda, Jepang, dan Singapura dimulai dengan pembetukan Undang-
undang pengendalian pencemaran udara. Hal tersebut dilakukan juga oleh negara-
negara maju pada umumnya yang bergabung pada OECD Countries dalam
mengendalikan pencemaran udara.

Peraturan Pemerintah (Tentang) Pengendalian Pencemaran Udara, upaya


pengendalian pencemaran udara tidak dirumuskan oleh Indonesia dalam Undang-
undang pengendalian pencemaran udara. Langkah yang ditempuh Pemerintah
justru menerbitkan Peraturan Pemerintahan No. 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (PP No. 41 Tahun 1999) pada tanggal 26 Mei
1999. Dimana peraturan ini berlaku efektif mulai tanggal 26 Mei 2001.

Pembentukan PP No. 41 Tahun 1999 merupakan suatu lompatan hukum yang


tidak sesuai dengan tahapan pengaturan dalam “regulatory chain” pengendalian
pencemaran udara. Peraturan tersebut hanya sebatas pada langkah yang
dimaksudkan untuk menindaklanjuti ketentuan mengenai pengendalian
pencemaran udara yang telah dituangkan dalam Pasal 5 ayat (2) 1945 menyatakan
“ Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya”. Dalam pasal tersebut menekankan bahwa Presiden ialah
kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Dalam menjalankan Undang-undang
mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintahan.

Peraturan Perundang-undangan dalam bidang pengendalian pencemaran


udara di Indonesia tersebar dalam berbagai bentuk aturan hukum. Pengaturan
pengendalian pencemaran udara yang dilakukan oleh pemerintah pusat juga terjadi
di daerah. Aturan hukum pengendalian pencemaran udara di daerah provinsi juga
misalnya, dituangkan dalam peraturan perundang-undangan berupa
Keputusan/Peraturan Gubernur tanpa dasar hukum Peraturan Daerah. Terjadinya
tumpang-tindih aturan hukum yang sekedar replikasi dari peraturan perundang-
undangan pengendalian pencemaran udara nasional oleh daerah tidak dapat
dihindari. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh pada penegakan hukum
peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran udara. Adanya peraturan
perundang-undangan pengendalian pencemaran udara merupakan kebutuhan yang
sangat mendasar yang akan menentukan suatu aturan hukum apakah akan berjalan
dengan efektif dalam upaya pengendalian pencemaran udara secara yuridis.

Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pengendalian


Pencemaran Udara. Arti dan fungsi asas-asas peraturan perundanng-undangan
pengendalian pencemaran udara dapat ditelusuri pada tema pemaknaan “algemene
rechtsbeginselen”. Menurut Paul Scholten asas-asas hukum adalah tendensi-
tendensi yang diisyaratkan pada hukum oleh pandangan kesusilaan kita. Asas-asas
hukum juga adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum
positif, yang diungkapkan oleh D.H.M. Meuwissen.

Jadi secara umum atau luas, asas merupakan suatu dalil umum yang dapat
kita nyatakan dalam suatu istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus
mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk
nantinya menjadi sebuah petunjuk yang baik serta tepat bagi perbuatan.

Dalam pembentukan asas-asas peraturan perundang-undangan tentang


pengendalian pencemaran udara dapat digolongkan atau dikategorisasikan sebagai
berikut:

1. Asas tujuan yang jelas


2. Asas kebutuhan adanya pengaturan yang bersifat umum
3. Asas institusi dan substansi yang tepat
4. Asas dapat diimplementasikan
5. Asas diumumkan dan mudah dikenali
6. Asas perumusan yang ringkas dan padat
7. Asas penggunaan istilah yang mudah dimengerti dan sistematika yang
runtut
8. Asas konsensus dan konsistensi
9. Asas tidak saling bertentangan
10. Asas kepastian hukum
11. Asas tidak berlaku surut
12. Asas menjangkau masa depan

Tipilogi peraturan perundang-undangan lingkungan pada umumnya


menggambarakan pola orientansi mengenai pengendalian pencemaran udara.
Dimana dalam tipilogi hukum terdapat dua pengaturan yaitu pengaturan langsung,
pengaturan tidak langsung, pengaturan diri sendiri.

Dalam upaya pencegahan pencemaran udara maka dibentuklah suatu sistem


yaitu prinsip pencemar membayar yang akan mampu menjadi dasar bagi para
pelaku pencemar lingkungan yang akan dikenakan pungutan terhadap pencemaran
lingkungan yang memiliki tujuan untuk membiayai dalam upaya pencegahan
pencemaran lingkungan. Asas cegat-tangkal merupakan suatu dasar yang
menghendaki kualitas dari suatu kompartemen lingkungan atas terjadinya
pencemaran di lingkungan.

Dalam perkembangan teknologi yang semakin maju serta pembangunan akan


industri-industri yang besar maka sangatlah dibutuhkan petunjuk dan bimbingan
serta dasar-dasar hukum yang mampu memberikan serta dapat mengatasi masalah-
masalah yang akan ditimbulkan dikemudian hari yang mampu memberikan dampak
negatif bagi lingkungan disekitarnya.

Dalam PP No. 41 Tahun 1999 terdapat ketentuan dalam Pasal 5, 6, 7, 18, 19,
26, 28, dan 31 yang secara umum menjelaskan mengenai upaya pengendalian
pencemaran udara secara operasional sesuai dengan asas cegat-tangkal dilakukan
didaerah. Asas beban pembuktian terbalik telah dituangkan dalam beberapa
peraturan perundang-undangan (lingkungan), sepertinya:

a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif


Indonesia (UU ZEE Indonesia) : Pasal 11 ayat (2).
b. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (UU Pelayaran)
: Pasal 86 ayat (2).
c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (UU
Ketenaganukliran) : Pasal 33 ayat (1).
d. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan
International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage jo.

Kewenangan MENLH yang berkedudukan sebagai Menteri Negara dan


berstatus sebagai Lembaga Pemerintah Nondepartemen dalam pengedalian
pencemaran udara hanya dapat dilaksanakan selama tidak berbenturan dengan
wewenang pengelolaan lingkungan sektoral. Pencemaran lingkungan kedepannya
mesti diminimalisirkan agar lingkungan dapat terhindar dari kerusakan, dibuatnya
landasan hukum mengenai sumber dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh
pencemaran, agar nantinya mampu memberikan dampak yang baik bagi kualitas
lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai