Meteh Br. Karo-Karo Gurusinga karena statusnya adalah anak perempuan sebagai
ahli waris objek perkara yang berasal dari orang tuanya namun terlebih untuk
meninjau kembali tentang pembagian harta waris dari orang tuanya Deleng Karo-
Gurusinga yang juga atas hak legitieme portie jika dilakukannya hibah wasiat
tersebut.
Atas dasar upaya persamaan dalam pembagian harta warisan antara laki-laki dan
wanita sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 No.
Mahkamah Agung dalam, antara lain yang dikemukakan oleh Dr. Eman
Suparman, S.H., M.H., Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat,
dan BW yaitu:
anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap berlaku selaku hukum yang hidup,
bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang
dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan
hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak
laki-laki dari seorang peninggal warisan, berhak atas warisan, dalam arti
(3) Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah
Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus
dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orang
tuanya”.
Yang sangat perlu ditinjau dari putusan ini adalah bahwa tujuan dari pembuat
menguntungkan orang lain karena adanya hibah wasiat yang dilakukan. Seperti
yang terjadi antara almarhumah Meteh Br. Karo-Karo Gurusinga yang menghibah
wasiatkan tanah warisan dari orang tuanya Deleng Karo-Karo Gurusinga kepada
anaknya Drs. Perayan Tarigan. Yang mana semestinya tanah warisan tersebut
Hakikatnya rasa keadilan yang harus dipergunakan sejauh mungkin dan sesuai
asli dari Indonesia, tidak serta merta menghapuskan adat istiadat yang telah hidup
di dalam masyarakat. Namun, sebagai warga Negara Indonesia yang taat hukum,