Anda di halaman 1dari 12

Chronic Obstructive Pulmonal Disease (COPD)

August 29, 2009dr. Cinta

Oleh : Muhammad Reza, S.Ked

Chronic Obstructive Pulmonal Disease (COPD) atau Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa
disebut sebagai PPOK, merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran
udara didalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif
ini disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang
terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak nafas, batuk dan
produksi sputum.1

Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan
angka mortalitasnya yang terus meningkat.2 Meningkatnya usia hidup manusia dan dapat
diatasinya penyakit degeneratif lainnya COPD sangat mengganggu kualitas hidup diusia lanjut.
Bidang industri yang tidak dapat dipisahkan dengan polusi udara dan lingkungan serta kebiasaan
merokok merupakan penyebab utama.

2.1. Definisi

COPD atau PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala
ekstrapulmonal yang signifikan, yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada
tiap individual. Penyakit paru kronik ini ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam
saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh
proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan
gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama
PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya.3

Bronchitis kronis adalah suatu definisi klinis yaitu ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap
hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun dan
paling sedikit selama 2 tahun.

Emfisema adalah suatu perubahan anatomi paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal disertai kerusakan dinding alveolus.

2.2. Prevalensi

Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta,
726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000.
Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung,
kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $24
milyar per tahunnya.
WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. Akibat
sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya akan meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan
sebagai penyebab kematian akan meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Berdasarkan survey
kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki
peringkat ke-6. Merokok merupakan farktor risiko terpenting penyebab PPOK disamping faktor
risiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-lainnya.2

2.3. Etiologi

Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda dari partikel yang
terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika kita mengambil kesimpulan
bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat
mengiritasi saluran pernapasan. Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat
memberikan kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah dari
partikel yang terinhalasi oleh individu tersebut.1

Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor
penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah defisiensi alfa-1
antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin.3

Faktor resiko COPD bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-partikel iritatif yang
terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya :4

 Asap rokok

Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala respiratorik, abnormalitas
fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak merokok. Resiko untuk
menderita COPD bergantung pada “dosis merokok”nya, seperti umur orang tersebut mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut merokok.

Enviromental tobacco smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat mengalami gejala-gejala
respiratorik dan COPD dikarenakan oleh partikel-partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga
mengakibatkan paru-paru “terbakar”.

Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor resiko kepada janin,
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-paru dan perkembangan janin dalam
kandungan, bahkan mungkin juga dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.

 Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)


 Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan

Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu bakar ataupun
bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk memasak, pemanas dan untuk
kebutuhan rumah tangga lainnya. Sehingga IAP memiliki tanggung jawab besar jika
dibandingkan dengan polusi di luar ruangan seperti gas buang kendaraan bermotor. IAP
diperkirakan membunuh 2 juta wanita dan anak-anak setiap tahunnya.

 Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan.
 Infeksi saluran nafas berulang
 Jenis kelamin

Dahulu, COPD lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita. Karena dahulu, lebih
banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-laki dan wanita
seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu sendiri. Beberapa penelitian
mengatakan bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena COPD dibandingkan perokok
pria.

 Status sosio ekonomi dan status nutrisi


 Asma
 Usia

Onset usia dari COPD ini adalah pertengahan

2.4. Patogenesis

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari COPD ini adalah merokok.
Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel
silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental
dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan
yang menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat.
Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan.4

Komponen-komponen asap rokok tersebut juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada
paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di
paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi
recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps.4

2.5. Patofisiologi

Pada bronchitis kronik maupun emfisema terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan ini
dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak.
Pada bronchitis kronik,saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi
lebih sempit, berkelok-kelok dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi juga oleh metaplasia sel
goblet, saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus.

Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-
paru.

Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan
berkurang, sehingga saluran-saluran pernafasan bagian bawah paru akan tertutup.

Pada penderita bronchitis kronik dan emfisema, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih
cepat dan lebih banyak tertutup. Akibat cepatnya saluran pernafasan tertutup serta dinding
alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi tidak seimbang. Tergantung dari kerusakannya
dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang atau tidak ada, akan tetapi perfusi baik, sehingga
penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata, atau dapat
dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli yang akhirnya
menimbulkan hipoksia dan sesak nafas.

Pada PPOK terutama karena emfisema dapat terjadi kelainan kardiovaskuler ,jantung menjadi
kecil, ini disebabkan peningkatan retrosternal air space.

Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien COPD, yakni : peningkatan
jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen saluran nafas, dinding saluran
nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim). Yang mana hal ini
dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi pada penderita asma.5

2.6. Klasifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, dibagi atas 4
derajat :4

1. 1. Derajat I: COPD ringan

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara ringan
(VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak
menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.

1. 2. Derajat II: COPD sedang

Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1 < 80%),
disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai
mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
1. 3. Derajat III: COPD berat

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP1 / KVP <
70%; 30% £ VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan
kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

1. 4. Derajat IV: COPD sangat berat

Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 < 30% prediksi)
atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.

2.7. Diagnosa

Penderita COPD akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-batuk kronis,
sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan COPD ringan dapat tanpa keluhan atau
gejala. Dapat ditegakkan dengan cara :1

1. 1. Anamnesis

Anamnesis riwayat paparan dengan faktor resiko, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga
PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit
terhadap aktivitas, dll.

1. 2. Pemeriksaan Fisik, dijumpai adanya :

 Pernafasan pursed lips


 Takipnea
 Dada emfisematous atu barrel chest
 Tampilan fisik pink puffer atau blue bloater
 Pelebaran sela iga
 Hipertropi otot bantu nafas
 Bunyi nafas vesikuler melemah
 Ekspirasi memanjang
 Ronki kering atau wheezing
 Bunyi jantung jauh

1. 3. Pemeriksaan Foto Toraks, curiga PPOK bila dijumpai kelainan:

 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Diafragma mendatar
 Corakan bronkovaskuler meningkat
 Bulla
 Jantung pendulum
Foto thorax pada bronchitis kronis memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-garis
yang paralel keluar dari hilus menuju apex paru dan corakan paru yang bertambah.

Pada emfisema paru thorax menunjukan adanya overventilasi dengan gambaran diafragma yang
rendah dan datar, peningkatan retrosternal air space dan bayangan penyempitan jantung yang
panjang, penciutan pembuluh darah pulmonal dan penampakan ke distal.

Pada CT-Scan lebih sensitif daripada foto thorax biasa karena pada High-resolution CT (HRCT)
scan memiliki sensivitas tinggi untuk menggambarkan emfisema, tapi tidak dianjurkan untuk
pemeriksaan rutin.

1. 4. Uji Spirometri, yang merupakan diagnosis pasti, dijumpai :

 VEP1 < KVP < 70%


 Uji bronkodilator (saat diagnosis ditegakkan) : VEP1 paska

bronkodilator < 80% prediksi

1. 5. Uji Coba kortikosteroid

1. 6. Analisis gas darah

 Semua pasien dengan VEP1 < 40% prediksi


 Secara klinis diperkirakan gagal nafas atau payah jantung kanan

2.8. Diagnosa Banding

COPD didiagnosa banding dengan :1

1. Asma Bronkial
2. Gagal jantung kongestif
3. Bronkiektasis
4. Tuberkulosis

2.9. Penatalaksanaan

Adapun tujuan dari penatalaksanaan COPD ini adalah :1

 Mencegah progesifitas penyakit


 Mengurangi gejala
 Meningkatkan toleransi latihan
 Mencegah dan mengobati komplikasi
 Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
 Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
 Meningkatkan kualitas hidup penderita
 Menurunkan angka kematian

Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu tujuan selama tatalaksana
COPD.5

Tujuan tersebut dapat dicapai melalui 4 komponen program tatalaksana, yaitu :1

1. 1. Evaluasi dan monitor penyakit

PPOK merupakan penyakit yang progresif, artinya fungsi paru akan menurun seiring berjalannya
waktu. Oleh karena itu, monitor merupakan hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan
penyakit ini. Monitor penting yang harus dilakukan adalah gejala klinis dan fungsi paru.

Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai PPOK atau pasien yang telah di
diagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan monitoring penyakit :

 Pajanan faktor resiko, jenis zat dan lamanya terpajan


 Riwayat timbulnya gejala atau penyakit
 Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya asma, tb paru
 Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat penyakit paru kronik lainnya
 Penyakit komorbid yang ada, misal penyakit jantung, rematik, atau penyakit-penyakit yang
menyebabkan keterbattasan aktifitas
 Rencanakan pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK
 Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti keterbatasan aktifitas, kehilangan
waktu kerja dan pengaruh ekonomi, perasaan depresi / cemas
 Kemungkinan untuk mengurangi faktor resiko terutama berhenti merokok
 Dukungan dari keluarga

1. 2. Menurunkan faktor resiko

Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam mengurangi
resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresifitas penyakit.

Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok – 5 A :

1). Ask (Tanyakan)

Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan

2). Advise (Nasehati)

Memberikan dorongan kuat untuk semua perokok untuk berhenti merokok


3). Assess (Nilai)

Memberikan penilaian untuk usaha berhenti merokok

4). Assist (Bantu)

Membantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling praktis,


merekomendasikan penggunaan farmakoterapi

5). Arrange (Atur)

Jadwal kontak lebih lanjut

1. 3. Tatalaksana PPOK stabil

 Terapi Farmakologis

1. Bronkodilator

 Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia / tak terjangkau


 Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala intermitten)
 3 golongan :
 Agonis b-2: fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol
 Antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium bromid
 Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombinasi b-2 dan steroid belum memuaskan
 Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator
monoterapi

1. Steroid

– PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid

– PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi (derajat III dan IV)

– Eksaserbasi akut

1. Obat-obat tambahan lain

 Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroksol, karbosistein, gliserol iodida


 Antioksidan : N-Asetil-sistein
 Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin
 Antitusif : tidak rutin
 Vaksinasi : influenza, pneumokokus
 Terapi Non-Farmakologis

1. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan, rehabilitasi psikososial


2. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari): pada PPOK derajat IV, AGD=

 PaO2 < 55 mmHg, atau SO2 < 88% dengan atau tanpa hiperkapnia
 PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 < 88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena
gagal jantung, polisitemia

Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus dipantau secara ketat. Oleh
karena, pada pasien PPOK terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi kemoreseptor-
kemoreseptor central yang dalam keadaan normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka
yang menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya konsentrasi oksigen di dalam darah
arteri yang terus merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif kurang peka.
Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila PO2 lebih dari 50 mmHg, maka
dorongan untuk bernapas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK biasanya memiliki kadar
oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi terapi dengan oksigen tinggi. Hal ini sangat
mempengaruhi koalitas hidup. Ventimask adalah cara paling efektif untuk memberikan oksigen
pada pasien PPOK.

1. Nutrisi
2. Pembedahan: pada PPOK berat, (bila dapat memperbaiki fungís paru atau gerakan mekanik
paru)

 Penatalaksanaan menurut derajat PPOK1

DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI PENGOBATAN

Semua derajat  Hindari faktor pencetus


 Vaksinasi influenza

Derajat I (PPOK VEP1 / KVP < 70 % 1. Bronkodilator kerja singkat (SABA, antikolinergik k
Ringan) pendek) bila perlu
VEP1 ³ 80% Prediksi 2. Pemberian antikolinergik kerja lama sebagai terapi
pemeliharaan

Derajat II VEP1 / KVP < 70 % 1. Pengobatan reguler dengan Kortikosteroid in


bronkodilator: bila uji steroid p
(PPOK sedang) 50% £ VEP1 £ 80% Prediksi 1. Antikolinergik kerja lama
dengan atau tanpa gejala sebagai terapi pemeliharaan
2. LABA
3. Simptomatik
4. Rehabilitasi

Derajat III VEP1 / KVP < 70%; 30% £ 1. Pengobatan reguler dengan 1 atau Kortikosteroid in
VEP1 £ 50% prediksi lebih bronkodilator: bila uji steroid p
(PPOK Berat) 1. Antikolinergik kerja lama atau eksaserbasi
Dengan atau tanpa gejala sebagai terapi pemeliharaan berulang
2. LABA
3. Simptomatik
4. Rehabilitasi

Derajat IV VEP1 / KVP < 70%; VEP1< 30% 1. Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilato
prediksi atau gagal nafas atau 1. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemelihar
(PPOK sangat gagal jantung kanan 2. LABA
berat) 3. Pengobatan komplikasi
4. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons kl
atau eksaserbasi berulang
5. Rehabilitasi
6. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal nafas

pertimbangkan terapi bedah

1. 4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi

Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rujmah : bronkodilator seperti pada PPOK stabil,
dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 ahri. Bila infeksi:
diberikan antibiotika spektrum luas (termasuk S.pneumonie, H influenzae, M catarrhalis).

Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:

 Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask


 Bronkodilator: inhalasi agonis b2 (dosis & frekwensi ditingkatkan) + antikolinergik. Pada
eksaserbasi akut berat: + aminofilin (0,5 mg/kgBB/jam)
 Steroid: prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari.

Steroid intravena: pada keadaan berat

Antibiotika terhadap S pneumonie, H influenza, M catarrhalis.

 Ventilasi mekanik pada: gagal akut atau kronik

Indikasi rawat inap :


 Eksaserbasi sedang dan berat
 Terdapat komplikasi
 Infeksi saluran napas berat
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik
 Gagal jantung kanan

Indikasi rawat ICU :

Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat.

 Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan otot-otot respirasi


 Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2 > 50 mmHg
memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)

2.10. Prognosa

Dubia, tergantung dari stage/derajat, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain.6

2.11. Komplikasi

Gagal nafas, kor pulmonal, septikemia6

DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: 2006. p.
1-18.
2. Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Obstruksi Saluran
Pernafasan Akut. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, 2006. p. 984-5.
3. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention. USA: 2007. p. 6.
[serial online] 2007. [Cited] 20 Juni 2008. Didapat dari
: http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=989
4. GOLD. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. USA: 2007. p. 16-19. [serial online] 2007. [Cited] 20 Juni
2008. Didapat dari : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=1116
5. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2001. p. 437-8.
6. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI,
2006. p. 105-8
7. Grainger, Allison : Diagnostic Raddiology An Anglo American Textbook of Imaging, second
edition, Churchil Livingstone, page :122.
8. Sutton : Textbook of Radiology and Imaging, seventh edition, volume I, Churchil
Livingstone, page :165-171.
9. Horrison : Principle of Internal Medicine, 15th edition, McGraw-Hill, page :1491-1493.
10. G.Simon : Diagnostik Rontgen, cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.
11. Meschan : Analysis of Rontgen Signs in General Radiology, Volume II, page : 954,990-993.
12. Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.
13. Gofton, Douglas : Respiratory Disease, 3rd edition, PG Publishing Pte Ltd, 1984, page : 346-
379.
14. Harrison : Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, Jakarta 20003, hal
:1347-1353.
15. Lothar, Wicke, Atlas Radiologi, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran 1985, page :157.

Anda mungkin juga menyukai