Anda di halaman 1dari 6

2

Menurut World Health Organization (WHO) bronkitis kronis merupakan

jenis penyakit yang dekat dengan chronic obstructive pulmonary disease

ataupun penyakit paru obstruktif kronik. Saat ini, penyakit bronkitis diderita

oleh sekitar 64 juta orang di dunia. Penggunaan tembakau, merokok, virus,

bakteri, parasit dan jamur, polusi udara dalam ruangan/luar ruangan dan debu

serta bahan kimia adalah faktor resiko utama. Di Amerika Serikat prevalensi

rate untuk bronkitis kronik adalah berkisar 4,45% atau 12,1 juta jiwa dari

populasi perkiraan yang digunakan 293 juta jiwa. Untuk daerah ASEAN,

negara Thailand salah satu negara yang merupakan angka ekstrapolasi tingkat

prevalensi bronkitis kronik yang paling tinggi yaitu berkisar 2.885.561 jiwa

dari populasi perkiraan yang digunakan sebesar 64.865.523 jiwa. Menurut

Pratiwi (2015), bahwa angka kematian akibat bronkitis akut, bronkitis kronis,

asma dan emfisema menempati urutan ke 6-10 penyebab kematian utama di

Indonesia. Hasil survei Depkes RI (2008), penyakit tidak menular oleh

Direktorat Jendral P2PL di lima rumah sakit provinsi di Indonesia (Jawa

Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada

tahun 2008, menunjukkan bahwa penyakit bronkitis kronis menempati urutan

pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%),

kanker paru-paru (30%), dan lainnya (2%). Berdasarkan studi pendahuluan

yang di lakukan peneliti di RSUD dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan di

dapatkan penderita bronkhitis kronik selama bulan Januari-Oktober 2018

bejumlah 160 orang yang di dominasi oleh laki-laki.

Penyebab utama penyakit bronkhitis menurut Marni (2014), yaitu bisa

disebabkan oleh virus dan bakteri. Virus yang sering menyebabkan penyakit
3

Respiratorik Syncytial Virus. Penyebab lain yang sering terjadi pada

bronkhitis ini adalah asap rokok, baik perokok aktif maupun perokok pasif,

atau sering menghirup udara yang mengandung zat iritan.

Gejala yang muncul pada pasien bronkitis kronis menurut Ikawati, (2011)

dalam Wury Lisyanti Raharjo (2013), yaitu batuk produktif disertai dahak

meningkat, batuk disertai dahak purulen, batuk berdarah (hemoptysis),

mengalami sesak pada dada, terdapat mengi, mengalami anoreksia ( nafsu

makan menurun), demam dan bisa mengakibatkan keterbatasan aktivitas.

Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan yang dapat menurunkan kualitas

hidup penderita termasuk di usia <40 tahun akibat disfungsi otot rangka

(Oemiati, 2013). Sedangkan akibat produksi sputum berlebih menyebabkan

proses pembersihan silia tidak berjalan lancar sehingga sputum tertimbun dan

menyebabkan bersihan jalan nafas tidak efektif, dan sputum dapat dikeluarkan

dengan tekanan intrathorakal dan intra abdomen yang tinggi (Nugroho, 2011).

Pengeluaran dahak dapat dilakukan dengan cara membatukkan atau postural

drainase dengan bantuan penguapan, namun jika batuk yang dilakukan tidak

baik maka penderita akan mengalami kesulitan bernafas dan mengakibatkan

munculnya sianosis (pucat), kelelahan dan merasa lemah. Jika hal tersebut

tidak segera diatasi maka pada tahap selanjutnya akan mengalami

perlengketan jalan nafas dan menyebabkan obstruksi (sumbatan) jalan nafas

(Nugroho, 2011).

Menurut Slamet Riyanto dalam Penatalaksanaan Fisioterapi Pada

Bronkitis Kronis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta tahun

2017, peran seorang fisioterapi pada kasus bronkitis kronis diantaranya adalah
4

mengurangi sesak, pembersihan jalan napas dengan pengeluaran sputum,

mengurangi spasme pada otot-otot bantu napas, meningkatkan kemampuan

fungsional serta mencegah kekambuhan. Intervensi fisioterapi yang penulis

ambil untuk karya tulis ilmiah kali ini adalah dengan menggunakan infra red

dan Forced Expiration Technique (FET). Pemberian infra red pada bronkitis

kronis diharapkan dapat merileksasikan otot-otot bantu pernafasan pada

penderita bronkitis kronis yang mengalami spasme atau kekakuan akibat

kontraksi yang berlebihan, Sehingga dapat mengurangi nyeri yang terjadi

karena spasme otot atau kekakuan otot-otot. Infra red mempunyai efek panas

yang dapat di pergunakan untuk merileksasikan otot-otot yang mengalami

spasme dan kekakuan. Infra red merupakan pancaran gelombang

elektromagnetik dengan panjang gelombang 7700-4 juta. Peningkatan suhu

pada area yang diterapi inilah yang menyebabkan otot menjadi rilek dan

spasme menjadi berkurang (Kharismawan, 2016). Sedangkan menurut Jurnal

Ilmiah Studi Kasus Asuhan Keperawatan Pasien Penyakit Paru Obstruksi

Kronis Di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Raa. Soewondo Pati yang

dilakukan oleh Endah Sri Lestari (2013), penatalaksanaan yang dilakukan

untuk masalah bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan

penumpukan sputum yaitu memberikan posisi duduk pada klien, mengajarkan

klien cara batuk efektif. Pada gangguan pertukaran gas berhubungan dengan

ketidaksamaan ventilasi perfusi implementasi yang dilakukan yaitu memonitor

pernafasan klien, mengukur SPO2 dan melakukan pemeriksaan BGA pada

klien.
5

Peran perawat dalam penanganan bronkhitis yaitu dengan memberikan

asuhan keperawatan yang komprehensif. Penanganan secara farmakologi

dapat dilakukan dengan cara pemberian obata-obatan. Sedangkan penanganan

secara nonfarmakologi dapat dilakukan dengan cara batuk efektif, pemberian

posisi, pemberian nutrisi yang cukup, rehabilitasi penderita, dan pemberian

oksigen.

Berdasarkan latar belakang fenomena yang telah dijabarkan diatas peneliti

tertarik untuk mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada pasien

Bronkhitis Kronik di RSUD dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis membuat rumusan

masalah sebagai berikut “Asuhan Keperawatan Klien Pada Sistem

Pernafasan dengan Bronkhitis Kronik di RSUD dr. R. Soedarsono Kota

Pasuruan?”

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Menjelaskan tentang Asuhan Keperawatan Klien Pada Sistem Pernafasan

dengan Bronkhitis Kronik di RSUD dr. R. Soedarsono Kota Pasuruan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Melakukan pengkajian Asuhan Keperawatan Klien Pada Sistem

Pernafasan dengan Bronkhitis Kronik di RSUD dr. R. Soedarsono

Kota Pasuruan.
6

2. Merumuskan diagnosis Asuhan Keperawatan Klien Pada Sistem

Pernafasan dengan Bronkhitis Kronik di RSUD dr. R. Soedarsono

Kota Pasuruan.

3. Membuat perencanaan Asuhan Keperawatan Klien Pada Sistem

Pernafasan dengan Bronkhitis Kronik di RSUD dr. R. Soedarsono

Kota Pasuruan.

4. Melakukan implementasi Asuhan Keperawatan Klien Pada Sistem

Pernafasan dengan Bronkhitis Kronik di RSUD dr. R. Soedarsono

Kota Pasuruan.

5. Melakukan evaluasi Asuhan Keperawatan Klien Pada Sistem

Pernafasan dengan Bronkhitis Kronik di RSUD dr. R. Soedarsono

Kota Pasuruan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Sebagai penambah informasi bagaimana Asuhan Keperawatan Klien Pada

Sistem Pernafasan dengan Bronkhitis Kronik di RSUD dr. R. Soedarsono

Kota Pasuruan.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Peneliti

Dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien bronkhitis kronik

sehingga dapat memperkecil resiko yang ditimbulkan serta dapat

mempercepat penyembuhan.
7

2. Bagi Pelayanan Keperawatan

Penelitan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi rumah sakit

khususnya tenaga kesehatan perawat dalam merawat dan melakukan

asuhan keperawatan pada pasien dengan bronkhitis kronik.

3. Bagi Institusi

Dapat menjadikan masukan bagi pihak institusi dalam memberikan

asuhan keperawatan pada pasien bronkhitis kronik.

4. Bagi Responden

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi membantu pasien bronkhitis

kronik agar mendapatkan asuhan keperawatan yang tepat dan dapat

membantu penderita agar melakukan intervensi secara mandiri dalam

menurunkan sesak nafasnya.

Anda mungkin juga menyukai