Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH : RIBA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI

Diposkan oleh marzuki syuhada on Minggu, 15 Desember 2013

RIBA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum Islam mengatur tatacara melaksanakan kehidupan yang mencakup bidang ibadat
dan kemasyarakatan, sedang tata cara berkeyakinan kepada Tuhan dan sebagainya serta
tatacara bertingkah laku dalam ukuran-ukuran akhlak, lazimnya tidak dibicarakan dalam
hukum Islam. Dengan demikian dalam hukum Islam terdapat aturan-aturan tentang tatacara
melakukan ibadat, perkawinan, kewarisan, perjanjian-perjanjian muamalat, hidup bernegara
yang mencakup kepidanaan, ketatanegaraan, hubungan antar Negara dan sebagainya.
Dalam pembahasan ini akan membahas tentang salah satu bagian dari perjanjian muamalat
yang dilarang oleh agama dalam hutang piutang, yakni riba.
Islam sangat menjunjung tinggi suatu pekerjaan suatu pekerjaan yang dilakukan oleh
seorang hambanya dengan tangannya sendiri (kemampuan) dan begitu pula dengan “dagang”
jual beli sebagaimana tercermin dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Al Bazār:
‫ رواه الصبزار وصصححه‬.‫ وكل بيصصع مصبرور‬,‫ عمل الرجل بيده‬:‫ أي الكسب اطيب؟ قال‬:‫عن رفاعة بن رافع أن النبي ص سئل‬
‫الحاكم‬.
Hadis di atas menegaskan bahwa bentuk jual beli yang diharapkan oleh agama adalah
bentuk jual beli yang sah,
sahih dan sehat tanpa adanya pihak yang dirugikan, hal ini selaras dengan akad hutang
piutang yang harus dilakukan dengan bentuk yang sehat pula. Sebagaimana tercermin dalam
ayat Al Quran sebagai berikut:
‫يا أيها الذين آمنوا ل تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل‬....
Dengan demikian bentuk hutang piutang yang berlawanan dengan bentuk hutang piutang
yang sehat dilarang oleh Agama. Oleh karena itu, pembahasan “Riba” dalam konteks
kekinian perlu dipertegas lagi dalam menggali hukum riba menurut perspektif ekonomi
syariah.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan
ini adalah sebagai berikut :
1. Apa definisi dari riba ?
2. Bagaimana pandangan riba terhadap agama Islam ?
3. Bagaimana konsep riba dalam persepektif non muslim ?
4. Bagaimana larangan riba dalam Al-Qur’an menurut agama Islam ?

1.3 Tujuan Pembahasan


Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian
berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam. Oleh karena itu dalam penulisan makalah ini penulis ingin mengetahui apa itu
Riba, dan bagaimana riba menurut pandangan agama Islam, serta menurut Al-Qur’an berikut
juga terhadap larangan riba dalam islam. Jadi dalam kesempatan ini penulis ingin mengkaji
lebih jauh terhadap riba-riba yang ada dalam agama islam sekarang ini, dan memahami
tentang segala konsep-konsep riba dalam agama islam.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Riba


Inti makna kata “riba” secara leksikal adalah bertambah, membesar, menjadi tambah
banyak, tumbuh, berkembang atau naik. Kata kerja lampau “rabā” artinya “bertambah” dan
‘berkembang’. Rabā al-māl artinya ‘harta itu bertambah’ atau ‘berkembang’. Secara
terminologi Joseph Schacht mendefinisikan ribā sebagai keuntungan tanpa adanya kontrak
nilai yang telah diisyaratkan oleh satu pihak yang mengadakan kontrak dalam
mempertukarkan dua jenis barang yang bernilai.
Sedangkan menurut ulama’ syafi’iyyah, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Anwar
ribā adalah “melakukan transaksi atas suatu objek tertentu yang pada waktu melakukannya
tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syar’i (artinya ada kelebihan) atau dengan
menunda penyerahan kedua atau salah satu objek. Profesor Syamsul Anwar mendefinisikan
riba adalah kelebihan (tambahan) yang diperoleh dan tidak ada imbalannya serta dapat
dituntut oleh salah satu pihak dalam suatu proses transaksi yang bersifat timbal balik.
a. Riba dalam Konteks Kekinian
Dengan perkembangan zaman dan disertai pula dengan perkembangan transaksi
keuangan dalam dunia modern ini, tampaknya ada perbedaan penafsiran tentang riba, hal ini
dapat di ketahui dengan adanya sistem bunga di beberapa institusi bahkan pribadi seseorang
yang melakukan transaksi hutang piutang atau pinjaman.[1]
Diantara pandangan-pandangan tentang riba ada yang menyatakan bahwa yang termasuk
adalah suatu tambahan yang berlipat ganda ‘‫ ’أضعا فا مضاعفة‬sehingga melahirkan pemahaman
bahwa adanya tambahan yang tidak berlipat ganda, dalam artian tidak terlalu banyak [seperti
bunga yang persennya kecil untuk pinjaman] bukanlah termasuk riba. Namun adapula yang
menyatakan bahwa segala bentuk tambahan atas poko pinjaman ‘‫ ’الزيادة الستعللية‬adalah riba.
Dengan adanya pandangan tersebut maka perlu dipertegas bagaimanakah riba menurut
ekonomi syariah.
b. Riba dalam Ekonomi Syariah
Hukum Islam memiliki arti penting dalam kehidupan setiap muslim, meliputi juga
dengan transaksi keuangan yang dilakukan oleh setiap muslim di setiap harinya. Terlebih, di
zaman modern ini sistem kapitalis telah gagal menerapkan metode ekonominya dan seiring
dengan kemunduran sistem ekonomi kapital tersebut, lahir suatu sistem ekonomi baru yang
dikenal dengan sistem ekonomi Islam atau sistem ekonomi syariah.
Sistem ekonomi syariah adalah sistem ekonomi yang berpegang pada kumpulan prinsip
tentang ekonomi yang diambil dari Al-Quran dan Al Sunnah dan fondasi ekonomi yang
dibangun atas pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan lingkungan dan waktu.

2.2 Pandangan Riba Menurut Agama Islam


Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun
memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga
lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani,
demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan
tersendiri mengenai riba.
a) Riba dalam agama Islam
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba
pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :
...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan
ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan
bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank
konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama
Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat
dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk
riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan
tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti.
berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi
deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila
akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui,
maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para
pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan
ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan
nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang
didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah
pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total
keuntungan yang didapat oleh pihak bank.
b) Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang
dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba
jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
 Riba Qardh ( ‫) ربا القرض‬
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).
 Riba Jahiliyyah ( ‫) رباالجاهلية‬
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
 Riba Fadhl ( ‫) رباالفضل‬
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
 Riba Nasi’ah ( ‫[) رباالنسيئة‬2]
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat
ini dengan yang diserahkan kemudian.
c) Riba dalam agama Yahudi
Agama Yahudi melarang praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak
terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun
undang-undang Talmud. Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang
miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang
terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Ulangan 23:19
menyatakan: “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang
maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.
” Kitab Ulangan 23:20 menyatakan: “Dari orang asing boleh engkau memungut
bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga supaya TUHAN,
Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki
untuk mendudukinya."Kitab Imamat 35:7 menyatakan: “Janganlah engkau
mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan
Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi
uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau
berikan dengan meminta riba.”

2.3 Konsep Riba Dalam Persepektif Non Muslim


Riba bukan hanya merupakan masalah masyarakat islam, tetapi berbagai kalangan diluar
islam pun memandang serius persoalan ini. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat
diruntut mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam. Masalah telah menjadi ubahan
bahasan kalangan yahudi, yunani, demikian juga romawi. Kalangan keristen dari masa-
kemasa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Adapun konsep riba menurut
mereka akan disebutkan secara singkat sebagai berikut :

a. Konsep Riba Dikalangan Yahudi


Konsep tentang larangan riba tersebut dikalangan Yahudi banyak terdapat dalam kitab
suci mereka, baik dalam Old Testment ( Perjanjian Lama ) Maupun undang-undang Talmud.
Larangan tersebut sebagi berikut :
Kitab Exodus pasal 22 Ayat 25 menyatakan“ Jika Engkau meminjamkan Uang kepada
salah seorang dari umatku orang yang Miskin diantara kamu, maka janganlah engkau berlaku
sebagai penagih utang terhadap dia: janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya”
Kitab Deoteronomy Pasal 23 ayat 36-37 Menyatakan,“ Janganlah kamu membungakan
kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan”.
Kitab Levicitus Pasal 25 Ayat 19 Mengatakan, “Jangan lah engkau mengambil uang atau
riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup
diantaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga
makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba”[3]
b. Konsep Bunga dikalangan Yunani Dan Romawi
Konsep atau praktik pengambilan bunga dicela oleh para Ahli Filsafat, dua filosof yunani
terkemuka,Yaitu plato dan Aristoteles, mengecam praktik bunga. Dengan pendapat mereka
sebagai berikut: Plato ( 427-347 SM) Dia mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan
yang pertama: Bunga mengakibatkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
Kedua : Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Adapun Aristoteles (384-322 SM) Menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa
fungsi uang adalah sebagi alat tukar atau Medium of exchange. Ditegaskannya bahwa uang
bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Diapun menyebut bunga sebagai
uang yang berasal keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi.
Kalau kita telah mengamati pendapat para tokoh filosof yunani diatas, sekarang kita
amati pendapat ahli filsafat romawi yang pendatnya beralasan yang sama dengan alasan
filosof yunani tokoh tersebut adalah. Cato (234-149 SM) Ia berkata pada anaknya agar
menjauhi dua perkara yaitu memungut cikai dan mengambil bunga.
c. Konsep Bunga Dikalangan Kristen
Kitab perjanjian baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Akan tetapi,
sebagaian kalangan kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-35
sebagai Ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. [4]Ayat tersebut menyatakan;
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan
menerima sesuatu darinya, Apakah jasamu ?Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada
orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah
musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan
balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak tuhan yang maha tinggi
sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterma kasih dan terhadap orang-orang
jahat”
St.Basil (329-379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperikemanusiaan. Baginya mengambil bunga adalah Mengambil keuntungan dari orang
yang memerlukan, Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan
kesusahan orang miskin.
St.Gregory Dari Nyssa (335-407 )Mengutuk praktik bunga karena menurutnya pertolongan
melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu, tetapi pada saat
menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. Dan masih banyak larangan-
larangan riba lainnya didalam kitab injil perjanjian lama tersebut yang tidak bisa disebutkan.

2.4 Larangan Riba Dalam Al-Qur’an Menurut Agama Islam


1) Larangan Riba dalam Al-Qur’an
Larangan Riba yang terdapat dalam al-qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan
diturunkan dalam empat tahap. Tahap pertama; menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
pada dzahirnya seolah-olah menolong mereka yang membutuhkan sebagai suatu perbuatan
mendekati atau Taqarrub kepada Allah SWT. Yaitu dalam surat Ar-Rum :39.
Tahap Kedua; Riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam
akan memberi balasan yang keras kepada orang yahudi memakan riba. Yaitu dalam surat An-
Nisa’ Ayat:161.
Tahap ketiga; Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda, para Ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup
tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan opada masa tersebut. Yaitu dalam
surat Ali Imran :130. Tahap Keempat; Allah menjelaskan dengan tegas mengharamkan
apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Yaitu dalam surat Al-Baqarah :279.
2) Larangan Riba Dalam Al-Hadist
Pelarangan riba tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga Al- Hadist. Hal ini
sebagai mana posisi umum hadist yang bwerfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan
yang telah digariskan melalui Al-Qur’an. Adapun pelarang riba dalam hadist lebih terinci.
Diantara hadist tersebut adalah wasiat nabi terakhir pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10
Hijriah, Rasulullah masih menekankan sikap islam yang melarang riba “Ingatlah bahwa kamu
akan menghadap tuhanmu dan dia pasti akan menghitung Amalmu.Allah telah melarang
kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. [5]Modal (uang
pokok ) kamu adalah hal kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidak
adilan.” Dan hadist-hadist yang lainnya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebagaimana yang telah kita pelajari dari uraian diatas, maka penulis dapat menyimpulkan
adalah sebagai berikut :
1. Riba sebagai salah satu praktik sistem perekonomian sudah terjadi sejak sebelum datangnya
Islam. Namun, sampai pada saat ini riba masih menyelimuti dari berbagai praktik
perekonomian pada masyarakat modern.
2. Riba juga berkembang di saat era globalisasi ini, sehingga konsep riba menjadi kabur,
khususnya pada masalah bunga (interest) yang akhir-akhir ini dipraktikkan oleh lembaga atau
institusi-institusi baik institusi keuangan ataupun institusi perdagangan (bank memberikan
bunga; dealer memberikan bunga tambahan pada sistem kredit).
3. Riba merupakan pengambilan keuntungan secara tidak sehat dalam sistem perekonomian dan
menimbulkan kerugian salah satu pihak, Dengan demikian dalam ekonomi syariah riba secara
tegas di haramkan.

3.2 Saran
Dalam pandangan Islam menurut Al-Qu’an dan Ekonomi Islam bahwa hukum antara riba
dan bunga bank adalah haram. Karena hukum asal riba adalah haram baik itu dalam Al-
Qur’an, Hadis, dan Ijtihad. Seluruh ummat Islam wajib untuk meninggalkannya, serta
menjauhinya yakni dengan cara bertaqwa kepada Allah. Dan riba juga merupakan salah satu
perbuatan yang tidak menyenangkan dalam hukum syariah yang dipengaruhi oleh
pengambilan keuntungan yang dapat merugikan salah satu pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM Books, 2007

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Adat Bagi Umat Islam,Yogyakarta: Nur cahaya, 1983.

Ibnu Hajar Al ‘Asqalāni, Bulughul Marām, Alih Bahasa, A. Hassan, Bandung: CV. Diponegoro,
1991.

Muhraji, Dahwan, materi yang di sampaikan pada perkuliahan ekonomi syariah, 10 September
2009.

Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa: Joko Supomo, Yogyakarta: Islamika,
2003.

Plato dan Aristoteles, bekerjasama dalam praktik konsep bunga, (Yogyakarta; 1983).

Anda mungkin juga menyukai