A. Pengertian
Eliminasi adalah suatu proses pengeluaran zat-zat yang sudah tidak
berguna bagi tubuh hasil dari proses metabolik. Proses eliminasi dibagi
menjadi 2 yaitu proses eliminasi fekal dan urin.
1. Eliminasi Fekal
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolism tubuh berupa
bowel (feses). Pengeluaran feses pada tiap orang sangat bervariasi dari frekwensi
, jumlah maupun konsentrasi. Susunan feses terdiri dari :
1. Bakteri yang umumnya sudah mati
2. Lepasan epitelium dari usus
3. Sejumlah kecil zat nitrogen terutama musin (mucus)
4. Garam terutama kalsium fosfat
5. Sedikit zat besi dari selulosa
6. Sisa zat makanan yang tidak dicerna dan air (100 ml)
Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi fecal yaitu :
1. Usia dan perkembangan : mempengaruhi karakter feses, control
2. Diet
3. Pemasukan cairan. Normalnya : 2000 – 3000 ml/hari
4. Aktifitas fisik : Merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus
meningkat.
5. Faktor psikologik
6. Kebiasaan
7. Posisi
8. Nyeri
9. Kehamilan : menekan rectum
10. Operasi & anestesi
11. Obat-obatan
12. Test diagnostik : Barium enema dapat menyebabkan konstipasi
13. Kondisi patologis
14. Iritan
2. Eliminasi Urin
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih telah
terisi yang akan menimbulkan refleks berkemih. Keinginan untuk berkemih
biasanya terjadi dengan cara berikut : Seseorang secara sadar mengkontraksikan
otot-otot abdomennya lalu tekanan dalam kandung kemih meningkat dan
mengakibatkan urin ekstra memasuki leher kandung kemih dan uretra posterior
di bawah tekanan sehingga meregangkan dindingnya. Hal ini merangsang refleks
berkemih dan mengkambat sfingter eksternus uretra. Ketika urin dikeluarkan
terkadang 5 sampai 10 ml urin tertinggal di kandung kemih.
Sekali refleks berkemih terjadi tetapi tidak berhasil mengosongkan kandung
kemih, elemen saraf dari refleks ini biasanya tetap dalam keadaan terinhibisi
selama beberapa menit sampai satu jam atau lebih sebelum refleks berkemih
lainnya terjadi. Karena kandung kemih menjadi semakin terisi, refleks berkemih
menjadi semakin sering dan semakin kuat.
Sekali refleks berkemih menjadi cukup kuat, hal ini juga menimbulkan refleks
lain, yang berjalan melalui nervus pudendal ke sfingter eksternus untuk
menghambatnya. Jika inhibisi ini lebih kuat dalam otak daripada sinyal
konstriktor volunter ke sfingter eksterna, berkemih pun akan terjadi. Jika tidak,
berkemih tidak akan terjadi sampai kandung kemih terisi lagi dan refleks
berkemih menjadi makin kuat.
B. Etiologi
Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output
urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang
keluar, kopi meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan,
akibatnya output urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine
membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal
dan eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang
menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus
menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang
dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi
jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme
tubuh
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan
C. Karakteristik
Karakteristik Feses
Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan penyebab
Warna Dewasa : Pekat / putih Adanya pigmen empedu,
kecoklatan pemeriksaan diagnostik
Bayi : menggunakan barium
kekuningan Hitam Perdarahan bagian atas GI
Merah Terjadi Hemoroid, perdarahan
Bagian bawah GI (spt. Rektum),
Makan bit.
Pucat dengan Malabsorbsi lemak; diet tinggi
lemak susu dan produk susu dan rendah
daging.
Orange atau hijau Infeksi usus
Lendir darah Darah pada feses dan infeksi
Konsistensi Berbentuk, Keras, kering Dehidrasi, penurunan motilitas
lunak, agak usus akibat kurangnya serat,
cair / lembek, kurang latihan, gangguan emosi
basah. dan laksantif abuse>>konstipasi
Cair Peningkatan motilitas usus (mis.
akibat iritasi kolon oleh
bakteri)>>diare, kekurangan
absorpsi
Bentuk Silinder Mengecil, bentuk Kondisi obstruksi rectum
(bentuk pensil atau seperti
rektum) benang
Jumlah Tergantung
diet (100 – 400
gr/hari)
Bau Aromatik : Tajam, pedas Sumber bau tak enak yang keras,
dipenga-ruhi berasal dari senyawa indole,
oleh makanan skatol, hydrogen sulfide dan
yang dimakan amine, diproduksi oleh
dan flora pembusukan protein oleh bakteri
bakteri. perusak atau pembusuk. Bau
menusuk hidung tanda terjadinya
peningkatan kegiatan bacteria
yang tidak kita kehendaki.
Unsur pokok Sejumlah kecil Pus Infeksi bakteri
bagian kasar Mukus Kondisi peradangan
makanan yg Parasit Perdarahan gastrointestinal
tdk dicerna, Darah Malabsorbsi
potongan bak- Lemak dalam Salah makan
teri yang mati, jumlah besar
sel epitel, Benda asing
lemak, protein,
unsur-unsur
kering cairan
pencernaan
(pigmen
empedu dll)
Frekuensi Lebih dari 6X Hipomotility
dalam sehari Hipermotility
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleksdefekasi instrinsik.
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu
signal yang menyebar melalui pleksusmesentrikus untuk memulai gelombang
peristaltik pada kolon desenden, kolonsigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini
menekan feses kearah anus.Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter
anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses
keluar.Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum
dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke
kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau
bedpan, spingter anus eksternal tenangdengan sendirinya.Pengeluaran feses dibantu
oleh kontraksi otot-otot perut dandiaphragma yang akan meningkatkan tekanan
abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang
menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan
refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau
jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulusspingter
eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan
rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan fesesdi absorpsi sehingga
feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.
Eliminasi Urin
Ginjal
1. Ginjal terbentang dari vertebra torakalis ke-12 sampai dengan vertebra lumbalis
ke-3. Dalam kondisi normal, ginjal kiri lebih tinggi 1,5 – 2 cm dari ginjal kanan
karena posisi anatomi hepar (hati). Setiap ginjal dilapisi oleh kapsul yang kokoh
dan dikelilingi oleh lapisan lemak. Produk pembuangan hasil metabolisme yang
terkumpul dalam darah di filtrasi di ginjal.
2. Darah sampai ke setiap ginjal melalui arteri renalis yang merupakan percabangan
dari aorta abdominalis. Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum. Setiap
ginjal berisi 1 juta nefron, yang merupakan unit fungsional ginjal kemudian
membentuk urine.
3. Darah masuk ke nefron melalui arteiola aferen. Sekelompok pembuluh darah ini
membentuk jaringan kapiler glomerulus, yang merupakan tempat pertama filtrasi
darah dan pembentukan urine. Apabila dalam urine terdapat protein yang
berukuran besar (proteinuria), maka hal ini merupakan tanda adanya cedera pada
glomelorus. Normalnya glomelorus memfiltrasi sekitar 125 ml filtrat/menit.
4. Sekitar 99 % filtrat direabsorsi ke dalam plasma, dengan 1 % sisanya
diekskresikan sebagai urine. Dengan demikian ginjal memiliki peran dalam
pengaturan cairan dan eletrolit.
5. Ginjal juga sebagai penghasil hormon penting untuk memproduksi eritrisit,
pengatur tekanan darah dan mineralisasi mineral. Ginjal memproduksi
eritropoietin, sebuah hormon yang terutama dilepaskan dari sel glomerolus
sebagai penanda adanya hipoksia ( penurunan oksigen) eritrosit. Setelah
dilepaskan dari ginjal, fungsi eritropoesis ( produksi dan pematangan eritrosit )
dengan merubah sel induk tertentu menjadi eritoblast. Klien yang mengalami
perubahan kronis tidak dapat memproduksi hormon ini sehingga klien tersebut
rentan terserang anemia.
6. Renin adalah hormon lain yang diproduksi oleh ginjal berfungsi untuk mengatur
aliran darah pada saat terjadi iskemik ginjal ( penurunan suplai darah ). Fungsi
renin adalah sebagai enzim untuk mengubah angiotensinogen ( substansi yang
disentesa oleh hati ) menjadi angiotensin I. Kemudian angiotensi I bersikulasi
dalam pulmonal ( paru-paru ), angiotensin I diubah menjadi angiotensin II dan
angeotensin III. Angeotensin II menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan
menstimulasi pelepasan aldosteron dari korteks adrenal.
7. Aldesteron menyebabkan retensi air sehingga meningkatkan volume darah.
Angiotensin III mengeluarkan efek yang sama namun dengan derajat yang lebih
ringan. Efek gabungan dari keduanya adalah terjadinya peningkatan tekanan
darah arteri dan aliran darah ginjal.
8. Ginjal juga berfungsi sebagai pengatur kalsium dan fosfat. Ginjal
bertanggungjawab untuk memproduksi substansi mengaktifkan vitamin D. Klien
dengan gangguan fungsi ginjal tidak membuat metabolik vitamin D menjadi aktif
sehingga klien rentan pada kondisi demineralisasi tulang karena adanya gangguan
pada proses absorbsi kalsium.
Ureter
1. Merupakan suatu organ cekung yang dapat berdistensi dan tersusun atas jaringan
otot serta merupakan wadah tempat urine dan ekskresi. Vesica urinaria dapat
menampungan sekitar 600 ml walaupun pengeluaran urine normal 300 ml.
Trigonum ( suatu daerah segetiga yang halus pada permukaan bagian dalam
vesica urinaria ) merupakan dasar dari kandung kemih.
2. Sfingter uretra interna tersusun atas otot polos yang berbentuk seperti cincin
berfungsi sebagai pencegah urine keluar dari kandung kemih dan berada di bawah
kontrol volunter ( parasimpatis : disadari ).
Uretra
1. Urine keluar dari vesica urinaria melalui uretra dan keluar dari tubuh melalui
meatus uretra. Uretra pada wanita memiliki panjang 4 – 6,5 cm. Sfingter uretra
eksterna yang terletak sekitar setengah bagian bawah uretra memungkinkan aliran
volunter urine.
2. Panjang uretra yang pendek pada wanita menjadi faktor predisposisi mengalami
infeksi. Bakteri dapat dengan mudah masuk ke uretra dari daerah perineum.
Uretra pada ria merupakan saluran perkemihan dan jalan keluar sel serta sekresi
dari organ reproduksi dengan panjang 20 cm.
E. Gangguan Eliminasi
Gangguan Eliminasi Fekal
1. Konstipasi
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB
disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejang. BAB yang keras
dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal
lebih lama, sehingga banyak air diserap.
Penyebabnya :
b. Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah tempat, dan lain-lain
c. Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur), tidak ada gigi,
makanan lemak dan cairan kurang
d. Meningkatnya stress psikologik. Kurang olahraga / aktifitas : berbaring lama.
e. Obat-obatan : kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi. Penggunaan obat
pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot intestinal kurang sehingga refleks BAB
hilang.
f. Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut menurun sehingga
menimbulkan konstipasi.
g. Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord
dan tumor.
h. Impaction
Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga
tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat,
tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid. Penyebabnya pasien dalam keadaan
lemah, bingung, tidak sadar, konstipasi berulang dan pemeriksaan yang dapat
menimbulkan konstipasi. Tandanya : tidak BAB, anoreksia, kembung/kram dan
nyeri rektum.
1. Diare
Diare merupakan buang air besar (BAB) sering dengan cairan dan feses
yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat.
Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien
tidak dapat mengontrol dan menahan buang air besar (BAB).
2. Inkontinensia fecal
Yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan
fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor
spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan
kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien
tergantung pada perawat.
3. Flatulens
Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus
meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar
melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan
peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang
menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.
Makanan penghasil gas seperti bawang dan kembang kol.
4. Hemoroid
Yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal
atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal
jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah
jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan
pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB
dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya
pasien mengalami konstipasi.
3. Inkontinensia
Inkontinesia Urine ialah BAK yang tidak terkontrol. Jenis inkotinensis :
a) Inkontinensia Fungsional/urge
Inkotinensis Fungsional ialah keadaan dimana individu mengalami inkontine
karena kesulitan dalam mencapai atau ketidak mampuan untuk mencapai toilet
sebelum berkemih.
Faktor Penyebab:
1) Kerusakan untuk mengenali isyarat kandung kemih
2) Penurunan tonur kandung kemih
3) Kerusakan moviliasi, depresi, anietas
4) Lingkungan
5) Lanjut usia.
b) Inkontinensia Stress
Inkotinensia stress ialah keadaan dimana individu mengalami pengeluaran
urine segera pada peningkatan dalam tekanan intra abdomen. Faktor Penyebab :
1) Inkomplet outlet kandung kemih
2) Tingginya tekanan infra abdomen
3) Kelemahan atas peluis dan struktur pengangga
4) Lanjut usia.
c) Inkontinensia Total
Inkotinensia total ialah keadaan dimana individu mengalami kehilangan urine
terus menerus yang tidak dapat diperkirakan. Faktor Penyebab :
1) Penurunan Kapasitas kandung kemih
2) Penurunan isyarat kandung kemih
3) Efek pembedahan spinkter kandung kemih
4) Penurunan tonus kandung kemih
5) Kelemahan otot dasar panggul
6) Penurunan perhatian pada isyarat kandung kemih
d) Inkontenensia Dorongan
Adalah keadaan dimana seseorang mengalami pengeluarana urin tanpa sadar,
terjadi setelah merasa dorongan yang kuat untuk berkemih Penyebab :
1) Penurunan kapasitas kandung kemih
2) Infeksi saluran kemih
3) Minum alcohol atau kafein
4) Penigkatan cairan
5) Peningkatan konsentrasi urine
6) Distensi kandung kemih yang berlebihan
e) Inkontenensia reflex
Adalah keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak
dirasakan, terjadi pada interval yang dpat di[perkirakan bila volume kandung
kemih mencapai jumlah tertentu. Penyebab adalah kerusakan neurologis (lesi
medulla spinalis).
Tanda-tandanya :
1) Tidak ada dorongan utnuk berkemih
2) Merassa bahwa kandung kemih penuh
3) Kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada intervalteratur.
4. Enuresis
Adalah ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang diakibatkan
ketidakmampuan untuk mengendalikan spinter eksterna. Enuresis terjadi pada
anak-anak atau orang ngompol.
Penyebab enuresis :
a. Kapasitas vesika urinaria lebih besar dari kondisi normal.
b. Anak-anak yang tidunya bersuara dan tanda-tanda dari indikasi keinginan
berkemih tidak diketahui, yang mengakibatkan terlambatnya bangun tidur untuk
ke kamar mandi.
c. Vesika urinaria peka rangsang dan seterusnya tidak dapat menampung urin
dalam jumlah besar.
d. Suasana emosional yang tidak menyenangkan di rumah (misalnya persaingan
dengan saudara kandung atau cekcok dengan orant tua).
e. Orang tua yang mempunya pendapat bahwa anaknya akan mengatasi
kebiasaanya tanpa dibantu untuk mendidiknya.
f. Infeksi saluran kemih atau perubahan fisik neurologis system perkemihan
g. Makanan yang banyak mengandung garam dan mineral, atau makanan
pemedas.
h. Anak yang takut jalan gelap untuk ke kamar mandi
ASUHAN KEPERAWATAN
Eliminasi Urin
Pengkajian
1. Riwayat keperawatan
a) pola berkemih
b) Gejala dari perubahan berkemih
c) Faktor yang mempengaruhi berkemih
2. Pemeriksaan fisik
a) Abdomen : pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi bladder,
pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus.
b) Genetalia wanita : Inflamasi, nodul, lesi, adanya secret dari meatus, keadaan
atropi jaringan vagina.
c) Genetalia pria : kebersihan, adanya lesi, tenderness, adanya pembesaran
skrotum.
3. Intake dan output cairan
a) Kaji intake dan output cairan dalam sehari (24 jam)
b) Kebiasaan minum di rumah.
c) Intake berupa : cairan infuse, oral, makanan, NGT.
d) Kaji perubahan volume urin untuk mengetahui ketidakseimbangan cairan.
e) Output urin dan urinal, cateter bag, drainage ureterostomy, sistostomi.
f) Karakteristik urin : Warna, kejernihan, bau, kepekatan.
4. Pemeriksaan diagnostic
a) Pemeriksaan urin :
1. warna (N: Jernih kekuningan)
2. penampilan (N: Jernih)
3. Bau (N: Beraroma khas urin)
4. Ph(N: 4,5-8,0)
5. Berat jenis (N: 1,005-1,030)
6. Glukosa (N: Negatif)
7. Keton (N: Kuman pathogen negative).
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pola eliminasi urin: Inkontinensia berhubungan dengan:
a. Gangguan neuromuskuler.
b. Spasme bladder.
c. Trauma pelvic.
d. Infeksi saluran kemih.
Kemungkinan data yang ditemukan:
a. Inkontinensia.
b. Keinginan berkemih yang segera.
c. Sering ke toilet.
d. Menghindari minum.
e. Spasme bladder.
f. Urin kurang dari 100 ml atau lebih dari 550 ml tiap berkemih.
Tujuan yang diharapkan:
a. Klien dapat mengontrol pengeluaran urin setiap 4 jam.
b. Tidak ada tanda-tanda retensi dan inkontinensia urin.
c. Klien berkemih pada kondisi rileks.
INTERVENSI RASIONAL
1. Monitor keadaan bladder setiap 2 jam 1. Membantu mecegah distensi atau
komplikasi
2. Tingkatkan aktivitas dengan 2. Meningkatkan kekuatan otot ginjal
kolaborasi dokter/fisioterapi dan fungsi bladder.
3. Hindari faktor pencetus inkontinensia 3. Mengurangi/menghindari
urin seperti cemas inkontinensia
4. Kolaborasi dengan dokter dalam 4. Mengatasi factor penyebab
pengobatan dan kateterisasi
5. Jelaskan tentang pengobatan, kateter 5. Meningkatkan pengetahuan dan
atau tindakan lainnya diharapkan pasien lebih kooperatif.
Eliminasi Fekal
1. Pengkajian Fokus (ALVI)
a. Riwayat keperawatan
1) Pola defekasi : frekuensi, pernah berubah
2) Perilaku defekasi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan pola
3) Deskripsi feses : warna, bau, dan tekstur
4) Diit: makanan yang mempengaruhi defekasi, makanan yang biasa dimakan,
makanan yang dihindari, dan pola makan yang teratur maupun tidak teratur
5) Cairan : jumlah dan jenis minuman perhari
6) Aktifitas: kegiatan yang dilakukan sehari-hari termasuk kegiatan spesifik
7) Penggunaan medikasi : obat-obatan yang mempengaruhi defekasi
8) Stres : stres berkepanjangan atau pendek, mekanisme koping
9) Pembedahan atau penyakit menetap
b. Pemeriksaan fisik
1) Abdomen : distensi, simetris, gerakan peristaltik, adanya masa pada perut,
tenderness
2) Rektum dan anus: tanda-tanda inflamasi, perubahan warna, lesi, fistula,
hemoroid, adanya massa, tenderness
c. Keadaan feses
Konsistensi, bentuk, bau, warna, jumlah, unsur abnormal dalam feses: lendir.
d. Pemeriksaan diagnostik
1) Anuskopi
2) Proktosigmoidoskopi
3) Rongent dengan kontras
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan eliminasi bowel ; konstipasi (aktual/resiko) berhubungan dengan :
1) Immobilisasi
2) Menurunnya aktifitas fisik
3) Illeus
4) Stress
5) Perubahan/pembatasan diet
1) Kemungkinan ditandai dengan :
2) Menurununnya bising usus
3) Mual
4) Nyeri abdomen
5) Adanya massa pada abdomen bagian kiri bawah
6) Perubahan konsistensi feses, frekuensi BAB
Kondisi klinik yang terjadi:
1) Anemia
2) hipotiroidisme
3) dialisa ginjal
4) pembedahan abdomen
5) paralisis
6) immobilisasi yang lama
tujuan yang diharapkan:
1) pasien kembali ke pola normal dari fungsi bowel
2) terjadi perubahan pola hidup untuk menurunkan faktor penyebab
konstipasi
Intervensi Rasional
catat dan kaji warna, konsistensi, jumlah, dan pengkajian dasar untuk mengetahui
waktu BAB masalah bowel
kaji dan catat pergerakan usus deteksi dini penyebab konstipasi
jika terjadi fekal impaction: lakukan pengeluaran membantu mengeluarkan feses
manual, lakukan gliserin klisma
konsultasikan dengan dokter tentang: pemberian meningkatkan eliminasi
laksatif, enema, pengobatan
berikan cairan adekuat membantu feses lebih lunak
berikan makanan tinggi serat dan hindari makanan menurunkan konstipasi
yang banyak mengandung gas dengan konsultasi
bagian gizi