Anda di halaman 1dari 6

1.

Pengantar Skrining pada Lansia


Mengingat kondisi usia lanjut seperti diuraikan terdahulu, mudah
dipahami bahwa dari segi promotif dan preventif menduduki tempat penting
dalam memberikan tindakan atau program intervensi bagi kelompok ini.
Oleh Direktorat keluarga Binkesmas Departemen Kesehatan RI sejak tahun
1990-an telah dikembangkan Program Pembinaan Usila (Usia Lanjut) pada
sejumlah puskesmas percontohan di Indonesia.
Dalam program pembinaan tersebut tercakup antara lain kegiatan skrining
kesehatan bagi kelompok usia lanjut di puskesmas yang secara praktis
berbentuk pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat) yang dirancang khusus bagi
keperluan pembinaan kesehatan usia lanjut.
Khusus mengenai bentuk dan tata cara pengisian KMS akan dijelaskan
tersendiri pada bagian lampiran (Annex 1). Berikut ini akan diuraikan definisi,
tujuan, dan ciri-ciri skrining kesehatan bagi usia lanjut.
Skrining (penapisan) adalah mengidentifikasi ada tidaknya penyakit atau
kelainan yang sebelumnya tidak diketahui dengan menggunakan berbagai tes
pemeriksaan fisik dan prosedur lainnya, agar dapat memilah dari sekelompok
individu, mana yang tergolong mengalami kalainan. Skrining tidak dapat
diartikan secara diagnostic, tetapi bilamana hasilnya positif selanjutnya dapat di
follw-up dengan pemeriksaan diagnostic, kalau perlu dengan tindakan
pengobatan. Sasaran skrining kesehatan memang ditujukan bagi setiap lansia,
namun sasaran utamanya adalah mereka yang berada dalam kategori resiko
tinggi (Broklehurst & Allen dalam Darmojo, R. B Geriatri, 1999).
Golongan yang termasuk kategori resiko tinggi adalah:
a. Laki-laki, duda
b. Lansia jompo (diatas 80 tahun)
c. Tinggal sendiri
d. Baru keluar dari perawatan rumah sakit
e. Baru saja mengalami duka cita yang mendalam.
Kegiatan skrining perlu mempertimbangkan hal-hal berikut :
a. Diarahkan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas
b. Harus cukup efektif dengan pengertian harus cukup akurat, baik dalam hal
sensitivitas maupun spesifitas
c. Bersifat cost-effective.

1
Pilihan jenis skrining yang dilakukan adalah berbeda-beda untuk masing-
masing individu, yang penting bahwa tindakan skrining sebenarnya hanya perlu
dilakukan bila terdapat kemungkinan untuk tindakan selanjutnya.

2. Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier


Secara umum, aspek pencegahan dapat dibagi atas pencegahan primer dan
pencegahan sekunder.
Contoh pencegahan primer adalah hal-hal seperti:
a. Berhenti merokok
b. Mengubah gaya hidup
c. Memerhatikan diet
d. Melakukan exercise
e. Vaksinasi terhadap influenza/pneumococcus/tetanus.
Selanjutnya, pencegahan sekunder adalah untuk mencegah kecacatan melalui
deteksi dini, yaitu terhadap penyakit-penyakit yang masih berada pada stadium
subklinis. Pencegahan sekunder ini dilakukan melalui kegiatan skrining atau
penemuan kasus (case finding). Di Negara maju, skrining pada umumnya
ditujukan pada penyakit kardiovaskular, keganasan dan cerebrovascular
accident (CVA)

3. Macam-macam Skrining Kesehatan


a. Penyakit hipertensi
Tindakan skrining sangat bermanfaat, baik terhadap hipertensi sistolik
maupun diastolic. Pencegahannya akan dapat mengurangi risiko timbulnya
stroke, penyakit jantung atau bahkan kematian. Dari hasil studi, ditemukan
bahwa bila 40 orang diobati selama 5 tahun akan dapat mencegah 1 (satu)
kejadian stroke.
b. Keganasan
Skrining terhadap keganasan terutama ditujukan terhadap penyakit
kanker payudara, yaitu dengan cara BSE. Juga penyakit kanker serviks
dengan cara pap smear. Selanjutnya skrining juga dilakukan terhadap kanker
kolon dan rectum. Adapun caranya adalah dengan pengujian laboratorium
terhadap darah samar di dalam feses, selain dengan cara endoskopi untuk

2
kelainan dalam sigmoid dan kolon terutama pada penderita yang
menunjukkan adanya keluhan.
c. Wanita menopause
Tindakan skrining ditujukan untuk memastikan apakah diperlukan
terapi hormone pengganti estrogen. Terapi ini dapat mengurangi risiko
kanker payudara. Juga fraktur akibat osteoporosis. Namun, perlu diwaspadai
kemungkinan timbulnya kanker endometrium, dimana untuk pencegahannya
dapat dianjurkan agar diberikan secara bersamaan dengan hormone
progesterone.
Tindakan skrining juga biasanya ditujukan bagi kelainan pada system
indera, yaitu terutama pada pengkihatan dan pendengaran seperti berikut ini.
d. Skrining Ketajaman Visus
Skrining katajaman visus dengan tindakan sederhana, yaitu koreksi
dengan ukuran kacamata yang sesuai. Bagi kasus katarak dengan tindakan
ekstraksi lensa tidak saja akan memperbaiki penglihatan, tetapi juga akan
meningkatkan status fungsional dan psikologis. Skrining dengan alat
funduskopi dapat mendeteksi penyakit glaucoma, degenerasi macula, dan
retinopati diabetes. Adapun factor resiko untuk degenerasi macula adalah
adanya riwayat keluarga dan factor merokok.
e. Skrining Pendengaran
Dengan tes bisik membisikkan enam kata-kata dari jarak tertentu ke
telinga pasien serta dari luar lapang pandang. Selanjutnya minta pasien untuk
mengulanginya. Cara ini cukup sensitive, dan menurut hasil penelitian
dikatakan mencapai 80% dari hasil yang diperoleh melalui pemeriksaan
dengan alat audioskop. Mengenai pemeriksaan dengan audioskop, yaitu
dihasilkan nada murni pada frekuensi 500, 1.000, 2.000, dan 4.000 Hz, yaitu
pada ambang 25-40 dB.
Bentuk pencegahan ketiga adalah pencegahan tersier. Di sini meliputi
pencegahan terhadap morbiditas dan mortalitas yang timbul akibat penyakit
yang telah ada. Jenis pencegahan ini termasuk tindakan khusus dan tergolong
dalam disiplin ilmu geriatric. Sebagai contoh adalah tindakan rehabilitasi
terhadap penderita lansia, misalnya dengan fraktur panggul agar dapat
mengurangi kecacatan serta kemampuan mereka untuk merawat diri sendiri.
Contoh lainya adalah rehabilitasi pada pasien stroke.

3
Adapun pencegahan tersier ini lebih dimaksudkan selaku tindakan untuk
peningkatan kesehatan dan bukan semata-mata ditujukan bagi penyakit tertentu.

4. Penggolongan Skrining Kesehatan


Terdapat 2 (dua) golongan skrining, yaitu (1) survey epidemiologi, dan (2)
case finding(pencarian/penemuan kasus). Hal pertama yang dilakukan misalnya
pada penelitian ilmiah ataupun untuk maksud perencanaan program-program
intervensi kesehatan, selanjutnya tidak akan dibahas disini. Sedangkan yang
kedua dapat dilakukan bagi usia lanjut yang secara kebetulan dating berobat
atau sengaja dating untuk keperluan pemeriksaan kesehatan rutin. Tindakan
skrining bertujuan agar sebisa mungkin dan selama mungkin tetap
mempertahankan usia lanjut dalam keadaan yang optimal serta mencegah
institusionalisasi (alias tetap mempertahankannya tinggal dirumah). Dari segi
pertimbangan praktis, dapat dibedakan bahwa untuk periode usia 65-74 tahun,
skrining brtujuan untuk dapat memperpanjang aktivitas fisik, mental social,
serta untuk mengurangi kemungkinan cacat maupun kondisi penyakit yang
berlangsung menahun.
Sedangkan untuk periode lebih dari 75 tahun, skrining bertujuan untuk
memperpanjang kemandirian (ADL) secara optimal, mencegah institusionalisasi
dan mengurangi ketidaknyamanan maupun stress, terutama bagi kasus-kasus
terminal, serta untuk member dukungan emosional bagi keluarga. Ciri-ciri
skrining kesehatan usia lanjut berdasarkan pengalaman sebaiknya
diselenggarakan selaku kegiatan kelompok, bersifat office-base (yaitu dilakukan
di institusi misalnya di puskesmas) dan mengingat tingkatannya yang
sederhana, cukup bila ditangani oleh kader terlatih (tidak mesti oleh petugas
kesehatan profesional). Penilaian secara lengkap bagi lansia memang pada
dasarnya haruslah bersifat analisis multidisiplin (dengan pendekatan
kolaboratif), namun mengingat keberadaan lansia pada umumnya yang jarang
memiliki akses kepada pengkajian yang menyeluruh seperti itu, maka perlu
dipopulerkan skrining secara sederhana yang dapat dilakukan oleh perawat
maupun petugas lainnya ditingkat lapangan.
Jenis-jenis skrining secara sederhana tersebut dapat digolongkan dalam:
a. Pengkajian faktor lingkungan (dapat dilakukan oleh petugas sosiomedis).
b. Skrining fisik (dapat dilakukan oleh dokter maupun perawat)

4
c. Skrining kejiwaan (dapat dilakukan oleh dokter/perawat)
d. Skrining ADL (dapat dilakukan oleh dokter/perawat)
Skrining seperti ini pada dasarnya selain bertujuan untuk dapat
menegakkan diagnosis, baik dari segi fisik maupun kejiwaan juga agar
dimungkinkan untuk melakukan tindak lanjut atas temuan yang didapat. Selain
itu, juga memungkinkan untuk dilakukannya tindakan rujukan secara tepat
(kolaborasi).
Untuk pengkajian secara komprehensif ditinjau dari sudut pandang medis
dan keperawatan, pembaca dapat merujuk pada Annex 4,5, dan 6. Namun, disini
akan disajikan pengkajian sederhana yang mencangkup 10 poin seperti yang
dianjurkan oleh Lachs et al. (dalam Geriatri: Darmojo, R.B. dan Martono, 1999)
sebagai berikut.
a. Melakukan test baca koran sebagai modifikasi test snellen berturut-turut pada
mata kiri dan kanan.
b. Melakukan test bisik untuk menilai kemampuan pendengaran berturut-turut
pada telinga kiri dan kanan
c. Test fungsi ekstermitas atas dan bawah antara lain dengan cara berjabat
tangan serta meminta lansia untuk bangkit dari duduknya dan berjalan.
d. Test tentang fungsi ADL dan ADL instrumen
e. Mengecek ada tidaknya kontinensia (ngompol atau buang air besar tidak
terasa)
f. Mengecek status gizi melalui pengukran berat dan tinggi badan (IMT)
g. Mengecek kemungkinan depresi dengan menanyakan apakah lansia sering
merasa sedih ,tertekan,was-was, dan khawatir.
h. Mengecek dukungan sosial dengan menanyakan ada tidaknya penanggung
biaya bila lansia memerlukan pengobatan atau keadaan darurat lainnya.
i. Mengecek status kognitif dengan meminta lansia menyebutkan nama 3
objek tertentu dan mengulanginya sesudah 5 menit.
j. Mengecek kondisi lingkungan dimana lansia berada dengan
menanyakan ada tidaknya bahaya yang dapat mengancam (anak tangga, ,
tinggi, penerangan kamar mandi, WC)

5. Skrining pada Keadaan Khusus Lansia

5
Di negara maju, skrining pada umumnya ditujukan pada penyakit
kardiovaskuler, keganasan dan cerebravaskular accident (CVA) seperti yang
dijelaskan berikut :
a. Penyakit Hipertensi
Tindakan skrining sangat bermanfaat, baik terhadap hipertensi sistolik
maupun diastolik. Pencegahan akan dapat mengurangi resiko timbulnya
stroke, penyakit jantung, bahkan kematian. Dari hasil studi, ditemukan
bahwa bila 40 orang diobati dalam waktu 5 tahun akan dapat mencegah satu
kejadian stroke, pada hipertensi dilakukan pengkajian secara lengkap
(anamnesa dan pemeriksaan fisik) , skrining atau tes saringan. Hal yang perlu
dilakukan disini adalah pengukuran tekanan darah. Sebagai patokan diambil
batas normal tekanan darah bagi lansia adalah (1) tekanan sistolik 120-
160mmHg, dan (2) tekanan diastolic sekitar 90mmHg. Pengukuran tekanan
darah pada lansia sebaiknya dilakukan dalam keadaan berbaring, duduk, dan
berdiri dengan selang beberapa waktu, yaitu untuk mengetahui kemungkinan
adanya hipertensi ortostatik.
b. Penyakit Jantung
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik),
skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan kelainan jantung
antara lain pemeriksaan EKG, treadmill, dan foto thoraks.
c. Penyakit Ginjal
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik),
skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan kelainan ginjal
adalah pemeriksaan laboratorium tes fungsi ginjal dan foto IVP.
d. Diabetes Melitus
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik),
skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan diabetes antara lain
pemeriksaan reduksi urine, pemeriksaan kadar gula darah, dan funduskopi.
e. Gangguan Mental
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik),
skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan gangguan mental
antara lain pemeriksaan status mental dan tes fungsi kognitif. Biasanya telah
dapat dibedakan apakah terdapat kelainan mental seperti depresi, delirium,
atau demensia.

Anda mungkin juga menyukai