Anda di halaman 1dari 9

PERBEDAAN KARAKTERISTIK DAGING SAPI

DAN DAGING BABI


MAKALAH I HIGIENE DAGING (IPH 711)

JULIA ROSMAYA RIASARI


B261140051 | SEKOLAH PASCA SARJANA IPB 2014
PERBEDAAN KARAKTERISTIK DAGING SAPI DAN DAGING BABI

Beberapa waktu yang lalu, banyak ditemukan kasus penyelundupan


daging celeng melalui pelabuhan Merak Banten. Ditemukannya daging celeng
atau daging babi hutan dalam jumlah besar tanpa dokumen legal cukup
menghebohkan masyarakat. Diduga daging celeng tersebut digunakan sebagai
bahan campuran daging sapi dan produk olahan daging sapi seperti bakso dan
sebangsanya.
Daging celeng yang berharga lebih murah dari daging sapi sering
digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan
keuntungan besar dengan mencampurkannya ke dalam olahan daging sapi.
Daging babi dan daging sapi secara karakteristik sebenarnya berbeda.
Orang biasanya membedakan berdasarkan warna, bau dan serat daging. Babi
biasanya memiliki warna yang lebih pucat dan serat yang kurang padat dengan
bau khas spesifik pada babi. Makalah ini akan mencoba menjelaskan perbedaan
karakteristik dari dari daging babi dan daging sapi

Definisi Daging
Definisi daging berdasarkan Codex Alimentarius adalah seluruh bagian
dari hewan yang aman digunakan dan sesuai untuk komsumsi manusia. Daging
terdiri dari air, protein, asam amino, mineral, lemak, asam lemak, vitamin dan
komponen bioaktif lainnya serta sedikit karbohidrat.. Daging merupakan sumber
protein yang sangat baik., mengandung asam amino penting dan tinggi kandungan
vitamin dan mineral. Kelebihan pangan yang berasal dari daging dengan pangan
vegetarian adalah tingginya kandungan vitamin B12 dan zat besi . (FAO 2007).
Daging terdiri dari air, lemak, protein, mineral dan sedikit karbohidrat. Protein
adalah komponen paling esensial yang memegang peranan penting dalam nutrisi
daging dan prosesing (FAO 2008).
Daging merah tanpa lemak memilliki protein kualitas tinggi dan merupakan
sumber vitamin B dan mineral seperti zat besi, copper, zink dan mangan. Daging
merah sering dianggap sebagai penyebab utama penyakit cardio-metabolic dan
diabetes tipe 2. Pada saat ini banyak penelitian yang menyatakan bahwa hal
tersebut tidak benar. Penyakit-penyakit cardio-metabolic dan juga hipertensi lebih
diasosiasikan dengan komsumsi daging olahan daripada daging segar (Jensen et
al. 2014). Saat ini pangan yang berasal dari daging olahan seperti bacon, bologna,
sosis dan salami harus lebih diwaspadai daripada pangan yang berasal dari
daging non olahan seperti daging sapi, babi dan kambing. Pemberian edukasi
masyarakat untuk tidak menghindari pangan yang berasal dari daging sangat
penting dikarenakan kandungan protein dan nutrisi yang terkandung di dalamnya.
Daging tanpa lemak harus merupakan bagian dari diet sehat dan seimbang (Binnie
et al. 2014).
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) memegang peranan penting dalam
meningkatkan tekanan darah dan hipertensi. Aktivitas ACE dan antioxidative
capacity (AOC) pada daging sapi dan babi hampir sama. Pada proses pemasakan,
aktivitas ACE dalam daging babi akan menurun. Setelah proses digesti oleh
saluran pencernaan, aktivitas AOC di dalam daging sapi dan babi akan menurun.
Sehingga dapat dikatakan bahwa daging sapi dan babi merupakan sumber protein
dan bioaktif yang bagus; hanya setelah proses pemasakan, komponen bioaktif
potensial akan menurun (Jensen et al. 2014).
Kualitas daging dapat ditentukan berdasarkan perubahan komponen-
komponen kimianya seperti kadar air, protein, lemak, dan abu. Sifat kimia daging

1
bervariasi tergantung pada species hewan, umur, jenis kelamin, pakan serta lokasi
dan fungsi bagian-bagian tersebut dalam tubuh (Romans et al. 1994).
Otot yang sangat penting dalam membentuk urat daging mata rusuk jika
dipotong dari area rusuk dan loin adalah otot Longgissimus dorsi. Otot
Longgissimus dorsi memanjang dari posterior daerah rusuk melalui loin dan
berakhir di bagian anterior dari ilium. Otot ini tersusun dari banyak subunit otot
yang masing-masing membantu fleksibilitas vetebra columm dan gerakan leher
serta aktivitas pernafasan (Swatland, 1994).

Daya Ikat Air


Molekul air bersifat polar. Keberadaan molekul air dalam daging
dikelompokkan menjadi 3 yaitu dalam bentuk air terikat (bound water), immobilized
water dan air bebas (free water). Salah satu fisik daging terkait dengan keberadaan
air adalah water holding capacity atau daya ikat air. Daya ikat air diartikan sebagai
kemampuan daging untuk menahan air selama aplikasi kekuatan eksternal
(seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan atau tekanan). Besar kecilnya
daya ikat air dapat mempengaruhi warna, tekstur, kekenyalan dan kesan jus
(juiceness) serta keempukan (Nurwantoro dan Mulyani 2003).
Mekanisme daya ikat air terpusat pada protein dan struktur daging yang
mengikat dan menyimpan air terutama pada protein myofibrilar. Ion, pH dan
oksidasi berefek langsung pada kemampuan protein myofibrilar, myofibril dan sel
otot untuk menyimpan air. Sedangkan penurunan pH, ion dan oksidasi
berpengaruh pada proteolysis dari protein cytoskeletal saat proses postmortem
(Huff-Lonergan dan Lonergan 2005).
FAO (2007) menyatakan bahwa daya ikat air pada daging sapi dan daging
babi tidak berbeda jauh yaitu 75,0 dan 75,1 (tabel 1). Sedang di dalam Buku Ajar
Dasar Tekhnologi Hasil Ternak (Nurwantoro dan Mulyani 2003) dinyatakan bahwa
daging babi memiliki daya ikat air lebih rendah daripada daging sapi yaitu 68-70
dan 70-75 (tabel 2)

Tabel 1. Nutritional composition of meats and other food sources per 100g**
Product Water Protein Fat Ash KJ*
Beef
75.0 22.3 1.8 1.2 116
(lean)
Beef
54.7 16.5 28.0 0.8 323
carcass
Pork
75.1 22.8 1.2 1.0 112
(lean)
Pork
41.1 11.2 47.0 0.6 472
carcass
Veal
76.4 21.3 0.8 1.2 98
(lean)
Chicken 75.0 22.8 0.9 1.2 105
Venison
75.7 21.4 1.3 1.2 103
(deer)
Beef fat
4.0 1.5 94.0 0.1 854
(subcutaneous)
Pork fat
7.7 2.9 88.7 0.7 812
(back fat)
Milk (pasteurized) 87.6 3.2 3.5 63

2
Egg
74.6 12.1 11.2 158
(boiled)
Bread
38.5 6.4 1.0 239
(rye)
Potatoes (cooked) 78.0 1.9 0.1 72
**Meat processing technology for small- to medium-scale producers (FAO 2007)
* Kilojoule
Tabel 2. Komposisi kimia daging rendah lemak dari berbagai spesies (%)

Spesies Air Protein Lemak Abu


Sapi 70-75 20-22 4-8 1
Ayam 73,7 20-23 4,7 1
Domba 73 20 5-6 1,6
Babi 68-70 19-20 9-11 1,4
(Nurwantoro dan Mulyani 2003)

Lemak
Lemak dan asam lemak rantai panjang di dalam jaringan lemak (adipose
tissue) atau otot merupakan bagian penting dari kualitas dan komposisi nutrisi dari
daging. Di banyak Negara saat ini lemak adalah bagian yang paling tidak popular
dan dianggap sebagai bagian yang tidak sehat dari daging (Wood et al. 2008).
Berdasarkan lokasi distribusinya, lemak atau lipida dalam daging antara
lain terdiri dari lemak intermuskular, lemak intra muskular, lemak dalam jaringan
lemak (adiposa), lemak di dalam jaringan syaraf dan lemak dalam darah. Adapun
komponen penyusun lemak meliputi senyawa trigliserida, fosfolipida, kolesterol
dan vitamin yang larut dalam lemak. Fosfolipida merupkan golongan sterol khusus
dari produk hewani. Konsentrasi tinggi terdapat pada jaringan syaraf, hati dan
ginjal (Nurwantoro dan Mulyani 2003).
Komposisi asam lemak di dalam jaringan adiposa dan otot relatif sama
tetapi jaringan adiposa memiliki kandungan asam lemak yang lebih tinggi daripada
otot. Terdapat perbedaan komposisi pada daging babi dan sapi. Daging babi
memiliki lebih banyak polyunsaturated fatty acid (PUFA) asam linoleat di dalam
jaringan adiposa dan otot dibandingkan dengan sapi (Wood et al. 2008).
Pada babi, asam linoleat yang berasal dari pakan melalui saluran
pencernaan tanpa adanya perubahan dan kemudian diabsorbsi di dalam aliran
darah usus kecil dan disalurkan ke jaringan tubuh. Konsentrasi yang lebih tinggi
dijumpai pada jaringan adiposa daripada di otot. Pada ruminansia, asam lemak
konsentrasi tinggi yang berasal dari pakan di degradasi menjadi asam lemak
monounsaturated dan saturated oleh proses biohydrogenation mikroba dalam
rumen. Pada sapi dan kambing asam lemak memiliki konsentrasi yang lebih tinggi
di otot daripada di jaringan adiposa (Wood et al. 2008).
Di dalam jaringan adiposa, lebih dari 90% komponen terdiri dari
triacylglycerol (neutral lipid). Pada jaringan otot, phospholipid memiliki komposisi
yang lebih besar. Phospholipid memiliki lebih banyak PUFA yang berfungsi banyak
dalam membran selular. Sapi memiliki konsentrasi PUFA yang lebih tinggi di otot
sedangkan babi pada jaringan adiposa. Pada saat penggemukan, proporsi
penurunan konsentrasi PUFA lebih drastis pada ruminansia daripada pada babi.
Hal ini disebabkan karena konsentrasi PUFA di dalam neutral lipid sangat rendah
(Wood et al. 2008).
Setelah pemotongan proses oksidasi asam lemak lebih tinggi pada
ruminansia daripada babi. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi PUFA yang lebih
rendah pada ruminansia. Vitamin E yang merupakan nutrisi yang berperan dalam

3
nutrisi daging lebih banyak ditemukan di ruminansia daripada babi. Hal ini
disebabkan karena pakan rerumputan mencegah oksidasi asam lemak. Oksidasi
asam lemak yang tidak terjadi akan menambah masa simpan daging yang
ditunjukkan oleh perubahan warna yang lebih lambat. Bila ruminansia lebih banyak
memakan konsentrat maka konsentrasi vitamin E lebih rendah sehingga
memperpendek masa simpan yang ditunjukkan oleh perubahan warna yang lebih
cepat serta adanya bau pada daging yang kurang enak (Wood et al. 2008). Suman
(2013) menyatakan bahwa diet vitamin E menambah warna dan stabilitas lemak
di daging sapi. Sedangkan pada daging babi, oksidasi lipid diminimalisir oleh
suplemen vitamin E sehingga kestabilan warna daging tidak tejadi. Analisa massa
spektometrik mengungkapkan bahwa myoglobin dalam daging babi lebih rentan
terhadap oksidasi lipid karena struktur primer dan jumlah histidine nukleopilik.
Babi memiliki kuantitas lemak yang lebih banyak daripada sapi. Lemak babi
sering digunakan dalam industri makanan dikarenakan memiliki jaringan struktur
dan komposisi yang sesuai, serta tidak memiliki rasa dan bau. Lemak dari jaringan
subkutan babi adalah yang paling sering digunakan. Lemak sapi jarang digunakan
dalam industri makanan dikarenakan strukturnya yang lebih rapat, warnanya yang
kekuningan dan bau yang cukup menyengat. Lemak sapi yang sering digunakan
adalah dari daging brisket dan bagian tubuh sapi muda. Untuk olahan daging yang
halal, lemak sapi lebih dipilih daripada lemak babi. Beberapa spesies sapi di
daerah tropis memiliki jaringan lemak subkutan di daerah pundak yang disebut
dengan “hump”. Faktor pembatas penggunaan lemak sapi di industri makanan
adalah jumlahnya yang sedikit dibandingkan dengan lemak babi. Produk olahan
daging seperti sosis memerlukan lemak lebih dari 20%. Sedangkan untuk
makanan yang hanya sedikit memerlukan lemak seperti burger, lemak sapi lebih
sesuai (FAO 2008).

Protein
Daging mentah mengandung banyak protein sekitar 19-23 % tergantung
dari kadar lemaknya. Berdasarkan tingkat kelarutannya, protein otot terbagi dalam
tiga kategori yaitu protein myofibrilar (protein larut dalam garam), sarkoplasmik dan
stromal. Protein sarkoplasmik mudah larut dalam air atau buffer dengan kekuatan
ion rendah, sedangkan protein miofibrilar dalam ekstrasinya memerlukan buffer
kekuatan ion tinggi atau sedang. Protein sarkoplasmik antara lain meliputi
mioglobin, hemoglobin dan enzim yang terkait dengan glikolisis dan siklus
trikarboksilat (TCA). Mioglobin berfungsi untuk memberikan warna merah pada
daging, sebagai tempat penyimpanan oksigen dan mengangkut oksigen dalam
otot (Nurwantoro dan Mulyani 2003).
Protein stromal merupakan protein fibrous yang berasosiasi dengan protein
jaringan ikat yang secara komparatif tidak larut. Protein stromal antara lain berupa
kolagen dan elastin. Kolagen mempunyai sifat tidak larut dalam asam, larutan
garam netral dan alkohol; tahan terhadap enzim-enzim tertentu, menyusut pada
suhu 60-70oC dan menjadi gelatin pada suhu lebih tinggi dari 80oC. Elastin
mempunyai sifat elastis, hanya dapat didegradasi oleh enzim tertentu dan tahan
terhadap suhu sampai 150oC (Nurwantoro dan Mulyani 2003).
FAO (2007) menyatakan bahwa protein pada daging sapi dan daging babi
tidak berbeda jauh yaitu 22,3 dan 33,8 (tabel 1). Sedang di dalam Buku Ajar Dasar
Tekhnologi Hasil Ternak (Nurwantoro dan Mulyani 2003) dinyatakan bahwa daging
sapi memiliki protein lebih tinggi daripada daging babi yaitu 20-22 dan 19-20 (tabel
2)

Mineral

4
Daging merupakan sumber mineral Fe (zat besi) yang baik untuk
memelihara kesehatan serta sintesis hemoglobin dan enzim-enzim tertentu. Ginjal,
hati dan limpa mengandung zat besi yang lebih tinggi dibanding otot dan daging
segar. Kandungan Ca dalam daging cenderung rendah. Kadar Ca dagiing sapi
relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging babi. Kandungan mineral lain
antara lain K, Na, Co, P, Mg, Cu, S, Cl dan Ni. Daging mengandung Zn dalam
jumlah yang lebih tinggi dibanding Zn dalam tanaman. Kadar mineral tersebut tidak
berubah dengan adanya perlakuan pemanasan, tetapi akan hilang bersama
proses dripping jika daging mengalami pemasakan (Nurwantoro dan Mulyani
2003)
Karbohidrat
Karbohidrat dalam daging terdapat dalam jumlah yang sedikit kurang dari
1% berat daging. Sebagian besar berada dalam bentuk glikogen dan asam laktat
(Nurwantoro dan Mulyani 2003)

Vitamin
Daging kaya akan vitamin B-kompleks, tiamin, vitamin B-6 dan B-12,
sedangkan kandungan vitamin A dan C relatif rendah. Daging babi mengandung
sejumlah tinggi tiamin sedangkan daging sapi tinggi akan kandungan vitamin B-6
dan B-12. Selama pemanasan atau pemasakan, daging akan kehilangan vitamin
B-kompleks yang hilang bersama proses dripping. Sebagian dari tiamin akan
mengalami kerusakan (Nurwantoro dan Mulyani 2003)

Table 3. Average content of vitamins in meat (micrograms per 100g)

Food B1 B2 B6 B12 A C
Beef, lean, fried 100 260 380 2.7 20 1
Pork, lean, fried 700 360 420 0.8 10 1
Lamb, lean, fried 105 280 150 2.6 45 1
Veal, lean, fried 70 350 305 1.8 10 1
Pork liver, fried 260 2200 570 18.7 18000 24
(FAO 2008)

Bau Daging
Bau pada daging berasal dari komponen yang berasal dari jaringan tidak
berlemak atau jaringan lemak. Umumnya daging memiliki bau yang khas. Bau
yang lebih spesifik ditemui pada daging sapi, babi dan kambing. Gula, asam
amino, garam organik dan anorganik memberi rasa manis, asam, asin dan pahit
pada daging. Pada daging yang dimasak, The Maillard reaction bersamaan
oksidasi lipid merupakan 2 proses yang sangat penting dalam memberikan rasa
yang karakteristik. The Maillard reaction adalah reaksi kimia antara asam amino
dan gula yang memberikan warna kecoklatan dan bau yang khas pada daging
yang dimasak. Temperatur tinggi saat pemasakan akan meningkatkan The
Maillard reaction. Oleh karena itu, bau daging yang khas dipengaruhi oleh tingkat
kematangan, perbandingan jumlah jaringan lemak dan non lemak, tingkat oksidasi
lipid dan beberapa faktor lain (Myers et al. 2009).
Bau yang khas berdasarkan spesies, secara tradisional dikaitkan dengan
jaringan lemak. Kandungan hidrokarbon, alkohol, keton dan aldehida dari oksidasi
lipid mempengaruhi bau daging. Juga komponen fat-soluble volatile aromatic dan
phospholipid berpengaruh pada bau daging. Secara umum, pada olahan daging,
spesies asal daging dan komponen lemak yang terdapat di dalamnya akan

5
berpengaruh bau spesifik pada produk olahan tersebut. Pada sebuah uji yang
dilakukan, produk olahan daging yang mengandung 10% lemak lebih disukai bila
dibandingkan dengan yang mengandung 0% lemak. Panelis dari uji tersebut juga
menyatakan bahwa bau daging sapi yang khas lebih ditemui pada beef patties
yang memiliki komponen lemak 20% bila dibandingkan dengan yang 4%. Pada
daging cincang dengan komposisi lemak 16%, 20%, 24% dan 28% tidak
ditemukan perbedaan spesifik pada bau khas daging (Myers et al. 2009).
Otot akan memberikan bau yang berbeda tergantung pada warna, lokasi
dan fungsinya di dalam tubuh. Pada daging merah lebih banyak ditemui
phospholipid, daging putih lebih banyak otot teroksidasi. Konsentrasi zat besi dan
energi yang tersimpan di dalam otot yang berwarna lebih gelap akan menambah
intensitas bau. Sehingga dapat dikatakan bahwa otot yang berwarna gelap lebih
berbau daripada daging yang berwarna terang (Myers et al. 2009).
Kontributor penting dalam pemberi bau khas spesies pada daging adalah
jaringan tanpa lemak dalam daging. Pada produk olahan campuran dari sapi dan
babi, bau yang lebih dominan berasal dari jaringan tanpa lemak salah satu dari
kedua spesies tersebut dimana komposisi yang lebih besar akan memberikan bau
yang lebih dominan. Penambahan lemak sapi pada produk olahan sapi tidak
menambah bau khas sapi. Penambahan konsentrasi lemak babi pada produk
olahan akan menambah bau khas babi pada produk tersebut. Secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa penambahan lemak pada produk olahan daging tidak
berpengaruh pada bau khas spesies, yang lebih berpengaruh adalah penambahan
jaringan daging tanpa lemak (Myers et al. 2009).
Rhee at al. (2005) menyatakan bahwa oksidasi lipid berperan penting
dalam kerusakan dan perkembangan bau yang teroksidasi pada penyimpanan
daging masak. Oksidasi lipid bervariasi pada spesies. Dapat disimpulkan bahwa
daging masak dari berbagai spesies dan jenis otot dapat beroksidasi dan
kehilangan bau khas spesies selama penyimpanan.

Simpulan
Beberapa perbedaan daging sapi dan babi adalah :
- Daya ikat air daging sapi dan babi tidak berbeda
- Daging babi memiliki lebih banyak polyunsaturated fatty acid (PUFA) asam
linoleat di dalam jaringan adiposa dan otot dibandingkan dengan sapi
- Pada sapi dan kambing asam lemak memiliki konsentrasi yang lebih tinggi
di otot daripada di jaringan adiposa
- Sapi memiliki konsentrasi PUFA yang lebih tinggi di otot sedangkan babi
pada jaringan adiposa. Pada saat penggemukan, proporsi penurunan
konsentrasi PUFA lebih drastis pada ruminansia daripada pada babi.
- Setelah pemotongan proses oksidasi asam lemak lebih tinggi pada
ruminansia daripada babi.
- Vitamin E yang merupakan nutrisi yang berperan dalam nutrisi daging lebih
banyak ditemukan di ruminansia daripada babi.
- Babi memiliki kuantitas lemak yang lebih banyak daripada sapi
- Kandungan protein pada daging sapi dan daging babi tidak berbeda jauh
- Kadar Ca dagiing sapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging
babi.
- Daging babi mengandung sejumlah tinggi tiamin sedangkan daging sapi
tinggi akan kandungan vitamin B-6 dan B-12

6
- Penambahan lemak pada produk olahan daging tidak berpengaruh pada
bau khas spesies, yang lebih berpengaruh adalah penambahan jaringan
daging tanpa lemak

DAFTAR PUSTAKA

Binnie MA, Barlow K, Johnson V, Harrison C. 2014. Red meats: Time for a
paradigm shift in dietary advice. Meat Science 98 (2014) 445–451. [Internet].
(Diunduh 2014 Sept 18).

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2007. Composition of Meat. [Internet].


(Diunduh 2014 Sept 18). Tersedia pada:
http://www.fao.org/ag/againfo/themes/en/meat/backgr_composition.html

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. Meat, Fat and other Edible
Carcass. Internet]. (Diunduh 2014 Sept 20). Tersedia pada:
http://www.fao.org/docrep/010/ai407e/ai407e03.htm

Nurwantoro, Mulyani S. 2003. Buku Ajar Dasar Tekhnologi Hasil Ternak. Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. [Internet]. (Diunduh 2014
Sept 18).

Myers AJ, Scramlin SM, Dilger AC, Souza CM, McKeith FK, Killefer J. 2009.
Contribution of lean, fat, muscle color and degree of doneness to pork and
beef species flavor. Meat Science 82 (2009) 59–63. [Internet]. (Diunduh 2014
Sept 18). Tersedia pada http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/1-
s2.0-S0309174008004154-main.pdf

Huff-Lonergan E, Lonergan SM. 2005. Mechanisms of water-holding capacity of


meat: The role of postmortem biochemical and structural changes. Meat
Science 71 (2005) 194–204. . [Internet]. (Diunduh 2014 Sept 18). Tersedia
pada
http://www.uco.es/zootecniaygestion/img/pictorex/10_10_27_ATT00013.pdf

Jensen IJ, Dort J, Eilertsen KE. 2014. Proximate composition, antihypertensive


and antioxidative properties of the semimembranosus muscle from pork and
beef after cooking and in vitro digestion. Meat Science 96 (2014) 916–921.
[Internet]. (Diunduh 2014 Sept 18). Tersedia pada
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/1-s2.0-
S0309174013005718-main

7
O’Neill HA, Webb EC. 2008. The Animal Fat Paradox and Meat Quality: A Review.
Meat Science 80 (2008) 28–36. [Internet]. (Diunduh 2014 Sept 18).
Tersedia pada:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0309174008001769-
main.pdf

Rhee KS, Anderson LM, Sams AR. 2005. Comparison of flavor changes in
cooked–refrigerated beef, pork and chicken meat patties. Meat Science 71
(2005) 392–396. [Internet]. (Diunduh 2014 Sept 18).

Romans, J.R., W.J. Costello, C.W. Carlson, M.L. Greaser dan K.W. Jones. 1994.
The Meat We Eat. Interstate Publishers, Inc. Danville, Illinois.

Suman SP. 2013. Proteome basis of muscle- and species-specificity in meat color
stability in Meat Science and Muscle Biology : Muscle and Meat
Biochemestry. Anim. Sci. Vol. 91, E-Suppl. 2. [Internet]. (Diunduh 2014 Sept
20).

Swatland, H.J. 1994. Structure and Development of Meat Animals and Poultry.
Technomic Publishing Company, Inc., Lancaster, Pennsylvania.

Wood D, . Enser M, Fisher AV, Nute GR, Sheard PR, Richardson RI, Hughes SI,
Whittington FM. 2008. Fat deposition, fatty acid composition and meat
quality: A review. Meat Science 78 (2008) 343–358. [Internet]. (Diunduh
2014 Sept 18). Tersedia pada:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/1-s2.0-
S0309174007002525-main.pdf

Anda mungkin juga menyukai