Anda di halaman 1dari 32

1

A. Kasus
Seorang laki-laki berusia 28 tahun diantar keluarga ke Unit Gawat
Darurat dengan keluhan kelumpuhan pada kedua tungkai. Setelah
mengalami kecelakaan mobil.
B. Resume Literature Review

Trauma Medspin
sentral cord
syndrome

Trauma Medspin
Trauma Medspin posterior cord
Lumpuh Kedua
anterior cord syndrome
Tungkai
syndrome

Trauma Medspin
Brown Sequard
Syndrome

Skema 1. Diagram Venn Penyakit

1. Trauma Medulla Spinalis1


a) Definisi
Suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh
trauma pada daerah medulla spinalis yang akhirnya dapat
meyebabkan traksi dan kompresi pada medulla spinalis.1
b) Etiologi
Trauma medulla spinalis seringkali disebakan oleh
kecelakaan lalu lintas, meskipun penyebab lain juga bisa
menyebabkan cedera pada medulla spinalis seperti luka tusuk/luka
2

tumpul dan Tumor (massa). Penyebab trauma medulla spinalis,


secara garis besar dibagi 2, yaitu :1

Tabel 1. Penyebab Trauma Medulla Spinalis


Cedera medulla spinalis karena trauma mengenai laki – laki
lebih banyak daripada wanita, dan resiko mayoritas tejati pada usia
dewasa dengan rentang usia 15 – 30 tahun karena adanya hobi
yang beresiko.
c) Klasifikasi
Cedera medulla spinalis diklasifikasikan berdasarkan
Level, beratnya defisit neurologis, sindroma medulla spinalis,
dan morfologi.
 Berdasarkan beratnya defisit neurologis
Berdasarkan beratnya defisit cedera medulla spinalis
dibagi menjadi 4, yaitu :2

a. Paraplegia inkomplit (torakal inkomplit)


b. Paraplegia komplit (torakal komplit)
c. Tetraplegia inkomplit (servikal komplit)
d. Tetraplegia komplit (cedera servikal komplit)
3

Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya


preservasi fungsi dari semua jaras medulla spinalis. Adanya
fungsi motorik dan sensorik dibawah level trauma
menunjukkan adanya cedera inkomplit. Tanda-tanda cedera
inkomplit meliputi adanya sensasi atau gerakan volunter di
ekstremitas bawah, sacral sparing (contoh : sensasi perianal),
kontraksi sfinghter ani volunter, dan fleksi ibu jari kaki
volunter. Reflek sakral, seperti refleks bulbokavernosus atau
kerutan anus, tidak termasuk dalam sacral sparing.2
 Berdasarkan sindrom medulla spinalis
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering
ditemukan pada pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-
pola ini harus dikenali sehingga tidak membingungkan
pemeriksa.2
a. Complete transaction
Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla
spinalis terputus menyebabkan semua fungsi yang
melibatkan medulla spinalis di bawah level terjadinya
transection semua terganggu dan terjadi kerusakan
permanen.
Secara klinis menyebabka kehilangan kemampuan
motorik berupa tetraplegia pada transeksi cervical dan
paraplegia jika terjadi pada level thorakal. Terjadi flaksid
otot, hilangnya refleks dan fungsi sensoris dibawah level
trabsseksi. Kandung kemih dan susu atoni sehingga
menyebabkan ileus paralitik. Kehilangan tonus vasomotor
area tubuh dibawah lesi menyebabkan tekanan darah
rendah dan tidak stabil. Kehilangan kemampuan
perspirasi menyebabkan kulit kering dan pucat, juga
terjadi gangguan pernapasan.
4

b. Incomplete transaction : Central cord syndrome


Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan
motorik lebih banyak pada ekstremitas atas dibandingkan
dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan sensorik
yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah
adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah
mengalami kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari
anamnesis didapatkanadanya riwayat jatuh kedepan
dengan dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan
atau tanpa fraktur tulang servikal atau dislokasi.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah
kelemahan yang lebih prominen pada ekstremitas atas
dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi
ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada
ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering
dijumpai disabilitas neurologic permanen. Hal ini
terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering
adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat
di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.

c. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome


Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan
kehilangan sensorik disosiasi dengan hilangnya sensasi
nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi,
dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord
syndrome disebabkan infark pada daerah medulla spinalis
yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Prognosis
sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit
lainnya. Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level
dibawah lesi tetapi sensoris terhadap raba, tekanan, posisi,
dan getaran tetap baik.
5

d. Brown Sequard Syndrome


Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis,
biasanya akibat luka tembus. Namun variasi gambaran
klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni, sindrom ini
terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus
kortikospinalis) dan hilangnya sensasi posisi (kolumna
posterior), disertai dengan hilangnya sensasi suhu serta
nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di bawah
level trauma (traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom
ini disebabkan trauma tembus langsung ke medulla
spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi perbaikan.
Kondisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level
lesi disertai kehilangan fungsi sensoris sentuhan, tekanan,
getaran dan posisi. Terjadi gangguan kehilangan sensoris
nyeri dan suhu kontralatetal.
e. Sindrom Medula Spinalis bagian Posterior
Ciri khas sindrom ini adalah adanya kelemahan
motorik yang lebih berat pada lengan dari pada tungkai
dan disertai kelemahan sensorik. Defisit motorik yang
lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan
akibat rusaknya sel motorik di kornu anterior medulla
spinalis segmen servikal atau akibat terlibatnya serabut
traktus kortikospinalis yang terletak lebih medial di
kolumna lateralis medulla spinalis. Sindrom ini sering
dijumpai pada penderita spondilitis servikal.
d) Patofisiologi
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat
memperlihatkan gejala dan tanda yang segera ataupun dapat
timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi untuk pertama
kalinya sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang
terjadi selanjutnya.3
6

Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-


bagian saraf oleh fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya
ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh
darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan
sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi
dalam beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa
jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam
beberapa menit kemudian.3
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa
fraktur-dislokasi, fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relatif ketiga
jenis tersebut adalah 3:1:1. Fraktur tidak mempunyai tempat
predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempat-tempat
antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi,
seperti vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12.3
Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat
dan menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang
belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata
di medulla spinalis.

Gambar 1. Manifestasi plegi pada trauma medulla spinalis3


7

Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan


dengan fraktur dan dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada
medulla spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong
dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh
terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya
eksplosi bom.

e) Gejala klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering
muncul adalah :1

a. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang


saraf yang terkena
b. Paraplegia
c. Paralisis sensorik motorik total
d. Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi
kandung kemih)
e. Penurunan keringat dan tonus vasomotor
f. Penurunan fungsi pernapasan
g. Gagal nafas
f) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan
meliputi pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan
radiologis. Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3 posisi standar
(anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan
posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada
kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis,
pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat
dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging merupakan alat
diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di medulla
spinalis akibat cedera/trauma.1
8

 Radiologi
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada
daerah yang diperkirakan mengalami trauma akan
memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai
dengan dislokasi.Pada trauma daerah servikal foto dengan
posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa
adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.2
Evaluasi radiologis yang lengkap sangat penting
untuk menentukan adanya cedera spinal.Pemeriksan
radiologis tulang servical diindikasikan pada semua pasien
trauma dengan nyeri leher di garis tengah, nyeri saat
palpasi, defisit neurologis yang berhubungan dengan
tulang servical, atau penurunan kesadaran atau dengan
kecurigaan intoksikasi. Pemeriksaan radiologis proyeksi
lateral, anteroposterior (AP) dan gambaran odontoid open
mouth harus dilakukan.2
Pada proyeksi lateral, dasar tengkorak dan ketujuh
tulang cervicla harus tampak. Bahu pasien harus ditarik
saat melakukan foto servikal lateral, untuk menghindari
luputnya gambaran fraktur atau fraktur dislokasi di tulang
servikal bagian bawah. Bila ketujuh tulang servikal tidak
bisa divisualisasikan pada foto latural, harus dilakukan
swimmer view pada servical bawah dan thorakal atas.2
Proyeksi open mouth odontoid harus meliputi
seluruh prosessus odontoid dan artikulasi C1-C2 kanan
dan kiri. Proyeksi AP tulang servikal membantu
indenfitikasi adanya diskolasi faset unilateral pada kasus
dimana sedikit atau tidak tampak gambaran dislokasi pada
foto lateral. CT-scan aksial dengan irisan 3 mm juga dapat
dilakukan pada daerah yang dicurigai dari gambaran foto
9

polos atau pada servikal bawah bila tidak jelas tampak


pada foto polos.2
Gambaran CT aksial melalui C1-C2 juga lebih
sensitif daripada foto polos untuk mencari adanya fraktur
pada vertebra. Bila kualitas filmnya baik dan
diinterpretasikan dengan benar, cedera spinal yang tidak
stabil dapat dideteksi dengan sensitivitas lebih dari 97%.2
Jika pada skrining radiologis seperti dijelaskan
normal,foto X-ray fleksi ekstensi perlu dilakukan pada
pasien tanpa penurunan kesadaran, atau pada pasien
dengan keluhan nyeri leher untuk mencari adanya
instabilitas okult atau menentukan stabilitas fraktur, seperti
pada fraktur kompresi atau lamina. Mungkin sekali pasien
hanya mengalami cedera ligamen sehingga mengalami
instabilitas tanpa adnaya fraktur walaupun beberapa
penelitian menyebutkan bahwa bila 3 proyeksi radiologis
ditambah CT scan menunjukkan gambaran normal (tidak
ada pembengkakan jaringan lunak atau angulasi abnormal)
maka instabilitas jarang terjadi.2
Untuk tulang torakolumbal, indikasi melakukan
skrining radiologis sama dengan pada kejadian di tulang
servikal. Foto polos AP dan lateral dengan CT scan aksial
irisan 3 mm pada daerah yang divutigai dapat mendeteksi
lebih dari 99% cedera yang tidak stabil. Pada proyeksi AP
kesegarisan vertikal pedikel dan jarak antar pedikel pada
masing-masing tulang harus diperhatikan. Fraktur yang
tidak stabil sering menyebabkan pelebaran jarak antar
pedikel.2
Foto lateral dapat mendeteksi adanya subluksasi,
fraktur kompresi, dan fraktur Chance. CT scan sendiri
berguna untuk mendeteksi adanya faktur pada elemen
10

posterior (pedikel, lamina, dan prosessus spinosus) jdan


menentukan derajat gangguan kanalis spinalis yang
disebabkan burst fraktur. Rekonstruksi sagital dari CT
Scan aksial mungkin diperllukan untuk menentukan
fraktur chance.2
 Pungsi lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis.
Sedikit peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan
adanya blokade pada tindakan Queckenstedt
menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis,
tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus
dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang
belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi.
Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila
diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis
tersebut.2
 Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah
sembuh dari trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi
herniasi diskus intervertebralis.2
g) Penatalaksanaan2
Berdasarkan ATLS (Advance Trauma Life Support),
manajemen umum pada pasien dengan trauma spinal dan medulla
spinalis meliptui immonilisasi, cairan intravena, obat-obatan, dan
rujukan dilkukan saat kondisi pasien sudah stabil.
Immobilisasi
Semua pasien dengan kecurigaan trauma spinal harus
diimobilisasi sampai di atas dan dibawah daerah yang dicurigai
sampai adanya fraktur dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
radiologi. Harus diingat bahwa proteksi spinal harus dipertahankan
sampai cedera cervical dapat disingkirkan. Imobilisasi yang baik
11

dicapai dengan meletakkan pasien dalam posisi netral-supine tanpa


memutar atau menekuk kolumna vetebralis. Jangan dilakukan
usaha/tindakan untuk mengurangi deformitas.
Anak-anak mungkin mengalami tortikolis, sedangkan
orang yang lebih tua mungkin menderita penyakit degenerasi
spinal berat yang mengakibatkan mereka mengalami kifosis
nontraumatik atau deformitas angulasi spinal. Pasien sperti ini
diimobilisasi pada backboard pada posisi yang tepat. Padding
tambahan juga diperlukan. Usaha untuk meluruskan spinal guna
immobilisasi di atas backboard tidak dianjurkan bila
menimbulkan nyeri.
Immbolisasi leher dengan semirigid collar tidak menjamin
stabilisasi komplit tulang cervical. Imobilisasi dengan
menggunakan spine board dengan bantal ganjalan yang tepat
lebih efektif dalam membatasi pergerakan leher. Cedera tulang
cervical memerlukan immobilisasi yang terus menerus dengan
menggunakan cervical collar, immoblisasi kepala, backboard,
dan pengikt sebelum dan selama pasien dirujuk ke tempat
perawatan definitif. Ekstensi atau fleksi leher harus dihindari
karena geraka seperti ini berbahaya bagi medulla spinalis. Jalan
nafas adalah hal yang penting pada pasien dengan cedera
medulla spinalis dan intubasi segera harus dilakukan bila terjadi
gangguan respirasi. Selama melakukan intubasi, leher harus
dipertahankan dalam posisi netral,
Perhatian khusus dalam mempertahankan imbolisasi yang
adekuat diberikan pada pasien yang gelisah, agitatif, atau
memberontak. Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri, kesadaran
menurun akibat hipoksia atau hipotensi, penggunaan alkohol
atau obat-obatan, atau gangguan kepribadian. Dokter harus
mencari dan memperbaiki penyebab bila mungkin. Jika
diperlukan dapat diberikan sedatif atau obat paralitik, dengan
12

tetap diingat mengenai proteksi jalan nafas yang kuat, kontrol,


dan ventilasi. Pneggunaan sedasi atau obat paraitik dalam
keadaan ini memerlukan ketepatan dalam keputusan klinis,
keahlian dan pengalaman.
Saat pasien tiba di ruang gawat daruratm harus diusahakan
agar pasien bisa dilepaskan dari spine board yang keras untuk
mengurangi risiko terjadinya ulkus dekubitus. Pelepasan alas
keras sering dilakukan sebagai bagian dari secondary survey
saat dilakukan log roll untuk inspeksi dan palpasi tubuh bagian
belakang. Jangan sampai hal ini ditunda hanya untuk
pemeriksaan radiologis, apalagi bila pemeriksaan radiologis
tidak bisa dilakukan dalam beberapa jam.
Gerakan yang aman atau log roll, pad apasien dengan
tulang belakang yang tidak stabil memerlukan perencana dan
bantuan 4 orang atau lebih, tergantung ukuran pasien.
Kesegarisan anatomis netral dari seluruh tulang belakang harus
dijaga pada saat memutar atau mengangkat pasien. Satu orang
ditugaskan untuk menjaga kesegarisan leher dan kepala. Yang
lain berada di sisi yang sama dari pasien, secara manual
mencegahh rotasi, fleksi, ekstensi, tekukan lateral, atau
tertekuknya thorax atau abdomen secara manual selama transfer
pasien. Otang keempat bertanggung jawab menggerakkan
tungkai dan memindahkan spine board dan memeriksa
punggung pasien.
Cairan Intravena
Pada penderita dengan kecurigaan trauma spinal, cairan
intravena diberikan seperti pada resusitasi pasien trauma. Jika
tidak ada atau tidak dicurigai adanya perdarahan aktif, adanya
hipotensi setelah pemberian cairan 2 liter atau lebih
menimbulkan kecurigaan adanya syok neurogenik. Pasien
dengan syok hipovolemik biasanya mengalami takikardia
13

sementara pasien dengan syok neurogenik secara klasik akan


mengalami bardikardia.
Jika tekanan darah tidak meningkat setelah pemberian
cairan, maka pemberian vasopressor secara hati-hati
diindikasikan. Fenielfrin HCL, dopaminm atau norepinefrin
direkomendasikan. Pemberian cairan yang berlebihan dapat
menyebabkan edema paru pada pasien dengan syok neurogenik.
Bila status cairan tidak jelas maka pemasangan monitor invasif
bisa menolong. Kateter urine dipasang untuk memonitor
pengeluaran urine dan mencegah distensi kandung kemih.
Medikasi
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan
untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan
motoris. Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya
memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medulla
spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72
jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk.
Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki
prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi
masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah
lebih dari 50%
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum
digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika dan
direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika
Serikat. Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama
cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak
dan belum digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh Braken
dalam Cochrane Library menunjukkan bahwa metilprednisolon
dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik yang
terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan
14

untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis


traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama
dalam penanganan pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi,
terapi okupasi, dan bladder training pada pasien ini dikerjakan
seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk
mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan
mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada.
Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS biasanya
mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik
sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi
okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan
memperbaiki fungsi ekstremitas atas, mempertahankan
kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living
(ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin.
Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan
pasien.
Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa
suatu program rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi,elektroterapi,
psikoterapi, penatalaksanaan gangguan kandung kemih dan saluran
cerna) meningkatkan secara signifikan nilai status fungsional pada
penderita cedera medula spinalis.
h) Komplikasi
Komplikasi dari penyakit ini yaitu:

1. Neurogenik shock
2. Hipoksia
3. Instabilitas spinal
4. Ileus paralitik
5. Infeksi saluran kemih
6. Kontraktur
7. Dekubitus
15

2. Syok Spinal
Syok spinal termasuk syok distributive, terjadi karena volume
darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti ketika darah
berkumpul dalam pembuluh darah perifer. Spinal syok atau syok pada
medula spinalis adalah suatu keadaan disorganisasi fungsi medula spinalis
yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini
timbul segera setelah cedera dan dapat berlangsung dari beberapa jam
hingga beberapa minggu.4
a) Etiologi
Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang
menganggu CNS. Maslah ini terjadi akibat transmisi impuls yang
terhambat dan hambatan hantaran simpatik dari pusat vasomotor
pada otak. Dan penyeba utamanya adalah SCI.
Tipe syok ini bias disebabkan oleh banyak faktor yang
menstimulasi parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik
dari otot vaskular. Trauma pada saraf spinal atau medula dan
kondisi yang menggangu supali oksigen atau glukosa ke medulla
menyebabkan syok neurogenik akibat gangguan aktivitas simpatik.
Obat penenang, anestesi, dan stress hebat beserta nyeri juga
merupakan penyebab lainnya.
b) Manifestasi Klinis
Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan reflek dibawah
cedera. Suhu didalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada
di lingkungan, kemudian tekanan darah akan menurun. Sedangkan
frekuensi denyut nadi sering normal akan tetapi tetap disertai
tekanan darah yang selalu rendah.
c) Pemeriksaan Penunjang
 Sinar X spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(fraktur, dislokasi) untuk kesejajaran traksi atau operasi.
 CT Scan : menemukan tempat luka/jejas, mengevaluasi
gangguan struktural.
16

 MRI : mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema


dan kompresi.
 Mielografi : untuk memperlihatkan kolumna spinalis jika
terdapat oklusi pada subarkhnoid medula spinalis.
 Rongent toraks : untuk memperlihatkan keadaan paru.
 Pemeriksaan fungsi paru : mengukur tekanan volume inspirasi
maksimal dan ekspirasi maksimal terutama pada kasus trau
servikal bagian bawah.
 GDA : menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya
ventilasi.
d) Penatalaksanaan4
 Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin bertanya cedera
medulla spinalis atau kerusakan tambahan
 Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekana
pada medulla spinalis akibat terjadinya truma yang dapat
mengurangi disabilitas jangka panjang.
 Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama)
untuk mengurangi pembengkakan dan inflamsi mendulla
spinalius serta mengurangi luas kerusakan kerusakan
permanen.
 Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan
untuk mempercepat dan mendukung proses pemulihan.
 Terapi fisik diberikan setelah kondisi pasien stabil
 Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka
panjang seperti komplikasi pada kulit, sistem reproduksi dan
sistem perkemihan dengan melibatkan anggota keluarga.
Penatalaksanaan syok spinal lainnya yaitu :
 Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung
kemih secara teratur agar mencegah terjadinya inkontinensia
overfloe dan dribbling.
17

 Lakukan pengosongan rektum dengan cara tambahkan diet


tinggi serat, laksatif, supposutoria, enema untuk BAB atau
pengosongan secara teratur tanpa terjadi inkontinensia.
3. Complete Transaction
Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis terputus
menyebabkan semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis di bawah
level terjadinya transection semua terganggu dan terjadi kerusakan
permanen. Secara klinis menyebabka kehilangan kemampuan motorik
berupa tetraplegia pada transeksi cervical dan paraplegia jika terjadi pada
level thorakal. Terjadi flaksid otot, hilangnya refleks dan fungsi sensoris
dibawah level trabsseksi. Kandung kemih dan susu atoni sehingga
menyebabkan ileus paralitik. Kehilangan tonus vasomotor area tubuh
dibawah lesi menyebabkan tekanan darah rendah dan tidak stabil.5
a) Etiologi
Penyebab tersering adalah kecelakaan mobil, kecelakaan
motor, jatuh,cedera olah raga, dan luka akibat tembakan atau pisau.
b) Patofisiologi
Kerusakan meduala spinalis berkisar dari komosio sementara
(di mana pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan
kompresi substabsia medulla (baik salah satu atau dalam
kombinasi)sampai transeksi lengkap medulla ( yang membuat
pasiaen paralysis dibawah tingkat cedera) Bila hemoragi terjadi
pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes
kekstrakaudal, subdural atau subarakhnoid pada kanal spinal.segera
setelah terjadi kontusion atau robekan akibat cedera, serabut –
serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi drah dan
subtansia grisea medulla spinalis, tetapi proses patogenik dianggap
menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera pembuluh darah
medulla spinalis, tetapi proses patogenik
dianggap menimbulkan kerusakan yang terjadi pada cedera
medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian – kejadian
18

yang menimbulkan iskemia,hipoksia, edema, dan lesi-lesi


hemoragi, yang pada gilirannya menyepabkan kerusakan meilin
dan akson.
c) Gejala klinis

Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul


adalah :5

a. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang


saraf yang terkena

b. Paraplegia

c. Paralisis sensorik motorik total

d. Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi


kandung kemih)

e. Penurunan keringat dan tonus vasomotor

f. Penurunan fungsi pernapasan

g. Gagal napas

d) Penilaian Dan Pengelolaan Cedera Medulla Spinalis ( Fase


Akut )
Berdasarkan ATLS (Advance Trauma Life Support),
manajemen umum pada pasien dengan trauma spinal dan medulla
spinalis meliptui immonilisasi, cairan intravena, obat-obatan, dan
rujukan dilkukan saat kondisi pasien sudah stabil.5
4. Brown Sequard Syndrome
a) Definisi
Brown Sequard Syndrome (BSS) merupakan kumpulan
gejala yang muncul karena cedera medulla spinalis yang meliputi
kelumpuhan atau gangguan neuron motorik damn propiosepsi pada
sisi ipsilateralnya dan gangguan sensoris (sensasi sakit dan suhu)
19

pada sisi kontralateralnya Penyebab umumnya dapat karena


perlukaan atau penekanan baik pada intramedullar ataupun
ekstramedullar Insiden kejadian BSS ini sekitar 2% dari seluruh
kejadian cedera medulla spinalis Kejadian paling banyak
merupakan BSS yang inkomplit, sedangkan yang komplit jarang
terjadi. 6
b) Etiologi
Trauma, baik tajam ataupun tumpul Neoplasma, primer
ataupun sekunder hasil dari metastasis dari tempat lain Multipel
sklerosis Degeneratif Hernia Gangguan vaskular, bisa perdarahan
atau iskemia Infeksi, meningitis, herpes simpleks, TBC, dan lain-
lain.6
c) Patofisiologi
BSS terjadi karena kerusakan traktus korda spinalis asenden
dan desenden pada satu sisi korda spinalis. Serabut motorik dari
traktus kortikospinal menyilang pada pertemuan antara medulla
dan korda spinalis. Kolumna dorsalis asenden membawa sensasi
getar dan posisi ipsilateral terhadap akar masuknya impuls dan
menyilang diatas korda spinalis di medulla. Traktus spinotalamikus
membawa sensasi nyeri, suhu dan raba kasar dari sisi kontralateral
tubuh. Pada lokasi terjadinya cedera spinal, akar saraf dapat
terkena.6
d) Gejala klinis
Paralisis lower motor neuron ipsilateral dan atrofi otot di
segmen lesi Paralisis spastis ipsilateral di bawah tingkat lesi.
Terdapat tanda Babinski ipsilateral, dan tergantung pada segmen
medulla spinalis yang rusak, refleks abdominalis superfisialis dan
refleks kremaster dapat menghilang Pita anastesi kulit ipsilateral
pada segmen lesi Hilangnya diskriminasi taktil serta sensai getar
dan propioseptif ipsilateral di bawah tingkat lesi Hilangnya sensasi
20

nyeri dan suhu kontralateral di bawah tingkat lesi Hilangnya


sensasi taktil yang inkomplit pada sisi kontralateral.6
e) Pemeriksaan Penunjang
Foto polos spinal dapat menggambarkan cedera tulang yang
disebakan trauma tajam maupun tumpul Pemeriksaan MRI
menunjukkan luasnya cedera korda spinalis dan ini sangat
membantu untuk membedakannya dengan penyebab nontraumatik
CT-Mielogram dapat membantu jika MRI dikontraindikasikan atau
tidak tersedia Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) dapat
dilakukan jika dicurigai disebabkan oleh tuberkulosis.6
f) Penatalaksanaan
Evaluasi awal (pemeriksaan neurologi serta evaluasi luka)
Dilakukan juga imobilisasi spinal servikal secara hati-hati,
pergerakan leher sebaiknya dihindari terlebih dahulu Cari
penyebabnya untuk diatasi, ditatalaksanai sesuai dengan
penyebabnya masing-masing.6
g) Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi dapat berupa Hipertensi emboli pulmo Infeksi
depresi Prognosis BSS secara umum buruk, namun masih lebih
baik jika dibandingkan dengan cedera spinal cord yang lainnya.6
C. Analisis Masalah
Anamnesis
- Nama: Tn A
- Usia: 28 tahun
- Alamat: Cirebon
- Keluhan Utama: Lumpuh kedua tungkai sejak 6 jam yang lalu setelah
kecelakaan mobil. Lumpuh dari pinggang-telapak kaki. Mual muntah
disangkal. Terdapat gangguan pada BAB dan BAK (pasien tidak bisa
merasakan mulas dan keingininan untuk berkemih).
- Mekanisme trauma: Pasien mengendarai mobil dengan kecepatan
120km/jam dalam keadaan mengantuk. Menggunakan sabuk pengaman,
21

pasien terdorong kedepan, sedangkan bagian pinggang masih di


belakang. Mobil jatuh dengan posisi terjungkir. Menimbukan luka pada
daerah perut. Pasien sempat pingsan selama 5 menit, kemudian tersadar
lagi.
- Riwayat Penyait Dahulu: HT (-), DM (-), Riw. Trauma (-)
- Riwayat Penyakit Keluarga: -
- Riwayat Pribadi dan Sosial: merokok (+), alkohol dan konsumsi obat
terlarang (-)
- Tinjauan Sistem Tubuh: -
a) Pemeriksaan Fisik
KU: sakit sedang
K: Komposmentis
TTV: Nadi 120/90 mmHg, Respirasi 20x/menit, Suhu 380C, TD
80x/menit.
Kepala: luka (-), memar (-), benjolan (-).
Mata: sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), racoon eye (-), roving eye
(-), pupil isokhor.
Hidung: pernapasan cuping hidung (-)
Bibir: -
Leher: jejas (-), deformitas (-)
Thoraks: dalam batas normal
Abdomen: inspeksi (jejas pada bagian perut bagian bawah), auskultasi
bising usus normal, palpasi nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2detik.
b) Pemeriksaan Neurologi
Fungsi Motorik
•Ukuran otot : eutrifi
•Tonus otot : ekstremitas atas/bawah N/N
•Kekuatan otot : ekstremitas atas/bawah 5/0
22

•Gerakan involunter : -
Fungsi Sensorik
•Rangsang taktil : eks sup/inf +/-
•Diskriminasi dua titik: eks sup/inf +/-
Refleks Fisiologis
•Patella: kanan/kiri ↓/N
•Achilles: kanan/kiri ↓/N
•Biceps: kanan/kiri N/N
•Triceps: kanan/kiri N/N
Refleks Patologis
•Babinsky : kanan kiri +/+
•Chadock : kanan kiri +/+
•Oppenheim: kanan kiri -/-
•Gordon : kanan kiri +/+
•Schaefer: kanan kiri +/+
•Gonda : kanan kiri +/+
•Tromner : kanan kiri -/-
•Hauffmen : kanan kiri /-
Rangsang Meningeal
•Kaku kuduk: -
•Laseque: -
•Kernig: -
•Brudzinski: -
c) Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin: Hb 11,5, Ht 29%, Leukosit 7.100, trombosit 30.000.
Rontgen: kompresi disc. intervertebra dan penyempitan corpus vertebra
T12-L1
d) Diagnosis

Praplegi, Retensio Urin et Alvi e.c Fraktur Kompresi Corpus


Vertebra L1
23

e) Penatalaksanaan Awal
Tatalaksana di Tempat Kejadian
1. Imobilisasi korban dengan membatasi fleksi dan gerakan lain
2. Penanganan imobilisasi dengan neck collar atau vertebral brace bila
tersedia
Tatalaksana di Unit Gawat Darurat

1. Periksa dan stabilkan ABCDE


- Airway : periksa dan pastikan jalan napas tetap lapang
- Breathing : Pastikan napas adekuat
- Circulation : bedakan antara syok hipovolemik dan syok
neurogenic
o Syok Hipovolemik berikan cairan kristaloid atau koloid
o Syok Neurogenik berikan vasopressor target MAP >
70mmHg
2. Pasang kateter folley untuk memonitor hasil urin dan mencegah retensi
urin
3. Oksigen 2liter/menit.
4. Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebra:
- Servikal : pasang kerah fiksasi leher (collar neck)
- Torakal : fiksasi dengan toracolumbal brace
- Lumbal : fiksasi dengan korset lumbal
5. Pemberian kortikosteroid
6. Diagnosis ditegakkan <3 jam pascatrauma: metilprednisolon
30mg/kgBB bolus intravena selama 15 menit kemudian ditunggu
selama 45 menit. Selanjutnya diberikan infus metilprednisolon terus
menerus selama 23 jam dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam
7. Diagnosis ditegakkan 3-8 jam: pemberian metilprednisolon sama
dengan pemberiaan saat diagnosis ditegakkan <3 jam tetapi pemberian
infus dilanjutkan sampai 47 jam.
8. Diagnosis ditegakkan dalam >8 jam: tidak dianjurkan pemberian
kortikosteroid
24

f) Langkah Investigasi Selanjutnya


- Pemeriksaan darah rutin
o Hb 11,5 mm3
o Leukosit 7100 mg/dL
o Hematokrit 29%
o Trombosit 301.000
- Radiologi x-ray : fraktur corpus vertebra lumbal I dan penyempitan
diskus intervertebralis thorakal 12 s/d lumbal 1
g) Diagnosis Definitif
- Trauma medulaspinalis komplit transection
- Trauma medulaspinalis komplit syok spinal
- Trauma medulaspinalis inkomplit cord syndrome anterior posterior
dan sentral
- Trauma medulla spinalis inkomplit brown sequard syndrome
h) Tatalaksana kausatif pada trauma medulla spinalis
 Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membrane, menghambat oksidasi
lipid, mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah
medulla spinalis, menghambat pelepasan endorphin dan hipofisis serta
menghambat proses radang. The national acute spinal cord injury
menyarankan metilprednisolon sebesar 30 mg/KgBB sebagai
pencegahan preoksidasi lipid, dan harus diberikan sesegera mungkin
setelah terjadi trauma.7
 21- aminosteroid (lazaroid)
21- aminosterosis atau U-746000F bekerja dengan mengurangi
proses oksidasi lipid melalui perantaraan vitamin E. efek lainnya
adalah, mengurangi enzim hidroksi peroksidase serta menstabilkan
membrane sel.7
 GM-1 Gangliosid
Merupakan asam salsilat yang mengandung glikolipid pada
membrane sel.glikolipid ini berperan meningkatkan neuronal sprout
25

dan transmisi sinaptik. Obat ini memiliki fungsi faktor pertumbuhan


neurit, menstimulasi pertumbuhan sel saraf, serta meregulasi protein
kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf pasca iskemia.7
 Antagonis opioid
Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan
nalokson sebagai antagonis opioid menunjukkan hasil yang baik jika
diberikan dengan metilprednisolon.8
i) Patofisiologi trauma medulla spinalis
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari
ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga, mengakibatkan
patah tulang belakang; paling banyak cervicalis dan lumbalis. Fraktur
dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi,
sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio,
kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran
darah, blok syaraf parasimpatis pelepasan mediator kimia, kelumpuhan
otot pernapasan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan
hipoksemia syok spinal gangguan fungsi rektum, kandung kemih.
Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman, nyeri, oksigen dan potensial
komplikasi, hipotensi, bradikardia, gangguan eliminasi.9

Gambar 2. Patofisiologi Trauma Medulla Spinalis


26

j) Refleksi Diri
1) Alif Hamzah
Alhamdulillah, pada cr ke 3 hari ini saya sudah mengikuti dengan
aktif dari awal hingga akhir. Pada, CR ke 3 saya masih merasa
kurang pada bagian tatalaksana awal dari masing-masing diagnosa.
Untuk itu saya akan lebih fokus pada guideline tata laksana masing-
masing diagnosis.
2) Dela Destiani Aji
Kegiatan Clinical Reasoning 3 membahas mengenai kasus
kegawatan pada medula spinalis dengan keluhan utama kedua
tungkai tidak bisa digerakan. Sebelumnya saya sudah mempelajari
beberapa penyakit yang biasa terjadi pada medulla spinalis termasuk
juga penyakit yang merupakan suatu kegawatan. Dari setiap penyakit
tersebut saya sudah mempelajari dan paham mengeni etiologi, faktor
resiko, patofisiologi dan manifestasi klinis. Namun saya masih
kesulitan dalam menentukan tatalaksana kepada pasien secara
komperhensif. Selain itu, pengetahuan saya mengenai obat dan dosis
nya masih sangat kurang. Topik yang paling penting yang harus saya
kuasai adalah mulai dari penyebab suatu penyakit hingga tatalaksana
secara komperhensif.
Strategi belajar yang paling sesuai untuk saya untuk mencapai
tujuan belajar adalah dengan mempelajari terlebih dahulu topik yang
akan dibahas secara mendalam kemudian berdiskusi dalam
kelompok. Alternatif lain untuk dapat mencapai tujuan belajar lebih
luas adalah berdiskusi dengan kelompok lain. Sumber belajar yang
saya butuhkan adalah buku terbaru yang membahas topik tersebut
atau jurnal.
3) Dhini Oktaviani
Alhamdulillah setelah dilaksanakannya CR , saya menjadi tahu
mengenai berbagai macam penyakit kegawatdaruratan neurologi
dengan kasus kelumpuhan, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
27

yang sangat banyak sampai tatalaksana. Akan tetapi masih ada


beberapa penyakit yang masih belum terbahas lebih dalam
dikarenakan keterbatasan waktu, jadi kami hanya membahas
mengenai diagnosis kerjanya saja yaitu paraplegi retensio urin dan
alvi et causa fraktur kompresi korpus vertebra lumbal 1.
Oleh karena itu, kami akan melengkapinya dengan mencari literatur
yang terpercaya baik text book maupun jurnal, kemudian saya akan
mempelajarinya lagi lebih dalam agar dapat tercapai sasaran belajar
pada clinical reasoning 3 ini. Selain itu juga laporan ini dapat saya
jadikan sumber belajar untuk menghadapi ujian kasus.
4) Hilyatul Aulia Puspasari
Alhamdulilah, dengan adanya kegiatan diskusi clinical reasoning
yang hanya dilaksanakan sehari ini, saya mengetahui kedaruratan
neurologi akibat trauma khususnya trauma medula spinalis.
Mengetahui dari etiologi hingga penatalaksanaan serta komplikasi
yang mungkin terjadi. Mungkin yang masih belum saya ketahui
lebih lanjut yaitu tentang bagaimana penatalaksanannya. Strategi
belajar yang paling sesuai untuk saya mungkin dengan cara
mendengarkan, melihat dan menulis dari apa yang saya pelajari. Dan
itu mempermudah saya dalam memahami yang saya pelajari.
Sumber belajar yang saya butuhkan dari segi e-book dan juga buku
panduan yang ada. Untuk kemajuan belajar saat ini, alhamdulilah
mampu membuat nilai saya perlahan naik sedikit demi sedikit.
Strategi belajar yang saya lakukan sekiranya sangat pas untuk saya
dan tidak akan diubah. Sekian refleksi diri dari saya, mudah-
mudahan apa yang saya pelajari lewat clinical reasoning ini
bermanfaat bagi kelanjutan kehidupan saya di masa mendatang.
5) Isma Aulia Gustawi
Dalam diskusi clinical reasoning kali ini saya sudah cukup
mengerti tentang penyakit-penyakit apa saja yang akan dibahas.
Kesulitan yang saya hadapi adalah saya masih sedikit bingung mana
28

diagnosis yang harus disingkirkan mungkin dikarenakan penegakkan


diagnosisnya belum digali dengan cukup baik. Yang paling penting
dalam diskusi ini adalah bagaimana kita mendiagnosis pasien secara
tepat agar pengobatan yang diberikan juga tepat dan sesuai dengan
kebutuhan pasien. Untuk meningkatkan kemampuan yang saya
miliki, saya akan belajar lebih giat lagi dan rajin membaca dari
referensi yang terpercaya sehingga diskusi selanjutnya dapat berjalan
lebih aktif dan lebih bermanfaat dan ilmu nya dapat saya terapkan di
kemudian hari kelak, karena menurut saya clinical reasoning seperti
ini cukup membantu saya untuk lebih memahami ciri khas suatu
penyakit dan bagaimana menerapkan suatu penegakkan diagnosis
yang benar pada pasien sesuai dengan prosedur yang ditentukan.
6) Lia Novita
Alhamdulliah yang sudah saya ketahui tentang topik ini adalah
seorang laki-laki dengan kelumpuhan kedua tungkai, yang tidak saya
ketahui adalah tatalaksana lanjutan yang harus diberikan kepada
pasien ini, topik yang paling penting yang harus saya kuasai yaitu
yang berkaitan dengan kegawatan neuorogi. Strategi belajar yang
paling sesuai untuk saya mencapai tujuan belajar dengan mencari
sumber atau referensi yang benar dan mudah dipahami oleh saya
serta saya dapat menuliskan di lembar resume saya dengan bahasa
yang sederhana dan tidak keluar dari acuan referensi, alternatif lain
yang saya miliki adalah dengan memfoto copy reseume saya dan
resume teman saya yang catatan penyakitnya lengkap serta
membawa text book, sumber belajar yang saya butuhkan yakni
kumpulan-kumpulan materi yang terkait dengan kasus clinical
reasoning atau referensi-referensi. Apakah saya pernah memiliki
pengalaman sukses dengan strategi belajar ini jawabannya pernah,
memiliki sumber atau referensi- referensi yang sesuai dengan kasus
membuat saya dan teman- teman dalam berdiskusi menjadi lancar.
Apakah saya perlu mengubah strategi belajar jawaban saya tidak,
29

lebih baik saya mempertahankan dan meningkatkan strategi belajar


saya dengan lebih teliti mencari sumber atau referensi yang
terpercaya. Yang menjadi faktor penentu keberhasilan adalah doa,
usaha dan yakin. Faktor penentu kegagalan seperti malas dan tidak
berdoa. Apakah yang telah saya pelajari dari proses yang dapat
membantu saya di masa depan, didikan perilaku, ilmu-ilmu serta
keterampilan-keterampilan yang sudah diberikan oleh orang tua,
dosen dan lain-lain.
7) Nurul Amaliah Lestari
Alhamdulillah setelah dilaksanakannya CR 3, saya menjadi tahu
mengenai berbagai penyakit dengan keluhan utama lumpuh pada
kedua tungkai. Mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, hingga
tatalaksananya. Akan tetapi masih ada diagnosis banding yang belum
terbahas mendalam, dikarenakan keterbatasan waktu, jadi kami
hanya membahas secara menyeluruh mengenai diagnosis kerjanya
Oleh karena itu, saya akan melengkapinya di laporan kasus dengan
mencari di literatur yang terpercaya baik text book maupun jurnal,
mulai dari definisi, etiologi dan faktor risiko, patofisiologi,
penegakkan diagnosis dan tatalaksana, kemudian saya akan
mempelajarinya lebih mendalam agar dapat memahami semua yang
harus terbahas pada Clinical reasoning kasus 1 ini. Selain itu juga
laporan ini dapat kami jadikan sumber belajar untuk menghadapi
ujian kasus.
8) Sinta Agustina
Pada pembahasan clinical reasoning yang ke-3 ini saya sudah
mengetahui macam-macam penyakit yang salah satu gejalanya
adalah lumpuh pada kedua tungkai. Namun ada beberapa yang
belum saya ketahui diantaranya yaitu penatalaksanaan setiap
penyakit, sedangkan penatalaksanaan itu menurut saya merupakan
salahsatu materi yang sangat penting yang harus saya kuasai.
30

Strategi belajar yang harus saya susun yaitu harus banyak


membaca dan merangkum setiap materi/penyakit dari mulai etiologi
sampai penatalaksanaanya secara komprehensif. Sumber belajar
yang saya butuhkan yaitu practice, karena dengan practice saya lebih
mudah lama mengingat dibandingkan dengan hanya membaca.
Kemajuan yang dicapai sejauh ini masih belum maksimal karena
jangka waktu yang kurang memadai. Saya perlu merubah strategi
belajar yang lebih efektif, karena kegagalan yang sering saya alami
yaitu karena proses belajar yang kurang efektif sehingga tidak sering
tidak tercapai target pembelajarannya. Saya harus lebih banyak lagi
membaca dan praktik.
9) Tridaya Putri Handayani
Pada pembahasan clinical reasoning yang ke-3 ini membantu saya
untuk mengetahui macam-macam penyakit yang salah satu gejalanya
adalah lumpuh pada kedua tungkai. Namun ada beberapa yang
belum saya ketahui diantaranya yaitu penatalaksanaan setiap
penyakit, sedangkan penatalaksanaan itu menurut saya merupakan
salah satu materi yang sangat penting yang harus saya kuasai di blok
kegawatdaruratan ini.
Strategi belajar yang harus saya susun yaitu harus banyak
membaca dan merangkum setiap materi/penyakit dari mulai etiologi
sampai penatalaksanaanya secara komprehensif. Sumber belajar
yang saya butuhkan yaitu practice dan impleentasi, karena dengan
practice dan implementasi saya lebih mudah lama mengingat
dibandingkan dengan hanya membaca dengan menghafal.
Kemajuan yang dicapai sejauh ini masih belum maksimal karena
jangka waktu yang kurang memadai. Saya perlu merubah strategi
belajar yang lebih efektif, karena kegagalan yang sering saya alami
yaitu karena proses belajar yang kurang efektif dengan waktu kuranh
sehingga tidak sering tidak tercapai target pembelajarannya. Saya
31

harap saya dapat memperbaiki ketidak efektifan yang selama ini


menjadi problem dalam proses belajar.
32

DAFTAR PUSTAKA

1. Sheperd Centre and KPK interactive. Understanding Spinal


Cord Injury. The National Spinal Cord Injury Association and
The Christopher & Dana Reeve Foundation. 2011.
2. G.B Tjokorda. Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan
tulang belakang. Jakarta 2009.
3. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC; 2015.
4. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf Edisi V. Jakarta. Gramedia
Digital. 2014
5. Mardjono, Sidharta ; Neurologi Klinik Dasar, cetakan ke 15; Dian
Rakyat, Jakarta. 2010
6. Kaballo MA, Brennan D. Inramedulary Spinal Cord Metastasis
from Colonic Carcinoma Brown-Sequard Syndrome. J Med Case
Report; 2011.
7. Randall JD. Acute spinal cord injury; pathophysiologic
mechanismclinical neuropharmacology. 2001.
8. Tjokorda GBM, Maliawan S. Diagnosis dan Tatalaksana
kegawatdaruratan tulang belakang. Jakarta. Sagung seto; 2009.
9. Sjamsuhidajat. R. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC.
2017.

Anda mungkin juga menyukai