Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon yang
ditandai dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus
Meissneri dan pleksus mienterikus Aurbachi. Sembilan puluh persen kelainan ini
terdapat pada rektum dan sigmoid. Penyakit ini diakibatkan oleh karena terhentinya
migrasi kraniokaudal sel krista neuralis di daerah kolon distal pada minggu kelima
sampai minggu keduabelas kehamilan untuk membentuk system saraf intestinal.
Kelainan ini bersifat genetik yang berkaitan dengan perkembangan sel ganglion usus
dengan panjang yang bervariasi, mulai dari anus, sfingter ani interna kearah
proksimal, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan
gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional (Rochadi, 2012; Kartono,
2010; Langer, 2005).

Walaupun penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh Ruysch pada tahun 1691
dan dipopulerkan oleh Hirschsprung pada tahun 1886, patofisiologinya belum
diketahui hingga pertengahan abad ke 20, ketika Whitehouse dan Kernohan
mendapatkan aganglionosis pada usus bagian distal sebagai penyebab obstruksi
dalam laporan kasus pasien mereka. Pada tahun 1949, Swenson menjelaskan
penatalaksanaan definitif Hirschsprung yaitu dengan rectosigmoidectomy dengan
anastomosis colonal. Setelah itu diketahui jenis teknik operasi lainnya, termasuk
teknik Duhamel dan Soave. Pada masa kini, adanya kemajuan pada teknik operasi,
termasuk prosedur minimal invasif, dan diagnosis dini telah mengurangi mortalitas
dan morbiditas pasien dengan penyakit Hirschsprung.

Kebanyakan kasus penyakit Hirschsprung sekarang didiagnosis pada masa


neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai jika seorang neonatus tidak
mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam pertama setelah kelahiran. Walaupun
barium enema berguna untuk menegakkan diagnosis, biopsi rektum tetap menjadi
gold standard penegakkan diagnosis. Setelah diagnosis dikonfirmasi,

1
penatalaksanaan mendasar adalah untuk membuang jaringan usus yang aganglionik
dan untuk membuat anastomosis dengan menyambung rektum bagian distal dengan
bagian proksimal usus yang memiliki innervasi yang sehat.

B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Penyakit Hirschsprung
2. Mengetahui etiologi dari Penyakit Hirschsprung
3. Mengetahui patofisiologi Penyakit Hirschsprung
4. Mengetahui pathways Penyakit Hirschsprung
5. Mengetahui maninfestasi klinis Penyakit Hirschsprung
6. Mengetahui terapi/pengobatan untuk Penyakit Hirschsprung
7. Mengetahui komplikasi dari Penyakit Hirschsprung
8. Mengetahui prognosis pada Penyakit Hirschsprung

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit Hirschsprung


Menurut Wong, DL (1997), penyakit Hirschprung merupakan suatu kelainan
congenital yang disebabkan oleh obstruksi mekanis dari mortalitas/pergerakan
bagian usus yang tidak adekuat.
Penyakit Hirschprung atau megacolon congenital adalah tidak adanya sel-sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltic serta tidak adanya
evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter rectum tidak dapat berelaksasi, mencegah
keluarnya feses secara normal. Isi usus terdorong ke segmen aganlionik dan feses
terkumpul di daerah tersebut, menyebabkan dilatasinya bagian usus yang proksimal
terhadap daerah itu. Penyakit Megacolon diduga terjadi karena faktor genetic dan
faktor lingkungan, namun etiologi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit Hirschprung
dapat muncul pada sembarang usia, walaupun paling sering terjadi pada neonatus.
(Ngastiyah, 1997)
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan menjadi 2 tipe
Penyakit Hirschprung :
1. Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, ini merupakan 70% dari
kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan.
2. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau
usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki ataupun perempuan.

B. Etiologi
Penyebab dari Hirschprung yang sebenarnya tidak diketahui, tetapi
Hirschsprung atau Mega Colon diduga terjadi karena :
1. Diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan.
2. Sering terjadi pada anak dengan Syndrom Down.

3
3. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi
kraniokaudal pada myenterik dan submukosa dinding pleksus. ( Anik M, 2009)

C. Patofisiologi
Istilah Megacolon aganglionik congenital menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada pleksus
submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen kolon atau
lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan
tenaga pendorong (peristaltic), yang menyebabkan akumulasi/penumpukan isi usus
dan distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan (Megacolon). Selain itu,
kegagalan spingter anus internal untuk berelaksasi berkontribusi terhadap gejala
klinis adanya obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan,
dan gas.
Penyakit Hirschprung disebabkan dari kegagalan migrasi kraniokaudal pada
precursor sel ganglion sepanjang saluran gastrointestinal antara usia kehamilan
minggu ke-5 dan minggu ke-12. Segmen aganglionik hamper selalu meliputi rectum
dan beberapa bagian kolon distal, tetapi seluruh kolon atau sebagian usus halus
mungkin terkena.
Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi sebagai akibat distensi pada
dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus
halus dan kolon), yang merupakan penyebab utama kematian pada bayi/anak dengan
penyakit Hirschprung. (Anik M, 2009)

4
D. Pathways

E. Maninfestasi Klinis
Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam
pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur
dengan cairan empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317).
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan
Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi
total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi
mekonium. Keterlambatan evakuasi mekonium diikuti obstruksi konstipasi, muntah
dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan
yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare,

5
distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok
dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans
terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah.
(Nelson, 2002)
Gejala Penyakit Hirshprung menurut (Betz Cecily & Sowden, 2002) :
1. Masa Neonatal
a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir
b. Muntah berisi empedu
c. Enggan minum
d. Distensi abdomen
2. Masa Bayi dan Anak-anak
a. Konstipasi
b. Diare berulang
c. Tinja seperti pita, berbau busuk
d. Distensi abdomen
e. Gagal tumbuh

F. Terapi
1. Medis
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:
a. untuk menangani komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak
terdeteksi
b. sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif
dilakukan
c. untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan
elektrolit, menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi sistemik,
seperti sepsis. Maka dari itu, hydrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan
jika diindikasikan, pemberian antibiotik intravena memiliki peranan utama
dalam penatalaksanaan medis awal.
Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube
berlubang besar dan cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah terjadinya

6
ketidakseimbangan elektrolit. Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotik
prophylaksis telah menjadi prosedur untuk mengurangi resiko terjadinya
enterocolitis.
Injeksi BOTOX pada sphincter interna terbukti memicu pola pergerakan
usus yang normal pada pasien post-operatif.
2. Penanganan Operatif
Bila diagnosis sudah ditegakkan, pengobatan definitif adalah operasi.
Pilihan-pilihan operasi adalah melakukan prosedur definitif sesegera mungkin
setelah diagnosis ditegakkan atau melakukan kolostomi sementara dan
menunggu sampai bayi berumur 6-12 bulan untuk melakukan operasi definitif.
Ada tiga pilihan dasar operasi. Prosedur bedah pertama yang berhasil, yang
diuraikan oleh Swenson, adalah memotong segmen yang tidak berganglion dan
melakukan anastomosis usus besar proksimal yang normal dengan rektum 1-2
cm di atas garis batas. Operasi ini secara teknis sulit dan mengarah pada
pengembangan dua prosedur lain. Duhamel menguraikan prosedur untuk
menciptakan rektum baru, dengan menarik turun usus besar yang berinervasi
normal ke belakang rektum yang tidak berganglion. Rektum baru yang dibuat
pada prosedur ini mempunyai setengah aganglionik anterior dengan sensasi
normal dan setengah ganglionik posterior dengan propulsi normal. Prosedur
”endorectal pullthrough” yang diuraikan oleh Boley meliputi pengupasan
mukosa rektum yang tidak berganglion dan membawa kolon yang berinervasi
normal ke lapisan otot yang terkelupas tersebut., dengan demikian memintas
usus yang abnormal dari sebelah dalam.
Pada penyakit Hirschsprung segmental yang ultra pendek, segmen yang
tanpa ganglion hanya sebatas pada sfingter interna. Gejala-gejala klinisnya sama
dengan gejala-gejala pada anak konstipasi fungsional. Sel ganglion mungkin
terdapat pada biopsi isap rektum, tetapi motilitas rektum akan tidak normal.
Eksisi pengupasan mukosa otot rektum, termasuk sfingter anus interna,
merupakan tindakan diagnostik dan terapeutik.
Penyakit Hirschsprung segmen panjang yang melibatkan seluruh kolon dan
sebagian usus halus merupakan masalah yang sulit. Pemeriksaan motilitas
rektum dan biopsi isap rektum akan menunjukkan adanya tanda-tanda penyakit

7
Hirschsprung, tetapi pemeriksaan radiologis akan sulit diinterpretasi karena
tidak ditemukan daerah peralihan. Luasnya daerah aganglionosis dapat
ditentukan secara akurat dengan biopsi pada saat laparotomi.
Bila seluruh kolon aganglionik, sering bersama dengan panjang ileum
terminal, anastomosis ileum anus merupakan terapi pilihan, dengan masih
mempertahankan bagian kolon yang tidak berganglion untuk mempermudah
penyerapan air, sehingga membantu tinja menjadi keras. Operasi Duhamel
adalah yang terbaik untuk aganglionis kolon total. Kolon kiri tetap ditinggalkan
sebagai reservoir, dan tidak perlu menganastomosis kolon kiri ini pada usus
halus.
Prognosis penyakit Hirschsprung yang diterapi dengan bedah umumnya
memuaskan; sebagian besar penderita berhasil mengeluarkan tinja (kontinensia).
Masalah pascabedah meliputi enterokolitis berulang, striktur, prolaps, abses
perianal, dan pengotoran tinja.
3. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya
bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama
antara lain :
a Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada
anak secara dini
b Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )
d Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak –
anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status
fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik
seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi
protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total (NPT).
G. Komplikasi
Menurut Corwin (2001) komplikasi penyakit Hirschsprung yaitu gangguan
elektrolit dan perforasi usus apabila distensi tidak diatasi.

8
Menurut Betz Cecily & Sowden (2002), komplikasi penyakit Hirschprung
pasca bedah antara lain :
1. Gawat Pernafasan (akut)
Disebabkan karena distensi abdomen yang menekan paru – paru sehingga
mengganggu ekspansi paru.
2. Enterokolitis (akut)
Disebabkan karena perkembangbiakan bakteri dan pengeluaran endotoxin.
3. Striktura ani (pasca bedah)
Gerakan muskulus sfingter ani tak pernah mengadakan gerakan kontraksi dan
relaksasi karena ada colostomy sehingga terjadi kekakuan ataupun penyempitan.
4. Inkontinensia (jangka panjang)
Prosedur –prosedur operasi tersebut dapat menyebabkan trauma pada persarafan
traktus genitourinarius dan otot-otot dasar panggul yang akan mengakibatkan
masalah pada traktus urinarius bagian bawah. Inkontinensia urin yang terjadi
setelah operasi dengan prosedur Rehbein 5,4%, prosedur Swenson 10,4%,
prosedur Soave 15,3% dan prosedur Duhamel 14,3%.

H. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit hirschprung
yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar
10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga
harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari
tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.

9
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Menurut Suriadi (2001) fokus pengkajian yang dilakukan pada Penyakit
Hischprung adalah :
1. Riwayat pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama setelah lahir, biasanya
ada keterlambatan
2. Riwayat tinja seperti pita dan bau busuk.
3. Pengkajian status nutrisi dan status hidrasi.
a. Adanya mual, muntah, anoreksia, mencret
b. Keadaan turgor kulit biasanya menurun
c. Peningkatan atau penurunan berat badan.
d. Penggunaan nutrisi dan rehidrasi parenteral
4. Pengkajian status bising usus untuk melihat pola bunyi hiperaktif pada bagian
proximal karena obstruksi, biasanya terjadi hiperperistaltik usus.
5. Pengkajian psikososial keluarga berkaitan dengan :
a. Anak : Kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme koping
yang digunakan.
b. Keluarga : Respon emosional keluarga, koping yang digunakan keluarga,
penyesuaian keluarga terhadap stress menghadapi penyakit
anaknya.
6. Pemeriksaan laboratorium darah hemoglobin, leukosit dan albumin juga perlu
dilakukan untuk mengkaji indikasi terjadinya anemia, infeksi dan kurangnya
asupan protein.
Menurut Wong (2004) mengungkapkan pengkajian pada Penyakit Hischprung
yang perlu ditambahkan selain uraian diatas yaitu :
1. Lakukan pengkajian melalui wawancara terutama identitas, keluhan utama,
pengkajian pola fungsional dan keluhan tambahan.
2. Monitor bowel elimination pattern : adanya konstipasi, pengeluaran mekonium
yang terlambat lebih dari 24 jam, pengeluaran feses yang berbentuk pita dan
berbau busuk.

10
3. Ukur lingkar abdomen untuk mengkaji distensi abdomen, lingkar abdomen
semakin besar seiring dengan pertambahan besarnya distensi abdomen.
4. Lakukan pemeriksaan TTV, perubahan tanda viatal mempengaruhi keadaan
umum klien.
5. Observasi manifestasi penyakit hirschprung
a. Periode bayi baru lahir
1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 -48 jam setelah lahir
2. Menolak untuk minum air
3. Muntah berwarna empedu
4. Distensi abdomen
b. Masa bayi
1. Ketidakadekuatan penembahan berta badan
2. Konstipasi
3. Distensi abdomen
4. Episode diare dan muntah
5. Tanda – tanda ominous (sering menandakan adanya enterokolitis : diare
berdarah, letargi berat)
c. Masa kanak –kanak
1. Konstipasi
2. Feses berbau menyengat dan seperti karbon
3. Distensi abdomen
4. Anak biasanya tidak mempunyai nafsu makan dan pertumbuhan yang
buruk
5. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian
a) Radiasi : Foto polos abdomen yang akan ditemukan gambaran
obstruksi usus letak rendah
b) Biopsi rektal : menunjukan aganglionosis otot rektum
c) Manometri anorectal : ada kenaikan tekanan paradoks karena rektum
dikembangkan / tekanan gagal menurun.
6. Lakukan pengkajian fisik rutin, dapatkan riwayat kesehatan dengan
cermat terutama yang berhubungan dengan pola defekasi

11
7. Kaji status hidrasi dan nutrisi umum
a. Monitor bowel elimination pattern
b. Ukur lingkar abdomen
c. Observasi manifestasi penyakit hischprung

Periode bayi baru lahir


a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 – 48 jam setelah lahir
b. Menolak untuk minum air
c. Muntah berwarna empedu / hijau
d. Distensi abdomen
Masa bayi
a. Ketidakadekuatan penambahan berat badan
b. Konstipasi
c. Distensi abdomen
d. Episode diare dan muntah
e. Tanda – tanda ominous (sering menandakan adanya enterokolitis)
f. Diare berdarah
g. Demam
h. Letargi berat
Masa kanak – kanak (gejala lebih kronis)
i. Konstipasi
j. Feses berbau menyengat seperti karbon
k. Distensi abdomen
l. Masa fekal dapat teraba
m. Anak biasanya memiliki nafsu makan dan pertumbuhan yang buruk
Adapun menurut Betz Cecily & Sowden (2002), pengkajian pada anak dengan
penyakit Hirschprung dibedakan menjadi 2 yaitu :
1) Pengkajian Prabedah
a. Kaji status klinik anak (tanda-tanda vital, asupan dan keluaran)
b. Kaji adanya tanda-tanda perforasi usus
c. Kaji adanya tanda-tanda enterokolitis
d. Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadap
pembedahan yang akan datang

12
e. Kaji tingkatan nyeri yang dialami anak
2) Pengkajian Pasca Bedah
a. Kaji status pasca bedah anak (TTV, bising usus, distensi abdomen)
b. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi atau kelebihan cairan
c. Kaji adanya komplikasi
d. Kaji tanda-tanda infeksi
e. Kaji tingkatan nyeri yang dialami anak
f. Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadap
pengalamannya di rumah sakit dan pembedahan
g. Kaji kemampuan orang tua dalam menatalaksanakan pengobatan dan
perawatan yang berkelanjutan

B. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Risiko konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon, sekunder, obstruksi
mekanik
2. Risiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh berhubungan dengan keluar
cairan tubuh dari muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh intestinal.
Post Operasi
1. Risiko injuri berhubungan dengan pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis
dinding intestinal sekunder dari kondisi obtruksi usus
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan.

C. Intervensi Asuhan Keperawatan


Diagnosa Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Risiko konstipasi a. Observasi bising usus dan a. Untuk menyusun rencana
berhubungan dengan periksa adanya distensi penanganan yang efektif
penyempitan kolon, abdomen pasien. Pantau dan dalam mencegah konstipasi
sekunder, obstruksi catat frekuensi dan dan impaksi fekal
mekanik karakteristik feses. b. Untuk meyakinkan terapi
b. Catat asupan haluaran secara penggantian cairan yang

13
akurat adekuat
c. Dorong pasien untuk c. Untuk meningkatkan terapi
mengonsumsi cairan 2,5 L penggantian cairan dan
setiap hari, bila tidak ada hidrasi
kontraindikasikan. d. Untuk membantu adaptasi
d. Lakukan program defekasi. terhadap fungsi fisiologis
Letakkan pasien di atas normal.
pispot atau commode pada e. Untuk meningkatkan
saat tertentu setiap hari, eliminasi feses padat atau
sedekat mungkin kewaktu gas dari saluran pencernaan,
biasa defekasi (bila pantai keefektifannya.
diketahui)
e. Berikan laksatif, enema atau
supositoria sesuai instruksi.
2. Risiko a. Timbang berat badan pasien a. Untuk membantu mendeteksi
ketidakseimbangan setiap hari sebelum sarapan perubahan keseimbangan
volume cairan tubuh b. Ukur asupan cairan dan cairan
berhubungan dengan haluaran urine untuk b. Penurunan asupan atau
keluar cairan tubuh mendapatkan status cairan. peningkatan haluaran
dari muntah, c. Pantau berat jenis urin mengakibatkan deficit cairan
ketidakmampuan d. Periksa membrane mukosa c. Peningkatan berat jenis urin
absorbs air oleh mulut setiap hari mengindikasikan dehidrasi.
intestinal. e. Tentukan cairan apa yang Berat jenis urin rendah
disukai pasien dan simpan mengindikasikan kelebihan
cairan tersebut disamping volume cairan.
tempat tidur pasien, sesuai d. Membrane mukosa kering
instruksi. merupakan suatu indikasi
f. Pantau kadar elektrolit serum dehidrasi.
e. Untuk meningkatkan asupan.
f. Perubahan nilai elektrolit
dapat menandakan awitan
ketidak seimbangan cairan

14
3. Risiko injuri a. Observasi faktor-faktor a. Pascabedah terdapat resiko
berhubungan dengan yang meningkatkan resiko rekuren dari hernia
pasca prosedur injuri umbilikalis akibat
bedah, iskemia, b. Monitor tanda dan gejala peningkatan tekanan intra
nekrosis dinding perforasi atau peritonitis abdomen.
intestinal sekunder c. Lakukan pemasangan selang b. Perawat yang mengantisipasi
dari kondisi obtruksi nasogastrik resiko terjadinya perforasi
usus d. Monitor adanya komplikasi atau peritonitis. Tanda gejala
pascabedah yang penting adalah anak
e. Pertahankan status rewel tiba-tiba dan tidak bisa
hemodinamik yang optimal dibujuk atau diam oleh
f. Bantu ambulasi dini orangtua atau perawat,
g. Hadirkan orang terdekat muntah-muntah, peningkatan
h. Kolaborasi pemberian suhu tubuh dan hilangnya
antibiotik pascabedah bising usus. Adanya
pengeluaran pada anus yang
berupa cairan feses yang
bercampur darah merupakan
tanda klinik penting bahwa
telah terjadi perforasi.semua
perubahan yang terjadi
didokumentasikan oleh
perawat dan laporkan pada
dokter yang merawat.
c. Tujuan memasang selang
nasogastrik adalah intervensi
dekompresi akibat respon
dilatasi dan kolon obstruksi
dari kolon aganglionik.
Apabila tindakan
dekompresiini optimal, maka
akan menurunkan distensi

15
abdominal yang menjadi
penyebab utama nyeri
abdominal pada pasien
hirschsprung.
d. Perawat memonitor adanya
komplikasi pascabedah
seperti mencret atau
ikontinensia fekal, kebocoran
anastomosis,formasi striktur,
obstruksi usus, dan
enterokolitis. Secara kondisi
e. Pasien akan mendapatkan
cairan intravena sebagai
pemeliharaan status
hemodinamik.
f. Pasien dibantu turun dari
tempat tidur pada hari
pertama pascaoperatif dan
didorong untuk mulai
berpartisipasi dalam
ambulasi dini.
g. Pada anak menghadirkan
orang terdekat dapat
menpengaruhi penurunan
respon nyeri. Sedangkan
pada dewasa merupakan
tambahan dukungan
psikologis dalam
menghadapi masalah kondisi
nyeri baik akibat dari kolik
abnomen atau nyeri
pascabedah.

16
h. Antibiotik menurunkan
resiko infeksi yang akan
menimbulkan reaksi
inflamasi lokal dan dapat
memperlama proses
penyembuhan pasca
funduplikasi lambung
4. Risiko infeksi a. Minimalkan risiko infeksi a. Mencuci tangan adalah satu-
berhubungan dengan pasien satunya cara terbaik untuk
pasca prosedur b. Mencuci tangan sebelum dan mencegah penularan
pembedahan. setelah memberikan pathogen.
perawatan b. Sarung tangan dapat
c. Menggunakan sarung tangan melindungi tangan pada saat
untuk mempertahankan memegang luka yang dibalut
asepsis pada saat atau melakukan berbagai
memberikan perawatan tindakan.
langsung c. Suhu yang terus meningkat
d. Observasi suhu minimal setelah pembedahan dapat
setiap 4 jamdan catat pada merupakan tanda awitan
kertas grafik. Laporkan komplikasi pulmonal, infeksi
evaluasi kerja. luka atau dehisens

D. Implementasi Keperawatan

No. Diagnosa Implementasi


Keperawatan
1. Mengobservasi bising usus dan periksa adanya distensi abdomen
pasien. Pantau dan catat frekuensi dan karakteristik feses.
2. Mencatat asupan haluaran secara akurat
1
3. Mendorong pasien untuk mengonsumsi cairan 2,5 L setiap hari,
bila tidak ada kontraindikasikan
4. Melakukan program defekasi. Letakkan pasien di atas pispot atau

17
commode pada saat tertentu setiap hari, sedekat mungkin kewaktu
biasa defekasi (bila diketahui)
5. Memberikan laksatif, enema atau supositoria sesuai instruksi.
1. Menimbang berat badan pasien setiap hari sebelum sarapan
2. Mengukur asupan cairan dan haluaran urine untuk mendapatkan
status cairan
3. Memantau berat jenis urin
2
4. Memeriksa membrane mukosa mulut setiap hari
5. Menentukan cairan apa yang disukai pasien dan simpan cairan
tersebut disamping tempat tidur pasien, sesuai instruksi.
6. Memantau kadar elektrolit serum
1. Mengobservasi faktor-faktor yang meningkatkan resiko injuri
2. Memonitor tanda dan gejala perforasi atau peritonitis
3. Melakukan pemasangan selang nasogastrik
4. Memonitor adanya komplikasi pascabedah
3
5. Mempertahankan status hemodinamik yang optimal
6. Membantu ambulasi dini
7. Menghadirkan orang terdekat
8. Melakukan kolaborasi pemberian antibiotik pascabedah
1. Meminimalkan risiko infeksi pasien dengan :
a. Mencuci tangan sebelum dan setelah memberikan perawatan
b. Menggunakan sarung tangan untuk mempertahankan asepsis

4 pada saat memberikan perawatan langsung


2. Mengobservasi suhu minimal setiap 4 jamdan catat pada kertas
grafik.
3. Laporkan evaluasi kerja

E. Evaluasi

1. Pasien tidak mengalami konstipasi, pasien mempertahankan defekasi setiap hari


2. Turgor kulit elastic dan normal, CRT < 3 detik

18
3. TTV dalam batas normal,(RR : 16-24 x/menit,Suhu : 36oC-37oC,N : 60-100
x/menit, TD : 120/70 mmHg)
4. Kardiorespirasi optimal
5. Tidak terjadi infeksi pada insisi
6. Suhu dalam rentang normal, tidak ada pathogen yang terlihat dalam kultur
7. Luka dan insisi terlihat bersih, merah muda, dan bebas dari drainase purulen.

19
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit Hirschprung atau megacolon congenital adalah tidak adanya sel-sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltic serta tidak adanya
evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter rectum tidak dapat berelaksasi, mencegah
keluarnya feses secara normal. Isi usus terdorong ke segmen aganlionik dan feses
terkumpul di daerah tersebut, menyebabkan dilatasinya bagian usus yang proksimal
terhadap daerah itu. Penyakit Megacolon diduga terjadi karena faktor genetic dan
faktor lingkungan, namun etiologi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit Hirschprung
dapat muncul pada sembarang usia, walaupun paling sering terjadi pada neonatus.
(Ngastiyah, 1997)

B. Saran

Sebagai calon perawat harus mengerti dan memahami penyakit hirschsprung


(mega kolon kongenital). Dengan memahami dan mengerti penyakit hirschprung,
sebagai calon perawat maka bisa memberikan asuhan keperawatan pada klien
dengan baik dan benar.

20
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L. dan Linda. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta
Maryunani, Anik & Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyakit Pada
Neonatus. CV Trans Info Media : Jakarta
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakti. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakrta

21

Anda mungkin juga menyukai