Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HIV/AIDS pada Anak


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menginfeksi sel sistem
kekebalan tubuh dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka. Infeksi virus akan
menyebabkan kerusakan progresif dari sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan
"defisiensi imun." Sistem kekebalan tubuh dianggap kurang ketika tidak bisa lagi
memenuhi perannya dalam memerangi infeksi dan penyakit (WHO, 2018).
AIDS adalah istilah yang berlaku untuk tahap paling akhir dari infeksi HIV. Hal ini
ditentukan oleh terjadinya salah satu dari lebih dari 20 infeksi oportunistik atau kanker
terkait HIV (WHO, 2018). AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunedeficiency
Syndrome merupakan sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV (Kemenkes, 2016).
Bayi dan anak dengan infeksi HIV atau AIDS memerlukan hal yang sama seperti anak
lain—banyak cinta dan kasih sayang. Anak kecil perlu digendong, diajak bermain,
dicium, dipeluk, diberi makan, dan dininabobokan supaya tidur. Saat tumbuh, anak-anak
perlu bermain, mempunyai teman, dan pergi ke sekolah, sama halnya seperti anak lain.
Anak dengan HIV adalah anak-anak juga, dan harus diperlakukan sama seperti anak-anak
lain dalam keluarga.
Anak dengan AIDS memerlukan perawatan yang sama seperti orang dewasa dengan
AIDS, tetapi ada beberapa hal tambahan yang perlu kita perhatikan.

a. Perhatikan semua perubahan yang terjadi pada kesehatan atau tingkah laku anak. Jika
kita melihat ada hal-hal yang tidak biasa pada anak, beri tahu dokter. Untuk anak
AIDS, masalah kecil dapat dengan sangat cepat menjadi masalah besar. Perhatikan
kalau-kalau ada masalah dalam pernapasan, demam, susah tidur yang tidak biasa,
diare, atau perubahan nafsu makan. Bicarakan dengan dokter anak tentang hal-hal
lain yang harus diawasi dan kapan harus dilaporkan.

b. Bicarakan dengan dokter sebelum anak diimunisasi (termasuk vaksin polio oral) atau
disuntik vaksin ulang. Beberapa vaksin dapat menyebabkan anak menjadi sakit. Tidak
seorang anak pun dengan HIV, atau siapa saja yang serumah dengannya, boleh
memakai vaksin polio oral.

c. Mainan yang diisi kapuk dan berbulu lembut dapat menyimpan kotoran dan
menyembunyikan kuman-kuman yang dapat menyebabkan anak sakit. Lebih baik
mainan plastik dan yang dapat dicuci. Jika anak mempunyai mainan yang diisi kapuk,
sering-seringlah mencucinya dengan mesin pencuci sebersih mungkin.

d. Jauhkan anak dari tempat kotoran hewan dan kotak pasir yang pernah dipakai hewan
peliharaan atau hewan lain.

e. Tanyakan pada dokter anak, apa yang harus dilakukan terhadap hewan peliharaan
yang ada di rumah.

f. Usahakan agar anak terhindar dari infeksi penyakit menular,terutama cacar air. Jika
anak dengan infeksi HIV dekat dengan orang yang terkena cacar air, segera beri tahu
dokter anak. Cacar air dapat menyebabkan kematian pada anak AIDS.

g. Setiap luka atau goresan harus segera diperban dengan baik setelah dicuci dengan
sabun dan air hangat. Pakailah sarung tangan jika anak mengalami pendarahan.
Sangat sulit merawat anak yang sakit apalagi bagi orang yang mencintai anak
tersebut. Kita akan membutuhkan pertolongan dan dukungan emosional. Kita tidak
sendiri. Ada orang lain yang dapat membantu kita menghadapi hal ini.

B. Etiologi

Penyebab kelainan imun pada AIDS suatu agen viral yang disebut HIV dari kelompok
virus atau retrovirus yang disebut Lympadenopathy Associated Virus (LAV) Human T-
Cell Leukemia Virus (HTL-III yang juga disebut Human T-Cell Lymphotropic virus
(retrovirus). Ditularkan melalui:

a. Hubungan seksual (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi (tanpa kondom) denan
orang terinfeksi HIV.

b. Jarum suntik, tindik, tato tidak steril serta dipakai bergantian.

c. Mendapatkan transfusi darah mengandung virus HIV


d. Ibu yang mengidap HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan, saat
melahirkan atau melalui air susu ibu (ASI) (Nurarif, 2013).

C. Patofisiologi

HIV merupakan retrovirus, artinya HIV membawa informasi genetiknya di dalam RNA.
Saat memasuki tubuh, virus menginfeksi sel yang mempunyai antigen CD4 (limfosit T).
Ketika didalam sel, virus membuka lapisan proteinnya dan menggunakan sebuah enzim
yang disebut transeriptase balik untuk mengubah RNA menjadi DNA. DNA virus ini
selanjutnya di integrasikan kedalam DNA sel pejamu dan berduplikasi selama proses
pembelahan sel yang normal. Didalam sel, virus dapat tetap laten atau menjadi terkativasi
untuk memproduksi RNA yang baru serta membentuk virion. Kemudian virus tumbuh
dari permukaan sel, mengganggu membran selnya dan menyebabkan kehancuran sel
pejamu. Sel T helper atau CD4 yaitu sel utama yang terinfeksi HIV, tetapi HIV juga
menginfeksi makrofag, dendrit, serta sel SSP tertentu. Sel T helper berperan penting
dalam fungsi imun normal, menenali antigen asing dan menginfeksi sel serta
mengaktivasi sel B penghasil antibodi. Sel T helper juga mengarahkan aktivitas imun
yang dimediasi sel dan memengaruhi aktivitas fagositik dari monosit dan makrofag
(LeMone P, 2015).

D. Gejala pada Anak dengan HIV Positif

Gambaran klinis infeksi HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak dengan HIV-
positif menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun pertama
kehidupannya. Anak dengan HIV-positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala atau dengan
gejala ringan selama lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai beberapa tahun.
Berikut gejala yang menunjukkan bahwa anak mengidap HIV/AIDS.
1. Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti
pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir.
2. Thrush: Eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi dan mukosa pipi.
Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotik, atau
berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas
melebihi bagian lidah – kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas
apabila meluas sampai di bagian belakang kerongkongan yang menunjukkan
kandidiasis esofagus.
3. Parotitis kronik: pembengkakan parotid uni- atau bi-lateral selama ≥ 14 hari, dengan
atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam.
4. Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau
lebih daerah ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya.
5. Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan
seperti sitomegalovirus.
6. Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (> 38° C) berlangsung ≥ 7 hari,
atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari.
7. Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal,
perkembangan terlambat, hipertonia atau bingung (confusion).
8. Herpes zoster.
9. Dermatitis HIV: Ruam yang eritematus dan papular. Ruam kulit yang khas meliputi
infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan molluscum
contagiosum yang ekstensif.
10. Penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease).

Selain itu, gejala yang sangat spesifik untuk anak dengan HIV positif antara lain
pneumocystis pneumonia (PCP), kandidiasis esofagus, lymphoid interstitial pneumonia

(LIP) atau sarkoma Kaposi. Keadaan ini sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV.
Selain itu fistula rekto-vaginal yang didapat pada anak perempuan juga sangat spesifik
tetapi jarang.

E. Tahapan klinis
Bagi anak dengan diagnosis HIV atau sangat diduga mendapat infeksi HIV, sistem
stadium klinis membantu mengetahui derajat kerusakan sistem kekebalan dan untuk
merencanakan pilihan pengobatan dan perawatan. Tahap ini menentukan kemungkinan
prognosis HIV dan sebagai panduan tentang kapan mulai, menghentikan atau mengganti
terapi antiretroviral pada anak dengan infeksi HIV. Tahapan klinis dapat mengenali
tahap yang progresif dari yang ringan sampai yang paling berat, makin tinggi tahap
klinisnya makin buruk prognosisnya. Untuk keperluan klasifikasi, bila didapatkan kondisi
klinis stadium 3, prognosis anak akan tetap pada stadium 3 dan tidak akan membaik
menjadi stadium 2, walaupun kondisinya membaik, atau timbul kejadian klinis stadium 2
yang baru. ART yang diberikan dengan benar akan memperbaiki prognosis secara
dramatis. Tahapan klinis juga membantu mengenali respons terhadap ART jika tidak
terdapat akses yang mudah dan murah untuk tes CD4 atau tes virologi.
Berikut merupakan pembagian stadium klinis pada anak dengan HIV positif menurut
WHO yang telah diadaptasi.

Stadium Gejala klinis

Stadium 1 Tanpa gejala (asimtomatik)


Limfadenopati generalisata persisten

Stadium 2 Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan

Erupsi pruritik papular

Dermatitis seboroik Infeksi jamur pada kuku

Keilitis angularis

Eritema Gingiva Linea - Lineal gingival erythema (LGE)

Infeksi virus human papilloma (wart) yang luas atau moluskum


kontagiosum (> 5% area tubuh)

Luka di mulut atau sariawan yang berulang (2 atau lebih episode dalam
6 bulan)

Pembesaran kelenjar parotis yang tidak dapat dijelaskan

Herpes zoster

Infeksi respiratorik bagian atas yang kronik atau berulang (otitis media,
otorrhoea, sinusitis, 2 atau lebih episode dalam periode 6 bulan)

Stadium 3 Gizi kurang yang tak dapat dijelaskan dan tidak bereaksi terhadap
pengobatan baku
Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (> 14 hari)
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (intermiten atau konstan,
selama > 1 bulan)
Kandidiasis oral (di luar masa 6-8 minggu pertama kehidupan)
Oral hairy leukoplakia
Tuberkulosis paru
Pneumonia bakteria berat yang berulang (2 atau lebih episode dalam 6
bulan)
Gingivitis atau stomatitis ulseratif nekrotikans akut
LIP (lymphoid interstitial pneumonia) simtomatik
Anemia yang tak dapat dijelaskan (< 8 g/dl), neutropenia (< 500/mm3)
Trombositopenia (< 30.000/mm3) selama lebih dari 1 bulan

Stadium 4 Sangat kurus (wasting) yang tidak dapat dijelaskan atau gizi buruk
yang tidak bereaksi terhadap pengobatan baku

Pneumonia pneumosistis

Dicurigai infeksi bakteri berat atau berulang (2 atau lebih episode


dalam 1 tahun, misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang atau
sendi, meningitis, tidak termasuk pneumonia)

Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial atau kutaneous selama > 1


bulan atau viseralis di lokasi manapun)

Tuberkulosis ekstrapulmonal atau diseminata

Sarkoma Kaposi

Kandidiasis esofagus

Toksoplasmosis susunan syaraf pusat (di luar masa neonatus)

Kriptokokosis termasuk meningitis

Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, koksidiomikosis,


penisiliosis)

Kriptosporidiosis kronik atau isosporiasis (dengan diare > 1 bulan)

Infeksi sitomegalovirus (onset pada umur >1 bulan pada organ selain
hati, limpa atau kelenjar limfe)

Penyakit mikobakterial diseminata selain tuberkulosis

Kandida pada trakea, bronkus atau paru

Acquired HIV-related recto-vesico fistula

Limfoma sel B non-Hodgkin’s atau limfoma serebral

F. Pemeriksaan penunjang

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang umum digunakan untuk pemeriksaan serologi


menentukan antibodi terhadap HIV, yaitu:

a. ELISA
Merupakan pemeriksaan serologi standar/uji penapsian terhadap antibodi HIV.
Sensitivitasi tinggi yaitu sebesar 98,1%-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil
positif 2-3 bulan setelah infeksi.

b. Western Bold
Merupakan tes konfirmasi uji pemastian terhadap komponen protein HIV.
Spesifiknya tinggi yaitu sebesar 99,6%-100%. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal,
dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

c. PCR (Polymerase Chain Reaction)

Tes ini banyak digunakan pada bayi, karena ini dapat meminimalkan kerja dari zat
antimaternal yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-olah sudah ada
infeksi pada bayi tersebut.

G. Infeksi Oportunistik
Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak bersifat invasif
namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun, seperti pada orang yang
terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat ditimbulkan oleh patogen yang berasal dari luar
tubuh (seperti bakteri, jamur, virus atau protozoa), maupun oleh mikrobiota sudah ada
dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh sistem imun (seperti
flora normal usus). Penurunan sistem imun berperan sebagai “oportuniti” atau
kesempatan bagi patogen tersebut untuk menimbulkan manifestasi penyakit. Salah satu
infeksi yang terjadi yaitu adanya gangguan kulit. Gangguan ini sering dijumpai pada
semua stadium infeksi HIV.

H. Gangguan Kulit pada Anak dengan HIV Positif


Gambaran kondisi kulit merupakan kesempatan baik untuk dapat melakukan diagnosis
awal infeksi HIV karena kulit dapat dengan mudah dilihat pasien dan diperiksa oleh
petugas kesehatan. Kelainan dematologi yang sering muncul pada pasien dengan
HIV/AIDS antara lain Cryptococcus kutaneus, Cytomegalo kutaneus , Kandidiasis oral,
Tuberkulosis kulit atau lesi mycobacterium lain, seperti Mycobacterium avium
intracelularae complex, Infeksi jamur diseminata, dan Angiomatosis basilar (infeksi
Bartonella henselae).
Mengenali kelainan/kondisi kulit yang berhubungan dengan HIV memungkinkan untuk
mengenali diagnosis infeksi HIV lebih awal serta lebih mudah memperkirakan derajat
imunosupresif, jika pemeriksaan CD4 tidak tersedia. Walaupun beberapa kelainan kulit
seperti kandidiosis oral, moluskum kontagiosum luas, eosinophilic pustular folliculitis,
kriptokokosis atau sarkoma Kaposi merupakan kondisi yang sangat dicurigai adanya
infeksi HIV, kelainan lain yang ada di masyarakat dibedakan dengan kondisi pada infeksi
HIV dari gambaran yang atopik, derajat keparahan, seringnya kambuh atau sulit
diatasi/rekalsitran.
Jenis gangguan kulit yang mungkin muncul pada penderita HIV/AIDS adalah sebagai
berikut.
1. Penyakit serokonversi
Erupsi serokonversi klasik berupa erupsi transien luas mirip campak pada
badan dan ekstremitas tetapi dapat disertai vesikel dan ulkus oral. Kelainan
sistemis berupa demam, letargi, mialgia, dan limfadenopati. Kondisi ini dapat terjadi
tanpa disadari pasien.
2. Infeksi virus
a. Herpes zoster
Pertimbangkan kemungkinan infeksi HIV jika ditemukan kasus herpes zoster
pada pasien berusia < 40 tahun. Gambaran klinis yang klasik adalah erupsi
vesikel berkelompok (yang melecet) melipat satu atau lebih
dermatom, dengan keluhan nyeri prodromal. Lesi berubah menjadi pustule
dan hemoragik dalam beberapa hari, kemudian terbentuk krusta dan skar.
Pasien HIV anak yang mengalami cacar air akan beresiko berlanjut
mengalami herpes zoster dan akan berulang.
b. Virus herpes simpleks
Termasuk keluarga virus ini adalah Herpes Simplex Virus (HSV)-1 dan -2.
Virus ini merupakan penyebab kelainan kulit akut dan kronis, berupa vesikel
berkelompok pada dasar kulit yang eritematosa (gambar 9.4). Infeksi HSV
kronis lebih sering terjadi pada pasien dan dapat berupa ulkus anogenital yang
terasa nyeri
c. Papillomavirus manusia
Papilloma virus merupakan penyebab veruka/kutil baik pada masyarakat
umum maupun pasien yang menderita HIV, tetapi pada pasien dengan HIV
veruka menjadi lebih berat
3. Infeksi jamur
Infeksi jamur dapat berupa kelainan kulit yang persisten dan berulang. Infeksi jamur
superfisial yang biasa ditemukan, termasuk kandidiasis dan dermatofitosis
generalisata yang disebabkan oleh Trichophyton rubrum. Infeksi jamur dalam, ter-
masuk kriptokokosis, histoplasmosis atau penisili- osis yang dapat menandakan
infeksi sistemik.
 PENICILLIUM marneffei adalah endemis di daerah tropis Asia dan
dapat menyebabkan mikosis sistemik fatal pada pasien HIV.
Jamur ini merupakan penyebab infeksi oportunistik ketiga
terbanyak pada pasien HIV di Asia setelah tuberkulosis dan Kriptokokus.
Infeksi P.marneffei diseminata pada pasien HIV dapat berupa lesi kulit, muncul
pada 75% pasien penisiliosis.
Lesi kulit yang khas adalah berupa papul papul berumbilikasi dengan bagian

tengah nekro- tik, pada wajah dan leher, lebih jarang ditemukan pada anggota dan
batang tubuh. Diagnosis band- ing kelainan ini, antara lain moluskum kontagio-

sum, histoplasmosis, dan kriptokokus. 10

 Kriptokokus kutan dapat bermanifestasi berupa selulitis, papul, plak, ulkus atau
papul sewarna kulit dengan umbilikasi sentral, menyerupai moluskum
kontagiosum. Histoplasmosis kutan berhubungan dengan penyebaran
hematogen dan merupakan kasus endemis di Asia Tenggara. Gambaran

klinis dapat berupa papul, ulkus, erupsi akneiformis atau seperti selu- litis. 7, 11
 Dermatitis seboroik merupakan kelainan yang banyak ditemukan, dialami oleh
sekitar 85% pasien HIV. Kondisi ini dapat terjadi pada jumlah CD4 berapa pun,
namun dengan semakin turunnya CD4, dermatitis seboroik menjadi semakin luas,
lebih parah dan respon terhadap terapi berkurang. Ragi Pityrosporum
(Malassezia) berperan dalam kondisi ini. Kondisi yang khas pada pasien HIV ada-
lah eritema yang lebih banyak serta keterlibatan daerah seboroik yang lebih luas
pada skalp dan lipat nasolabial, dibandingkan dengan pasien tanpa HIV (gambar
9.7). Daerah seperti dada, punggung, aksila, dan daerah intertriginosa juga sering
terlibat.
I. Perawatan Anak HIV positif dengan Gangguan Kulit
1. Anak yang mengalami ruam
Ruam dapat mengakibatkan pergantian warna kulit, gatal, rasa sakit dan kulit kering.
Ruam bisa disebabkan infeksi pada kulit atau alergi terhadap obat tertentu. Ruam bisa
juga timbul dari tekanan karena tidur atau duduk terlalu lama pada posisi tertentu.
Ruam dapat menyebabkan ketidaknyamanan. Ruam dapat berubah menjadi luka pada
kulit yang biasanya terasa lebih sakit. Jika mengalami ruam, perawatan yang dapat
dilakukan di rumah oleh keluarga yaitu :
1) Jangan menggaruk ruam, untuk menghindari terjadinya luka dan penyakit kulit.
2) Bersihkan kulit setiap hari dengan air dan sabun yang tidak terlalu tajam. Jangan
gunakan kosmetik atau zat pencuci.
3) Jangan gunakan sabun untuk kulit yang kering. Gunakan minyak seperti Vaseline
atau minyak kelapa.
4) Bila kulit terasa gatal dan sakit bisa memakai pakaian longgar yang terbuat dari
bahan katun, atau balut ruam dengan kain basah. Kemudian oleskan kulit dengan
lotion untuk mengurangi ruam.
5) Jika pasien terjadi bengkak yang terasa panas dan kemerahan pada kulit, terjadi
bengkak berwarna ungu gelap yang tidak gatal dan tidak menyakitkan tetapi tidak
dapat disembuhkan, atau demam segeralah pergi ke dokter untuk mendapatkan
perawatan lebih lanjut.
2. Penyakit kulit
Pada pasien dengan kulit sudah pecah-pecah terbakar, dapat menimbulkan luka dan
bernanah. Ini bisa berbau, terasa panas dan kelihatan kemerahan di sekelilingnya. Ini
mungkin disebabkan oleh infeksi atau tekanan karena tidur terlalu lama. Perawatan
yang dapat dilakukan sendiri di rumah yaitu :
1) Cuci luka/lecet di kulit setiap hari dengan air bersih yang dicampur garam: satu
sendok kecil garam untuk satu liter air. Jika terjadi nanah dan berbau busuk,
basuh luka dengan hidrogen peroksida.
2) Jangan membalut luka bila tidak perlu, walaupun telah mongering
3) Bila perlu, balut luka dengan kain pembalut yang bersih setiap hari.
4) Pastikan agar memperoleh pembalut yang steril dari apotek (jangan biarkan
kapas menempel diluka
5) Basahkan selembar kain dengan air panas dan keringkan di bawah cahaya
matahari sebelum digunakan.
6) Ketika membersihkan luka, pendamping harus memakai sarung tangan dan cuci
tangan dengan sabun setelah dan sebelum menyentuh luka pasien.
3. Infeksi jamur
Perawatan pada pasien dengan kandidiasis oral dan esophagus yaitu dengan
mengobati bercak putih di mulut (thrush) dengan larutan nistatin (100 000 unit/ml).
Olesi 1–2 ml di dalam mulut sebanyak 4 kali sehari selama 7 hari. Jika tidak tersedia,
olesi dengan larutan gentian violet 1% Jika hal ini masih tidak efektif, beri gel
mikonazol 2%, 5 ml 2 kali sehari, jika tersedia. Singkirkan penyebab lain nyeri
menelan (sitomegalovirus, herpes simpleks, limfoma, dan, yang agak jarang, sarkoma
Kaposi), jika perlu rujuk ke rumah sakit lebih besar yang bisa melakukan tes yang
dibutuhkan. Beri flukonazol oral (3–6 mg/kg sekali sehari) selama 7 hari, kecuali jika
anak mempunyai penyakit hati akut. Beri amfoterisin B (0.5 mg/kgBB/dosis sekali
sehari) melalui infus selama 10–14 hari dan pada kasus yang tidak memberikan
respons terhadap pengobatan oral, tidak mampu mentoleransi pengobatan oral, atau
ada risiko meluasnya kandidiasis (misalnya pada anak dengan leukopenia).

Anda mungkin juga menyukai