Anda di halaman 1dari 20

PEMERIKSAAN FUNGSI KOORDINASI

104. Inspeksi cara berjalan (gait)


Gait adalah cara atau gaya berjalan yang umumnya meliputi kecepatan
bergerak (meter per detik) dan jumlah langkah per unit waktu (langkah per menit =
cadence). Siklus berjalan dimulai ketika tumit salah satu kaki menyentuh pijakan (heal-
strike/ heel-on) sampai dengan tumit yang sama kembali menyentuh pijakan. Selama
satu siklus berjalan terdapat fase bersentuhan dengan pijakan (stance phase) dan fase
kaki berada diudara (swing phase). Stance phase (60%) dimulai ketika kaki
bersentuhan dengan pijakan (heel-strike) dan berakhir ketika kaki terangkat
meninggalkan pijakan (toe-off), sedangkan swing phase (40%) dimulai ketika kaki
terangkat meninggalkan pijakan dan berakhir ketika kembali bersentuhan dengan
pijakan.6

a b c d

Gambar 1. Elemen dasar siklus berjalan. 7


1
a. Heel strike phase b. Loading/stance phase
c. Toe off phase d. Swing phase
 Tujuan Pemeriksaan:
Menilai apakah adanya kesimpangsiuran atau abnormalitas gerakan berjalan,
dimana akan ada kecenderungan untuk menyimpang garis atau jatuh kesalah satu
sisi.8
 Prosedur pemeriksaan :
Mintalah pasien berjalan menuruti garis lurus dengan mata terbuka dan tertutup.
Perhatikan panjang langkahnya dan lebar jarak kedua telapak kakinya. 4,8
 Interpretasi :
Positif = Tampak kelainan gait abnormal
Negatif = Tidak tampak kelainan gaya berjalan

Gait abnormal terdiri dari:


 Antalgik.Kaki yang sakit memiliki loading phase yang singkat. Gait ini
didapatkan pada pasien yang mengalami nyeri pada kaki dan
berusaha tidak menumpukkan badannya pada kaki yang sakit, seperti
trauma lutut, tumit atau kaki, kaki diabetik, deformitas pada sendi lutut
ataupun pada gout arthritis.7
 Trendelenberg. Abduksi pada coxae tidak abduktif sehingga panggul
kontralateral akan jatuh pada swing phase. Gait ini biasa disebabkan
karena adanya nyeri panggul dan paha.7
 Waddle. Disebut juga trendelenberg bilateral = jalan bebek. Gait ini
biasa didapatkan pada orang hamil, paget’s disease, dan romberg
distrofi.7
2
 Scissor. Kedua tungkai genu valgum, biasa didapatkan pada pasien
stroke dan trauma tulang belakang.7
 Paraparetik. Gerakan fleksi dan ekstensi kaku pada tungkai, jari kaki
mencengkram lantai. Didapatkan pada pasien parkinson dan ataksia.7

Pada lesi unilateral di serebellum kecenderungan untuk jatuh ialah ke sisi lesi.
Gait pada ataksik serebellum disebabkan gangguan mekanisme koordinasi serebelum
dan sistim penghubungnya. Ataksia terjadi baik saat mata tertutup mauoun terbuka.
Lesi pada vermis/garis tengah terdapat gangguan gait berupa jalan bergoyang,
semopoyongan, ireguler, mengayun kesatu sisi dan sisi lainnya, gerakan tiba-tiba
kedepan/kesamping, titubasi dan langkah lebar. Tidak mampu berjalan tandem atau
mengikuti garis lurus pada lantai. Dapat dijumpai tremor dan gerakan bergoyang pada
seluruh tubuh. Pada kelainan yang terlokalisir pada satu hemisfer serebelum atau jaras
penghubungnya,atau penyakit vestibuler unilateral, didapatakan goyangan atau devial
menetap ke sisi lesi.3

105. Shallow knee bend


Shallow kneebend adalah teknik membangun kekuatan otot di atas paha. Latihan
ini hanya boleh dilakukan jika pasien dalam keadaan merasakan sakit yang sangat
minimal. Jika pasien tidak memiliki kelainan yang parah pada lutut dan tidak merasakan
sakit, bisa dilakukan 8-12 kali pengulangan.2
 Prosedur Pemeriksaan:2
a. Pasien diminta untuk berdiri dengan posisi kedua tangan bertumpu pada meja
atau kursi dengan kaki selebar bahu.
b. Perlahan-lahan lutut ditekuk sehingga posisi berubah menjadi setengah
berjongkok.

3
c. Pastikan lutut tidak bergerak di depan jari-jari kaki.
d. Pasien kemudian diminta untuk merendahkan posisi sekitar 15 cm dengan
posisi tumit tetap di lantai.
e. Pasien lalu diminta untuk kembali ke posisi semula secara perlahan-lahan.

Gambar 2. Tes Shallow Knee Bend

106. Tes Romberg

 Tujuan Pemeriksaan:
Untuk menilai adanya gangguan di susunan vestibular atau di funikulus dorsalis
(atau serebelum).8
 Prosedur pemeriksaan:
Tes Romberg dilakukan dengan cara meminta pasien untuk berdiri dengan
kedua kaki berdekatan satu sama lain dengan mata terbuka. Setiap bergoyang
signifikan atau kecenderungan untuk jatuh dicatat. Pasien kemudian diminta untuk
menutup matanya., biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Selain melihat
munculnya goyangan pada pasien, penting juga untuk memperhatikan berat
ringannya goyangan serta posisinya timbulnya goyangan (bergoyang dari pinggul
atau pergelangan kaki seluruh tubuh). Demi keamanan pasien dokter harus berada
di sekitar pasien (dapat menghadap pasien atau di sisinya) dengan tangan
4
direntangkan di kedua sisi pasien untuk mendukung (tanpa menyentuh pasien). Tes
Romberg ini dianggap positif jika ada ketidakseimbangan yang signifikan dengan
mata tertutup atau ketidakseimbangan secara signifikan memburuk pada saat
menutup mata (jika ketidakseimbangan sudah ada mata terbuka). 4,5,8
 Interpretasi :
Positif = terjatuh saat menutup mata
Negatif = tidak terjatuh saat menutup mata
Pada umumnya dengan pemeriksaan tes Romberg kita bisa membedakan
antara lesi serebellum dengan gangguan proprioseptik dengan melihat hasil tes
sewaktu membuka dan menutup mata. Pada waktu membuka mata penderita masih
sanggup berdiri tegak (pada permulaan terjadi ayunan beberapa kali masih dianggap
wajar/normal), tetapi begitu mata ditutup, penderita langsung mengalami kesulitan
untuk mempertahankan diri dan jatuh kearah yang tidak bisa ditentukan (bisa kedepan
atau kebelakang). Sedangkan pada gangguan serebellum pada waktu membuka mata
pun penderita sudah mengalami kesulitan berdiri tegak dan akan cenderung berdiri
dengan kedua kaki yang lebar (widebase). 9

Gambar 3. Tes Romberg


5
107. Tes Romberg dipertajam

 Tujuan Pemeriksaan:
Menilai adanya disfungsi sistem vestibular.4
 Prosedur Pemeriksaan
Pada tes ini minta pasien berdiri dengan salah satu kaki berada di depan kaki
yang lainnya. Tumit kaki yang satu berada tepat di depan jari-jari kaki yang lainnya
(tandem). Pasien kemudian diminta untuk melipat lengan di dada dan menutup
matanya. Pasien orang normal mampu berdiri dalam posisi ini selama 30 detik atau
lebih. 4,8

 Interpretasi :
Positif = tidak dapat berdiri selama 30 detik atau lebih
Negatif = dapat berdiri selama 30 detik atau lebih

108. Tes telunjuk hidung

 Tujuan Pemeriksaan:
Untuk menilai apakah ada gangguan pada serebelum yang menyebabkan ataxia
tipe dismetria.4
 Prosedur Pemeriksaan:
Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan pasien dalam kondisi berbaring, duduk atau
berdiri. Diawali pasien mengabduksikan lengan serta posisi ekstensi total, lalu pasien
diminta untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mula-
mula dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata
terbuka dan tertutup. 4,8

6
 Interpretasi :
Positif = tidak dapat menunjuk hidung dengan benar
Negatif = dapat menunjuk hidung dengan benar
Gangguan pada serebelum atau saraf-saraf propioseptif dapat juga menyebabkan
ataxia tipe dismetria. Dismetria berarti hilangnya kemampuan untuk memulai atau
menghentikan suatu gerak motorik halus. Dengan tes finger-to-nose (tes jari hidung)
dapat terlihat adanya intention tremor , sedangkan pada resting tremor (Parkinson
tremor) maka sewaktu istirahat akan tampak tremor tersebut. 8,9

Gambar 4. Tes telunjuk-hidung

109. Tes tumit lutut

 Tujuan Pemeriksaan:
Untuk melihat apakah ada ataksia (gangguan koordinasi) dan melihat adanya
gangguan pada serebelum.4
 Prosedur pemeriksaan :
Mintalah pasien pasien berbaring dengan kedua tungkai diluruskan , kemudian
pasien diminta menempatkan salah satu tumitnya di atas lutut tungkai lainnya, minta
pasien menggerakkan tunit itu meluncur dari lutut ke pergelangan kaki melalui
tibia.4,5

7
 Interpretasi :
Positif = tidak dapat melakukan gerakan dengan benar
Negatif = dapat melakukan gerakan yang benar

Gambar 5. Tes Tumit Lutut


110. Tes untuk disdiadokinesis

Diadokokinesia adalah kemampuan untuk melakukan gerakan cepat secara


bersilangan. Sedangkam disdiadokokinesia adalah gangguan gerakan secara
bergantian secara cepat akibat kerusakan koordinasi ketepatan waktu beberapa
kelompok otot antagonistik: gerakan seperti pronasi dan supinasi tangan secara cepat
menjadi lambat, terputus-putus, dan tidak berirama.5,8,9

 Tujuan Pemeriksaan:
Untuk melihat adanya gangguan pada serebelum khususnya lesi pada
serebroserebelum yang menyebabkan adanya dekomposisi gerakan volunter.1
8
 Prosedur Pemeriksaan:
Mintalah pasien merentangkan kedua tangannya ke depan, kemudian mintalah
pasien mensupinasi dan pronas lengan bawahnya (tangannya) secara bergantian
dan cepat.4,8
 Interpretasi :
Positif = tidak dapat melakukan gerakan dengan benar
Negatif = dapat melakukan gerakan dengan benar
Tes disdiadokinesis akan terganggu pada lesi UMN, serebellum, dan sindrom
ganglia basalis. Pasien Parkinson mungkin mengerjakan tapping tes dengan cukup
baik, tetapi penderita akan mengalami kesulitan pada gerakan disdiadokinesia. 9

Gambar 6 . Tes untuk disdiadokinesia

9
111. Penilaian Status Gizi (termasuk pemeriksaan antropometri)

Pengukuran antropometri
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan pemeriksaan: Melakukan penilaian status gizi pada anak

Alat dan bahan


1. Stature meter atau neonatal stadiometer
2. Meteran kain
3. Timbangan atau baby scale
4. Pita LILA
5. Tabel BB dan TB WHO sesuai jenis kelamin dan usia anak
6. Tabel LILA sesuai jenis kelamin dan usia anak
7. Kalkulator

Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada ibu pasien atau wali mengenai jenis dan prosedur pemeriksaan
yang dilakukan.
2. Menentukan umur anak/bayi sesuai tanggal lahir.
3. Ukur panjang/tinggi badan anak dengan menggunakan neonatal stadiometer/
meteran sesuai usia pasien.
4. Petakan tinggi badan pasien pada kurva tinggi badan sesuai jenis kelamin dan usia.
5. Ukur rasio tinggi badan menurut tinggi badan ideal sesuai usia.
6. Ukur berat badan pasien menggunakan timbangan/baby scale sesuai usia pasien.

Cara menghitung usia anak:


a) Usia kronologis dihitung sesuai tanggal pemeriksaan dikurangkan dengan tanggal
kelahiran
b) Usia koreksi dihitung pada anak usia kurang dari 2 tahun yang lahir dari ibu dengan
usia kehamilan <38 minggu.
Contoh:
1. Tanggal pemeriksaan 16 Juli 2016
Anak laki-laki lahir tgl. 2 November 2015 dengan usia kehamila 38 minggu
Usia kronologis :
Karena 7 bulan tidak bisa
dikurangkan dengan 11 , maka 10
pinjam 1 tahun =12 bulan
(yang ditambahkan) sehingga
menjadi 12+7 =19 bulan
2016(15) 07(19) 16
2015 11 16
______________________________ -
0 tahun 8bulan 0 hari

2. Tanggal pemeriksaan 16 Juli 2016


Anak laki-laki lahir tgl. 22 November 2014 dengan usia kehamila 37 minggu
Usia kronologis :
2016(15) 07(19) 16
2014 11 16 Karena usia anak kurang dari 2
______________________________ - tahun dan usia kehamilan < 38
minggu sehingga perlu dihitung
1tahun 8(7) 0 (30) usia koreksi
Koreksi 21 (40mgg-37mgg= 3mgg =21 hari)
______________________________-
1 tahun 7 bulan 9 hari

No Prosedur Nilai
1 2 3
1. Sampaikan salam dan perkenalan diri
2. Jelaskan kepada orang tua pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Cuci tangan 7 langkah.
4. Mempersiapkan alat yang akan digunakan:
1. Stature meter atau neonatal stadiometer
2. Meteran kain
3. Timbangan atau baby scale
4. Pita LILA
5. Tabel BB dan TB WHO sesuai jenis kelamin dan usia anak
6. Tabel LILA sesuai jenis kelamin dan usia anak
7. Kalkulator
Apabila pemeriksa menggunakan neonatal stadiometer:
5. Baringkan anak di atas neonatal stadiometer.
6. Minta orang tua atau asisten untuk memegang kepala bayi agar tidak bergerak.
7. Rentangkan kaki hingga lurus sempurna.
8. Ukur panjang badan dimulai dari ujung kaki ke kepala.
11
9. Interpretasikan hasil yang didapatkan
Apabila pemeriksa menggunakan meteran:
10. Tempatkan meteran pada dinding.
11. Minta pasien berdiri tegak dengan tumit, betis, pantat, punggung dan kepala bagian
belakang menempel pada lantai dan pandangan lurus kedepan.
12. Ukur tinggi badan pasien dan mata pemeriksa harus sejajar atau lebih tinggi dari
tinggi badan pasien,
13. catat hasil pemeriksaan
14. Petakan tinggi badan pasien pada kurva tinggi badan sesuai jenis kelamin dan usia.
15. Interpretasikan hasil yang didapatkan
Ukur berat badan pasien menggunakan timbangan/baby scale sesuai usia pasien.
16. letakkan baby scale di tempat datar dan dikalibrasi di titik nol.
17. Minta orang tua untuk melepas jaket dan popok sekali pakai pasien.
18. Tempatkan bayi di atas baby scale.
19. Ukur berat badan bayi dan catat hasilnya.
20. Interpretasikan hasil yang didapatkan
Apabila pemeriksaan dilakukan menggunakan timbangan.
21. letakkan timbangan di tempat datar dan dikalibrasi di titik nol.
22. Minta pasien untuk mengenakan pakaian seminimal mungkin dengan melepas alas
kaki, jaket atau tas yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran.
23. Minta pasien naik ke atas timbangan. Posisi tubuh berdiri tegak, pandangan lurus ke
depan
24. Petakan berat badan pasien pada kurva berat badan sesuai jenis kelamin dan usia
25. Ukur berat badan anak dan catat hasilnya.
26. Ukur rasio berat badan ideal sesuai usia
BBI (%) = BBI/BB terukur saat itu x 100%
27. Interpretasikan hasil yang didapatkan
Ukur lingkar lengan atas pasien dengan menggunakan pita LILA.
28. Tentukan letak akromion dan olecranon pada lengan yang tidak aktif dalam posisi
lengan difleksikan
29. Untuk pengukuran ini ambil diameter lengan terbesar.
30. Petakan LILA pasien terhadap umur pada tabel.
31. Catat hasil pemeriksaan sesuai tanggal pemeriksaan
32. Interpretasikan hasil yang didapatkan

12
Cara mengukur Tinggi badan
Apabila pemeriksa menggunakan neonatal stadiometer:
a) Baringkan anak di atas neonatal stadiometer.
b) Minta orang tua atau asisten untuk memegang kepala bayi agar tidak bergerak.
c) Rentangkan kaki hingga lurus sempurna.
d) Ukur panjang badan dimulai dari ujung kaki ke kepala.
e) Lakukan pengukuran sebanyak 3 kali dan diambil rata-rata untuk mendapatkan
hasil yang akurat.

Apabila pemeriksa menggunakan meteran:


a) Tempatkan meteran pada dinding.
b) Minta pasien berdiri tegak dengan tumit menempel pada lantai dan pandangan
lurus kedepan.
c) Ukur tinggi badan pasien dan mata pemeriksa harus sejajar atau lebih tinggi dari
tinggi badan pasien, kemudian catat hasilnya.

Cara mengukur berat badan:


Apabila pemeriksaan menggunakan baby scale:
a) Sebelum pasien ditempatkan di atas baby scale, letakkan di tempat datar dan
dikalibrasi di titik nol.
b) Minta orang tua untuk melepas jaket dan popok sekali pakai pasien. Idealnya pada
pemeriksaan ini, bayi tidak mengenakan pakaian.
c) Tempatkan bayi di atas baby scale.
d) Ukur berat badan bayi dan catat hasilnya.

Apabila pemeriksaan dilakukan menggunakan timbangan.


a) Minta pasien untuk mengenakan pakaian seminimal mungkin dengan melepas alas
kaki, jaket atau tas yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran.
b) Minta pasien naik ke atas timbangan. Posisi tubuh berdiri tegak, pandangan lurus ke
depan.
c) Ukur berat badan anak dan catat hasilnya.

13
Cara pengukuran LILA yaitu:
a) Tentukan letak akromion dan olecranon pada lengan yang tidak aktif dalam
posisi lengan difleksikan
b) Untuk pengukuran ini ambil diameter lengan terbesar.
c) Petakan LILA pasien terhadap umur pada tabel.
d) Dokumentasi harus mencakup tanggal hasil pemeriksaan.
e) Interpretasikan hasil yang didapatkan.

CARA MENGGUNAKAN GRAFIK PERTUMBUHAN WHO


1. Tentukan umur, panjang badan (anak di bawah 2 tahun)/tinggi badan (anak di
atas 2 tahun), dan berat badan.
2. Tentukan angka yang berada pada garis horisontal/mendatar pada kurva.
Garis horisontal pada beberapa kurva pertumbuhan WHO menggambarkan
umur dan panjang/tinggi badan.
3. Tentukan angka yang berada pada garis vertikal/lurus pada kurva. Garis
vertikal pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan panjang/berat badan,
umur, dan IMT.
4. Hubungkan angka pada garis horisontal dengan angka pada garis vertikal
hingga mendapat titik temu (plotted point). Titik temu ini merupakan gambaran
perkembangan anak berdasarkan kurva pertumbuhan WHO.

CARA MENGINTERPRETASIKAN KURVA PERTUMBUHAN WHO


a) Garis 0 pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan median, atau rata-
rata
b) Garis yang lain dinamakan garis z-score. Pada kurva pertumbuhan WHO
garis ini diberi angka positif (1, 2, 3) atau negatif (-1, -2, -3). Titik temu yang
berada jauh dari garis median menggambarkan masalah pertumbuhan.
c) Titik temu yang berada antara garis z-score -2 dan -3 diartikan di bawah -2.
d) Titik temu yang berada antara garis z-score 2 dan 3 diartikan di atas 2.
e) Untuk menginterpretasikan arti titik temu ini pada kurva pertumbuhan WHO
dapat menggunakan tabel berikut ini.

14
Tabel 1. Kurva pertumbuhan berdasarkan WHO
Catatan: Catatan:
1. Anak dalam kelompok ini berperawakan tubuh tinggi. Hal ini masih tidak normal.
Singkirkan kelainan hormonal sebagai penyebab perawakan tinggi.
2. Anak dalam kelompok ini mungkin memiliki masalah pertumbuhan tapi lebih baik
jika diukur menggunakan perbandingan berat badan terhadap panjang/ tinggi atau
IMT terhadap umur.
3. Titik plot yang berada di atas angka 1 menunjukkan berisiko gizi lebih. Jika makin
mengarah ke garis Z-skor 2 risiko gizi lebih makin meningkat.
4. Mungkin untuk anak dengan perawakan pendek atau sangat pendek memiliki gizi
lebih.
5. Hal ini merujuk pada gizi sangat kurang dalam modul pelatihan IMCI (Integrated
Management of Childhood Illness in-service training. WHO, Geneva, 1997).

15
Analisis Hasil Pemeriksaan Berat Badan berdasarkan BBI (berat badan ideal)
a. > 120% : obesitas
b. 110 - 120% : gizi lebih
c. 90 – 110% : normal
d. 70 – 90% : gizi kurang
e. 70% : gizi buruk

112. Deteksi Kaku Kuduk

Tanda-tanda meningeal timbul karena tertariknya radiks-radiks saraf tepi yang


hipersensitif karena adanya perangsangan atau peradangan pada selaput otak
meninges (meningitis) akibat infeksi, kimiawi maupun karsinomatosis. Perangsangan
meningeal bisa terjadi juga akibat perdarahan subarachnoid.
Test-test untuk menguji ada tidaknya tanda meningeal banyak sekali, namun pada
dasarnya adalah variasi test pertama yang dikenalkan oleh Vladimir Kernig pada tahun
1884. Dokter ahli penyakit dalam dari Rusia ini memperhatikan adanya keterbatasan
ekstensi pasif sendi lutut pada pasien meningitis dalam posisi duduk maupun
berbaring. Sampai sekarang masih sering digunakan untuk memeriksa tanda
meningeal.
Selanjutnya Josep Brudzinski seorang ilmuwan Polandia pada tahun 1909
mengenalkan tanda lain dalam mendeteksi adanya tanda meningeal. Tanda yang
diperkenalkan adalah gerakan fleksi bilateral di sendi lutut dan panggul yang timbul
secara reflektorik akibat difleksikannya kepala pasien ke depan sampai menyentuh
dada. Tanda ini dikenal sebagai tanda Brudzinski I.
Sebelumnya Brudzinski juga telah memperkenalkan adanya tanda tungkai kontralateral
sebagai tanda perangsangan meningeal, yaitu gerakan fleksi di sendi panggul dengan
tungkai pada posisi lurus di sendi lutut akan membangkitkan secara reflektorik gerakan
16
fleksi sendi lutut dan panggul kontralateral. Tanda ini dikenal sebagai Tanda Brudzinski
II. Urutan I dan II hanya menunjukkan urutan pemeriksaannya saja, bukan urutan
penemuannya.
Selain tanda-tanda yang sudah dideskripsikan di atas masih ada beberapa
tanda meningeal yang lain namun ada satu tanda lagi yang cukup penting yaitu kaku
kuduk. Pada pasien meningitis akan didapatkan kekakuan atau tahanan pada kuduk
bila difleksikan dan diekstensikan.
Untuk memudahkan pemeriksaan, pada keterampilan medik ini berturut-turut akan
dipelajari tanda-tanda meningeal sebagai berikut:
A. Kaku Kuduk (Rigiditas Nuchae)
B. Tanda Brudzinski I
C. Tanda Kernig
D. Tanda Brudzinski II
A. Kaku Kuduk
1. Penderita berbaring terlentang di atas tempat tidur.
2. Secara pasif kepala penderita dilakukan fleksi dan ekstensi.
3. Kaku kuduk positif jika sewaktu dilakukan gerakan, dagu penderita tidak dapat
menyentuh dua jari yang diletakkan di incisura jugularis, terdapat suatu tahanan.
B. Tanda Brudzinski I
1. Pasien berbaring terlentang.
2. Tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah kepala pasien.
3. Kemudian dilakukan gerakan fleksi pada kepala pasien dengan cepat, gerakan fleksi
ini dilakukan semaksimal mungkin.
4. Tanda Brudzinski positif jika sewaktu dilakukan gerakan fleksi kepala pasien timbul
fleksi involunter pada kedua tungkai.

17
C. Tanda Kernig
1. Pasien berbaring terlentang.
2. Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut dari pasien.
3. Kemudian dilakukan ekstensi pada sendi lutut.
4. Tanda Kernig positif jika pada waktu dilakukan ekstensi pada sendi lutut < 135 o,
timbul rasa nyeri, sehingga ekstensi sendi lutut tidak bisa maksimal.

D. Tanda Brudzinski II
1. Pasien berbaring terlentang.
2. Tungkai bawah pasien dilakukan fleksi secara pasif pada sendi panggul dan sendi
lutut (seperti Tanda Kernig).

18
3. Tanda Brudzinski II positif jika sewaktu dilakukan gerakan di atas tadi, tungkai yang
kontralateral secara involunter ikut fleksi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS edisi 4. Jakarta: EGC;


2012.p.163-165.214-227.
2. Husney A, Rigg J. Shallow Standing Knee Bend. EBMD Medical Reference
Healthwise Staff 7 March 2013: 1B
3. Japardi I. Aspek Neurologik Gangguan Berjalan. USU Digital Library. Medan.
2002. 1-12
4. Lumbantobing SM. Tes Untuk Menilai Keseimbangan. Dalam: Neurologi Klinik
Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2014.p.73-110
5. Mirawati DK, Widjojo S, Suroto, Sudomo A. Pemeriksaan Neurologis. Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012.

19
6. Muharyasir L. Gaya Berjalan (Gait). Dalam: Gait. Medan: Fakultas Kedokteran
Universitas Islam sumatera Utara; 2013. P. 1-2.
7. Ostosky KM, Van Swearingen JM, BurdettRG, Gee Z. Comparison ofGait
Characteristics in Young and Old Subject. Phys Ther1994; 76:637-46
8. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta: Dian Rakyat;
2008.p.327-328.455-459
9. T. Juwono. Pemeriksaan Sistem Koordinasi. Dalam: Pemeriksaan Klinik
Neurologik Dalam Praktek. Jakarta: EGC; 1996. P 78-84.
10. Matondang cs, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosis Fisis pada Anak. Ed 2.
Jakarta: Sagung Seto, 2000; p32-34.

20

Anda mungkin juga menyukai