Anda di halaman 1dari 24

Pemeriksaan Fisik

Fungsi Koordinasi
1. Inspeksi Cara Berjalan (Gait)

 Gait adalah cara atau gaya berjalan yang umumnya meliputi kecepatan bergerak
(meter per detik) dan jumlah langkah per unit waktu (langkah per menit =
cadence).
 Siklus berjalan dimulai ketika tumit salah satu kaki menyentuh pijakan (heal-
strike/ heel-on) sampai dengan tumit yang sama kembali menyentuh pijakan.
 Selama satu siklus berjalan terdapat fase bersentuhan dengan pijakan (stance
phase) dan fase kaki berada diudara (swing phase). Stance phase (60%) dimulai
ketika kaki bersentuhan dengan pijakan (heel-strike) dan berakhir ketika kaki
terangkat meninggalkan pijakan (toe-off), sedangkan swing phase (40%) dimulai
ketika kaki terangkat meninggalkan pijakan dan berakhir ketika kembali
bersentuhan dengan pijakan
 Tujuan Pemeriksaan:
 Menilai apakah adanya kesimpangsiuran atau abnormalitas gerakan berjalan,
dimana akan ada kecenderungan untuk menyimpang garis atau jatuh kesalah satu
sisi.8
 Prosedur pemeriksaan :
 Mintalah pasien berjalan menuruti garis lurus dengan mata terbuka dan tertutup.
Perhatikan panjang langkahnya dan lebar jarak kedua telapak kakinya. 4,8
 Interpretasi :
 Positif = Tampak kelainan gait abnormal
 Negatif = Tidak tampak kelainan gaya berjalan
 Gait abnormal terdiri dari:
 Antalgik.Kaki yang sakit memiliki loading phase yang singkat. Gait ini didapatkan pada
pasien yang mengalami nyeri pada kaki dan berusaha tidak menumpukkan badannya pada
kaki yang sakit, seperti trauma lutut, tumit atau kaki, kaki diabetik, deformitas pada sendi
lutut ataupun pada gout arthritis.7
 Trendelenberg. Abduksi pada coxae tidak abduktif sehingga panggul kontralateral akan
jatuh pada swing phase. Gait ini biasa disebabkan karena adanya nyeri panggul dan paha. 7
 Waddle. Disebut juga trendelenberg bilateral = jalan bebek. Gait ini biasa didapatkan
pada orang hamil, paget’s disease, dan romberg distrofi.7
 Scissor. Kedua tungkai genu valgum, biasa didapatkan pada pasien stroke dan trauma
tulang belakang.7
 Paraparetik. Gerakan fleksi dan ekstensi kaku pada tungkai, jari kaki mencengkram
lantai. Didapatkan pada pasien parkinson dan ataksia.7
2. Shallow Knee bend

 Shallow kneebend adalah teknik membangun kekuatan otot di atas paha. Latihan
ini hanya boleh dilakukan jika pasien dalam keadaan merasakan sakit yang sangat
minimal. Jika pasien tidak memiliki kelainan yang parah pada lutut dan tidak
merasakan sakit, bisa dilakukan 8-12 kali pengulangan.2
Prosedur Pemeriksaan:2
a. Pasien diminta untuk berdiri dengan posisi kedua tangan bertumpu pada meja atau kursi dengan
kaki selebar bahu.
b. Perlahan-lahan lutut ditekuk sehingga posisi berubah menjadi setengah berjongkok.
c. Pastikan lutut tidak bergerak di depan jari-jari kaki.
d. Pasien kemudian diminta untuk merendahkan posisi sekitar 15 cm dengan posisi tumit tetap di
lantai.
e. Pasien lalu diminta untuk kembali ke posisi semula secara perlahan-lahan.
3. Tes Romberg
 Tujuan Pemeriksaan:
 Untuk menilai adanya gangguan di susunan vestibular atau di funikulus dorsalis (atau serebelum). 8
 Prosedur pemeriksaan:
 Tes Romberg dilakukan dengan cara meminta pasien untuk berdiri dengan kedua kaki berdekatan satu
sama lain dengan mata terbuka. Setiap bergoyang signifikan atau kecenderungan untuk jatuh dicatat.
Pasien kemudian diminta untuk menutup matanya., biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik.
Selain melihat munculnya goyangan pada pasien, penting juga untuk memperhatikan berat ringannya
goyangan serta posisinya timbulnya goyangan (bergoyang dari pinggul atau pergelangan kaki seluruh
tubuh). Demi keamanan pasien dokter harus berada di sekitar pasien (dapat menghadap pasien atau di
sisinya) dengan tangan direntangkan di kedua sisi pasien untuk mendukung (tanpa menyentuh pasien). Tes
Romberg ini dianggap positif jika ada ketidakseimbangan yang signifikan dengan mata tertutup atau
ketidakseimbangan secara signifikan memburuk pada saat menutup mata (jika ketidakseimbangan sudah
ada mata terbuka).
 Interpretasi :
 Positif = terjatuh saat menutup mata
 Negatif = tidak terjatuh saat menutup mata
 Pada umumnya dengan pemeriksaan tes Romberg kita bisa membedakan antara lesi serebellum dengan
gangguan proprioseptik dengan melihat hasil tes sewaktu membuka dan menutup mata. Pada waktu
membuka mata penderita masih sanggup berdiri tegak (pada permulaan terjadi ayunan beberapa kali masih
dianggap wajar/normal), tetapi begitu mata ditutup, penderita langsung mengalami kesulitan untuk
mempertahankan diri dan jatuh kearah yang tidak bisa ditentukan (bisa kedepan atau kebelakang).
Sedangkan pada gangguan serebellum pada waktu membuka mata pun penderita sudah mengalami
kesulitan berdiri tegak dan akan cenderung berdiri dengan kedua kaki yang lebar (widebase). 9
4. Tes Romberg Dipertajam
 Tujuan Pemeriksaan:
 Menilai adanya disfungsi sistem vestibular.4
 Prosedur Pemeriksaan
 Pada tes ini minta pasien berdiri dengan salah satu kaki berada di depan kaki yang lainnya.
Tumit kaki yang satu berada tepat di depan jari-jari kaki yang lainnya (tandem). Pasien
kemudian diminta untuk melipat lengan di dada dan menutup matanya. Pasien orang normal
mampu berdiri dalam posisi ini selama 30 detik atau lebih. 4,8
 Interpretasi :
 Positif = tidak dapat berdiri selama 30 detik atau lebih
 Negatif = dapat berdiri selama 30 detik atau lebih
5. Tes Telunjuk Hidung
 Tujuan Pemeriksaan:
 Untuk menilai apakah ada gangguan pada serebelum yang menyebabkan ataxia tipe dismetria. 4
 Prosedur Pemeriksaan:
 Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan pasien dalam kondisi berbaring, duduk atau berdiri.
Diawali pasien mengabduksikan lengan serta posisi ekstensi total, lalu pasien diminta untuk
menyentuh ujung hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan
perlahan kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup. 4,8
 Interpretasi :
 Positif = tidak dapat menunjuk hidung dengan benar
 Negatif = dapat menunjuk hidung dengan benar
 Gangguan pada serebelum atau saraf-saraf propioseptif dapat juga menyebabkan
ataxia tipe dismetria. Dismetria berarti hilangnya kemampuan untuk memulai atau
menghentikan suatu gerak motorik halus. Dengan tes finger-to-nose (tes jari
hidung) dapat terlihat adanya intention tremor , sedangkan pada resting tremor
(Parkinson tremor) maka sewaktu istirahat akan tampak tremor tersebut.
6. Tes Tumit Lutut
Tujuan Pemeriksaan:
 Untuk melihat apakah ada ataksia (gangguan koordinasi) dan melihat adanya gangguan pada
serebelum.4
Prosedur pemeriksaan :
 Mintalah pasien pasien berbaring dengan kedua tungkai diluruskan , kemudian pasien diminta
menempatkan salah satu tumitnya di atas lutut tungkai lainnya, minta pasien menggerakkan tunit
itu meluncur dari lutut ke pergelangan kaki melalui tibia.4,5
Interpretasi :
 Positif = tidak dapat melakukan gerakan dengan benar
 Negatif = dapat melakukan gerakan yang benar
7. Tes Untuk Disdiadokinesis

 Diadokokinesia adalah kemampuan untuk melakukan gerakan cepat secara


bersilangan. Sedangkam disdiadokokinesia adalah gangguan gerakan secara
bergantian secara cepat akibat kerusakan koordinasi ketepatan waktu beberapa
kelompok otot antagonistik: gerakan seperti pronasi dan supinasi tangan secara
cepat menjadi lambat, terputus-putus, dan tidak berirama.5,8,9
 Tujuan Pemeriksaan:
 Untuk melihat adanya gangguan pada serebelum khususnya lesi pada
serebroserebelum yang menyebabkan adanya dekomposisi gerakan volunter.
 Prosedur Pemeriksaan:
 Mintalah pasien merentangkan kedua tangannya ke depan,
kemudian mintalah pasien mensupinasi dan pronas lengan
bawahnya (tangannya) secara bergantian dan cepat.4,8
 Interpretasi :
 Positif = tidak dapat melakukan gerakan dengan benar
 Negatif = dapat melakukan gerakan dengan benar
 Tes disdiadokinesis akan terganggu pada lesi UMN,
serebellum, dan sindrom ganglia basalis. Pasien Parkinson
mungkin mengerjakan tapping tes dengan cukup baik, tetapi
penderita akan mengalami kesulitan pada gerakan
disdiadokinesia.
Pemeriksaan Antropometri

 Jelaskan kepada ibu pasien atau wali mengenai jenis dan prosedur pemeriksaan
yang dilakukan.
 Menentukan umur anak/bayi sesuai tanggal lahir.
 Ukur panjang/tinggi badan anak dengan menggunakan neonatal stadiometer/
meteran sesuai usia pasien.
 Petakan tinggi badan pasien pada kurva tinggi badan sesuai jenis kelamin dan
usia.
 Ukur rasio tinggi badan menurut tinggi badan ideal sesuai usia.
 Ukur berat badan pasien menggunakan timbangan/baby scale sesuai usia pasien.
CARA MENGINTERPRETASIKAN KURVA PERTUMBUHAN WHO
 Garis 0 pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan median, atau rata-rata
 Garis yang lain dinamakan garis z-score. Pada kurva pertumbuhan WHO garis ini
diberi angka positif (1, 2, 3) atau negatif (-1, -2, -3). Titik temu yang berada jauh dari
garis median menggambarkan masalah pertumbuhan.
 Titik temu yang berada antara garis z-score -2 dan -3 diartikan di bawah -2.
 Titik temu yang berada antara garis z-score 2 dan 3 diartikan di atas 2.
 Untuk menginterpretasikan arti titik temu ini pada kurva pertumbuhan WHO dapat
menggunakan tabel berikut ini.
 Analisis Hasil Pemeriksaan Berat
Badan berdasarkan BBI (berat badan
ideal)
 a. > 120% : obesitas
 b. 110 - 120% : gizi lebih
 c. 90 – 110% : normal
 d. 70 – 90% : gizi kurang
 e. 70% : gizi buruk
Deteksi Kaku Kuduk

 Tanda-tanda meningeal timbul karena tertariknya radiks-radiks saraf tepi yang


hipersensitif karena adanya perangsangan atau peradangan pada selaput otak meninges
(meningitis) akibat infeksi, kimiawi maupun karsinomatosis. Perangsangan meningeal
bisa terjadi juga akibat perdarahan subarachnoid.
 Untuk memudahkan pemeriksaan, pada keterampilan medik ini berturut-turut akan
dipelajari tanda-tanda meningeal sebagai berikut:
 A. Kaku Kuduk (Rigiditas Nuchae)
 B. Tanda Brudzinski I
 C. Tanda Kernig
 D. Tanda Brudzinski II
A. Kaku Kuduk
 1. Penderita berbaring terlentang di atas tempat tidur.
 2. Secara pasif kepala penderita dilakukan fleksi dan ekstensi.
 3. Kaku kuduk positif jika sewaktu dilakukan gerakan, dagu penderita tidak dapat menyentuh dua
jari yang diletakkan di incisura jugularis, terdapat suatu tahanan.
B. Tanda Brudzinski I
 1. Pasien berbaring terlentang.
 2. Tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah kepala pasien.
 3. Kemudian dilakukan gerakan fleksi pada kepala pasien dengan cepat, gerakan fleksi ini dilakukan
semaksimal mungkin.
 4. Tanda Brudzinski positif jika sewaktu dilakukan gerakan fleksi kepala pasien timbul fleksi
involunter pada kedua tungkai.
C. Tanda Kernig
 1. Pasien berbaring terlentang.
 2. Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut dari pasien.
 3. Kemudian dilakukan ekstensi pada sendi lutut.
 4. Tanda Kernig positif jika pada waktu dilakukan ekstensi pada sendi lutut < 135o, timbul rasa
nyeri, sehingga ekstensi sendi lutut tidak bisa maksimal.
D. Tanda Brudzinski II
 1. Pasien berbaring terlentang.
 2. Tungkai bawah pasien dilakukan fleksi secara pasif pada sendi panggul dan sendi lutut
(seperti Tanda Kernig).
 3. Tanda Brudzinski II positif jika sewaktu dilakukan gerakan di atas tadi, tungkai yang
kontralateral secara involunter ikut fleksi.

Anda mungkin juga menyukai