Anda di halaman 1dari 50

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Dengan Judul :

Asites et causa Abses Hepar

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Departemen Penyakit Dalam

RSPAD GATOT SOEBROTO – DITKESAD, Jakarta

Disusun Oleh:

Santi Prima Natasia Pakpahan

112017127

Telah disetujui oleh :

Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal Pengesahan


Pembimbing

dr. Deka Larasati, Sp.PD, M.Biomed

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan ke hadiratTuhan yang Maha Kuasa atas kesempatan yang
telah diberikan kepada saya untuk membuat laporan kasus ini. Saya mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada dr. Deka Larasati, Sp.PD, M. Biomed selaku
pembimbing dan mentor yang telah memberikan informasi, kritikan, dan saran yang
membangun saya untuk dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Saya juga ingin
berterima kasih kepada para konsulen yang telah membagi ilmunya kepada saya di RSPAD
Gatot Soebroto serta pihak-pihak lainnya yang telah membantu dalam penulisan referat ini
baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Saya menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih banyak kekurangannya oleh
karena itu dengan kerendahan hati saya mengharapkan adanya kritik maupun saran yang
membangun dari para pembaca guna perkembangan saya untuk dapat menjadi lebih baik.
Saya mengharapkan laporan kasus ini dapat digunakan untuk kepentingan para
pembaca, serta dapat menambah wawasan dan ilmu bagi para pembaca. Akhir kata, saya
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan selamat membaca.

Jakarta, 4 Oktober 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………….. 1

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… 2

DAFTAR ISI ………………………………………………………. …………. 3

DAFTAR TABEL …………….……………………………………………… 4

Bab I. PENDAHULUAN…………………………………………………..… 5

Bab II. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien…………………………………………………….. 6

2.2 Anamnesa…………………………………………………………… 6

2.3 Pemeriksaan Fisik ……………………………………………….… 8

2.4 Pemeriksaan Penunjang……………………………………..…...... 10

2.5 Resume ……………………………………………………............. 16

2.6 Daftar Masalah ……………………………………………………. 16

2.7 Pengkajian Masalah……………………………………………….. 16

2.8 Follow Up Harian…………………………………………………. 19

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………. 17

3.1 Abses Hati …………………………………………………….. …. 27

3.1.1 Abses Hati Amuba ………….….……………………..... 27

3.1.2 Abses Hati Piogenik …………..……………………..... 22

3.2 Asites ………………………………….………………………..... 22

BAB IV PEMBAHASAN KASUS ………………..………………………… 48

BAB V KESIMPLAN ………………………………………………………… 49

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 50

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sumber Infeksi dan Penyebab AHP …………………………………… 22

Tabel 2. Mikrobal Patogen pada AHP ………………………………..………… 23

Tabel 3. Klasifikasi Asites Berdasarkan SAAG………………………………… 29

Tabel 4. Definisi Dan Kriteria Diagnosis Asites Refrakter…………..…………… 31

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh, organ ini dapat
dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh. Perannya dalam sistem pencernaan
adalah sekresi garam empedu, yang membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Setiap
sel hati, atau hepatosit, melakukan beragam tugas metabolic dan sekretorik yang sama.
Satu-satunya fungsi hati yang tidak dilakukan oleh hepatosit adalah aktivitas fagosit
yangbdilaksanakan oleh makrofag residen yang dikenal sebagai sel Kupffer.1

Abses Hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi
bakter, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gasmointestional
yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari
jaringan hati nektolik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati. Abses Hati
dibagi secara umum yaitu abses hati amebik (AHA) dan akses hati piogenik. Di negara-
negara yang sedang berkembang abses hati amebik didapatkan secara endemik dan jauh
lebih sering dibandingkan dengan abses hati piogenik. Abses hati piogenik ini tersebar di
seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi sanitasi yang kurang. Secara
epidemiologi didapatkan 8-15 per 100.000 kasus abses hati piogenik yang memerlukan
perawatan di Rumah Sakit. Abses hati sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan
dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insiden puncak pada dekade ke-6.
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi abses hepar sangat diperlukan
kerjasama tim kesehatan dan penanggulangan Abses Hepar dengan terjadinya dalam
pemenuhan diri, memeriksa kesehatan secara teratur, menjaga kebersihan lingkungan,
menghindari minuman beralkohol, mengawasi pemberian obat atau terapi yang membantu
pemulihan. Pengembangan teknik radiologis baru, peningkatan identifikasi mikrobiologis,
dan kemajuan teknik drainase, serta perawatan suportif yang meningkat, telah mengurangi
mortalitas hingga 5-30%. Namun, prevalensi abses hati tetap relatif tidak berubah. Tidak
diobati, infeksi ini tetap seragam fatal. Dengan latar belakang di atas penulis tertarik dan
ingin mengetahui bagaimana diagnosis dan tatalaksana yang tepat pada Gangguan Sistem
Pencernaan dengan Abses Hepar. Sehingga memilih judul untuk Laporan Kasus mengenai
Gangguan Sistem Pencernaan dengan Abses Hepar.2-3

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. Ilyasa
Tanggal Lahir : 14 Agustus 1996
Usia : 22 tahun
Alamat : Mess Tamtama Yon Komplek Cilandak
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : TNI Angkatan Laut
No. RM : 902699
Masuk RS : 14 Agustus 2018
Dilakukan Pemeriksaan : 20 September 2018

2.2. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 20 September 2018.
Keluhan utama
Nyeri perut kanan atas sejak 1 minggu SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto yang merupakan rujukan dari RS
Marinir Cilandak pada tanggal 14 Agustus 2018 pukul 13.30 diantar bersama temannya
dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 1 minggu SMRS. Nyeri perut hilang timbul,
terkadang timbul tiba-tiba dengan intesitas berat, nyeri terasa seperti tertusuk dan menjalar
ke ulu hati dan ke bahu kanan. Nyeri perut tidak dipengaruhi waktu makan, nyeri
berkurang saat posisi duduk atau membungkuk. Pasien juga mengeluh mual dan muntah.
Muntah 2-3x/hari isi sedikit makanan, namun tidak ada darah. Oleh karena mual dan
muntah pasien menjadi kurang nafsu makan. Pasien juga merasakan lemas seluruh badan
tanpa disertai kelemahan anggota gerak, lemas dirasakan saat beraktifitas maupun saat
istirahat. Pasien mengatakan adanya penurunan berat badan dalam 6 bulan terakhir.
Penurunan berat badan kurang lebih 5 Kg. Pasien mengatakan BAB nya warna hitam,
konsistensi cair, BAB 3x/hari, sebanyak 1 gelas aqua sekali BAB. Pasien juga mengatakan
urin nya agak keruh seperti teh. Pasien mengatakan ada demam terutama pada saat sore
menjelang malam, dan suhu kembali normal pada saat pagi hingga siang. Demam

6
terkadang disertai menggigil. Pasien mengatakan sempat keluar darah dari hidung 1x/hari,
darah mengalir lumayan aktif, dan sebanyak 2 tissue penuh darah. Lalu perdarahan
berhenti dengan sendirinya.
Pasien sempat dirawat 3 hari di RS Marinir Cilandak, dengan keluhan nyeri perut
kanan atas, mual, muntah, demam, diare dan keluar darah dari hidung dengan diagnosa
DBD oleh dokter di RS tersebut. Lalu dilakukan pemeriksaan darah dengan hasil
Trombositopenia (10000/uL) dan dilakukan transfusi Trombosit. Setelah di transfusi
namunn Trombosit tidak kunjung naik dan keluhan fisik pasien tidak membaik, lalu RS
Marinir Cilandak merujuk Pasien ke RSPAD Gatot Soebroto. Pasien sudah dilakukan
perawatan selama 40 hari. Kondisi pasien semakin menurun. Satu minggu perawatan di
RSPAD pasien keluar sedikit bercak darah lagi dari hidung namun berhenti dengan
sendirinya Pasien mengatakan ada sedikit sesak, muncul biasanya saat sedang posisi
tertidur dan berkurang saat posisi duduk. Pasien mengatakan perutnya semakin membesar,
terasa begah dan adanya nyeri dada, namun rasa berdebar, keringat dingin, dan keringat
malam disangkal. Tiga minggu perawatan di RSPAD pasien didiagnosis Abses Hati
berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan penunjang.
Tiga bulan SMRS,pasien pernah mengalami BAB cair, 3x/hari, dengan mual dan
muntah, ada demam dan nyeri perut bagian ulu hati dan kanan atas.
Satu tahun SMRS, pasien mengatakan pernah sakit TB Paru oleh dokter, dan rutin
menggunakan obat selama 6 bulan. Pasien tidak ingat nama obatnya. Pasien selesai
menggunakan obat pada bulan Maret 2018.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Tb Paru (September 2017)
Riwayat Penyakit Keluarga
 Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit dengan keluhan yang sama.
 Di keluarga pasien juga tidak ada yang menderita sakit kuning, Tb Paru, penyakit
jantung, alergi, asthma, kencing manis, darah tinggi, sakit ginjal, dan keganasan.
Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien menggunakan BPJS untuk biaya pengobatannya. Pasien merupakan seorang
TNI AL dan baru menyelesaikan masa pendidikannya di daerah Banyuwangi, Jawa Timur.
Selama masa pendidikan pasien sering tidak memperhatikan kebersihan makannya. Pasien
menjalani pendidikan selama 1 tahun dan selama pendidikan pasien sering berlatih di hutan
dan daerah yang berlumpur. Saat pendidikan pasien tinggal di Mess Tentara di daerah
Banyuwangi. Pasien tidur di kamar bersama 20 prajurit lain dengan menggunakan tempat
7
tidur masing-masing. Kebersihan di Mess tersebut sangat kurang. Saat ini pasien tinggal di
Mess Marinir Cilandak dengan kondisi kebersihan kamar yang cukup, pasien juga kurang
memperhatikan kebersihan makanan dan jarang cuci tangan sebelum makan.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik di bangsal Paviliun Darmawan lt 6 pada tanggal 20 September 2018
Kesadaran : Kompos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Status Gizi : Lingkar lengan atas : 21 cm
Lingkar perut : 92 cm
Berat badan : 55 kg (BB sebelum sakit : 75 kg)
Tinggi badan : 175 cm
IMT : 17,959 ( kurus )
Habitus : Astenikus
Tanda vital : TD : 118/75 mmHg
Nadi : 99 x/menit
Suhu : 37,3OC
Pernapasan : 20 x/menit
Kepala : Normocephali
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Pupil isokor, refleks cahaya +/+, konjungtiva pucat -/-,
sklera ikterik-/-
Hidung : Sekret -/- , deviasi septum (–)
Telinga : Sekret -/- , liang telinga lapang, nyeri tekan tragus (–)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Mulut : Mukosa bibir kering, sianosis (-), coated tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

8
Thorax :
Pulmo Depan Belakang
Inspeksi  Bentuk dada normal, lesi dinding dada  Bentuk dada bagian belakang
(-), spider nevi (-), ginekomastia (-) normal, lesi dinding dada (-)
 Pernapasan regular, dinding dada  Bentuk scapula simetris
kanan tertinggal saat statis dan  Bentuk vertebra normal
dinamis
 Jenis pernapasan abdominothorakal
 Otot-otot bantu pernapasan (-)

Palpasi  Pembesaran KGB (-)  Vokal fremitus melemah di


 Vokal fremitus melemah di kedua kedua lapang paru
lapang paru  Nyeri tekan (-), benjolan/tumor
 Pergerakan dada sebelah kanan (-)
tertinggal saat keadaan statis dan
dinamis
 Nyeri tekan (-), benjolan/tumor (-),
krepitus (-)
Perkusi  Perkusi terdengar pekak pada dada  Perkusi terdengar pekak pada
kanan, dan redup pada dada kiri dada kanan dan redup pada
 Batas paru-hepar pada ICS V linea dada kiri
midclavicularis dekstra
 Batas paru-lambung normal pada ICS
VIII linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi  Suara nafas vesikuler ↓/+,pleural  Suara nafas vesikuler ↓/+,
friction rub+/+,ronkhi -/-,wheezing -/- ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi  Tidak terlihat pulsasi pada ictus cordis
Palpasi  Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi  Batas kiri jantung di ICS V 2 jari medial dari linea axilaris anterior
 Batas pinggang jantung terletak pada ICS III linea parasternalis sinistra
 Batas kanan jantung terletak pada ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi  Bunyi jantung I dan II terdengar regular, murmur (-), gallop (-)

9
Abdomen
Inspeksi  Perut tidak simetris, membuncit, striae (-), kaput medusa (-),
benjolan/tumor (-), tanda-tanda peradangan dan bekas luka operasi (-)
Auskultasi  Bising usus (+) normoperistaltik (7x/menit)
Palpasi  Distensi, nyeri tekan pada region hipokondria kanan, undulasi (+) Hepar
dan Lien sulit dinilai, ballottement (-)
Perkusi  Shifting dullness (+), bunyi timpani pada seluruh lapang abdomen
Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, palmar eritem (-), sianosis (-/-), edema (-/-), ptechie (-/-),
CRT<2”, motorik 5/5
 Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), pitting edema (-/-), CRT < 2”, motorik 5/5

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium
JENIS PEMERIKSAAN 20-9-2018 Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.2* 13.0 - 18.0 g/Dl
Hematokrit 31* 40 - 52%
Eritrosit 3,8* 4.3 - 6.0 juta/uL
Leukosit 20600* 4.800 - 10.800 /uL
Trombosit 585000* 150.000 - 400.000 /uL
MCV 83 80 - 96 fl
MCH 27 27 - 32 pg
MCHC 33 32 - 36 g/dL
RDW 16.40 11.5-14.5%
KIMIA KLINIK
Bilirubin Total 52* 20 - 50 mg/dL
Bilirubin Direk 0,8 0.5 - 1.5 mg/dL
Bilirubin Indirek 98 80 - 140 mg/dL
SGOT (AST) 17 <35 U/L
SGPT (ALT) 21 < 40 U/L
Albumin 2.8* 3.5 – 5.0 g/dL
Natrium (Na) 135 135 - 147 mmol/L
Kalium (K) 4,0 3.5 - 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 107 95 - 105 mmol/L

10
JENIS 6 7 8 11 12 20 Nilai Normal
PEMERIKSAAN
Hemoglobin 11.5* 11.5* 11.4.8 10.4* 10.8* 10.2* 13.0 - 18.0 g/dL
Hematokrit 34* 32* 34* 31* 33* 31* 40 - 52%
Eritrosit 4.3 3.9* 4.2* 3.8* 4.0* 3,8* 4.3 - 6.0 juta/uL
Leukosit 17130* 19480* 27480* 35900* 35040* 20600* 4.800 - 10.800 /uL
Trombosit 33000* 399000 31000* 398000 377000 585000* 150.000-400.000 /uL
MCV 80 81 79* 82 82 83 80 - 96 fl
MCH 27 29 27 27 27 27 27 - 32 pg
MCHC 34 35 34 33 33 33 32 - 36 g/dL
RDW 14.10 13.30 14.60 15.50* 15.40* 16.40 11.5-14.5%
KOAGULASI
KIMIA KLINIK
Bilirubin Total 1.80* 2.07* 52 20 - 50 mg/dL
Bilirubin Direk 267* 1.67* 0,8* 0.5 - 1.5 mg/dL
SGPT (ALT) 41 21 < 40 U/L
Albumin 0.7* 2.2* 2.8* 2.7 2.6 2.8* 3.5 – 5.0 g/dL
Natrium (Na) 135 135 - 147 mmol/L
Kalium (K) 4,0 3.5 - 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 107 95 - 105 mmol/L
AGD
 pH 7,428 7,37 – 7,45
 pCO2 25,2* 33-44 mmHg
 pO2 95,5 71-104 mmHg

 HCO3 16,8* 22 – 29 mmol/L

 BE -6,3 (-2) – 3 mmol/L

 Saturasi O2 93,9* 94 98 %

HBsAg (rapid)
Anti hcv
Procalsitonin 2,61* 0,02-0,5 ug/L
CRP kuantitatif 30,36* < 1 mg/dL

11
CT ABDOMEN KONTRAS (7 September 2018)

Kesan :Hepatomegali dengan multiple nodul kistik lobus kanan dan kiri. Efusi pleura
bilateral terutama kanan.

PEMERIKSAAN USG ABDOMEN ( 20 September 2018)

Hasil : Tampak 3 buah abses, masing-masing berukuran : 40,9 x 43,7 x 36,1 mm, 62,0 x
93,7 x 65,2 mm, 86,9 x 65,2 x 47,1 mm. Tampak Asites.
Kesan : Abses multiple lobus kanan hepar dan Asites.

12
JENIS PEMERIKSAAN 10-9-2018 Nilai Rujukan
CAIRAN TUBUH Analisa Cairan Abses Hepar
Makroskopik
 Kejernihan Keruh Transudat : Jernih
Eksudat : keruh
 Warna Kuning kecoklatan Transudat : tidak berwarna
Eksudat : bervariasi
 Bekuan Positif Transudate : tidak ada bekuan
Eksudat : bervariasi
 Rivalta +/Positif Transudat : negatif
Eksudat : positif
Mikroskopik
 Jumlah sel 19000 0 – 500 /uL
Kimia
 pH 6.5 g/dL
 Protein cairan 8.0 Transudat : <50 % serum
Eksudat : >50% serum
 Protein serum 6.6

 Rasio protein 1.21 Transudat : <0,5


Eksudat : >0,5
 LDH Cairan 8360 Transudat : <60% serum
Eksudat : >60% serum
 LDH Serum 525 u/L
 Rasio LDH 15.92 Transudat : <0.6
Eksudat : >0,6
 Glukosa Cairan 50 mg/dL

 Glukosa serum 76 mg/dL


KESAN Eksudat

13
Hasil Pembacaan Hematologi Aspirasi Sumsum Tulang (13 September 2018)
Tanggal tindakan BMP : 28 Agustus 2018
Kesan:
 BMP pewarnaan wright, giemsa
 Kepadatan sel kurang
 Partikel ada
 M:E = 3:1
 Diserytropoesis
 Dismegakaryiopoesis
Kesimpulan : Sesuai dengan MDS (Mylodisplasia)

FOTO THORAX PROYEKSI AP (13 September 2018)

KESAN : Efusi pleura bilateral

JENIS 16/9/2018 NILAI RUJUKAN


PEMERIKSAAN
IMUNOSEROLOGI
Anti HIV Penyaring
Metode – 1 Non reaktif Non reaktif
Reagen vikia
Metode – 2 Tidak dikerjakan Non reaktif
Metode – 3 Tidak dikerjakan Non reaktif
Kesimpulan Non reaktif Non reaktif
Saran -

14
HASIL PEMBACAAN HEMATOLOGI ASPIRASI SUMSUM TULANG (13
September 2018)
Tanggal tindakan BMP : 28 Agustus 2018
KESAN : BMP pewarnaan wright, giemsa, Kepadatan sel kurang, Partikel ada, M:E = 3:1,
Diserytropoesis, Dismegakaryiopoesis
KESIMPULAN : Sesuai dengan MDS (Mylodisplasia)

FOTO THORAX PROYEKSI AP (13 September 2018)


KESAN : Efusi pleura bilateral

LAPORAN PERASAT HATI (10 September 2018)


Dilakukan USG untuk menentukan lokasi punksi yang aman. Dilakukan aseptic
dan antiseptic seblum tindakan dengan betadine 10%. Kemudian dilakukan anestesi local
dengan lidocain 4 ampul. Setelah itu, dikeluarkan cairan abses dengan menggunakan jarum
ciba no 18, keluar cairan abses, kental, sebanyak 120 cc warna kuning kehijauan.

HASIL PEMERIKSAAN JARINGAN / HISTOPATOLOGI (12 September 2018)


HASIL : Makroskopik : Diterima caran warna kecoklatan agak kental sebanyak kurang
lebih 40 cc. Mikroskopik : sediaan apus cairan abses hepar dengan latar belakang kotor
terdiri atas sel lekosit PMN, sel limfosit, sel-sel nekrotik. Tidak tampak sel ganas.
KESAN : Tidak tampak sel ganas pada sediaan apus cairan abses hepar

LAPORAN PERASAT HATI (14 september 2018)


Dilakukan USG untuk menentukan lokasi punksi yang aman. Dilakukan aseptic
dan antiseptic sebelum tindakan dengan betadine 10%. Kemudian dilakukan anestesi local
dengan lidocain 4 ampul. Setelah itu, dikeluarkan cairan abses dengan menggunakan jarum
ciba no 18, keluar cairan abses, kental, sebanyak 20 cc warna hijau kekuningan.

15
2.5. RESUME
Pasien Laki-laki usia 22 tahun, mengeluh nyeri pada regio hipokondria kanan,
menjalar ke regio epigastrium dan ke skapula kanan sejak 1 minggu SMRS, disertai
nausea, vomitus, malaise, febris, dyspnea, angina, riwayat epistaksis, melena dan urin
pekat seperti the, riwayat trombositopenia 1 minggu SMRS dan di transfusi TC. Riwayat
Diare 3 bulan SMRS dan TB Paru 1 tahun SMRS.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, kesadaran kompos
mentis, TD : 121/80 mmHg, Suhu : 37,3oC, Nadi : 99x/menit. Konjungtiva pucat +/+,
sklera ikterik -/-. Pulmo : vesikuler ↓/+, Pleural friction rub +/+. Abdomen : nyeri tekan
region hipokondria dextra (+), shifting dullness +, undulasi (+), hepar dan lien sulit diraba.
Pada pemeriksaan penunjang didapati hasil Lab : anemia normositik normokrom,
leukositosis, trombositosis, namun riwayat pansitopenia sewaktu awal masuk RS (14/8/18),
hipoalbuminemia, USG Abdomen : Abses multiple lobus kanan hepar dan Asites, CT Scan
Abdomen : Hepatomegali dengan multiple nodul kistik lobus kanan dan kiri, efusi pleura
bilateral terutama kanan, Foto thorax : Efusi Pleura Bilateral, BMP : sesuai dengan MDS.

2.6. DAFTAR MASALAH


1. Asites e.c. Abses Hepar
2. Efusi Pleura
3. MDS

2.7 PENGKAJIAN MASALAH


1. Asites e.c. Abses Hepar
Atas dasar :
 Anamnesis : Keluhan nyeri perut regio hipokondria dextra menjalar ke regio
epigastrium hingga ke scapula kanan, nausea, vomitus, prolonged febris,
penurunan berat badan
 PF : Nyeri tekan region hipokondria dextra (+), VAS 4, asites (LP : 92 cm),
shifting dullness (+), undulasi (+),
 PP : hipoalbuminemia, USG : suspek multiple abscess lobus kanan hepar,
ascites, CT scan : Hepatomegali dengan multiple nodul kistik lobus kanan dan
kiri.
Rencana diagnostik : pungsi abses hepar, serologi amoeba

16
Rencana monitoring :
 KU, TTV, skala nyeri
 Input dan output cairan
 Darah lengkap, SGOT, SGPT, albumin,
Rencana pengobatan :
 IVFD RL 500 ml/12 jam, Valamin 500 ml/24 jam
 Metronidazole 3 x 500 mg iv
 Ciprofloxacin 2 x 400 mg
 Cefoperazome + sulbactam (3x2 gr dalam NaCl 0,9% 100 ml)
 HP Pro 3x1 po
 OMZ 2x40 mg iv
Rencana Nutrisi: konsul ke spesialis gizi
Edukasi :
 Menjelaskan kemungkinan penyebab penyakit
 Menjelaskan tujuan, indikasi, risiko, komplikasi dari pungsi asites dan pungsi
abses hepar
 Perlunya pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakan etiologi abses hepar
Prognosis:
 Quo ad vitam : dubia
 Quo ad functionam : dubia
 Quo ad sanationam : dubia ad malam

2. Efusi Pleura
Atas dasar:
 Anamnesa : sesak, nyeri dada, batuk
 PF : auskultasi : vesikuler ↓/+, pleural friction rub +/+, rhonki -
/-, wheezing -/-
 PP : foto rontgen AP dan ct abdomen kontras : efusi pleura
bilateral terutma kanan.
Rencana diagnostik : Thoracocentesis (pungsi pleura)
Rencana Monitoring: KU, TTV, sat O2,
Rencana pengobatan : konsul ke Sp. Paru

17
Jawaban konsul :
 Ceftriaxon 1x2 gr IV
 Fluminal 2x200 mg po
 Sistenol 3x1
 Retaphyl SR 2x ½ tab
Edukasi:
 Menjelaskan penyakit dan perjalanan penyakit yang berlangsung kronis
 Perlunya pengobatan jangka panjang untuk mengontrol penyakit
Prognosis:
 Quo ad vitam : dubia
 Quo ad functionam : dubia
 Quo ad sanationam : dubia

3. Mielodisplasia Sindrom
Atas dasar:
 Anamnesa : epistaksis, melena, malaise, prolonged febris
 PP :riwayat pansitopenia pada awal masuk RS (14/8/18), BMP :
didapatkan kesan : sesuai dengan MDS
Rencana Monitoring: KU, TTV, darah lengkap
Rencana pengobatan :
 Transfuse TC bila kadar trombosit </= 10000 – 50000/microliter
Edukasi:
 Menjelaskan penyakit dan perjalanan penyakit yang berlangsung kronis
 Menjelaskan komplikasi penyakit
 Perlunya pengobatan jangka panjang untuk mengontrol penyakit
Prognosis:
 Quo ad vitam : dubia
 Quo ad functionam : dubia
 Quo ad sanationam : dubia

18
2.8 FOLLOW UP HARIAN
5/ 9/2018 S : nyeri perut kanan atas +, sesak +, batuk +, P :
Hari ke-22 demam -  Ciprofloxacin 2 x 400 mg
perawatan O : Ku: TSS,CM TD: 120/70mmHg,  Mycamine 2x50 mg
N:90x/mnt,RR:20x/mnt,T: 36,3C  Sistenol 3x1
Mata : CA -/-, SI -/-  IVFD : RL 500 ml/12
Pulmo : Vesikuler ↓/+, rh -/-, wh -/- jam, Valamin 500 ml/24
Cor : S I – II regular, murmur - , gallop - jam
Abd : datar, bising usus normal, nyeri tekan (-)  Metil Prednisolon 16-8-0
Abdomen : cembung, distensi, nyeri tekan (+)  HP pro 3x1 po
A : febris ec infeksi, kolik abdomen  OMZ 2x40 mg iv
 Ketorolac 3 x 30 mg iv
 Ranitidine 2 x 50 mg iv

6/ 9 /2018 S : nyeri perut kanan atas +, sesak +, batuk +, P :


Hari ke-23 demam -  IVFD : RL 500 ml/12
perawatan O : Ku: TSS,CM TD: 112/83 mmHg, jam, Valamin 500 ml/24
N:117x/mnt,RR:30x/mnt,T: 36,3C jam
Mata : CA -/-, SI -/-, Sp O2 : 97%  Ciprofloxacin 2 x 400 mg
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-  Mycam ine 2x50 mg
Cor : BJ I – II regular, murmur gallop -  Metronidazole 3 x 500 mg
Abd : datar, bising usus normal, nyeri tekan (-) iv
Abdomen : cembung, distensi, nyeri tekan (+)  Metil Prednisolon 2x16
Hasil USG Abdomen :: mg (tapering dwon) 16-8-
Multiple Absces Lobus Kanan Hepar, 0
Ascites  OMZ 2x40 mg iv
A : Nodul Hepar susp. Abses Multiple  Ketorolac 3x1 gal IV
R/ Pungsi Abses Hepar di
ruang Endoskopi hari Senin.
 RD/ : CT scan abdomen
dgn kontras, DPL,
bilirubin T/D/I, PT/APTT,
ur/cr, albumin

19
7/ 9/2018 S : nyeri perut kanan atas +, sesak +, batuk +, P :
Hari ke-24 demam -  IVFD : RL 500 ml/12
perawatan O : Ku: TSS,CM TD: 112/83 mmHg, jam, Valamin 500 ml/24
N:105x/mnt,RR:30x/mnt,T: 36,3C jam
Mata : CA -/-, SI -/-, Sp O2 : 97%  Ciprofloxacin 2 x 400 mg
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-  Mycam ine 2x50 mg
Cor : BJ I – II regular, murmur gallop -  Metronidazole 3 x 500 mg
Abd : datar, bising usus normal, nyeri tekan (-) iv
Abdomen : cembung, distensi, nyeri tekan (+)  Metil Prednisolon 2x16
A : Nodul Hepar susp. Abses Multiple mg (tapering dwon) 16-8-
0
 OMZ 2x40 mg iv
 Ketorolac 3x1 gal IV
 MST 2x10 mg po
 R/ Biopsi Hepar
(senin,10-9), cek Hb Ht
trombo, PT APTTw

10/9/2018 S : nyeri perut berkurang, demam hilang P :


Hari ke-25 timbul, mual +, post pungsi hepar  IVFD : RL 500 ml/12
perawatan O : Ku: TSS,CM TD: 120/70mmHg, jam, Valamin 500 ml/24
N:90x/mnt,RR:20x/mnt,T: 36,3C jam
Mata : CA -/-, SI -/-  Metronidazole 3 x 500 mg
Pulmo : Vesikuler ↓/+, rh -/-, wh -/- iv
Cor : S I – II regular, murmur - , gallop -  Ciprofloxacin 2 x 400 mg
Abdomen : cembung, distensi, nyeri tekan (+)  Mycamine 2x50 mg
A : abses hepar, asites,  Metil Prednisolon 2x16
mg (tapering dwon) 16-8-
0
 OMZ 2x40 mg iv
 Ketorolac 3x1 gal IV
 MST 2x10 mg po
 R/ Biopsi Hepar

20
(senin,10-9), cek Hb Ht
trombo, PT APTTw
12/9/2018 S : nyeri perut berkurang, demam hilang P :
Hari ke-29 timbul, mual +, batuk berdahak sulit keluar.  IVFD : RL 500 ml/12
perawatan O : Ku: TSS,CM TD: 121/60mmHg, jam, Valamin 500 ml/24
N:79x/mnt,RR:20x/mnt,T: 36,6C jam
Mata : CA -/-, SI -/-  Metronidazole 3 x 500 mg
Pulmo : Vesikuler ↓/+, rh -/-, wh -/- iv
Cor : S I – II regular, murmur - , gallop -  Ciprofloxacin 2 x 400 mg
Abdomen : cembung, distensi, nyeri tekan (+)  Mycamine 2x50 mg
Extremitas : akral hangat, edema -/-/+/+  Metil Prednisolon 2x16
A : abses hepar, asites mg (tapering dwon) 16-8-
0
 OMZ 2x40 mg iv
 Ketorolac 3x1 gal IV
 MST 2x10 mg po
 NAC 3x200 mg po
R/ pungsi abses hepar ulang
hr jumat. Tunggu hasil PA
pasca pungsi abses dan hasil
BNP

13/9/2018 S : mual berkurang, nyeri perut berkurang P:


Hari ke-30 O : Ku: TSS,CM TD: 121/60mmHg,  IVFD : RL 500 ml/12
perawatan N:81x/mnt,RR:20x/mnt,T: 36,6C, Sp O2 97% jam, Valamin 500 ml/24
Mata : CA -/-, SI -/- jam
Pulmo : Vesikuler ↓/+, rh -/-, wh -/-  Metronidazole 3 x 500 mg
Cor : S I – II regular, murmur - , gallop - iv
Abdomen : cembung, distensi, nyeri tekan (+)  Ciprofloxacin 2 x 400 mg
Extremitas : akral hangat, edema -/-/-/-  Mycamine 2x50 mg

21
A : abses hepar, asites,  Metil Prednisolon 2x16
efusi pleura bilateral mg (tapering dwon) 16-8-
0
 OMZ 2x40 mg iv
 Ketorolac 3x1 gal IV
 MST 2x10 mg po
 NAC 3x200 mg po
Th/Ts pulmo :
 Ceftriaxone 1x2 gr iv
 Fluminal 2x200 mg po
 Pct 3x 500 mg
 Sistenol stop
R/:
 Pungsi pleura o/TS
pulmo
 Pungsi abses hepar
hari jumat(15-9)
 Tungu hasil PA pasca
pungsi abses dan hasil
BMP
14/9/2018 S : mual berkurang, nyeri perut berkurang P:
Hari ke-31 O : Ku: TSS,CM TD: 121/60mmHg,  IVFD : RL 500 ml/12
perawatan N:81x/mnt,RR:20x/mnt,T: 36,6C, Sp O2 97% jam, Valamin 500 ml/24
Mata : CA -/-, SI -/- jam
Pulmo : Vesikuler ↓/+, rh -/-, wh -/-  Metronidazole 3 x 500 mg
Cor : S I – II regular, murmur - , gallop - iv
Abdomen : cembung, distensi, nyeri tekan (+)  Ciprofloxacin 2 x 400 mg
Extremitas : akral hangat, edema -/-/-/-  Mycamine 2x50 mg
A : abses hepar dd/ malignancy,  Metil Prednisolon 2x16
efusi pleura bilateral, asites, MDS mg (tapering dwon) 16-8-
0 (senin 16-0-8)
 OMZ 2x40 mg iv

22
 Ketorolac 3x1 gal IV
 MST 2x10 mg po
 Tramadol 3x500 mg po
 Pct 3x500 mg po k/p
Th/Ts pulmo :
 Fluminal 2x200 mg po
 Ceftriaxone stop
R/ :
 Cek Serologi Amuba
 Tunggu hasil : sitologi /
MO/BTA Vairan pleura,
sitology PA paska pungsi
abses

18/9/2018 S : nyeri perut kanan atas +, batuk +, demam - P:


Hari ke-35 O : Ku: TSS,CM TD: 120/70mmHg,  Cefoperazone +
perawatan N:90x/mnt,RR:20x/mnt,T: 36,3C Sulbactam : (2x2gr dalam
Mata : CA -/-, SI -/- NaCl 0,9% 100 ml (hari
Pulmo : Vesikuler ↓/+, rh -/-, wh -/- ke-3)
Cor : S I – II regular, murmur - , gallop -  Metronidazole 3 x 500 mg
Abd : datar, bising usus normal, nyeri tekan (-) iv
Abdomen : cembung, distensi, nyeri tekan (+)  IVFD : RL 500 ml/12
A : Abeses Hepar, Asites, efusi pleura, MDS jam, Valamin 500 ml/24
jam
 Metil Prednisolon 16-8-0
 HP pro 3x1 po
 OMZ 2x40 mg iv

19/9/2018 S : nyeri perut kanan atas +, batuk +, demam - P:


Hari ke-36 O : Ku: TSS,CM TD: 120/70mmHg,  Cefoperazone +
perawatan N:90x/mnt,RR:20x/mnt,T: 36,3C Sulbactam : (2x2gr dalam
Mata : CA -/-, SI -/- NaCl 0,9% 100 ml (hari
Pulmo : Vesikuler ↓/+, rh -/-, wh -/- ke-3)

23
Cor : S I – II regular, murmur - , gallop -  Metronidazole 3 x 500 mg
Abd : datar, bising usus normal, nyeri tekan (-) iv
Abdomen : cembung, distensi, nyeri tekan (+)  IVFD : RL 500 ml/12
A : Abeses Hepar, Asites, efusi pleura, MDS jam, Valamin 500 ml/24
jam
 Metil Prednisolon 16-8-0
 HP pro 3x1 po
 OMZ 2x40 mg iv

20/9/2018 S : nyeri perut +, demam - P:


Hari ke-37 O : Ks: CM, Ku: TSS TD: 120/70mmHg,  Cefoperazone +
perawatan N:114x/mnt, RR:24x/mnt, T: 36,7 C SpO2 Sulbactam : (2x2gr dalam
96% NaCl 0,9% 100 ml (hari
Cor : BJ I – II reg, murmur-, gallop- ke-2)
Pulmo : vesikuler ↓/+,rhonki +/+, mengi -/-  Metronidazole 3 x 500 mg
Abd : cembung, distensi, NT- iv
VAS 3-4  IVFD : RL 500 ml/12
A : Abses hepar, asites, efusi pleura, MDS jam, Valamin 500 ml/24
jam
 Metil Prednisolon 16-8-0
 HP pro 3x1 po
 OMZ 2x40 mg iv
21/9/2018 S : nyeri perut +, demam - P:
Hari ke-38 O : Ks: CM, Ku: TSS TD: 120/70mmHg,  Cefoperazone +
perawatan N:114x/mnt, RR:24x/mnt, T: 36,7 C SpO2 Sulbactam : (2x2gr dalam
96% NaCl 0,9% 100 ml (hari
Cor : BJ I – II reg, murmur-, gallop- ke-2)
Pulmo : vesikuler ↓/+,rhonki +/+, mengi -/-  Metronidazole 3 x 500 mg
Abd : cembung, distensi, NT- VAS 3-4 iv
A : Abses hepar, asites, efusi pleura, MDS  IVFD : RL 500 ml/12
jam, Valamin 500 ml/24
jam
 Metil Prednisolon 16-8-0

24
 HP pro 3x1 po

OMZ 2x40 mg iv
24/9/2018 S : nyeri perut +, demam - P:
Hari ke-41 O : Ks: CM, Ku: TSS TD: 120/70mmHg,  Cefoperazone +
perawatan N:114x/mnt, RR:24x/mnt, T: 36,7 C SpO2 Sulbactam : (2x2gr dalam
96% NaCl 0,9% 100 ml (hari
Cor : BJ I – II reg, murmur-, gallop- ke-2)
Pulmo : vesikuler ↓/+,rhonki +/+, mengi -/-  Metronidazole 3 x 500 mg
Abd : cembung, distensi, NT- iv
VAS 3-4  IVFD : RL 500 ml/12
A : Abses hepar, asites, efusi pleura, MDS jam, Valamin 500 ml/24
jam
 Metil Prednisolon 16-8-0
 HP pro 3x1 po

OMZ 2x40 mg iv
25/9/2018 S : nyeri perut +, demam - P:
Hari ke-42 O : Ks: CM, Ku: TSS TD: 120/70mmHg,  Cefoperazone +
perawatan N:114x/mnt, RR:24x/mnt, T: 36,7 C SpO2 Sulbactam : (2x2gr dalam
96% NaCl 0,9% 100 ml (hari
Cor : BJ I – II reg, murmur-, gallop- ke-2)
Pulmo : vesikuler ↓/+,rhonki +/+, mengi -/-  Metronidazole 3 x 500 mg
Abd : cembung, distensi, NT- iv
VAS 3-4  IVFD : RL 500 ml/12
A : Abses hepar, asites, efusi pleura, MDS jam, Valamin 500 ml/24
jam
 Metil Prednisolon 16-8-0
 HP pro 3x1 po
OMZ 2x40 mg iv
26/9/2018 S : nyeri perut +, demam - P:
Hari ke-43 O : Ks: CM, Ku: TSS TD: 120/70mmHg,  Cefoperazone +
perawatan N:114x/mnt, RR:24x/mnt, T: 36,7 C SpO2 Sulbactam : (2x2gr dalam
96% NaCl 0,9% 100 ml (hari

25
Cor : BJ I – II reg, murmur-, gallop- ke-2)
Pulmo : vesikuler ↓/+,rhonki +/+, mengi -/-  Metronidazole 3 x 500 mg
Abd : cembung, distensi, NT- iv
VAS 3-4  IVFD : RL 500 ml/12
A : Abses hepar, asites, efusi pleura, MDS jam, Valamin 500 ml/24
jam
 Metil Prednisolon 16-8-0
 HP pro 3x1 po
OMZ 2x40 mg iv
27/9/2018 S : nyeri perut +, demam - P:
Hari ke-44 O : Ks: CM, Ku: TSS TD: 120/70mmHg,  Cefoperazone +
perawatan N:114x/mnt, RR:24x/mnt, T: 36,7 C SpO2 Sulbactam : (2x2gr dalam
96% NaCl 0,9% 100 ml (hari
Cor : BJ I – II reg, murmur-, gallop- ke-2)
Pulmo : vesikuler ↓/+,rhonki +/+, mengi -/-  Metronidazole 3 x 500 mg
Abd : cembung, distensi, NT- iv
VAS 3-4  IVFD : RL 500 ml/12
A : Abses hepar, asites, efusi pleura, MDS jam, Valamin 500 ml/24
jam
 Metil Prednisolon 16-8-0
 HP pro 3x1 po
OMZ 2x40 mg iv
28/9/2018 S : nyeri perut +, demam - P : Cefoperazone +
Hari ke-45 O : Ks: CM, Ku: TSS TD: 120/70mmHg, Sulbactam : (2x2gr dalam
perawatan N:114x/mnt, RR:24x/mnt, T: 36,7 C SpO2 NaCl 0,9% 100 ml (hari ke-2)
96%  Metronidazole 3 x 500 mg
Cor : BJ I – II reg, murmur-, gallop- iv
Pulmo : vesikuler ↓/+,rhonki +/+, mengi -/-  IVFD : RL 500 ml/12
Abd : cembung, distensi, NT- jam, Valamin 500 ml/24
VAS 3-4 jam
A : Abses hepar, asites, efusi pleura, MDS  Metil Prednisolon 16-8-0
 HP pro 3x1 po
OMZ 2x40 mg iv

26
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ABSES HATI

Abses hati dibagi menjadi 2, yaitu Abses hati Amoeba (AHA) dan Abses hati Piogenik
(AHP).

3.1.1. ABSES HATI AMUBA

Definisi AHA

Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi debris nekro-inflamatori


purulent di dalam parenkim hati yang disebabkan oleh amuba, terutama entamoeba
hystolitica.

Epidemiologi AHA

Amubiasis terjadi pada 10% dari populasi dunia dan palinh umum di daerah tropis
dan subtropik. Penyakit ini seirng diderita orang muda dan sering pada etnik Hispanik
dewasa (92%). Terjadi 10 kali lebih umum pada pria seperti pada wanita dan jarang terjadi
pada anak-anak. Amebiasis merupakan infeksi tertinggi ketiga penyebab kematian setelah
schistosomiasis dan laria. Daerah endemisnya meliputi Afrika, Asia Tenggara, Meksiko,
Venezuela, dan Kolombia. Insiden abses hati amuba di Amerika Serikat mencapai 0,05%
sedangkan di India dan Mesir mencapai 10%-30% per tahun dengan perbandingan laki-laki
: perempuan sebesar 3: 1 sampai dengan 22 : 1.5

Patogenesis AHA

Selama siklus hidupnya, Entamoeba histolytica dapat berbentuk sebagai


trophozoitatau bentuk kista., setelah meninfeksi, kista amuba melewati saliuran pencernaan
dan menjadi trophozoit di usus besat, trophozoit kemudian melekat ke sel epitel dan
mukosa kolon dengan Gal/ GalNAcd dimana mereka meninvasi mukosa . lesi awalnya
berupa mikroulserasi mukosa caecum, kolon sigmoid dan rectum yang mengeluarkan
eritrosit, sel inflamasi dan sek epitel. Ulserasi yang meluas ke submukosa menghasilkan
ulser khas berbentuk termos (flask-shaped) yang berisi trophozoit dibatas jaringan mati dan
sehat. Organisme dibawa oleh sirkulasi vena portal ke hati, temapat abses dapat

27
berkembang. ENtamoeba histolytica sangat resisten terhadap lisis yang dimediasi
komplemen, oleh karena itu dapat bertahan di aliran darah. Terkadang organisme ini
memgivasi organ selain hati da dapat membuat abses dalam paru-paru dan otak. Pecahnya
abses hati amuba ke dalam pleura, perikard dan ruang peritoneal juga dapat terjadi. Di
dalam hati, E. histolytica mengeluarkan enzim proteolitik yang berfungsi melisiskan
jaringan pejamu. Lesi pada hati berupa “well demarcated abscess” mengandung jaringan
nekrotik dan biasanya mengenai lpbus kaan hati. Respon awal pejamu adalah migrasi sel-
sel PMN. Amuba juga memiliki kemampuan melisiskan PMN dengan enzim
proteolitiknya, sehingga terjadilah destruksi jaringan. Abses hati mengandung debris
aselular, dan tropozoit hanya dapat ditemukan pada tepi lesi.5

Etiologi AHA

Parasit amuba, yang tersering yaitu Entamoeba histolytica.

Siklus Hidup Entamoeba histolytica

Siklus hidup dimulai dari manusia menelan maknan/ minuman yang terkontaminasi
parasite tersebut, di lambung parasite tersebut tercerna, tinggal bentuk kista yang berinti
empat (kista masak) yang tahan terhadap asam lambung masuk ke usus. Disini karena
pengaruh enzyme usus yang bersifat netral dan sedikit alkalis, dinding kista mulai
melunak, ketika kista mencapai bagian bawah ileum atau caecum terjadi excytasi menjadi
empat amoebulae. Amoebulae tersebut bergerak aktif, menginvasi jaringan dan membuat
lesi di usus besar kemudian tumbuh menjadi trophozoit dan mengadakan multiplikasi
disitu, proses ini terutama terjadi di caecum dan sigmoidorectal yang menjadi tempat
habitatnya, dalam pertumbuhannya amoeba ini mengeluarkan enzyme proteolytic dan
melisiskan jaringan di sekitarnya kemudian jaringan yang mati tersebut diabsorpsi dan
dijadikan makanan oleh amoeba tersebut. Amoeba yang menginvasi jaringan menjalar dari
jaringan yang mati ke jaringan yang sehat, dengan jalan ini amoeba dapat memperluas dan
emperdalam lesi yang ditimbulkannya, kemudian menyebar melalui cara percontinuitatum,
hematogen ataupun lymphogen mengadakan metastase ke organ-organ lain dan
menimbulkan amoebiasis di organ-organ tersebut. Metastase tersering adalah di hepar
terutama lewat hematogen.6

Setelah beberapa waktu oleh karena beberapa keadaan, kekuatan invasi dari
parasite menurun juga dengan meningkatnya pertahanan dan toleransi dari host maka lesi

28
mulai mengadakan perbaikan. Untuk meneruskan kelangsungan hidupnya mereka
lalumengadakan encystasi, membentuk kista yang mula-muka berinti satu, membelah
menjadi dua, akhirnya menjadi berinti empat kemudian dikeluarkan bersama-sama tinja
untuk membuat siklus hidup baru bila kista tersebut tertelan oleh manusia.6

Parasit ini mengalami fase pre dan meta dalam daur hidupnya yaitu : Trofozoit –
prekista – kista – metakista – metakista trofozoit. Trofozoit yang mengandung beberapa
nucleus (uni nucleate trofozoit) kadang tinggal di bagian bawah usus halus, tetapi lebih
sering berada di colon dan rectum dari orang atau monyet serta melekat pada mukosa.
Hewan mamalia lain seperti anjing dan kucing juga dapat terinfeksi. Trofozoit yang motil
berukuran 18-30 um bersifat monopodial (satu pseudopodia besar). Cytoplasma yang
terdiri dari endoplasma dan ektoplasma, berisi vakuola makanan termasuk eritrosit,
leukosit, sel epitwl dari hospes dan bakteria. Di dalam usus trofozoit membelah diri secara
asexual. Trofozoit menyusup masuk ke dalam mukosa usus besar di antara sel epitel sambil
mensekresi ezim proteolytik. Di dalam dinidng usus tersebut trofozoit terbawa aliran darah
menuju hati, paru, otak dan organ lain. Hati adalah organ yang paling sering diserang
selain usus. Di dalam hati trofozoit memakan sel parenkim hati sehingga menyebabkan
kerusakan hati. Invasi amoeba selain dalam jaringan usus disebu amoebiasis sekunder atau
ekstra intestinal. Trofozoit dalam intestinal akan berubah bentuk menjadi prekistik.
Bentuknya akan mengecil dan berbentuk spheric dengan ukuran 3,5 – 20 um. Bentuk kista
yang matang mengandung kromatoid untuk menyimpan unsur nutrisi glycogen yang
digunakan sebagai sumber energy. Kista ini adalah bentuk inaktif yang akan keluar melalui
feses. Kista sangat tahan terhadap bahan kimia tertentu. Kista dalam air akan bertahan
sampai 1 bulan, sedangkan dalam feses yang mongering dapat bertahan sampai 12 hari.
Bila air minum atau makanan terkontaminasi oleh kista E. histolytica, kista akan masuk
melalui saluran pencernaan menuju ileum dan terjadi eksitasi, dinding kista robek dan
keuar amoeba “multinucleus metacystik” yang langsung membelah diri mejadi 8
uninucleat trofozoit muda disebut “amoebulae”. Amoebulae bergerak ke usus besar, makan
dan tumbuh dan membelah diri asexual. Multiplikasi (perbanyak diri) dari spesies ini
terjadi dua kali dalam masa hidupnya yaitu : membelah diri dengan “binary fisiion” dalam
usus pada fase trofozoit dan pembelahan nucleus yang diikuti dengan sitokinesis dalam
kista pada fase metakistik.6

29
GEJALA KLINIS AHA

Abses hati amuba lebih sering dikaitan dengan presentasi klinis yang akut
dibandingkan abses piogenik hati. Gejala telah terjadi rata-rata dua minggu pada saat
diagnosis dibuat. Dapat terjadi sebuah periode laten antara infeksi hati usus dan
selanjutnya sampai bertahun – tahun, dan kurang daari 10% pasien melaporkan riwayat
diare berdarah dengan disentri amuba.5

Nyeri perut kanan atas dirasakan pada 75-90% pasien, lebih berat dibandingkan
piogenik terutama di kuadran kanan atas. Kadang nyeri disertai mual, muntah, anoreksia,
penurunan berat badan, kelemahan tubuhn, dan pembesaran hati yang juga terasa nyeri.
Nyeri spontan perut kanan atas disertai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua
tangan diletakan di atasnya merupakan gambaran klinis khas yang sering dijumpai. Dua
puuh persen penderita dengan kecurigaan abses hati amuba mempunyai riwayat penyakit
diare atau disentri. Demam umum terjadi, tetapi mungkin pula polanya intermiten.
Malaise, myalgia, arthralgia umum terjadi. Icterus jarang ditemukan dan bila ada
menandakan prognosis yang buruk. Gejala dan tanda paru dapat terjadi, tetapi pericardial
rub dan peritonitis jarang ditemukan. Kadang-kadang friction rub terdengar di hati.
Gambaran laboratorium mirip dengan yang ditemukan di abses piogenik. Koinfeksi dengan
bakteri pathogen jarang ditemukan. Komplikasi yang jarang terjadi adalah pecah di intra-
peritoneal, intratorakal, dan pericardial serta kegagalan multi organ.5

Diagnosis AHA

Anamnesis dan pemeriksaan fisik memberikan petunjuk penting dalam menegakan


diagnosis. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan yaitu laboratorium, tes
serologi (amuba), kultur darah, kultur cairan aspirasi dan pencitraan (USG dan CT scan).5

Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan temperature, pembesaran hati dan


nyeri tekan. Jaundice cukup jarang didapatkan, tetapi jika didapatkan maka harus diduga
adanya obstruksi traktus biliaris atau sudah terdapat penyakit hati kronik sebelumnya.
Organisme diisolasi dari tinja pada 50% pasien. Aspirasi pada abses amuba harus
dilakukan jika diagnosis masih belum jelas dengan gambaran pasta coklat kemerahan dan
berbau sedikit. Trofozoit hanya didapatkan pada 20% aspirasi. Hasil foto thoraks abnormal

30
didapatkan pada 50-80% pasien dengan gambaran atelectasis paru lobus kanan bawah,
efusi pleura kanan dan kenaikan hemidiafragma kanan.5.7

USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal, karena non invasive dan
sensitivitasnya tinggi (80-90%) untuk mendapatkan lesi hipoechoic dengan internal echoes.
CT scan kontras digunakan terutama untuk mendiagnosis abses yang lebih kecil, dapat
melihat seluruh kavitas peritoneal yang mungkin dapat melihat seluruh kavitas peritoneal
yang mungkin dapat memberikan informasi tentang lesi primer. MRI tidak memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan CT scan, tetapi berguna jika hasil masih
meragukan, diagnosis membutuhkan potongan koronal atau sagittal dan untuk pasien yang
intoleran terhadap kontras. Pencitraan hepar tidak bisa membedakan abses hati amuba
dengan piogenik. Abses amuba umunya menyerang lobus kanan hepar dekat dengan
diafragma dan biasanya tunggal.5,7

Tes serologi yang bisa digunakan melipputi ELISA, indirect hemagglutination,


cellulose acetate precipitin, counterimmunoelectrophoresis, immufluorescent antibody, dan
tes rapid latex agglutination. Hasil tes serologi harus diinterpretasikan dengan klinis pasien
karena kadar serum antibody mungkin masih tinggi selama beberapa tahun setelah
perbaikan atau penyembuhn. Sensivitas tes +/- 95% dan spesifitasnya lebh dari 95%. Hasil
negative palsu mungkin terjadi dalam 10 hari pertama infeksi. Tes berbasis PCR untuk
mendeteksi antigen amuba dan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi antigen amuba pada
serum sudah sering dilakukan pada penelitian.5,7

Sherlock (2002) membuat kriteria diagnosis abses hati amuba :

1. Adanya riwayat berasal dari daerah endemic


2. Pembesaran hati pada laki-laki muda
3. Respons baik terhadap metronidazole
4. Lekositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidak lama dan lekositosis pada
pemeriksaan foto toraks PA dan lateral
5. Ada dugaan amubiasis pada pemeriksaan foto toraks PA dan lateral
6. Pada pemeriksaan scan didapatkan filling abses
7. Tes fluorescen antibody amuba positif

Bila ke-7 kriteria ini dipenuhi maka diagnosis abses hati amuba sudah hamper pasti
ditegakkan.5

31
Diagnosis Banding AHA5

1. kista hepar
2. Keganasan pada hati
3. Abses hati piogenik

Tata Laksana AHA

 Medikamentosa
JIka didapatkan pasien muda yang telah melakukan pejalanan ke daerah
endemic, pada pencitraan didapatkan lesi tunggal, pasien tidak terlihat toksis,
dengan dugaan kuat abses amuba, maka pemeriksaan feses harus dilakukan untuk
mencari kista dan trofozoit amuba dan serum harus diperiksa antiboik E.
Histolitica.5
Terapi dimulai dengan Mtronidazole 3x750 mg per oral selama 7-10 hari
atau Nitoimidazole kerja panjang (Tinidazole 2 gram PO dan Ornidazole 2 gram
PO) dilaporkan efektif sebagai terapi dosis tunggal. Terapi kemudian dilanjutkan
dengan preparat luminal amubisida untuk eradikasi kista dan mencegah transmisi
lebih lanjut, yaitu : Iodoquinol 3x650 mg selama 20 hari, Diloxanide furoate 3x500
mg selama 10 hari, Aminosidine (Paromomcin 25-35 mg.kg per hari TID selama 7-
10 hari). Lebih dari 90% pasien mengalami respons yang dramatis dengan terapi
Metronidazole, baik berupa penurunan nyeri maupun demam dalam 72 jam.5,7
Paromomycin 25-35 mg/kg/hari PO terbagi dalam 3 dosis selama 7 hari
atau lini kedua Diloksanide furoate 3x500 mg PO selama 10 hari. Emetine dan
Chloroquine dapat digunakan sebagai terapi alternative, tetapi sebaiknya dihindari
sebisa mungkin karena efek kardiovaskular dan gastrointestinal, selain karena
tingginya angka relaps. Chloroquine phosphate 1000 mg (Chloroquine base 600
mg) diberikan oral selama 2 hari dan dilanjutkan dengan 500 mg (Chloroquine base
300 mg) diberikan oral selama 2-3 minggi, perbaikan klinis diharapkan dalam 3
hari.5
 Aspirasi Jarum Perkutan
Indikasi aspirasi jarum perkutan diantaranya adalah risiko tinggi untuk
terjadinya rupture abses yang didefinisikan dengan ukuran kavitas lebih dari 5 cm,
abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan mortalitas tinggi dan frekuensi
tinggi bocor ke peritoneum atau pericardium, tidak ada respon klinis terhadap terapi

32
dalam 3-5 hari, dan untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik, khususnya
pasien dengan lesi multiple.5
 Drainase Secara Operasi
Tindakan ini sekarang jarang dikerjakan kecuali pada kasus tertentu seperti
abses dengan ancaman rupture atau secara teknis susah dicapai atau gagal dengan
aspirasi biasa/drainase perkutan.5
 Reseksi Hati
Pada abses hati piogenik multiple kadang diperlukan reseksi hati. Indikasi
spesifik jika didapatkan abses hati dengan karbunkel (liver carbuncle) dan disertai
dengan hepatolitiasis, terutama pada lobus kiri hati.
Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal
Indonesia) di Surabaya pada tahun 1996 :
o abses hati dengan diameter 1-5 cm : terapi medikamentosa, bila respon
negative dilakukan aspirasi
o abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang
o abses hati dengan diameter >/= 8 cm : drainase per kutan5

Komplikasi AHA

Tanpa terapi, abses akan membesar, meluas ke diafragma atau rupture ke kavitas
peritoneal. Pertama rupture abses ke dalam yaitu region toraks yang akan menyebabkan
fistula hepatbronkial, abses paru, empyema ameba (20-30&). Kedua infeksi sekunder
(biasanya bersifat iatrogenic setelah tindakan aspirasi). Ketiga komplikasi lain yang jarang
yaitu gagal hati fulminant, hemobilia, obstruksi vena kava inferior, sindrom budd-chairi,
abses cerebri (penyebaran hematogen).5

Pencegahan AHA

Infeksi Amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau air yang tercemar
dengan kista. Karena pembawa asimtomatik dapat mengeluarkan hingga 15 juta kista per
hari, pencegahan infeksi membutuhkan sanitasi yang memadai dan pemberantasan
pembawa kista. Pada daerah beresiko tinggi, infeksi dapat mdiminimalkan dengan
menghindari konsumsi buah dan sayuran yang tidak dikupas dan penggunaan air kemasan.
Karena kista tahan terhadap klor, desinfeksi oleh iodine dianjurkan. Sampai saat ini tidak
ada profilaksis yang efektif.5

33
Prognosis AHA

Abses hati amuba merupaka penyakit yang sangat “treatable”. Angka kematiannya
<1% bila anpa penyulit. Penegakan diagnosis yang terlambat dapat memberikan penyulit
abses rupture sehingga meningkatkan angka kematian. Rupture dapat ke dalam peritoneum
dengan angka kematian 20% dan rupture ke dalam pericardium dengan angka kematian 32-
100%.5

3.1.2. ABSES HATI PIOGENIK

Definisi AHP

Abses hati piogensik adalah proses supuratif yang terjadi pada jaringan hati yang
disebabkan oleh invasi bakteri melalui aliran darah, system bilier maupun penetrasi

Epidemiologi AHP

Sekitar 48% kasus abses visceral adalah AHP dan merupakan 13& dari keseluruhan
kasus abses intra abdominal. Media umur adalah 44 tahun, tidak terdapat perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Data menunjukan Taiwan memiliki insidensi tertinggi yaitu 17,6
kasus per 100.000 penduduk. Stiap tahun, 7-20 per 100.000 penduduk. Setiap tahun 7-20
per 100.000 kasus AHP dirawat di rumah sakit. Pada otopsi, didapatkan 0,290,4% kasus
HP. Hamper 50% kasus merupakan abses multiple. Pada abses tunggal 75% terletak di
lobus kanan, 20% di lobus kiri, dan 5% pada kauda. Faktorb risikob terjadinya AHP adalah
diabetes (DM), adanya penyakit dasar pada organ hepatobilier dan pancreas, serta
tansplantasi hati. Sekitar 15-25% kasus AHP terjadi pada pasien dengan DM. 7% pada
pasien dnengan bakteriemiaa pportal, dan sekitar 50-60% dengan obstruksi bilier.8

PATOGENESIS AHP

Infeksi menyebar ke hati mellui aliran vena porta, arteri, saluran empedu, ataupun
infeksi secara langsung melalui penetrasi jaringan dari focus infeksi yang berdekatan.
Sebelum era antibiotika, penyebab trersering adalah apendisitis dan pileflebitis (thrombosis
supuratif pada vena porta). Saat iini infeksi yang berasal dari system bilier merupakan
penyebab terbanyak terjadinya AHP diikuti oleh abses kriptogenik. Abses hati piogenik
dapat juuga merupakan komplikasi lanjutan dari tindakan endoscopic sphincterotomy

34
untuk mengatasi batu saluran empedu, ataupun komplikas lanjut yang terjai 3 sampai 6
mminggu setelah dilakukan bilitary-intertinal anastomosis. Di asia timur dan asia tenggara,
AHP dapat merupakan komplikasi dari kolangitis yang berulang, pembentukan batu
intrahepatic, ataupun adanya infeksi parasite pada system bilier.8

Etiologi AHP

Kebanyakan AHP Merupakan akibat infeksi dari tempat lain, dimana sumber
infeksi umumnya berasal dari infeksi organ intraabdomen lain. Kolangitis yang disebabkan
oleh batu maupun striktur merupakan penyebab tersering. (Tabel 1). Terdapat 15% kaus
APH yang sumber infeksinya tidak diketahui (abses keiptogenik).8

Tabel 1. Sumber infeksi dan penyebab AHP

Saluran empedu Penyebaran langsung

Batu empedu Empiema kandung empedu

Kolangiokarsinoma Perforasi ulkus peptikum

Striktur Abses subfrenik

Vena porta Trauma

Apendisitis Iatrogenik

Divertikulitis Biopsi hati

Penyakit Crohn Blovked biliary stent

Arteri hepatika Kriptogenik

Infeksi gigi Kista hati terinfeki

Endokarditis bacterial

35
Dengan menggunakan teknik isolasi kuman anaerobic yang ketat, saat ini
ditemukan 45-47% AHP disebabkan oleh bakteri anaerobic ataupun infeksi campuran
bakteri aerobic dan anaerobic. Bacteroides dan Fusobacterium merupakan bakteri
anaerobic penyebab AHP terbanyak. Infeksi polimikrobial umumnya disebabkan oleh
bakteri anaerobic. Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia (Tabel 2) merupakan kuman
yang paling banyak diisolasi pada kelompok bakteri aerobic gram negative. Klebsiella
terutama ditemukan pada pasien AHP dengan DM dan intoleransi glukosa. Pada kelompok
bakteri gram positif, staphylococci merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada
infeksi monomiktrobial, streptococci dan enterococci paling sering ditemukan pada infeksi
polimikrobial. Pada suatu studi besar, ditemukan S.aureus dan Streptococcus β-
hemolyticus merupakan grup D, K. pneumonia, dan Clostridium sp. Berhubungan dengan
penyakit kolon.8

Tabel 2. Mikrobal Patogen pada AHP

Bakteri aerobic gram negative Bakteri aerobik gram positif

Escherichia coli Viridans streptococci

Klebsiella pneumonia Staphylococcus aureus

Pseudomonas aeruginosa

Proteus sp. Enterococcus sp.

Enterobacter sp. Beta-hemolytic streptococci

Citrobacter freundii

Morganella sp. Streptococcus pneumonia

Serratia sp. Listeria monocytogenes

Haemophilus sp.

Legionella pneumophila Bakteri anaerobik

Yersinia sp. Anaerobic streptococci

36
Bacteroides sp. Sphaerophorus sp.

Fusobacterium sp. Capnocytophaga sp. (facultatively


anaerobic)
Peptostreptococcus sp.
Bakteri mikroaerofilik
Prevotella sp.
Streptococcus milleri group
Actinomyces
Lain-lain
Eubacterium
Mycobacterium sp.
Propionibacterium acnes
CHhlamydia sp.
Clostridium sp.
Candida sp.
Lactobacillus sp.
Cryptococcus sp.
Peptococcus sp.
Verticillium sp.
Eubacterium sp.

Catatan: cetak tebal ditemukan pada >5% kasus

Sumber: Albrecht H. Bacterial and miscellaneous infections of the


liver.In:BoyerTD,Manns MP, Sanyal AJ, Eds. Zakim&Boyer’s hepatology: a textbook of
liver disease. 6th ed. Philadelphia: Saunders ELSEVIER; 2012.

Gejala Klinis AHP

Gambaran klinis klasik AHP adalah demam dan nyeri perut kanan atas. Demamam
tinggi yang naik turun disertai menggigil merupakan keluhan terbanyak. Nyeri perut kanan
atas biasanya menetap dan dapat menyebar kebahu kaan. Kebanyakan pasien mengalami
keadaan ini kurang dari 2 minggu, sebelum pergi berobat. Gejala tidak khas lainnya
meliputi keringat malam, muntah, anoreksia, kelemahan umum, dan penurunan berat
badan. Sekitar 1/3 kasus disertai dengan diare dan ¼ kasus mengeluhkan adanya batuk yang
tidak produktif. Pasien juga mungkin datang dengan keluhan pada sumber infeksi
primernya, misalnya apendisitis atau diverticulitis, sebelum gejala AHP berkembang.8

37
Onset penyakit biasanya terjadi akut. Onset yang tersamar dapat terjadi pada orang
tua. Onset pada abses tunggal biasanya gradual dan umumnya merupakan abses
kriptogenik. Gambaran klinis pada abses multiple biasanya menunjukkan gambaran akut
dan biasanya penyebab primernya diketahui.8

Pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran hati disertai nyeri pada kuardan kanan
atas. Ikterik dijumpai apabila penyakit telah lanjut. Beberapa pasien tidak mengeluhkan
adanya nyeri perut kuadran kanan atas ataupun tidak didapatkan hepatomegaly, biasanya
gambaran klinis menunjukkan fever of unknown origin (FUO). Adanya kelainan pada paru
kanan berupa pekak pada perkusi dan penurunan suara napas dijumpai apabila proses
penyakit terjadi pada segmen superior lobus kanan. Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan
kelainan pada sekitar 20-30% kasus. Anemia dan dehidrasi juga merupakan tanda fisik
yang sering ditemukan.8

Diagnosis AHP

Pemeriksaan Pencitraan

Saat ini, pemeriksaan pencitraan merupakan modalitas penting untuk menegakkan


diagnosis AHP. Adanya temuan klinis meliputi demam, nyeri perut kanan atas, serta
pembesaran hati yang disertai nyeri tekan, menjadi alasan untuk pemeriksaan pencitraan
lebih lanjut, meliputi pemeriksaan ultrasonografi (USG) computerized tomography scan
(CT scan), serta magnetic resonance imaging (MRI). Pemeriksaan pencitraan dapat
membedakan AHP dari kolesistis, obstruksi saluran empedu, maupun pankreatitis.
Penggunaan zat kontras technetium 99m-sulfur colloid sebelum pemeriksaan USG dan CT
sensitive untuk mengetahui adanya lesi dengan ukuran <3cm, serta dapat memprediksi
lokalisasi untuk dilakukan aspirasi perkutaneus maupun drainase.7,8

Pemeriksaan USG memperlihatkan adanya lesihipoekoik, kadang-kadang dapat


ditemukan internal eko. Namun demikian, lesi yang terletak pada bagian atas lobus kanan
sulit untuk diidentifikasi. Gambaran AHP dengan CT menunjukkan gambaran lesi densitas
rendah, penggunaan kontras memperlihatkan peripheral enchancement. Pemeriksaan CT
juga dapat menunjukkan sumber infeksi ekstrahepatik dari AHP, misalnya misalnya
apendisitis ataupun diverticulitis. Walaupun pemeriksaan CT dan USG dapat membedakan
abses dari obstruksi aluran empedu, namun tidak dapat membedakan AHP dari abses hati

38
amebik (AHA). Pemeriksaan dengan MRI, walaupun masih sedikit digunakan, lebih
sensitif untuk menentukan AHP.7,8

Kebanyakan abses, baik AHP maupun AHA, terletak pada lobus kanan. Adanya
abses multipel sangat mencurigakan suatu AHP. Tumor hati yang telah mengalami
nekrosis serta infeksi sekunder, seringkali memberikan gambaran USG seperti AHP.
Pemeriksaan rontgen dada dapat ditemukan adanya elevasi hemidiafragma kanan serta
atelektasis.7,8

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium didapati kelainan meliputi anemia ringan, lekositosis
dengan netrofilia, serta peningkatan laju endap darah. Dapat juga ditemukan perubahan
fungsi hati, yaitu peningkatan kadar serum alkali fosfatase.8
Adanya antibodi antiamubik penting untuk membedakan AHA dari AHP. Lebih
dari 90% pasien dengan AHA mempunyai antibodi antiamubik titer tinggi tert adap
Entamoeba histolytica. Elemen kunci untuk diagnosis AHP adalah ditemukannya agen
penyebab, baik melalui kultur darah, maupun kultur pus dari aspirasi abses. Kultur darah
positit pada 50% kasus. Pada aspirasi abses, spesimen yang berasal dari AHP berwarna
kekuningan ataupun kehijauan serta berbau busuk. Spesimen yang berasal dari AHA
berwarna merah kecoklatan. Dengan pengecatan gram, pada AHA ditandai dengan adanya
netrofil tanpa bakteri, kecuali bila telah terjadi infeksi sekunder. Sementara pada AHP,
selalu terdapat bakteri.8

Penatalaksanaan AHP

Medikamentosa
Sebelum terdapat hasil kultur, diberikan antibiotika spektrum luas. Ampisilin dan
aminoglikosida diberikan bila sumber infeksi terdapat pada saluran empedu. Sefalosporin
generasi ketiga merupakan pilihan apabila sumber infeksi berasal dari usus. Metronidazol
diberikan pada semua AHP dengan berbagai sumber infeksi untuk mengatasi infeksi
anaerobik. Regimen pilihan lain adalah kombinasi beta laktam dan penghambat aktivitas
beta laktamase yang diberikan untuk AHP dengan sumber infeksi dari usus, dimana
kombinasi ini juga dapat mengatasi infeksi anaerobik. Bila telah terdapat hasil kultur,
antibiotika disesuaikan dengan kuman yang spesifik. Antibiotika intravena diberikan

39
sedikitnya selama 2 minggu, dilanjutkan dengan antibiotika oral selama 6 minggu. Apabila
infeksi disebabkan oleh streptococcus, pemberian antibiotika oral dosis tinggi disarankan
selama lebih dari 6 minggu.7,8

Non Medikamentosa
Drainase perkutaneus.
Drainase perkutaneus dilakukan engan tuntunan USG pada abses berukuran >5 cm,
enggunakan indwelling drainage catheter. Pada abses multipel, hanya abses berukuran
besar yang perlu ntuk diaspirasi. Abses kecil cukup dengan penggunaan antibiotika.8
Drainase dengan pembedahan.
Drainase dengan pembedahan dilakukan pada AHP yang mengalami kegagalan
setelah dilakukan drainase perkutaneus, ikterik yang tidak sembuh, penurunan fungsi
ginjal, serta pada abses multilokuler. Saat ini drainase dengan pembedahan dilakukan
dengan laparoskopik. 8

Komplikasi AHP
Komplikasi yang dapat terjadi seperti ruptur, penyebaran infeksi ke organ sekitar
terutama ke pleura (efusi pleura, empiema) dan paru. Komplikasi lain berupa efusi
perikardial, istula torakal dan abdominal, sepsis, serta trombosis. Trombosis dapat terjadi
pada vena porta maupun vena epatika disebabkan karena infeksi bakteri anaerobik.
Trombosis dapat menyebabkan hipertensi portal ataupun sindroma Bud-Chiari meskipun
penanganan abses telah berhasil. Pasien dengan abses yang besar sangat mudah mengalami
sepsis. 8

Pencegahan AHP
Pencegahan terbaik adalah dengan mengetahui sedini mungkin sumber-sumber
infeksi yang dapat menyebabkan AHP, diikuti dengan penanganan yang tepat.8

Prognosis AHP
Dengan diagnosis yang cepat disertai penggunaan antibiotika pada tahap dini dan
drainase p angka kematian karena AHP telah jauh menurun. Angka kematian pada negara
maju sekitar 2-12 % . Faktor utama penyebab kematian adalah pembedahan dengan
drainase terbuka, keganasan, serta infeksi dari kuman anaerobik.8

40
Prognosis baik dengan harapan hidup lebih dari 90% bila abses tunggal dan terletak
pada lobus kanan. Namun, kematian dapat mencapai 100% pada AHP yang tidak diterapi.
Angka kematian tinggi juga disebabkan oleh infeksi polimikrobial, abses multipel terutama
dengan sumber infeksi pada sistem bilier, adanya disfungsi multiorgan, keganasan,
hiperbilirubinemia hipoalbuminemia, adanya komplikasi efusi pleura terutama pada orang
tua, serta sepsis.8

3.2 ASITES

Definisi Asites
Asites adalah penimbunan/akumulasi cairan (biasanya cairan serosa yang
merupakan cairan berwarna kuning pucat dan jelas) secara abnormal di rongga peritoneum
yang dapat disebabkan oleh banyak penyakit.8 Asites paling sering dijumpai pada pada
pasien sirosis, sekitar 50% pasien sirosis hati mengalami asites dalam waktu 10 tahun sejak
awal mula perjalanan penyakit.5Asites hanya terjadi ketika hipertensi porta telah
berkembang dan berkaitan dengan ketidakmampuan mengeluarkan sodium yang cukup
dalam urin.13,14 Pada sirosis, dikatikan dengan disfungsi sirkulasi yang ditandai oleh
vasodilatasi arteri, peningkatan curah jantung, dan stimulasi sistem vasoaktif.9 Pada
dasarnya penimbunan cairan dapat terjadi melalui 2 mekanisme dasar yaitu transudasi dan
eksudasi.9

Patogenesis Asites
Terdapat 2 kata kunci yang menyebabkan asites yaitu hipertensi porta dan retensi
air dan garam. Penimbunan cairan asites merupakan perncerminan dari keadaan kelebihan
air dan natrium total dalam tubuh, tetapi peristiwa yang mencetuskan ketidakseimbangan
ini masih belum jelas. Terdapat 3 teori yang menerangkan patofisiologi asites yaitu teori
underfilling, overfilling dan feriferal vasodilatation. Teori underfilling atau penurunan
volume intravasular yang dimulai dari volume cairan plasma yang menurun akibat
hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan
hidrostatik venosa ditambah hipoalbuminemiaakan menyebabkan transudasi, sehingga
volume cairan intravaskular menurun. Ketika volume cairan intravaskular menurun maka
ginjal akan bereaksi dengan melalukan reabsorbsi air dan garam melalui mekanisme
neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila volume cairan intrvaskular menurun.
Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma akibat

41
reabsorbsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan aktifitas hormon
anti diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormon antineuretik karena penurunan fungsi
hati. Teori vasodilatasi perifer yaitu hipertensi porta yang sering disebut sebagai faktor
lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut faktor sistemik, akibat vasokonstriksi
dan fibrotisasi sinosoid terjadi peningkatan resistensi sistem porta dan terjadi hipertensi
porta yang diimbangi dengan vasodilatasi splanchinc bed oleh vasodilator endogen.
Peningkatan resistensi sistem porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat
splanchinc bed akan menyebabkan hipertensi porta yang menetap, tekanan transudasi
terutama sinusoid dan selanjutnya kapiler usus, lalu transudasi tersebut akan mengumpul di
rongga peritoneum. Vasodilator yang diduga berperan antara lain glukagon, nitrit oxide,
calcitonine gene releted peptide, endotelin, faktor natriuretik atrial, polipeptida vasoaktif
intestinal, substansi P, prostaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor. Vasodilator
endogen akan mempengaruhi sirkulasi sistemik dimana akan terjadi vasodilatasi perifer,
tubuh akan bereaki dengan meningkatkan sistem saraf simpatis, renin angiotensin
aldosteron dan arginin vasopresin sehingga yang terjadi adalah peningkatan reabsorbsi air
dan garam oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.9
Faktor-faktor lain yang ikut berperan menyebabkan penimbunan cairan dalam
rongga abdomen yaitu peningkatan epinefrin dan norepinefrin. Pada pasien sirosis hati
dengan asites ditemukan peningkatan impuls simpatetik sentral tetapi hal ini tidak terjadi
pada pasien yang hanya menderita sirosis, hal ini akan menyebabkan natriuresis berkurang
melalui pengaktifan renin angiotensin dan hilangnya kepekaan atrium terhadap peptida
natriuretik. Hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik plasma juga akan
memudahkan ekstravasasi cairan dari plasma menuju rongga peritoneum, sehingga asites
jarang terjadi pada pasien sirosis kecuali bila terdapat hipertensi porta atau
hipoalbuminemia. Cairan limfe merembes bebas dari permukaan hati yang sirotik akibat
distorsi dan sumbatan sinusoid-sinusoid dan saluran limfe hati dan ikut membentuk asites.9
Berlainan dengan kontribusi cairan transudatif dari jaringan vaskular portal, cairan
limfe hati juga dapat merembes ke dalam rongga peritoneum walaupun tidak terjadi
hipoproteinemia berat karena dinding endotel sinusoid hati tidak bersifat kontinyu,
mekanisme inilah yang menyebabkan konsentrasi protein tinggi pada beberapa pasien
sindroma Budd-Chiari. Faktor ginjal juga berperan penting dalam percepatan asites, pasien
asites tidak dapat mengekskresikan beban air dengan cara normal. Pasien tersebut
mengalami peningkatan reabsorbsi natrium ginjal.9

42
Gejala Klinis Asites
Pertama kali biasanya pasien mengeluh terjadinya peningkatan lingkar perut.
Penimbunan cairan yang lebih banyak akan menimbulkan sesak nafas karena diagfragma
terangkat. Jika cairan peritoneum lebih dari 500 ml, asites dapat diketahui melalui
pemeriksaan fisik yaitu ditemukannya shifting dullnes, gelombang cairan, atau pinggang
yang menonjol. Pemeriksaan USG, sebaiknya dengan doppler karena dapat mendeteksi
cairan asites dalam jumlah yang lebih sedikit dan harus dilakukan bila pemeriksaan fisik
tidak jelas atau penyebab awitan asites tidak diketahui (menyingkirkan sindrom Budd-
Chiari atau trombosis vena porta).9

Diagnosis Asites
Asites lanjut akan lebih mudah dikenali, pada saat inspeksi akan tampak perut
membuncit seperti perut katak, umbilicus seakan bergerak ke kaudal mendekati simpisis os
pubis. Sering ditemukan hernia umbilicalis akibat tekanan intraabdomen yang meningkat.
Perkusi pekak dan terjadi shifting dullness. Jika asites masih kecil yang belum
menunjukkan tanda-tanda fisik yang nyata maka diperlukan cara khusus misalnya pudle
sign. Pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan informasi adalah USG yang
digunakan untuk menegakkan asites karena USG memiliki angka ketelitian tinggi.
Parasintesis diagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap pasien baru. Pada pemeriksaan
cairan asites dapat memberikan informasi yang dapat digunakann untuk pengelolaan
selanjutnya misalkan:,9
1. Gambaran secara makroskopis cairan asites hemoragik yang dihubungkan dengan
keganasan, warna kemerahan dapat juga dijumpai pada asites karena sirosis hati
akibat rupture kapiler peritoneum. Chilous asites merupakan tanda ruptur pembuluh
limfe, sehingga cairan limfe tumpah ke peritoneum.9
2. Gradien nilai albumin serum dan asites (serum-asites albumine gradient).
Pemerikaan ini sangat penting untuk membedakan asites yang ada hubungannya
dengan hipertensi porta atau asites eksudat. Disepakati bahwa gradient dikatakan
tinggi bila nilainya >1,1 gram/dl jika kurang dari itu disebut rendah. Gradient tinggi
terdapat pada asites transudasi berhubungan dengan hipertensi porta dan biasanya
responsif terhadap pembatasan garam serta diuretika sedangkan nilai gradient
rendah lebih sering pada asites eksudat.13Konsentrasi protein asites kadang-kadang
dapat menunjukkan asal asites. Jika protein asites <3 gram/dl lebih sering pada
asites transudat dan >3 gram/dl lebih sering pada asites eksudat. Jika ditemukan

43
konsentrasi protein < 15 g/dl memiliki risiko untuk menjadi spontaneous bacterial
peritonitis.9

Tabel 3. Klasifikasi asites berdasarkan SAAG9

3. Hitung sel dimana terjadi peningkatan leukosit menunjukkan proses inflamasi.


Untuk menilai asal infeksi lebih tepat jika menggunakan hitung jenis sel. Sel PMN
yang meningkat lebih dari 250/mm3 menunjukkan peritonitis bakteri spontan,
sedangkan jika MN lebih meningkat pada peritonitis tuberkulosis atau
karsinomatosis.9
4. Biakan kuman sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicuriga infeksi. Pada asites
yang terinfeksi akibat perforasi usus akan menghasilkan polimikroba sedangkan
perittonitis bakteri spontan monomikroba.9
5. Pemeriksaan sitologi pada kasus-kasus karsinomasitosis peritoneum jika dilakukan
dengan cara yang baik akan memberikan hasil true positive hampir 100%.9
Grade Asites
- Derajat I : Asites dalam jumlah sangat kecil yang hanya dapat terdeteksi
melalui USG dan tidak diberikan terapi.9
- Derajat II : Asites yang terlihat sebagai distensi abdomen yang tampak
simetris, diperlukan terapi untuk mencegah retensi natrium oleh ginjal dengan
mengurangi asupan natrium dan meningkatkan ekskresi natrium ginjal dengan
pemberian diuretik. Pembatasan asupan garam 80-120 mmol/hari atau 4,6-6,9
g/hari. Terapi diuretik dimulai dengan spironolacton mulai 100 mg/hari dan
meningkat setiap 7 hari, maksium 400 mg/hari jika tidak ada respon. Resepon
diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan >2 kg/ minggu. Jika terjadi
44
hiperkalemia dan pengurangan berat badan <2 kg/minggu maka harus ditambahkan
dengan furosemid dosis bertahap 40 mg/hari maksimum 160 mg/hari. Jika pasien
dengan asites berulang harus diobati dengan kombinasi spironolacton dan
furosemid, dosis harus ditingkatkan secara berurutan. Penurunan berat badan
maksimal yang disarankan selama terapi 0,5 kg/hari pada pasien edema dan 1
kg/hari pada pasien dengan edema. Tujuan pengobatan jangka panjang pemberian
diuretik untuk mempertahakan pasien bebas dari asites. Diuretik
dikontraindikasikan pada pasien dengan ensefalopati hepatikum. Diuretik harus
dihentikan jika terjadi hiponatremi <120 mmol/L, gagal ginjal, perburukan
encepalopati hati, kram otot. Furosemid harus dihentikan jika terjadi hipoksemia <3
mmol/L, antagonis aldosteron (spironolakton) harus dihentikan jika terjadi
hiperkalemia berat ( >6 mmol/L).9,10
- Derajat III : Asites dalam jumlah besar hingga menimbulkan distensi abdomen
yang sangat nyata. Terapi Large Volume Paracentesis (LVP) adalah terapi lini
pertama pada pasien asites besar. LVP harus dilakukan bersama dengen pemberian
albumin untuk mencegah disfungsi sirkulasi. Pada pasien yang menjalani LVP
lebih dari 5 liter lalu menggunakan plasma expander selain albumin tidak
dianjurkan karena kurang efektif dalam mencegah disfungsi sirkulasi. Setelah LVP
pasien harus menerima dosis minimum diuretik untuk mencegah kembali
akumulasi cairan.9

3.2.5 Asites Refrakter


Asites refrakter didefinisikan sebagai kelebihan cairan yang (1) tidak
responsif terhadap diet sodium-terbatas dan pengobatan diuretika dosis-tinggi
(spironolakton 400 mg/hari dan furosemide 160 mg/hari) atau (2) kambuh dengan cepat
sesudah parasentesis terapeutik.Kriteria diagnosis dapat dilihat pada tabel dibawah.9

45
Tabel 4. definisi dan kriteria diagnosis asites refrakter9

Inhibitor prostaglandin misalnya NSAID dapat mengurangi ekskresi sodium urin


pada pasien-pasien penderita sirosis dan dapat menginduksi azotemia. Obat-obat ini dapat
mengubah pasien dari sensitif terhadap diuretika menjadi refrakter dan harus dihindari
pada keadaan ini.9 Kegagalan terapi diuretika dapat dimanifestasikan sebagai (1) minimal
sampai tidak ada penurunan berat badan bersama-sama dengan ekskresi sodium urin yang
tidak adekuat (< 78 mmol/hari) meskipun terdapat diuretika atau (2) timbulnya komplikasi
dari diuretika yang signifikan secara klinik, misalnya ensefalopati, kreatinin serum > 2,0
mg/dL, sodium serum < 120 mmol/L, atau potasium serum > 6,0 mmol/L. Uji-klinik yang
dirandom telah memperlihatkan bahwa lebih sedikit dari 10% pasien penderita sirosis dan
asites bersifat refrakter terhadap terapi medis standar.9
Metode terapi asites refrakter dengan LVP disertai pemberian albumin (8 g/L setiap
cairan asites yang dikeluarkan), diuretik tetap dilanjutkan jika eksresi natrium urin >30
mmol/hari atau jika efektif dalam menginduksi natriuresis, insersi intrahepatik
transjugular portosystemic shunt (TIPS) harus dipertimbangkan pada pasien yang sangat
sering melakukan LVP atau parasintesis yang tidak efektif (terdapat asites localized), TIPS
juga tidak direkomendasikan pada pasien dengan (bilirubin > 5 mg/dl, INR >2 atau skor
child-pugh >11, encepalopaty hati rekuren, gagal ginjal progresif penyakit kardiopumoner
berat), dan transplantasi hati.9

46
3.2.6 Komplikasi
- Hernia umbilikal yaitu peningkatan ukuran umbilikus. Hernia dapat kambuh
kembali meskipun telah dilakukan operasi kecuali asites dapat dikendalikan.9
- Efusi pleura terutama disisi kanan karena cairan melalui lubang kecil dibagian
diagfragma.
- Spontaneus bacterial peritonitis (SBP) adalah infeksi monobakteri pada cairan
asites tanpa adanya sumber infeksi yang berdekatan.10,14 Sebagian besar kasus
terjadi pada pasien dengan asites karena sirosis. Risiko SBP sekitar 15% dalam 3
tahun pertama setelah onset asites. Terjadinya SBP diduga terjadi karena
bakteremia yang berkepanjangan karena gangguan mekanisme pertahanan tubuh
dan penurunan aktivitas bakterisida dalam cairan asites. Aktivitas bakterisida
bergantung pada total protein dalam cairan, berdasarkan hasil penelitian bahwa
SBP lebih mungkin berkembang pada pasien dengan konsentrasi protein < 1g/dl
daripada pasien dengan konsentrasi protein >2g/dl. Gejala dari SBP biasanya
asimptomatik, tetapi umumnya adalah demam menggigil dan sakit perut tetapi
pasien bisa menunjukkan gejala hipotensi atau ensefalopati hati. Untuk diagnosis
dibutuhkan analisa cairan asites ditemukan peningkatan jumlah neutrofil > 250
sel/mm tanpa adanya sumber infeksi intra abdominal serta kultur cairan asites
ditemukn sel PMN >250 sel/mm.13,14Pemberian terapi sefotaxim selama 5 hari yang
merupakan golongan cephalosporin generasi ketiga merupakan terapi terbaik untuk
mengobati SBP, pemberian aminoglikosida harus dihindari karena berisiko
nefrotoksis pada pasien sirosis.9,10

47
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pada kasus pasien adalah seorang tentara berusia 22 tahun yang pernah menetap
didaerah Bayuwangi, Jawa Timur untuk melakukan pendidikan 1 tahun yang lalu. Pasien
memilihi keluhan nyeri perut kanan atas, disertai demam hilang timbul, mual, muntah,
lemas, sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga ada riwayat perdarahan
dari hidung dan BAB nya warna hitam serta urin berwarna pekat seperti teh.
Berdasarkan dari anamnesis dapat diketahui keluhan pasien menetap bahkan semakin berat
seperti nyeri perut, mual, muntah, dan perut dirasakan semakin membesar, sesak juga
dirasakan da nada nyeri dada yang hilang timbul, namun rasa berdebar disangkal. Sesuai
kepustakaan, keluhan yang ditimbulkan oleh abses hepar sesuai dengan gejala klinis
pasien. Sherlock membuat kriteria diagnosis abses hati amuba diantaranya adanya riwayat
berasal dari daerah endemic, pembesaran hati pada laki-laki muda, respons baik terhadap
metronidazole, lekositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidak lama dan lekositosis
pada pemeriksaan foto toraks PA dan lateral, ada dugaan amubiasis pada pemeriksaan foto
toraks PA dan ateral, pada pemeriksaan scan didapatkan filling abses, tes fluorescen
antibody amuba positif. Dari gejala klinis pasien susuai dengan gejala abses hati amuba

Pasien sudah diberikan terapi Metronidazole dan antibiotic spketrum luas dan
belum memberikan respon yang baik dalam waktu beberapa hari. Pasien sudah dilakukan
pungsi abses namun belu dilakukan serologi amuba sehingga belum dapat dinyatakan
etiologi dari penyakit abses hepar tersebut. Dari warna cairan saat pungsi abses terlihat
warna kuning kehijauan, yang menunjukan warna abses hati piogenik, namun tetap Goal
standart yang harus dilakukan adalah serologi amuba. Dan sesuai tinjauan pustaka, untuk
menyingkirkan diagnosis banding dari abses hati yaitu keganasan bisa dianjurkan
pemeriksaan biopsy hati.

48
BAB V

KESIMPULAN

Kasus yang dibahas dalam makalah ini berawal dari keluhan nyeri perut kanan atas,
sering kali ditemukan pada pasien terutama di pelayanan kesehatan tingkat 1 sebagai
dokter umum. Keluhan nyeri perut kanan atas, menjalar ke ulu hati dan bahu kanan,
disertai demam dan diare disebabkan oleh berbagai etiologi dan diklasifikasikan
berdasarkan berbagai causa. Dengan anamnesis yang dilakukan secara runtun, lengkap,
dan mementingkan beberapa ‘kunci’ utama dalam anamnesis pasien keluhan nyeri perut
dan demam seperti progresifitas penyakit, keterlibatan nyeri tekan pada perut kanan atas
dan riwayat ke daerah endemis dan hidenisitas diri dan sering makan sembarangan
diharapkan dapat mengerucutkan diagnosis banding yang ada. Pada pasien ini, keluhan
nyeri perut kanan atas, demam, mual muntah, diare dan pernah mimisan dan BAB darah
kemudian warna urin yang pekat seperti teh progresif, selama kurang lebih 1 bulan. Untuk
penegakan diagnosis sesuai standar emas, diperlukan pemeriksaan penunjang berupa USG
dan CT abdomen kontras. Dengan melakukan pemeriksaan fisikdan penunjang yang
terarah kita dapat mengetahui penyakit yang ada pada pasien sehingga dapat dilakukan
tatalaksana yang sesuai dengan penyakit yaitu asites et causa Abses Hepar dengan tidak
melupakan status gizi sehingga asupan nutrisi pasien cukup.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC. 2014. h.
669-671.
2. Sulaiman, Akbar, Lesmana. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta: Jayabadi.
2007Hal 127.
3. Reed SL. Amebiasis and infection with free living amebiasis. In Kasper DL, Fauci
AS, Longo DL, et all, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New
York: McGraw-Hill Companies Inc; 2010. p. 1214-6
4. Yusri Dianne, Delfican, Yorva Sayoeti. Jurnal Kedokteran Andalas No.1. Vol.36.
Januari-Juli 2012
5. Nusi AN. Abses hati amuba. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta: Interna
Publishing;2014.h.1991-4.
6. Sutanto I, Adjung SA. Entamoeba histolytica. Dalam : Parasitologi kedokteran.
Edisi 4. Jakarta:FK UI. 2016. h.107-18
7. Lubbert C, Wiegand J, Karlas T. Therapy of liver abscesses. Journal of
Viszeralmedizin Gastrointestinal Medicine and Surger.p.1-8.
8. Waleleng BJ, Wenas NT, Rotty L. Abses hati piogenik. Dalam : Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 6. Jakarta: interna publishing; 2014. h. 1996-9
9. Hirlan. Asites. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta : interna publishing;
2014. h. 674-6
10. Sood R. Acites: Diagnosis and management. Journal of Indian Academy of Clinical
Medicineno;5(1).p.1-9.

50

Anda mungkin juga menyukai