Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

“Snake Bite”

Disusun Oleh:
Nama : Yulis Setiawati
NIM : 1413010012

Pembimbing:
dr. Agus Sunaryo, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul
Snake Bite

Disusun Oleh:
Nama : Yulis Setiawati
NIM : 1413010012

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Jumat, 2 November 2018

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing
dr. Agus Sunaryo, Sp.PD

BAB I
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 43 tahun
Alamat : Kali jambe kec. Bringin
Status : Sudah Menikah
Masuk RS : 6 Oktober 2018

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Perdarahan gusi

ii
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Tn. S datang ke IGD RSUD Salatiga pada tanggal 6 Oktober pukul
22.15 WIB dengan keluhan perdarahan pada gusi sejak 4 hari yang
lalu, keluhan disertai demam, BAB hitam sejak 2 hari yang lalu, BAK
merah seperti teh, kaki kanan dan kiri bengkak serta sulit digerakkan,
tangan kanan sulit digerakkan serta terdapat bekas luka yang belum
mengering. Pasien menceritakan bahwa seminggu yang lalu tangan
kanan pasien tergigit ular, jenis ular berwarna hitam corak coklat
berdiameter sekitar 4 cm, terdapat bekas gigitan 4 luka tusuk, keluhan
yang dirasakan nyeri, rasa terbakar, memar, bengkak lokal sekitar luka
tusuk, melepuh berwarna putih kekuningan. Seketika setelah tergigit
ular mengeluhkan pusing, keringat dingin, muntah dan keluar air liur
terus menerus. Penanganan awal yang dilakukan pasien adalah
memanggil pawang ular untuk membantu mengeluarkan bisa ular,
selanjutnya pasien memeriksakan ke praktek dokter umum tetapi
pasien merasa keluhan yang dirasakan tidak membaik selanjutnya
pasien meeriksakan keluhan ke RSUD salatiga.

3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan yang serupa,
pasien tidak mempunyai riwayat penyakit hipertensi, penyakit jantung,
DM dan asthma.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengeluh sakit serupa. Riwayat
penyakit DM, hipertensi, asthma dan sakit jantung pada keluarga
disangkal.
5. Riwayat Personal Sosial ekonomi
Pasien memiliki riwayat merokok. Pasien berobat di RSUD
Salatiga menggunakan BPJS.

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Kesan Umum : Tampak kesakitan
 Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
 Vital Signs
Tekanan Darah : 149/69 mmHg
Nadi -frekuensi : 81x/menit
-kekuatan denyut : cukup
-regularitas : reguler
Frekuensi Napas : 26x/menit

iii
Suhu : 36oC
 Head to toe
Kepala & Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
Reflek cahaya (+/+), Pupil 3 mm/ 3 mm
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), JVP 5 + 1, Deviasi
trakea (-)
Thorax (Pulmo)
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas.
Palpasi Teraba vokal fremitus dan tidak ada ketertinggalan
gerak.
Perkusi Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ (positif di
lapang paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: -/-
Wheezing : -/-
Thorax (Cor)
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di SIC V mid clavicula sinistra
Perkusi Cardiomegali (-)
Batas paru-jantung:Kanan atas: SIC II Linea Para
Sternalis Dextra, Kanan bawah: SIC IV Linea Para
Sternalis Dextra, Kiri atas: SIC II Linea Para
Sternalis Sinistra, Kiri bawah: SIC IV Linea Mid
Clavicula Sinistra.
Auskultasi Suara S1 > S2 terdengar regular dan tidak ada
bising ataupun suara tambahan jantung seperi
gallop dan murmur.
Abdomen
Inspeksi Bentuk abdomen datar, tidak ada striae, tidak ada
spider nevi, tidak ada jejas.
Auskultasi Peristaltik usus (+).
Palpasi Tidak terdapat nyeri tekan, hepar dan lien tidak
teraba, shifting dullness (-).
Perkusi Hepar suara pekak, daerah abdomen lain timpani
Ekstremitas superior dan inferior dextra sinistra
Inspeksi Tampak bekas gigitan pada tangan kanan (4 luka
tusuk), edema lokal dan nekrosis.
Terdapat edema tungkai
Palpasi Nyeri tekan tangan kanan (+), Pitting edema (+),
akral hangat

iv
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (7 Oktober 2018)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 16.22 4.50 – 11.00 ribu/ul

Eritrosit 3.00 4.50 – 6.50 juta/ul

Hemoglobin 8.7 13 - 18 gr/dL

Hematokrit 27.9 40 - 52 vol%

MCV 93.1 80 - 96 fl

MCH 29.0 28 - 33 pg

MCHC 31.1 33 - 36 gr/dL

Trombosit 614 150 - 450 ribu/ul

Hitung Jenis
Eosinophil 0.9 2-4 %

Basophil 0.5 0-1 %

Limfosit 6.6 25 - 60 %

Monosit 3.0 2-8 %

Neutrofil 89.0 50 - 70 %

Kimia
Glukosa Darah Sewaktu 86 <140 mg/dl

Ureum 32 10-50 mg/dl

Creatinin 1.0 1.0-1.3 mg/dl

SGOT 26 < 37 U/L

SGPT 28 < 42 U/L

Imuno/ Serologi
HBs Ag negatif negatif

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (9 Oktober 2018)

v
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 27.01 4.50 – 11.00 ribu/ul
Eritrosit 3.71 4.50 – 6.50 juta/ul

Hemoglobin 10.9 13 - 18 gr/dL

Hematokrit 32.5 40 - 52 vol%


MCV 87.6 80 - 96 fl

MCH 29.4 28 - 33 pg
MCHC 33.5 33 - 36 gr/dL

Trombosit 506 150 - 450 ribu/ul

Hitung Jenis
Eosinophil 0.1 2-4 %
Basophil 0.3 0-1 %

Limfosit 3.1 25 - 60 %

Monosit 3.0 2-8 %


Neutrofil 93.5 50 - 70 %
Kimia
Bilirubin Total 0.68 <1.3 mg/dl
Bilirubin Direk 0.28 <0.5 mg/dl

Bilirubin Indirek 0.40 mg/dl

Tabel 3. Hasil gambaran darah tepi (7 oktober 2018)

Kesan eritrosit : Normosit, sel target, normokromik.


2. Kesan leukosit : Jumlah meningkat, netrofilia absolut, vakuolisasi

DIA netrofil, tidak terdapat sel imatur.


Kesan trombosit : Jumlah meningkat, penyebaran tidak merata, terdapat
G
clumps trombosit, morfologi dalam batas normal.
N Kesan : Anemia dengan kelainan morfologi eritrosit
O leukositosis, reaktifitas netrofil trombositosis.
S Kesimpulan : Gambaran anemia et causa suspek defisiensi besi

A disertai gambaran inflamasi dan trombositosis reaktif.


HB-AE-AL-AT : 7.8 – 2.66 -13.38 – 647
Diff manual : Netrofil segmen 90%, limfosit 7%, monosit 3%
BANDING
Snake bite, syok septik, syok anafilakis
3. DIAGNOSA KERJA
Snake Bite

vi
4. PENATALAKSANAAN
a. Tindakan dan pemberian obat 6 Oktober 2018
- Infus Nacl 0,9%, 30 tpm
- Inj. Asam traneksamat 500 mg 3x1
- Inj. Ranitidin 50 mg 3x1 amp
- Inj. Ketorolac 30 mg 3x1
b. Tindakan dan pemberian obat 7 Oktober 2018
- Kalnex 3x1 g iv
- Inj. Vit K 2x1 amp im
- Ceftriaxone 3x1 g iv
- Ranitidin 50 mg 3x1 amp
- Sucralfat 3x1
- Transfusi PRC 4 kolf ( 2 kolf/24 jam)
- Periksa hapusan darah
c. Pemberian obat 8 oktober 2018
- Transfusi darah WB 2 kolf
- Asering 500 ml infus
- Methylprednisolon 125
- ABU 1 vial/ 2 hari
- Ceftriaxone
- Ketorolac 30 mg
- Lansoprazole 30 mg
- Eperisone HCL
- Nacl SOL.
d. Pemberian obat 9 oktober 2018
- Ketorolac 30 mg injeksi
- Ranitidin injeksi
- Asering 500 ml infus
- Glukosa 5 % 500 ml
e. Pemberian obat 10 oktober 2018
- Methylprednisolon 1x1/2
- Sucralfate susp 100 ml
- Asam traneksamat 500 mg
- Ranitidin injeksi
- Ceftriaxone 1 gr injeksi
- Vitamin K
- Natrium chlorida sol. 5
- ABU 1 vial/hari
f. Pemberian obat 11 oktober 2018
- Lansoprazole 30 mg tablet 2x1
- Ceftriaxone 1 gr
- ABU 1 vial / 2 hari
- Methylprednisolon 125
g. Pemberian obat 12 oktober 2018
- Methylprednisolon 4 mg
- Neurodex tablet
- Cefadroxal 500 mg

vii
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan klasifikasi


Gigitan ular adalah sindrom klinis yang terjadi akibat gigitan ular
berbisa atau ular tak berbisa, bisa ular tersusun dari protein, enzim dan
toksin yang mempunyai efek fisiologik yang luas dan mempengaruhi
sistem multiorgan. Diagnosis definitif keracunan bisa ular memerlukan
identifikasi dari jenis ular dan manifestasi envenomasi, pada penilaian
laporan gigitan dari ular berbisa harus dibedakan dari ular yang tidak
berbisa atau hewan lain. Perbandingan ular berbisa dan tak berbisa dapat
terlihat pada gambar dibawah ini (Adiwinata, 2015).

viii
Gambar 1. Perbedaan ular berbisa dan tak berbisa

Klasifikasi ular berbisa terdiri dari 3 famili yaitu Colubridae,


Elapidae dan Viperidae/ Crotalidae. Ular jenis Elapidae misalnya coral
snake, king kobra, ular sendok, ular welang. mempunyai kepala kecil dan
bulat, dengan pupil bulat dan taring lebih kecil (proteroglyph) sekitar 1-3
mm, ular yang panjang, tipis dan berwarna seragam. Ular jenis Crotalidae
memiliki bentuk kepala triangular, pupil mata elips, serta terdapat lubang
antara hidung dan mata. Lubang tersebut berfungsi sebagai sensoris
terhadap panas, mempunyai taring yang panjang sekitar 3-4 cm.
merupakan ular yang relatif pendek, bertubuh tebal dengan banyak sisik
kasar pada puncak kepala, pola warna khas pada permukaan dorsal tubuh
misalnya ular hijau. Dua spesies penting yang diidentifikasi pada ular
Colubridae adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan
Rhabdophis triginus, python merupakan salah satu jenis dari ular tersebut.

ix
Gambar 2. Perbedaan ular elapedae dan crotalidae

B. Etiologi
90% komposisi racun adalah protein, setiap racun mengandung
lebih dari seratus protein yang berbeda. Sebagian besar racun
mengandung oksidase asam amino, fosfomono, diesterase, 5’-
nucleotidase, DNAase, NAD-nucleosidase, fosfolipase A2 dan
peptidase.
Zinc metalloproteinase hemorrhagins merusak endothel
vaskular menyebabkan perdarahan. Procoagulant enzymes, enzim ini
merangsang pembekuan darah dengan pembentukan fibrin dalam aliran
darah. Phospholipase A2 (lecithinase), enzim yang merusak
mitokondria, sel darah merah, leukosit, trombosit, ujung saraf perifer,
otot rangka, endothelium dan membran lain serta menyebabkan
neurotoksik presinaptik. Hyaluronidae meningkatkan penyebaran racun
melalui jaringan. Enzim proteolitik (metalloproteinase, endopeptidase

x
atau hidrolase) dan sitotoksin polipeptida, meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah menyebabkan edema, melepuh, memar dan nekrosis di
lokasi gigitan.
Bisa ular dapat menimbulkan perubahan lokal seperti edema dan
perdarahan. Daya toksik ular yang telah diketahu ada 2 macam yaitu:
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (Hematoxic)
Bisa ular yag bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular
yang menyerang dan merusak sel-sel darah merah dengan
menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah).
Sehingga sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan
keluar menembus pembuluh darah mengakibatkan timbulnya
perdarahan pada selaput tipis pada mulut, hidung, tenggorokan dan
lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Neurotoksin pasca-sinaptik seperti (α) seperti α-
bungarotoxin dan cobrotoxin, mengikat reseptor acetylcholine.
Neurotoxin presinaptik (β) seperti β-bungarotoxin, crotoxin dan
taipoxin, melepaskan asetilkolin pada ujung saraf dan merusak
neuromuskuler junction.
Bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel
saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan sel saraf
tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak
kebiruan dan hitam atau nekrosis. Penyebaran mempengaruhi
susunan saraf pusat dengan melumpuhkan fungsinya, seperti terjadi
kelumpuhan pada organ pernafasan, kerusakan pada pusat otak,
Sedangkan penyebaran bisa ular keseluruh tubuh melalui
pembuluh limphe (WHO, 2016).
C. Patogenesis dan Patofisiologi
Bisa ular bersifat hemotoksik, neurotoksik, nekrotoksik,
kardiotoksik dan nefrotoksik. Setelah digigit, bisa ular akan
diaktifkan oleh suhu tubuh dan PH jaringan. Kandungan enzim
hyalurinase pada bisa akan menghidrolisis jaringan. Meningkatkan
permeabilitas jaringan, serta membantu penyebaran bisa. Selain itu,
terdapat juga enzim proteolitik, yang dapat merusak endotel dan

xi
membran basal kapiler sehingga meningkatkan permeabilitas,
kebocoran albumin, peningkatan tekanan onkotik jaringan yang
mengakibatkan edema. Kerusakan jaringan tersebut akan memicu
penyebaran toksin lebih jauh hingga ke paru, miokardium, ginjal,
peritonium, serta sistem saraf pusat.
Enzim lain, seperti L-arginin esterase mampu memicu
pelepasan bradikinin sehingga timbul rasa nyeri, hipotensi, mual,
muntah dan banyak berkeringat. Pada sebagian jenis bisa, agen
vasodilatasi dapat dilepaskan secara langsung sehingga
memperberat vasodilatasi dan hipotensi yang berujung pada
hipovolemia, kolaps, syok, atau tanda-tanda iskemia miokardium.
1. Envenoming lokal
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim
dan protein. Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi
tergantung dari spesies dan usia ular. Pembengkakan dan memar
merupakan akibat dari permeabilitas pembuluh darah yang
disebabkan venom endopeptidase dan metalloproteinase
hemorrhagins. Racun polypeptide merusak membran, myotoxin
dan sitotoksin menyebabkan nekrosis jaringan lokal, myotoksin
merusak sel otot plasma.
2. Hipotensi dan syok
Setelah ular menggigit terjadi kebocoran plasma darah ke
dalam anggota badan yang tergigit dan di tempat lain. Perdarahan
gastrointestinal masif dapat menyebabkan hipovolemia.
Vasodilatasi terutama pembuluh darah splanika dapat memberikan
efek pada miokardium dan menyebabkan hipotensi.
3. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah
Venom ular mempengaruhi hemostasis tubuh dengan
beberapa cara, enzim prokoagulan mengaktifkan koagulasi
intravaskular, venom memiliki aksi langsung pada fibrinogen yang
menyebabkan defibrinogenasi dengan mengaktifkan sistem
fibrinolitik endogen. Antikoagulan disebabkan oleh racun
fosfolipase. Racun haemorrhagins (Zn metalloproteases) berpotensi
menyebabkan perdarahan sistemik yang spontan dan mematikan.

xii
Aktivasi atau penghambatan trombosit menyebabkan
trombositopenia.
4. Neurotoksisitas
Neurotoksik polipeptida dari bisa ular dapat menyebabkan
kelumpuhan dengan memblokir transmisi pada neuromuskular,
venom ini akan menyebabkan pasien paralisis otot bulbar,
obstruksi jalan nafas, atau aspirasi.
5. Myotoxicity
Metalloproteinase merupakan venom yang beredar pada
aliran darah mioglobin, enzim otot, kalium dan pada otot lainnya.
6. Cedera ginjal akut
Berbagai macam perubahan histologis ginjal telah
dijelaskan setelah gigitan ular. Akut tubular nekrosis adalah yang
paling umum, tetapi glomerulonefritis proliferatif, interstisial
nefritis, mesangiolisis toksik dengan aglutinasi trombosit, deposisi
fibrin, serta kerusakan tubular distal merupakan kerusakan ginjal
yang disebabkan racun PLA 2 dan metaloprotease. Efek racun pada
ginjal dapat menyebabkan hemoglobinuria, mioglobinuria, dan
hiperkalemia.
7. Peningkatan permeabilitas kapiler
venom juga dapat menyebabkan peningkatan vaskular
secara umum dapat menyebabkan edema paru, efusi serosa,edema
wajah dan albuminuria, kemungkinan penyebabnya adalah
metaloprotease yang merusak pembuluh darah endotelium.
Kematian yang disebabkan gigitan ular adalah penggunaan
antivenom yang tidak adekuat, pengobatan yang tertunda,
kegagalan untuk mengobati hipovolemia pada pasien syok, bstruksi
jalan nafas, komplikasi infeksi.

xiii
D. Manifestasi klinis.
Gejala dan tanda lokal di bagian yang digigit: tanda fang, rasa
sakit lokal, perdarahan lokal, memar, lymphangitis, infeksi lokal
(pembentukan ases), nekrosis dan syok hipovolemik.

xiv
Gambar 3. Manifestasi klinis dari gigitan ular
Gejala dan tanda sistemik seperti mual, muntah, nyeri perut,
diare. Gejala sistemik spesifik
 koagulopati: perdarahan terus dari lokasi gigitan, venipuncture dari
gusi, gross hematuri, hematemesis, melena dan hemoptoe.
 Neurotoksik: tanda pertama yang sering dijumpai pada saraf cranial
seperti ptosis, oftalmoplegia progesif.
 Mitoksisitas: ditemukan pada gigitan ular laut gejala dan tandanya
seperti nyeri otot, tenderness, mioglobinuria dan berpotensi
menyebabkan gagal ginjal, hiperkalemia dan kardiotoksisitas.
 Cardiovascular: syok, hipotensi, aritmia jantung, pingsan.
Tabel . Derajat manifestasi klinis gigitan ular berbisa

Derajat Gejala dan tanda


Minor Terdapat tanda bekas gigitan, tidak ada edema, tidak

xv
nyeri, tidak ada gejala sistemik, tidak ada koagulopati.
Moderate Terdapat tanda bekas gigitan, edema lokal, tidak ada
gejala sistemik, tidak ada koagulopati.
Severe Terdapat tanda bekas gigitan, edema regional (2
segmen dari ekstremitas), nyeri yang tidak teratasi oleh
analgesik, tidak ada tanda sistemik, terdapat tanda
koagulopati.
Major Terdapat tanda bekas gigitan, edema yang luas, terdapat
tanda sistemik, nyeri kepala, nyeri perut, syok,
trombosis sistemik.

E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang sangat kecil
pada diagnosis envenomasi ular, tetapi sangat berguna dalam
menentukan prognostik. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan adalah:
 Uji 20 menit pembekuan darah lengkap
Untuk mendiagnosa envenomasi viper dan menyingkirkan
kemungkinan gigitan elapidae. Adanya koagulopati
mengkonfirmasi pasien telah terigit viper.
 Konsentrasi hemoglobin/hematokrit
Peningkatan mengindikasikan hemokonsentrasi diakibatkan
peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan mengindikasikan
kehilangan darah yang diakibatkan hemolisis intravaskular.
 Hitung leukosit
Leukositosis neutrophil merupakan penanda
envenomasi sistemik dari spesies ular.
 Abnormalitas biokimiawi
Aminotransferase dan enzim otot (kreatin kinase,
aldolase) dapat meningkat bila dijumpai kerusakan otot lokal
yang berat, atau terutama kerusakan otot menyeluruh.
Disfungsi hepar ringan mencerminkan peningkatan enzim
serum lain. Bilirubin meningkat mengikuti ekstravasasi darah
masif. Kalium, kreatinin, urea atau nitrogen urea darah
meningkat pada gangguan ginjal akut. Hiperkalemia dapat
dijumpai pada rhamdomiosis ekstensif pada gigitan ular laut.
Bikarbonat dapat rendah pada asidosis metabolik.

xvi
 Sistem koagulasi darah: PT dan APTT dapat memanjang pada
gigitan viper.
 Urinalisis: warna urine harus diperhatikan dan urine diperiksa
dengan dipstik untuk darah atau hemoglobin atau ioglobin.
Pemeriksaan mikroskopis dapat mengkonfirmasi adanya
eritrosit di urie.

F. Tatalaksana
Pertolongan pertama harus segera dilakukan setelah gigitan
ular adalah:
 Jangan menghisap luka gigitan ular apabila dalam 45 menit
pasien dapat ke rumah sakit. Penghisapan dilakukan
mengunakan alat tidak dengan mulut. Jika gigitan ular terjadi
dalam waktu kurang dari setengah jam, buat sayatan silang di
tempat gigitan hingga darah keluar, lalu sedot dengan alat
penyedot, jangan sesekali menyedot dengan mulut. Bila
tersedia, suntikkan serum anti ular (ABU) polivalen intravena
sekitar luka. ATS dan penicilin prokain 900.000 IU dapat
dipertimbangkan sebagai profilaksis.
 Intervensi terhadap luka lainnya (menggososk, pemijatan,
penggunaan herbal dan zat kimiawi).
 Penggunaan tourniket arterial yang ketat tidak
direkomendasikan karena dapat menimbulkan iskemia
jaringan.
 Imobilisasi gigitan ular menggunakan elasticated bandage,
dengan cara sebagai berikut:

xvii
Gambar 4. Cara imobilisasi gigitan ular pada pasien

 Setelah imobilisasi segera rujuk korban ke fasilitas kesehatan


terdekat
 Bawa ular yang telah mati atau foto ular ke fasilitas kesehatan
untuk menentukan jenis ular sehingga dapat diberikan
antivenom atau penanganan yang tepat.
Management of snakebite
• First-aid treatment
• Transport to hospital
• Rapid clinical assessment and resuscitation
• Detailed clinical assessment and species diagnosis
• Investigations/laboratory tests
 20 minute whole blood clotting test
 Pemeriksaan urin untuk mengidentifikasi
adanya darah, hemoglobin dan mioglobin.
 Foto thorax: untuk mendeteksi adanya oedem
pulmo, perdarahan pulmo, efusi pleura dan
bronchopneumonia.
 USG pada local envenoming: deep vein
trombosis, pericardial efussion.
 Echocardiography: left ventricular ejection
fraction.

xviii
 CT scan dan MRI untuk mengetahui perdarahan
dan iskemik.
• Antivenom treatment
Indikasi pemberian serum ABU
 Gejala awal keracunan sistemik +
 Segera setelah gigitan terjadi pembengkakan hebat
(terjadi kerusakan jaringan yang luas).
Cara pemberian serum ABU
 Dosis pertama: 2 vial @ 5 ml drips dalam 500 ml Nacl
0,9 % atau dextrose 5% diberikan sebagai infus dengan
kecepatan 40-80 tetes permenit. Kemudian diulang tiap
6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak
berkurang atau bertambah) anti serum dapat terus
diberikan setiap 24 jam sampai maksimum (80-100
ml). Anti serum yang tidak diencerkan dapat diberikan
langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat
perlahan-lahan.
Cara lain: penyuntikan serum ABU polivalen
sebanyak 2,5 ml IM atau IV dan 2,5 ml suntikan
infiltrasi sekitar luka. Serum ABU disimpan pada suhu
2-8°C dalam lemari es, jangan dalam freezer.
• Observing the response to antivenom ( 3 jam setelah
pemberian)
• Deciding whether further dose of antivenom are needed
• Supportive/ancillary treatment
Injeksi intavena toksoid tetanus (TT) 0,5 ml, pemberian
antibiotik penisilin 900.000 IU, pemberian antihistamin IV/
steroid IV, terapi suportif lainny sesuai indikasi seperti
transfusi darah.
• Treatment of the bitten part
• Rehabilitation
• Treatment of chronic complications
• Advising how to avoid future bites

xix
PASIEN DATANG DENGAN
RIWAYAT GIGITAN ULAR

YA TIDAK YA
ULAR DIBAWA KE
RUMAH SAKIT

TIDAK
ULAR DAPAT
TERDAPAT TANDA
ENVENOMASI TERIDENTIFIKASI

RAWAT TIDAK YA

OBSERVASI DI YA ULAR DITETAPKAN


RUMAH SAKIT TIDAK BERBISA
SELAMA 24 JAM TIDAK YA
RAWAT

TERDAPAT TANDABERIKAN
DIAGNOSTIKANTIBISA TERDAPAT TANDA TENANGKAN KORBAN, BERI
DARI ENVENOMASI DARI ULARUNTUK xx
POLISPESIFIK ENVENOMASI SERUM ANTITETANUS,
YANG UMUM BERADA SPESIES
DI ULAR
AREA YANG PULANGKAN KORBAN
YA
OBSERVASI DITANDA MEMENUHI
GEOGRAFIS BERADA
YANG SAMADI AREAYA TANDA
TERSEDIA
BERIKAN ANTIBISA TIDAK OBSERVASI DI
MEMENUHI
ANTIBISA
KRITERIA
OBSERVASI DIPEMBERIAN
GEOGRAFIS
(LIHATALGORITMA
RUMAH SAKIT 2) KRITERIA
MONOSPESIFIK
YANGTANDA ENVENOMASIMONOSPESIFIK
PEMBERIAN / / ULANGI DOSIS
RUMAH
RAWATSAKIT
RAWAT
TIDAK TIDAK
SELAMA JAMLIHAT
RAWAT
RUMAH
24 RESPON
ANTIBISA
SAKIT YASAMA
TIDAK YA POLISPESIFIK
ANTIBISA
SISTEMIK MENETAP POLISPESIFIK
RAWAT YA YA TERAPI
TIDAK
INISIASI KONSERVATIF
RAWAT
ANTIBISA
SELAMA 24 JAM
WHO Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East
Asia Region

Derajat keparahan akibat gigitan ular berdasarkan klasifikasi PARRISH


Derajat 0 Tidak terdapat keracuna
Bekas taring / gigi+
Rasa sakit minimal
Edema, eritem kurang 2,5-15 dalam 12 jam pertama
Gejala sistemik -
Derajat I Tanda keracunan minimal
Bekas taring/gigi +
Nyeri hebat

xxi
Edema, eritem antara 2,5 cm dalam 15 cm dalam 12 jam pertama
Gejala sistemik belum jelas
Derajat II Tanda keracunan sedang
Bekas taring/gigi +
Nyeri hebat
Edema, eritem antara 15-30 cm dalam 12 jam pertama
Gejala sistemik +
Derajat III Keracunan berat
Bekas taring/gigi +
Edema eritem lebih dari 30 cm dalam 12 jam pertama
Gejala sistemik hebat sampai syok
Derajat IV Keracunan berat
Bekas taring/gigi +
Edema, eritem melewati ekstremitas yang terkena
Gejala sistemik hebat, gagal ginjal sampai koma
Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat mengacu
pada Schwartz dan Way (Djunaedi 2009):
 Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam 12
jam, bila derajat meningkat maka diberikan antivenom.
 Derajat II: 3-4 vial ativenom
 Derajat III: 5-15 vial antivenom
 Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial antivenom
Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau
setidaknya selama 1 jam setelah dimulai pemberian antivenom intravena
sehingga reaksi anafilaksis antivenom dapat dideteksi dan diobati segera
dengan epinefrin. Beberapa reaksi terhadap antivenom adalah:
1. Reaksi anafilaksis awal: muncul dalam 10-180 menit setelah
pemberian antivenom, pasien mulai gatal dan urtikaria, batuk
kering, demam, nausea, muntah, kolik abdomen, diare, dan
takikardi.
2. Reaksi pirogenik: muncul dalam 1-2 jam setelah pengobatan gejala
meliputi kekakuan, demam, vasodilatasi dan penurunan tekanan
darah, reaksi ini diakibatkan oleh kontaminasi pirogen selama
proses produksi antivenom.

xxii
3. Reaksi terlambat: muncul dalam 1-12 hari setelah pengobatan,
gejala meliputi nausea, demam, muntah, diare, gatal, urtikaria,
myalgia, limfadenopati, pembengkakan periartikular. Pasien
dengan reaksi awal diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid
lebih jarang mengalami reaksi terlambat.
Pemantauan respons antivenom:
Bila dosis antivenom diberikan secara adekuat, maka respons terhadap
antivenom dapat dipantau adalah:
1. Umum: pasien mengalami perbaikan, nausea sakit kepala, nyeri
berkurang secara cepat.
2. Perdarahan sistemik berhenti dalam 15-30 menit
3. Koagulopati darah biiasanya kembali normal dalam 3-9 jam
4. Pada pasien syok tekanan darah meningkat dalam 30-60 menit
pertama dan aritmia mengalami perbaikan.
5. Envenomasi neurotoksis pada tipe post sinaptik dapat diumpai
perbaikan dalam 30 menit
6. Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif, dalam beberapa jam urine
kembali menjadi warna normal.
Menentukan apakah dosis lanjutan antivenom diperlukan, kriteria pemberian
antivenom dosis lanjutan diberikan:
1. Inkoagulabilitas: darah menetap atau timbul setelah 6 jam atau
perdarahan 1-2 jam
2. Perburukan tanda-tanda neurotoksik atau kardiovaskular setelah 1-
2 jam.
3. Koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jam atau perdarahan
setelah 1-2 jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala
kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
4. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setelah pemberian dosis
awal antibisa, dosis yang sama harus diulang, hal ini berdasarkan
bservasi bahwa, bila dosis besar antibisa diberikan, waktu yang
dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainny adalah 3-9 jam.

xxiii
5. Pasien tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus
diulang antara 1-2 jam.
Perawatan konservatif yakni bed rest, perawatan luka dengan iodine, akses
intravena, pemberian obat-obatan sedative, pemberian obat-obatan analgesik,
pemberian antibiotik profilaksis, pemberian toxoid tetanus, pemberian steroid.

BAB III
PEMBAHASAN
Tn. S datang ke IGD RSUD Salatiga pada tanggal 6 Oktober pukul
22.15 WIB dengan keluhan perdarahan pada gusi sejak 4 hari yang lalu,
keluhan disertai demam, BAB hitam sejak 2 hari yang lalu, BAK merah
seperti teh, kaki kanan dan kiri bengkak serta sulit digerakkan, tangan
kanan sulit digerakkan serta terdapat bekas luka yang belum mengering.
Pasien menceritakan bahwa seminggu yang lalu tangan kanan pasien
tergigit ular, jenis ular berwarna hitam corak coklat berdiameter sekitar 4
cm, terdapat bekas gigitan 4 luka tusuk, keluhan yang dirasakan nyeri, rasa

xxiv
terbakar, memar, bengkak lokal sekitar luka tusuk, melepuh berwarna
putih kekuningan. Seketika setelah tergigit ular mengeluhkan pusing,
keringat dingin, muntah dan keluar air liur terus menerus. Penanganan
awal yang dilakukan pasien adalah memanggil pawang ular untuk
membantu mengeluarkan bisa ular, selanjutnya pasien memeriksakan ke
praktek dokter umum tetapi pasien merasa keluhan yang dirasakan tidak
membaik selanjutnya pasien meeriksakan keluhan ke RSUD salatiga.
Pada pemeriksaan lokalis tampak 4 luka tusuk, keluhan yang
dirasakan nyeri, rasa terbakar, memar, bengkak lokal sekitar luka tusuk,
melepuh berwarna putih kekuningan dan nyeri lokal. Manifestasi tersebut
merupakan manifestasi lokal yang terjadi setelah gigitan ular envenoming
lokal.
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan
protein. Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung
dari spesies dan usia ular. Pembengkakan dan memar merupakan akibat
dari permeabilitas pembuluh darah yang disebabkan venom endopeptidase
dan metalloproteinase hemorrhagins. Racun polypeptide merusak
membran, myotoxin dan sitotoksin menyebabkan nekrosis jaringan lokal,
myotoksin merusak sel otot plasma. Nyeri, rasa terbakar dan gatal
merupakan manifestasi yang disebabkan karena reaksi imunologi dimana
tubuh mengeluarkan sitokin.
Pusing, keringat dingin, muntah dan keluar air liur terus menerus.
Manifestasi sistemik yang muncul pada gigitan ular. Perdarahan pada gusi
dapat diakibatkan oleh Venom ular mempengaruhi hemostasis tubuh
dengan beberapa cara, enzim prokoagulan mengaktifkan koagulasi
intravaskular, venom memiliki aksi langsung pada fibrinogen yang
menyebabkan defibrinogenasi dengan mengaktifkan sistem fibrinolitik
endogen. Antikoagulan disebabkan oleh racun fosfolipase. Racun
haemorrhagins (Zn metalloproteases) berpotensi menyebabkan perdarahan
sistemik yang spontan dan mematikan. Aktivasi atau penghambatan
trombosit menyebabkan trombositopenia.

xxv
DAFTAR PUSTAKA
Adiwinata Randy, Nelwan j. Erni (2015), Snakebite In Indonesia. Departement of
Internal Medicine, Faculty of Medicine Universitas Indonesia,
Jakarta: Indonesia.
World Health Organization (WHO). 2016. Guidelines for The Management of
Snake-Bites, 2nd Edition. New Delhi: World Health Organization,
Regional Office for South-East ASIA.

xxvi

Anda mungkin juga menyukai