Anda di halaman 1dari 43

TUTORIAL KLINIK

ENSEFALOPATI

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Saraf RSUD Kota Salatiga

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

R. Maghfira Kurnia Kusuma


1413010049

Pembimbing: dr. Gama Sita S. P., Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU SARAF


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, tutorial klinik dengan judul

ENSEFALOPATI

Disusun Oleh :
R. Maghfira Kurnia Kusuma
1413010049

Telah dipresentasikan
Hari/tanggal: Kamis, 22 November 2018

Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,

dr. Gama Sita S. P., Sp.S

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv

DAFTAR TABEL....................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................v

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2

A. Anatomi Sistem saraf................................................................................2

B. Sistem Kesadaran......................................................................................7

C. Koma.......................................................................................................10

D. Ensefalopati.............................................................................................11

BAB IV KESIMPULAN.......................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................38

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1. Sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.............................................2

Gambar 2. 2. Fungsi otak.........................................................................................3

Gambar 2. 3. Segmen thoracolumbal subdivisi simpatik.........................................6

Gambar 2. 4.Segmen thoracolumbal subdivisi simpatik..........................................6

Gambar 2. 5. Gambar jalur ARAS...........................................................................8

Gambar 2. 6. Perjalanan input Serabut Saraf Pusat.................................................9

Gambar 2. 7. Patofisiologi Ensefalopati hepatic....................................................12

Gambar 2. 8. Teori autoregulasi berlebihan...........................................................18

Gambar 2. 9. Teori autoregulasi.............................................................................19

Gambar 2. 10. CT Scan (kanan) dan MRI (kiri) kepala pada wanita 55 tahun
dengan Ensefalopati Hipertensi dan kejang menunjukkan adanya lesi white
matter yang terkonsentrasi pada bagian posterior otak.........................................21

Gambar 2. 11. Penegakan diagnosis ensefalopati hipertensi.................................21

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1. Nervus kranialis.....................................................................................4

Tabel 2. 2. Etiologi ensefalopati hipertensi............................................................17

Tabel 2. 3. Gejala klinis ensefalopati hipoksik iskemik pada neonatus.................31

Tabel 2. 4. Klasifikasi CP.......................................................................................33

v
BAB I
PENDAHULUAN

Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan


fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.
Ensefalopati yang terjadi sejak dini dapat menyebabkan gangguan
perkembangan neurologis. Pasien dengan ensefalopati dapat mengalami
kemunduran dalam fungsi kognitif umum, prestasi akademis, fungsi
neuropsikologik dan kebiasan. Skor intelegensi pasien yang mengalami
ensefalopati juga rendah jika dibandingkan anak seusianya Dari segi prestasi
akademis, pasien akan mengalami kesulitan untuk membaca, mengeja dan
aritmatik. Sedangkan fungsi neuropsikologikal dapat menjadi hiperaktif
maupun autis (Handel, 2007).
Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti,
penelitian dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang
dilakukan di London, menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati
hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau berkisar
2,64%. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan
angka yang lebih tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%. (3)
Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan
naik menjadi 60% pada negara berkembang berkairtan dengan kejadian
hipoksik iskemik intrapartum. Ensefalopati hepatik murni terjadi pada 30-45%
pasien dengan sirosis hepatis dan 10-50% pada pasien shunting transjugular
intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal biasanya terdiagnosis
pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi portal nonsirosis.
Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar 20-84% pada pasien
sirosis (Kurinczuk, 2010).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sistem saraf


Sistem saraf dibagi menjadi dua struktur divisi, yaitu:
1. Sistem Saraf Pusat (SSP) : otak dan medula spinalis
2. Sistem Saraf Tepi (SST) : somatik, otonom, enteric nervus

Gambar 2. 1. Sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi


1. Sistem saraf pusat
1) Otak
a. Cerebrum
Struktur :
 Hemisphere dextra dan sinistra
 Fissura longitudinal cerebri
 Corpus callosum
 Gyrus
Lobus frontalis : gyrus presentralis, gyrus frontalis superior,
media, inferior, dan orbitalis.
Lobus parietalis: gyrus postsentralis, gyrus marginalis, gyrus
angularis.
 Sulcus : sulcus centralis, occipitalis dan lateralis.

2
b. Cerebellum (otak kecil) : berfungsi sebagai pusat kordinasi
keseimbangan
c. Diencephalon (thalamus dan hipothalamus)
d. Truncus encephala, terdiri atas 3 bagian: mesencephalon, pons, dan
medula oblongata.
e. Cranial Meninges, terdiri dari: duramater, arachnoidea mater, dan
piamater.
f. Ruangan yang memisahkan meningen:
 Spatium subdural: memisahkan duramater dan
arachnoideamater, terletak di bawah duramater.
 Spatium subarachnoideum: memisahkan arachnoideamater dari
piamater, terisi oleh liquor cerebrospinalis, terletak di bawah
arachnoideamater.

Gambar 2. 2. Fungsi otak

3
2) Medula spinalis
a. Segmen utama medulla spinalis: segmen cervicalis, thoracalis,
lumbalis, sacralis, dan coccygeus. Tiap segmen terdiri atas
substansi alba dan substansi grisea (cornu anterior, cornu posterior,
cornu lateral).
b. Bagian dari medulla spinalis:
a. Conus medularis
b. Cauda equine
c. Fillum terminalis
c. Spinal meninges : duramater, arachnoideamater, dan piamater.
2. Sistem Saraf Tepi
Secara anatomis, sistem saraf tepi dibagi menjadi dua divisi:
a. Nervus cranialis (bercabang dari otak)
Tabel 2. 1. Nervus kranialis
Nervus Fungsi
N. Olfactorius (N I) Untuk penciuman
N. Opticus (N II) Untuk penglihatan
N. Occulomotorius (N III) Penggerak bola mata dan otot mata
N. Trochlearis (N IV) M. ektraokuler
N. Trigeminus (N V) Wajah, orbita, hidung, lidah depan
N. Abducens (N VI) M. ekstraokuler
N. Facialis (N VII) Indra pengecap, kelenjar saliva,
penggerak otot wajah
N. Vestibulococlearis (N VIII) Pendengaran dan keseimbangan
N. Glossofaringeus (N IX) Mengunyah (Lidah, laring,
glandula parotid)
N. Vagus (N X) Sensori telinga eksterna, indra
pengecap (epiglotis)
N. Acessorius (N XI) Motorik otot-otot tubuh
N. Hypoglossus (N XII) Penggerak lidah

b. Nervus spinalis (bercabang dari medulla spinalis)


1) C1 – C8 : N. Cervicalis 8 pasang
2) T1 – T12 : N. Thoracalis 12 pasang
3) L1 – L5 : N. Lumbalis 5 pasang
4) S1 – S5 : N. Sacralis 5 pasang
5) Co 1 : N. Coccygeus 1 pasang
Sistem saraf tepi
a. Sistem saraf somatik

4
Serat saraf sensorik dan motorik ke kulit, otot rangka dan sendi. Jalur
sensori somatik menghubungkan informasi dari reseptor sensori
somatik ke area somatosensori di korteks serebri dan serebelum. Jalur
ke korteks serebri mengandung ribuan 3 set neuron: first-order neuron
(dari reseptor ke brain stem atau spinal cord), second-order neuron
(dari brain stem atau spinal cord ke thalamus) dan third-order neuron
(dari tahalamus ke korteks serebri).
b. Sistem saraf enteric
Reseptor terdapat pada gastrointestinal, yaitu plexus myentericus /
aurbach dan plaxus submucosa / meissner.
c. Sistem saraf Autonom
Serat saraf sensorik dan motorik ke seluruh otot polos, otot jantung dan
kelenjar. Terdiri dari subdivisi simpatis dan parasimpatis.
1) Subdivisi simpatik : keluar dari medulla spinalis segmen
thoracolumbal, neurotransmiter berupa norepinephrin/ noradneralin
(Gambar 2.3).
2) Subdivisi parasimpatik : keluar dari medulla spinalis segmen
craniosacral, neurotransmiter berupa asetilkolin (Gambar 2.4)
(Sherwood, 2011).

Gambar 2. 3. Segmen thoracolumbal subdivisi simpatik

5
Gambar 2. 4.Segmen thoracolumbal subdivisi simpatik

6
B. Sistem Kesadaran
Kesadaran (consciousness) adalah keadaan yang mencerminkan
pengintegrasian impuls afferen dan efferen. Tingkat akhir dari kesadaran
berada di korteks serebrum. Derajat kesadaran dipengaruhi oleh jumlah atau
kuantitas input saraf, yang mana input saraf terdiri dari input saraf spesifik
dan non spesifik (Mahar Mardjono, 2010).
Kesadaran diatur oleh ascending reticular activating system (ARAS)
dan kedua hemisfer otak. ARAS terdiri dari beberapa jaras saraf yang
menghubungkan batang otak dengan korteks serebri. Batang otak terdiri dari
medulla oblongata, pons, dan mesensefalon. Batang otak berperan penting
dalam mengatur kerja jantung, pernapasan, sistem saraf pusat, tingkat
kesadaran, dan siklus tidur.
Semua serat datang dan pergi yang berjalan antara perifer dan pusat-
pusat yang lebih tinggi di otak harus melewat batang otak, dengan serat
datang membawa informasi sensorik dan pergi membawa informasi motoric.
Pada batang otak terdapat suatu anyaman neuron-neuron yang saling
berhubungan yang disebut formasioretikularis, meluas diseluruh batang otak
dan masuk ke thalamus. Jaringan ini menerima dan mengintergrasikan semua
masukan sinaptik sensorik yang datang .Serat RAS (reticular activating
system), yang mengontrol derajat keseluruhan kewaspadaan kortex dan
penting dalam kemampuan utnuk mengarahkan perhatian. Jalur aferen dari
formation retikularis ada banyak seperti keluar ke limbic sistem melewati
formasi hypocampus, dan keluar ke thalamus melewati ARAS (Ascending
Reticular Activating System) lalu pada akhirnya akan menuju ke cortex
cerebri. ARAS terdapat di dalam formasi retikularis rostral pada substansia
grisea tegmentum medial dari batang otak dan meluas dari medula ke
diencephalon (Sherwood, 2011).

7
Gambar 2. 5. Gambar jalur ARAS

Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi kompos


mentis, apatis, somnolen, stupor, dan koma. Kompos mentis berarti keadaan
seseorang sadar penuh dan dapat menjawab pertanyaan tentang dirinya dan
lingkungannya. Apatis berarti keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh
dan segan berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya. Somnolen
berarti seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung tertidur, masih
dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu memberikan jawaban
secara verbal, namun mudah tertidur kembali. Sopor/stupor berarti kesadaran
hilang, hanya berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi bila
dibangunkan, kecuali dengan rangsang nyeri. Koma berarti kesadaran hilang,
tidak memberikan reaksi walaupun dengan semua rangsangan (verbal, taktil,
dan nyeri) dari luar. Karakteristik koma adalah tidak adanya arousal dan
awareness terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Pada pasien koma terlihat
mata tertutup, tidak berbicara, dan tidak ada pergerakan sebagai respons
terhadap rangsangan auditori, taktil, dan nyeri. Penilaian Tingkat Kesadaran
Penilaian kesadaran secara kuantitatif antara lain dengan Glasgow Coma
Scale (GCS) atau Four Score. Koma dapat disebabkan oleh penyebab
traumatik dan non-traumatik. Penyebab traumatik yang sering terjadi adalah
kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik
yang dapat membuat seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain
gangguan metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke
iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak,

8
kondisi inflamasi, infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan
abses serta gangguan psikogenik. Keadaan koma dapat berlanjut menjadi
kematian batang otak jika tidak ada perbaikan keadaan klinis.(Wijdicks EF.
dkk,2010).

Gambar 2. 6. Perjalanan input Serabut Saraf Pusat

Input Sistem Saraf Pusat, terdiri dari (Mahar Mardjono, 2010):


1. Spesifik
Input Sistem Saraf Pusat spesifik berhubungan dengan perjalanan
impuls afferen, yaitu berupa impuls perasaan protopatik (nyeri,suhu,raba),
impuls proprioseptif (posisi tubuh), dan perasaan panca indera. Impuls
akan di hantarkan ke korteks serebri kemudian terwujud kesadaran yang
spesifik.
2. Non Spesifik
Input Sistem Saraf Pusat non spesifik merupakan sebagian lintasan
impuls afferen spesifik yang disalurkan melalui lintasan afferen non
spesifik kemudian akan menyampaikan atau menyalurkan impuls afferen

9
ke thalamus yaitu ke inti intralaminar yang menerima impuls non spesifik
akan menggalakkan dan memancarkan impuls yang diterimanya
menuju/merangsang/menggiatkan seluruh korteks secara difuse dan
bilateral. Neuron inti intralaminar disebut “Neuron Penggalak
Kewaspadaan”, sedangkan neuron-neuron diseluruh korteks serebri yang
digalakkan disebut “Neuron Pengemban Kewaspadaan”.
C. Koma
1. Definisi
Coma merupakan suatu keadaan tidak sadarkan diri yang dalam
hingga penderita tidak dapat dibangunkan, bahkan dengan rangasangan
yang kuat. (Dorland, 2012). Menurut Plum, gangguan kesadaran yang
maksimal (koma) didefinisikan sebagai “unarousable unresponsiveness”
yang berarti “the absence of any psychologically understandable response
to external stimulus or inner need”, tiadanya respons fisiologis terhadap
stimulus eksternal atau kebutuhan dalam diri sendiri.
2. Etiologi
Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat/dibuat jembatan
keledai menjadi kalimat “SEMENITE”. Selain itu ada juga beberapa buku
yang menggunakan jembatan keledai yang berbeda tetapi memiliki
pengertian yang sama. Dari jembatan keledai ini kita juga dapat
membedakan manakah yang termasuk ke dalam koma bihemisferik
ataupun koma diensefalik (Mahar Mardjono, 2010).
a. S ; Sirkulasi – gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun
infark)
b. E ; Ensefalitis – akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dll
c. M ;Metabolik – akibat gangguan metabolic yang
menekan/mengganggu kinerja otak (gangguan hepar, uremia,
hipoglikemia, koma diabetikum, dsb).
d. E ; Elektrolit – gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium,
natrium).

10
e. N ; Neoplasma – tumor baik primer ataupun sekunder yang
menyebabkan penekanan intracranial. Biasanya dengan gejala TIK
meningkat (papiledema, bradikardi, muntah).
f. I ; Intoksikasi – keracunan.
g. T ; Trauma – kecelakaan.
h. E ; Epilepsi.
3. Klasifikasi
a. Klasifikasi koma berdasarkan anatomi dan patofisiologi
1) Koma kortikal-bihemisferik
Merupakan koma / ensefalopati metabolik dan atau gangguan
fungsi / lesi struktur kortek bihemisferik.
2) Koma diensefalik
Merupakan koma yang dapat bersifat supralateral , infratentorial
dan kombinasi antara supratentorial dan infratentorial . terjadinya
koma melalui mekanisme herniasi ulkus , tentorial atau sentral.
b. Klasifikasi koma berdasar gambaran klinik
1) Koma dengan defisit neurologik fokal
2) Koma dengan tanda rangsangan meningeal
3) Koma tanpa defisit neurologik fokal / rangsangan meningeal
(Chusid, 2007).

D. Ensefalopati
1. Definisi
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
kelainan fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif
atau statis. Ensefalopati adalah disfungsi kortikal umum yang memiliki
karakteristik perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari),
secara nyata terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal,
halusinasi dan delusi yang sering dan perubahan tingkat aktifitas
psikomotor (secara umum meingkat, akan tetapi dapat menurun).
Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan perubahan umum pada

11
fungsi otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa agitasi
hiperalert hingga koma (DiCarlo, 2004).
2. Klasifikasi berdasarkan penyebab
a. Ensefalopati hepatic
1) Definisi
Manifestasi neuropsikiatri yang ditandai dengan perubahan status
mental, intelektual, psikomotor dan fungsi kognitif disertai
dengan kegagalan hati (Tanto, 2014).
2) Patofisiologi

Kolon Otot Ginjal

Menghasilkan
amonia

Detoksifikasi di hati
Hati rusak
Aliran darah dari hati
ke sistemik
GABA dan
benzodiazepinn
meningkat Hiperamnionemia

Berikatan dengan Astrosit bengkak


reseptor astrosit

Neurotransmisi Edema >>


inhibisi meningkat cerebri TIK

Gambar 2. 7. Patofisiologi Ensefalopati hepatic

12
3) Gejala dan tanda
Berdasarkan klasifikasi West-Haven ensefalopati hepatikum
dikategorikan:
 Derajat 0 : minimal atau subklinis. Susah ditemukan
perubahan perilaku. Perubahan minimal dalam ingatan,
konsentrasi, fungsi intelektual dan koordinasi. Tidak ditemukan
asteriksis
 Derajat 1 : kemampuan mempertahankan konsentrasi
memendek. Hypersomnia, insomnia ataupun perubahan dalam
pola tidur. Euphoria, depresi atau gampang teriritasi.
Kebingungan ringan. Kemampuan melakukan tugas mental
melambat. Dapat ditemukan asteriksis
 Derajat 2 : letargi atau apatis. Disorientasi perilaku tidak
sesuai, berbicara cadel, asteriksis jelas. Tampak mengantuk,
letargi, kesulitan mengerjakan pekerjaan mental, perubahan
perilaku yang jelas, perilaku tidak sesuai, disorientasi,
khususnya mengenai orientasi waktu
 Derajat 3 : somnolen namun masih dapat dibangunkan, tidak
dapat mengerjakan tugs mental, disorientasi tempat dan waktu,
kebingungan yang jelas, amnesia, bicara tidak komprehensif.
 Derajat 4 : koma dengan atau tanpa respon terhadap stimulus
nyeri (Tanto, 2014).
4) Pemeriksaan penunjang
 Kadar ammonia darah
 EEG : gelombang amplitude tinggi dengan frekuensi
rendah dn gelombang trifasik
 CT Scan dan MRI : mengeksklusi lesi intracranial
5) Tatalaksana
 Diet : pembatasan asupan protein 60-80 g/hari
 Obat pencahar : Laktulosa 30-45 ml per oral

13
 Antibiotik : neomycin 2-4 kali 250 mg atau
metronidazole 3 x 500
 Zink: 600 mg per oral
b. Ensefalopati uremik
1)Definisi
Ensefalopati uremikum adalah salah satu komplikasi yang bisa
terjadi pada orang-orang yang menderita gangguan ginjal akut
maupun kronis, di mana terjadi gangguan pada otak, terutama
ketika kemampuan ginjal untuk menyaring racun-racun dalam
tubuh menurun dan menetap (laju filtrasi glomerulus menurun
hingga dibawah 15mL/menit).
2) Gejala klinis
Tanda dan gejala yang muncul sangat bervariasi mulai dari ringan
(rasa lemas dan lelah) hingga yang berat (kejang atau koma).
Tingkat beratnya gejala tergantung dari seberapa cepat menurunnya
fungsi ginjal. Oleh karena itu biasanya gejala ini lebih berat pada
orang dengan gagal ginjal akut.
Gejala ringan yang timbul:
 Nafsu makan menurun
 Mual
 Rasa lemah dan mengantuk
 Sulit konsentrasi
 Fungsi kognitif melambat (sulit berpikir, berbicara, atau
mengambil keputusan)
Gejala berat yang timbul:
 Muntah
 Disorientasi atau linglung
 Kejang
 Penurunan kesadaran

14
3) Patofisiologi
Setiap hari tubuh menghasilkan zat yang disebut sebagai
urea. Urea sendiri merupakan sisa hasil metabolisme protein yang
setiap harinya dibuang melalui ginjal ke air kencing (urine). Urea
dalam kadar yang normal seharusnya tidak menyebabkan
gangguan. Namun, pada kondisi adanya gangguan ginjal, kadar
urea bisa meningkat dan menyebabkan masalah atau keluhan.
Ketika gagal ginjal terjadi, baik akut maupun kronis, kadar
urea bisa meningkat sangat tinggi karena fungsi ginjal untuk
membuang urea berkurang. Akibatnya, terjadi penumpukan urea di
dalam darah.
Ketika penumpukan urea di dalam cukup banyak hingga
menimbulkan gejala, hal ini disebut sebagai uremia. Urea yang
terlalu banyak dapat menyebabkan gangguan neurotransmiter
(senyawa kimia alami) di dalam otak. Salah satunya adalah
menurunnya kadar neurotransmiter GABA (gamma-aminobutyric
acid).
c. Ensefalopati Wernicke
1) Definisi
Gangguan yang biasanya berhubungan dengan konsumsi
alkohol yang berlebihan tetapi penyebab adalah kekurangan
vitamin B1 (thiamin). Salah satu fungsi thiamin adalah membantu
sel-sel otak untuk menghasilkan energi dari gula sehingga ketika
kadar thiamin dalam otak rendah, maka sel otak tidak dapat
menghasilkan energi yang mencukupi untuk menjalankan
fungsinya. Sindrom ini terdiri dari kebingungan akut dan amnesia.
Mengonsumsi alkohol dapat menyebabkan berkurangnya pasokan
thiamin ke dalam otak
2) Gejala klinis
 Nystagmus: berasal dari bahasa Yunani,”nmstagmos” untuk
menggambarkan kepala goyah sepeti mengantuk atau mabuk.

15
terjadi gerakan involunter ritmik pada satu atau kedua mata.
Gerakan mungkin menyentak, berputar (rotasi) atau berayun
(pendular). Penyebab nystagmus adalah kerusakan sistem
vestibular (nystagmus perifer); cedera saraf kranial III, IV, atau
VI; gangguan serebelum; dan intoksikasi obat. Nistagmus
rotasi sering berkaitan dengan rasa pusing dan mual.
 Ataksia: Terjadi kegagalan kontrol otot pada tangan dan kaki
sehingga menghasilkan kurangnya keseimbangan dan
koordinasi. Ataksia disebabkan karena serebelum memburuk
atau atrofi, terkadang urat saraf tulang belakang (spinal cord)
terpengaruh sehingga terjadi kemunduran jaringan saraf pada
spinal cord.
 Opthalmoplegia: Opthalmoplegia terjadi karena otak salah
mengirim dan menerima informasi melalui saraf yang
mengendalikan gerakan mata.
3) Patofisiologi
Tiamin diserap di duodenum dan akan disimpan di dalam
tubuh sekitar 18 hari. Tiamin dikonversi ke dalam bentuk aktif
yaitu tiamin pirofosfat di saraf dan sel glia. Tiamin pirofosfat
berfungsi sebagai kofaktor beberapa jenis enzim, seperti
tranketolase, piruvat dehidrogenase, dan alfa ketoglutarat, yang
berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Fungsi utama enzim ini
di dalam otak adalah dalam metabolisme lemak dan karbohidrat,
produksi asam amino, dan produksi neurotransmitter devirat
glukosa. Penurunan fungsi enzim ini menyebabkan kerusakan
dalam metabolisme glukosa di otak yang mengakibatkan
gangguan metabolisme energi sel.
Bila dalam 2-3 minggu asupan tiamin kurang maka otak
merupakan tempat yang akan menunjukan kerusakan sel paling
tinggi. Konsekuensi nya adalah hilangnya gradien osmotik sel
yang melintasi membran. Perubahan biokimia yang paling awal
adalah penurunan α-ketoglutarat dehidrogenase di astrocytes.

16
Astrocytes laktat meningkat dan terjadi edema, peningkatan
konsentrasi glutamat ekstraselular, peningkatan nitrat oksida,
fragmentasi DNA di neuron, produksi adikal bebas dan
peningkatan sitokinin, dan kerusakan pembuluh otak.
Beberapa pasien dengan sindrom Wernicke-Korsakoff
menunjukan afinitas transketolase untuk pirofosfat. Mekanisme di
balik perbedaan ini dalam kegiatan biokimia dalam trasketolase
tidak sepenuhnya dipahami. Varian dalam pengkodean gen untuk
afinitas tinggi protein transporter tiamin SLC19A2 dalam neuron
mungkin berkontibusi dalam kerantanan sindrom Wernicke-
Korsakoff.
d. Ensefalopati hipertensi
1) Definisi
Hipertensi Ensefalopati (HE) adalah sindrom klinik akut reversibel
yang disebabkan oleh kenaikan tekanan darah secara mendadak
sehingga melampaui batas autoregulasi otak (Khatib, 2005).
2) Etiologi

Tabel 2. 2. Etiologi ensefalopati hipertensi


3) Patofisiologi

17
Berikut teori-teori mengenai ensefalopati hipertensi:
 Reaksi autoregulasi yang berlebihan (the overregulation
theory of hypertensive encephalopathy)
Kenaikan tekanan darah yang mendadak menimbulkan
reaksi vasospasme arteriol yang hebat disertai penurunan
aliran darah otak dan iskemi. Vasospasme dan iskemi akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosis,
fibrinoid, dan perdarahan kapiler yang selanjutnya
mengakibatkan kegagalan sawar darah otak sehingga dapat
timbul edema otak (Khatib, 2005).

↑↑ Blood pressure

Intense reflex cerebral vasoconstriction


(Exaggerated autoregulation)

↑↑ Cerebral blood flow

Focal cerebral ischemia Vessel wall Global cerebral


- Transient focal deficits ischemia ischemia
- Focal seizure

Arteriolar and capillary


damage

Localized cerebral edema Petechial hemorrhages

Gambar 2. 8. Teori autoregulasi berlebihan


 Kegagalan autoregulasi (the breakthrough theory of
hypertensive encephalopathy)
Tekanan darah tinggi yang melampaui batas regulasi dan
mendadak menyebabkan kegagalan autoregulasi sehingga
tidak terjadi vasokonstriksi tetapi justru vasodilatasi.

18
Vasodilatasi awalnya terjadi secara segmental (sausage string
pattern), tetapi akhirnya menjadi difus. Permeabilitas segmen
endotel yang dilatasi terganggu sehingga menyebabkan
ekstravasasi komponen plasma yang akhirnya menimbulkan
edema otak (Khatib, 2005).

↑↑ Blood pressure

Failure of autoregulation

Forced vasodilatation

- Hyperperfusion
Endothelial permeability
- capillary hydrostatic pressure

Cerebral edema

Hypertensive encephalopathy
(headache, nausea, vomiting,
altered mental status, convulsion)
Gambar 2. 9. Teori autoregulasi
4) Manifestasi klinis
Ensefalopati hipertensi merupakan suatu sindrom
hipertensi berat yang dikaitkan dengan ditemukannya nyeri kepala
hebat, mual, muntah, gangguan penglihatan, confusion, pingsan
sampai koma. Onset gejala biasanya berlangsung perlahan, dengan
progresi sekitar 24-48 jam. Gejala-gejala gangguan otak yang
difus dapat berupa defisit neurologis fokal, tanda-tanda lateralisasi
yang bersifat reversibel maupun irreversibel yang mengarah ke
perdarahan cerebri atau stroke. Microinfark dan peteki pada salah
satu bagian otak jarang dapat menyebabkan hemiparesis ringan,

19
afasia atau gangguan penglihatan. Manifestasi neurologis berat
muncul jika telah terjadi hipertensi maligna atau tekanan diastolik
>125mmHg disertai perdarahan retina, eksudat, papiledema,
gangguan pada jantung dan ginjal.
Dalam menegakkan diagnosis ensefalopati hipertensi, maka
pada pasien dengan peningkatan tekanan darah perlu diidentifikasi
jenis hipertensinya, apakah hipertensi urgensi atau hipertensi
emergensi. Hal ini dapat dilakukan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik untuk mengetahui tanda dan gejala kerusakan
target organ terutama di otak seperti adanya nyeri kepala hebat,
mual, muntah, penglihatan kabur, penurunan kesadaran, kejang,
riwayat hipertensi sebelumnya, penyakit ginjal, penggunaan obat-
obatan, dan sebagainya. Selain itu dapat dilakukan funduskopi
untuk melihat ada tidaknya perdarahan retina dan papil edema
sebagai tanda peningkatan tekanan intra kranial. Penilaian
kardiovaskular juga perlu dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya distensi vena jugular atau crackles pada paru. Urinalisis
dan pemeriksaan darah untuk mengetahui kerusakan fungsi ginjal
(peningkatan BUN dan kreatinin).
Pemeriksaan CT scan atau MRI kepala dapat menunjukkan
adanya edema pada bagian otak dan ada tidaknya perdarahan.
Edema otak biasanya terdapat pada bagian posterior otak namun
dapat juga pada batang otak

20
Gambar 2. 10. CT Scan (kanan) dan MRI (kiri) kepala pada wanita 55 tahun dengan
Ensefalopati Hipertensi dan kejang menunjukkan adanya lesi white matter yang
terkonsentrasi pada bagian posterior otak.

Gambar 2. 11. Penegakan diagnosis ensefalopati hipertensi


5) Tata laksana
Penurunan tekanan darah arterial, sesuai dengan tingkatan
tekanan darah pasien terutama yang berhubungan dengan kejadian
neurologis, harus dilakukan dengan monitoring secara tetap dan

21
titrasi obat, tekanan darah arterial diukur dengan kateterisasi jika
memungkinkan. Terapi ini bertujuan untuk menurunkan tekanan
darah arterial sebesar 25% selama 1-2 jam dan tekanan darah
diastolic ke 100-110 mmHg. Jika dengan penurunan tekanan darah
arterial memperburuk keadaan neurologis, maka harus
dipertimbangkan kembali rencana pengobatannya. Untuk obat anti
hipertensi intravena yang bekerja cepat hanya labetalol, sodium
nitroprusside dan phenoldopam (pada gagal ginjal) sudah terbukti
efektif pada HE.
Labetalol adalah suatu beta adrenergic blockers,
kelihatannya paling adekuat tidak menurunkan aliran darah otak
dan bekerja selama 5 menit untuk administrasi. Dosis inisial alah
20 mg dosis bolus, kemudian 20-80 mg dosis intravena setiap 10
menit sampai tekanan darah yang diinginkan atau total dosis
sebesar 300 mg tercapai.
Sodium nitroprusside, sebuah vasodilator, memiliki onset
yang cepat (hitungan detik) dan durasi yang singkat dalam bekerja
(1-2 menit). Bagaimanapun, ini dapat mempengaruhi suatu
venodilatasi cerebral yang penting dengan kemungkinan
menghasilkan peningkatan aliran darah otak dan hipertensi
intracranial. Suatu tindakan cytotoxic, dengan melepaskan radikal
bebas NO dan produk metaboliknya, sianida dapat menyebabkan
kematian mendadak, atau koma. Dosis inisial 0,3-0,5 mcg/kg/min
IV, sesuaikan dengan kecepatan tetesan infus sampai target efek
yang diharapkan tercapi dengan dosis rata-rata 1-6 mcg/kg/min.
Fenildopam (Corlopam), sebuah short acting dopamine
agonis (DA1) pada level perifer, dengan durasi pendek dalam
bekerja. Ini meningkatkan aliran darah ginjal dan ekskresi sodium
dan dapat digunakan pada pasien dengan gejala gagal ginjal. Dosis
inisial 0,003 mcg/kg/min IV secara progresif ditingkatkan sampai
maksimal 1,6 mcg/kg/min.

22
Nicardipine dalam dosis bolus 5-15 mg/h IV dan dosis
maintenance 3-5 mg/h dapat juga digunakan. Nifedipine
sublingual, clonidine, diazoxide, atau hydralazine intravena tidak
direkomendasikan karena dapat mempengaruhi penurunan yang
tidak terkontrol dari tekanan darah arterial yang mengakibatkan
iskemi cerebral dan renal (Cuciureanu, 2007).
e. Ensefalopati infeksi
1) Definisi
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam
mikro-organisme. Ensefalitis ditegakkan melalui pemeriksaan
mikroskopis jaringan otak. Dalam prakteknya di klinik, diagnosis
sering dibuat berdasarkan manifestasi-manifestasi neurologis dan
temuan-temuan epidemiologis, tanpa bahan histologis.
2) Etiologi
 Virus
 Bakteri
 Jamur
 Protozoa
3) Manifestasi klinis
 Sakit kepala dan demam
 Mual, muntah
 Malaise
 Nyeri extremitas
 Nyeri tenggorokan
 Apabila memberat akan terdapat gelisah, gangguan kesadaran,
dan kejang
4) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis
dan sebaliknya anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil
pemeriksaan :
 Gangguan kesadaran
 Hemiparesis
 Tonus otot meninggi
 Reflek patologis positif
 Reflek fiisiologis menningkat
 Klonus
 Gangguan nervus kranialis

23
 Ataksia (Komite Medik RSUP Dr. Sarjito, 2000).

24
5) Patofisiologi
Faktor predisposisi

Kuman masuk ke tubuh (kulit, saluran pernafasan)

Kelenjar limfe

Ke peredaran darah primer (hepar, limfe)

Peredaran darah sekunder (kulit, otak, paru)

Kuman menembus SSP

Melalui invasi hematogen langsung (arteri intracerebral) atau tifak langsung (arteri
meningeal yang terkena radang) yang menyebabkan peradangan pada otak

Pembentukan eksudat Adanya reaksi Iritasi kortex cerebral


dan transudat kuman patogen area fokal

Suhu tubuh meningkat


Edema Kejang, nyeri
kepala
Metabolisme basal
Gangguan perfusi
jaringan serebri
Influk Ca dan akan
Gangguan kesadaran
melepaskan ACH yang
Kesadaran menurun dan
menyebabkan menyebabkan
akan mengakibatkan
gangguan mobilitas fisik dan GABA menurun
perfusi sensori Gangguan pada
penggalak atau
Kejang pengemban kesadaran

Penghantar neuron terhambat, tidak ada input ke SSP


25
6) Pemeriksaan laboratorium
 Pungsi lumbal : LCS jernih, tekanan darah fapat normal
atau meningkat, meningkatnya sel PMN yang diikuti dengan
pleositosis limfotik
 Pemeriksaan darah : Amilase meningkat, fungsi hati (hepatitis),
antibodi-antigen spesifik (HSV, cytomegalovirus dan HIV)
 CT-Scan :Hipodensitas
 MRI
7) Penatalaksanaan
Penderita baru dengan kemungkinan ensefalitis harus
dirawat inap sampai menghilangnya gejala-gejala neurologik.
Tujuan penatalaksanaan adalah mempertahankan fungsi organ
dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian
makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan
dan elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah. Tata laksana
yang dikerjakan sebagai berikut :
 Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada
ensefalitis biasanya berat. Pemberian Fenobarbital 5-8
mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikan
Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3
menit.
 Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau
D5 - 1/4 S (tergantung umur) dan pemberian oksigen.
 Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang
ditimbulkan oleh anoksia serebri dengan Deksametason 0,15-1,0
mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
 Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan
Manitol diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB
selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12 jam.
Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0
ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari jeruk. Bahan ini
tidak toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama.
 Pengobatan kausatif.

26
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama
abses otak (ensefalitis bakterial), maka harus diberikan
pengobatan antibiotik parenteral.
Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes
simplek diberikan Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30
mg/kgbb per hari selama 10 hari. Jika terjadi toleransi maka
diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga ketika terjadi
kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir (Bradley,
1991). Dengan pengecualian penggunaan Adenin arabinosid
kepada penderita ensefalitis oleh herpes simplek, maka pengobatan
yang dilakukan bersifat non spesifik dan empiris yang bertujuan
untuk mempertahankan kehidupan serta menopang setiap sistem
organ yang terserang. Efektivitas berbagai cara pengobatan yang
dianjurkan belum pernah dinilai secara objektif.
f. Ensefalopati hipoksemi
1) Definisi
Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab cedera
permanen yang penting pada sel sistem saraf pusat yang
mengakibatkan kematian neonatus atau nantinya, jejas dapat
bermanifestasi sebagai palsi serebral atau defisiensi mental
(DiCarlo, 2004).
2) Patofisiologi
Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang kurang
dari normal, dan iskemia merujuk pada aliran darah ke sel atau
organ tidak mencukupi untuk mempertahankan fungsi normalnya.
Penyebab terjadinya keadaan hipoksia dapat dibagi menjadi dua
yaitu saat di dalam kandungan dan setelah dilahirkan. Penyebab
saat di dalam kandungan terdiri dari:
 Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi
selama anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernapasan,
atau keracunan karbon monoksida

27
 Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi yang dapat
merupakan komplikasi anestesi spinal atau akibat kompresi vena
kaca dan aorta pada uterus gravid
 Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta
akibat adanya tetani uterus yang disebabkan oleh pemberian
oksitosin berlebihan
 Pemisahan plasenta premature
 Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya
kompresi atau pembentukan simpul pada tali pusat
 vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain
 insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia
dan pasca maturitas.
Hipoksia yang tejadi sesudah lahir, dapat merupakan akibat dari:
 Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan kandungan
oksigen darah ke tingkat kritis, akibat perdarahan berat atau
penyakit hemolitik
 Syok cukup berat, yang sampai mengganggu pengangkutan
oksigen ke sel sel vital, akibat perdarahan adrenal, perdarahan
intraventrikular, infeksi yang berlebihan atau kehilangan darah
yang masif.
 Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal terjadinya
pernapasan yang adekuat pada pasca lahir, akibat cacat, nekrosis
atau jejas pada otak
 Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat akibat
adanya bentuk penyakit jantung kongenital sianosis atau
defisiensi fungsi paru yang berat.
Janin yang mengalami hipoksik iskemik kronis dapat
mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri tanpa tanda tanda
tradisional gawat janin (misalnya bradikardi). Velosimetri bentuk
gelombang umbilikalis melalui Doppler (memperlihatkan kenaikan
tahanan vascular janin) dan kordosintesis (memperlihatkan
hipoksia janin) dapat mengidentifikasi bayi hipoksik kronis.
Selanjutnya kontraksi uterus mengurangi oksigen umbilikalis,

28
menekan kardiovaskular janin dan sistem saraf pusat,
menghasilkan skor APGAR rendah dan hipoksia pasca lahir dalam
kamar bersalin.
Keadaan dimana terjadi penurunan aliran darah
uteroplasenter atau keadaan yang mengganggu proses respirasi
spontan sehingga menyebabkan hipoksia perinatal, asidosis laktat
dan jika cukup berat maka akan menurunkan cardiac output atau
menyebabkan cardiac arrest, dan iskemia.
Respons awal sirkulasi janin adalah menambah shunt
melalui duktus venosus, duktus arteriosus, dan foramen ovale
dengan rumatan perfusi sementara ke otak, jantung dan adrenal
lebih diutamakan daripada paru (karena adanya vasokonstriksi
pulmonal), hati, ginjal dan usus. Hipoksi intrauteri yang lama dapat
menyebabkan terjadinya LPV, dan hyperplasia otot polos arteriol,
membuat bayi cenderung mangalami hipertensi pulmonal. Apabila
kegawatan janin menyebabkan janin terengah engah maka akan
menyebabkan kandungan cairan amnion (mekonium, skuama
rambut, lanugo) teraspirasi ke dalam trakea atau paru paru.
Kombinasi berkurangnya persediaan oksigen untuk otak
yang menyebabkan hipoksia dan kurangnya atau tidak adanya
aliran darah yang menyebabkan iskemia dapat menyebabkan
berkurangnya glukosa untuk metabolisme dan akumulasi laktat
yang menghasilkan asidosis pada jaringan lokal. Setelah terjadi
reperfusi, hipoksia iskemik juga dapat menimbulkan komplikasi
nekrosis sel dan edema endotel vaskular, menurunkan aliran darah
pembuluh darah distal.
3) Gejala Klinis
Secara khas, ensefalopati hipoksia iskemik pada neonatus
memiliki karakteristik edema serebral, nekrosis kortikal, dan
keterlibatan ganglia basalis, sedangkan pada neonatus preterm,
memiliki karakteristik periventrikular leukomalasia. Kedua lesi

29
dapat menyebabkan atropi kortikal, retardasi mental dan
kuadriplegi atau diplegi spastika.
Sesudah lahir, kombinasi hipoksia janin kronis dan jejas
hipoksik iskemik mengakibatkan neuropatologi spesifik sesuai
umur kehamilan. Bayi cukup bulan memperlihatkan nekrosis
neuron korteks (nantinya atrofi korteks) dan jejas iskemia
parasagital. Bayi preterm memperagakan LPV (nantinya diplegia
spastik), status marmoratus ganglia basalis, dan PIV. Bayi cukup
bulan, lebih sering dari pada bayi preter, memperlihatkan infark
korteks setempat atau multifocal yang menghasilkan kejang kejang
setempat (fokal) dan hemiplegia. Perangsangan asam amino dapat
memainkan peranan penting dalam pathogenesis asfiksia jejas otak.
Gejala klinis dan karakteristik ensefalopati hipoksik iskemik
sangat bermacam macam bergantung pada beratnya cedera yang
ditimbulkan. Pucat, sianosis, apnea, frekuensi denyut jantung
lambat dan tidak memberikan respons terhadap rangsangan
merupakan beberapa tanda umum terjadinya ensefalopati hipoksik
iskemik. Neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik derajat
keparahan 3 biasanya hipotonus, walaupun awalnya terlihat
hipertonus dan kewaspadaan yang meningkat sesaat setelah
dilahirkan. Seiring berkembangnya edema serebral, fungsi otak
menurun, depresi kortikal menyebabkan koma, dan depresi batang
otak menyebabkan apneu. Seiring berkembangnya edema serebri,
akan terjadi kejang yang dimulai saat 12-24 jam setelah lahir.
Neonatus juga tidak memiliki tanda respirasi spontan, hipotonus,
dan menurun atau tidak adanya reflek tendon.
Tabel 2. 3. Gejala klinis ensefalopati hipoksik iskemik pada neonatus
Tanda Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3
Tingkat Hiperalert Letargik Stupor
kesadaran
Tonus otot Normal Hipotonus Flaksid
Refleks Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada
tendon/ klonus
Reflek moro Kuat Lemah Tidak ada

30
Pupil Midriasis Miosis Anisokor, reflek
cahaya minimal
Kejang Tidak ada Ada Desereberasi
EEG Normal Perubahan voltase Banyak supresi
rendah hingga hingga
aktifitas kejang isoelektrik
Durasi <24jam jika ada 24jam -14 hari Hari-minggu
kemajuan lain
mungkin tetap
normal

4) Penatalaksanaan
Pencegahan dan pengobatan nantinya diarahkan pada
keadaan dasar yang menyebabkannya, kematian dan
ketidakmampuan kadang kadang dapat dicegah melalui pengobatan
terhadap gejala yang timbul dengan memberikan oksigen atau
pernafasan buatan dan koreksi disfungsi multiorgan terkait.
Edema otak dapat timbul pada 24 jam berikutnya dan
mengakibatkan depresi batang otak yang berat. Selama waktu ini
dapat terjadi aktivitas kejang yang mungkin berat dan kejang ini
refrakter terjadap dosis biasa antikonvulsi. Lorazepam (0,05-0,1
mg/kgBB, iv) dapat digunakan selama kejang akut, sedangkan
untuk mensupresi kejang secara terus menerus mungkin
memerlukan dosis pembebanan i.v. 20-25mg/kgBB fenobarbital
atau 20mg/kgBB fenitoin. Walaupun sebagian besar kejang sering
merupakan akibat dari ensefalopati hipoksik iskemik, kejang pada
bayi baru lahir yang mengalami asfiksia dapat juga disebabkan oleh
hipokalsemi atau hipoglikemia.Pada keadaan hipoksik iskemik
terjadi turunnya suhu berkisar 20C. Terapi hipotermia lebih
bermaksud pada resusitasi dibandingkan dnegan neuroprotektor.
Pada bayi dengan respon minimal pada resusitasi konvensional,
ditempatkan pada tempat berisi air dingin berkisar 23-300C, dan
didiamkan hinggan ia menangis.
g. Ensefalopati lain (Cerebral Palsy)
1) Definisi

31
Serebral palsi adalah ensefalopati statis yang mungkin
didefinisikan sebagai kelainan postur dan gerakan non progresif,
sering disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara,
penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang
sedang berkembang. CP merupakan suatu kelainan yang lazim dan
diperkirakan prevalensi berkisar 2/1.000 populasi (DiCarlo, 2004).
2) Epidemiologi dan Etiologi
Collaborative Perinatal Object, melaporkan bahwa angka
prevalensi CP berkisar 4/1.000 bayi lahir hidup. Asfiksia lahir
merupakan penyebab CP yang tidak lazim, lagi pula kehamilan
yang beresiko inggi membuahkan anak yang normal secara
neurologis. Meskipun CP tidak dapat dikenali penyebabnya pada
sebagian besar kasus, sejumlah besar anak yang mengalami CP
juga menderta anomali congenital di luar sistem saraf pusat, yang
dapat menempatkan mereka pada resiko tinggi terjadinya asfiksia
pada periode perinatal.
3) Gejala Klinis
CP dapat diklasifikasikan dengan gambaran cacat motorik dalam
kaitannya dengan kategori fisiologis, topografis dan etiologis dan
kapasitas fungsional.

32
Fisiologis Topografis Etiologis Fungsional
Spastik Monoplegia Prenatal (misal, Kelas I—tidak ada
infeksi, metabolik, pembatasan aktifitas
anoksia, toksik,
genetik, infark)
Atetoid Paraplegia Kelas II—
Kaku Hemiplegia pembatasan ringan
Ataksik Triplegia sampai sedang
Tremor Kuadriplegia Perinatal (misal, Kelas III—
Atonik Diplegia anoksia) pembatasan sedang
sampai berat
Campuran Hemiplegia Pasca natal (misal, Kelas IV—aktifitas
Tidak ganda toksin, trauma, fisik tidak berguna.
terklasifikasi infeksi)
Tabel 2. 4. Klasifikasi CP
Klasifikasi fisiologis mengenali kelainan motorik utama, sedang
toksonomi topografis menunjukkan keterlibatan tungkai. CP juga
lazim disertai dengan spectrum kecacatan perkembangan, termasuk
retardasi mental, epilepsi dan kelainan penglihatan, pendengaran,
bicara, kognitif, dan perilaku. Cacat motorik meungkin merupakan
masalah anak yang paling ringan.
Bayi yang menderita hemiplegia spastik mengalami penurunan
gerakan spontan pada belahan tubuh yang terkena dan menunjukkkan
preferensi tangan pada usia dini. Lengan lebih sering terlibat dari pada
kaki, dan kesulitan pada manipulasi tangan nyata pada usia 1 tahun.
Berjalan biasanya terlambat sampai 18-24 bulan, dan gaya berjalan
melingkar tampak. Pemeriksaan tungkai dapat menunjukkan henti
pertumbuhan terutama pada tangan dan kuku ibu jari, terutama jika
lobusparietalis kontralateral abnormal, karena pertumbuhan tungkai
dipengaruhi oleh otak daerah ini. Spastisitas nyata pada tungkai kaki
yang terkena, terutama pergelangan kaki menyebabkan deformitas
equinovarus kaki. Anak sering berjalan dengan ujung jari kaki karena
peningkatan tonus dan tungkai atas yang terkena mendapat postur
distonik ketika anak berlari. Klonus pergelangan kaki dan tanda
Babinski masih mungkin ada, refleks tendo dalam meningkat dan

33
kelemahan tangan dan dorsofleksi kaki nyata. Sekitar sepertiga
penderita dengan hemiplegia spastik menderita gangguan kejang yang
biasanya berkembang selama tahun pertama atau kedua dan sekitar
25% menderita kelainan kognitif yang termasuk retardasi mental. CT
Scan atau MRI dapat menunjukkan adanya atrofi hemisfer serebri
dengan ventrikel lateral kontralateral dilatasi pada sisi tungkai yang
terkena. Tromboembolisme intrauterine dengan infark serebri
setempat dapat merpakan suatu etiologi, CT atau MRI saat lahir pada
bayi dengan kejang kejang setempat sering memperagakan daerah
infark.
Diplegia spastik menunjuk pada spatisitas bilateral kaki.
Penunjuk pertama diplegia spastik sering ditemukan ketika bayi mulai
merangkak. Anak ini menggunakan lengan dalam cara resiprokal
normal namun cenderung menyeret kakinya di belakang lebih seperti
kemudi (gerakan merangkak komando) bukannya gerakan merangkak
kaki empat normal. Jika spastisitas berat, pemakaian popok sukar
karena adduksi pinggul berlebihan. Pemeriksaaan anak menunjukkan
spastisitas pada kaki dengan refleks klonus pergelangan kaki cepat dan
tanda babinski bilateral. Bila anak bergantung pada aksila, postur
menggunting tungkai bawah dipertahankan. Berjalan sangat lambat
kaki tertahan pada posisi equinovarus, dan anak berjalan pada ujung
jari, Diplegia spastik berat ditandai dengan atrofi karena tidak
digunakan dan pertumbuhan tungkai bawah terganggu dan dengan
pertumbuhan yang tidak berimbang dengan perkembangan normal
pada tubuh bagian atas. Prognosis untuk perkembangan intelektual
normal adalah sangat baik pada penderita ini, dan kemungkinan
kejang minimal. Temuan neuropatologis yang paling lazim adalah
leukomalasia periventrikular, terutama pada daerah di mana serabut
yang menginervasi kaki berjalan melalui kapsula interna. Lesi ini
ditemukan pada bayi prematur.

34
Kuadriplegia spastik merupakan bentuk CP yg oaling berat
karena gangguan motorik yang mencolok semua tungkai dan
hubungan yang tinggi dengan retardasi mental dan kejang. Kesulitan
menelan lazim terjadi karena palsi supranuklear bulbar dan sering
mengarah pada pneumonia aspirasi. Pada autopsi substansia alba
sentral terganggu oleh daerah degenerasi nekrotik yang dapat menyatu
menjadi rongga kistik. Pemeriksaan neurologis memperlihatkan
kenaikan tonus dan spastisitas pada semua tungkai, menurunkan
gerakan spontan, reflek yang cepat, dan respons ekstenson plantar.
Kontraktur fleksi pada lutut dan siku sering ada pada masa anak akhir.
Kecacatan perkembangan yang menyertai, termasuk kelainan bicara
dan penglihatan terutama lazim pada kelompok anak ini. Anak dengan
kuadrisep spastik sering mempunyai bukti adanya atetosis dan dapat
diklasifikasikan sebagai CP campuran.
CP athetoid relatif jarang, terutama sejak penemuan manajemen
agresif hiperbilirubinemia dan pencegahan kernikterus. Bayi ini secara
khas hipotonik dan memiliki kontrol kepala yanbg buruk dan
kelambanan kepala yang mencolok. Pemberian makanan mungkin
sulit, lidah menjulutdan air liur mungkin menonjol. Gerakan atetoid
mungkin tidak menjadi nyata hingga usia 1 tahun dan cenderung
terjadi bersama dengan hipermielinisasi ganglia basalis, suatu
fenomena yang disebut status marmoratus. Bicara secara khas terkena
karena keterlibatan otot otot orofaring. Kalimat kalimat tertelan dna
modulasi suara terganggu. Biasanya tanda neuron motorik atas tidak
ada, kejang tidak lazim, dan intelek dipertahankan pada kebanyakan
penderita.
4) Penatalaksanaan
Jika penderita mengalami spastisitas tungkai bawah yang berat atau
terbukti terjadi dislokasi sendi pinggul maka diperlukan tindakan
bedah jaringan lunak untuk mengurangi spasme otot sekitar lingkaran
panggul, termasuk tenotomi adductor atau pemindahan atau pelepasan

35
psoas. Tali tumit yang ketat pada anak dengan hemiplegia spastik
dapat ditangani secara bedah dengan tenotomi tendo Achilles.
Penderita dengan kuadriplegia ditatalaksana dengan kursi roda
bermotor, alat makan khusus, mesin tik bicara, dan komputer yang
disesuaikan secara khusus termasuk komputer intelegensia buatan
untuk memperbesar fungsi motorik dan bahasa. Masalah perilaku
yang berarti dapat sangat mengganggu perkembangan anak dengan
CP, identifikasi dan manajemen awal penting, dan bantuan psikologis
arau psikiatri mungkin diperlukan. Gangguan belajar dan defisit
perhatian dan retardasi mental dimulai dan ditatalaksana oleh ahli
psikologi dan pendidik. Strabismus, nistagmus dan atrofi optik adalah
lazim pada anak dengan CP. Disfungsi saluran kencing bawah harus
segera mendapatkan penanganan, termasuk diantaranya natrium
dantrolen, benzodiazepine, dan baklofen. Toksin botilinum masih
dalam penelitian untuk mengatasi spastisitas pada kelompok otot
tertentu. Kadang kadang penderita dengan atetosis yang menjadikan
tidak mampu akan berespon terhadap levodopa, dan anak dengan
distonia mungkin mendapatkan manfaat dari karbamazepine atau
triheksifenidil.

36
BAB IV
KESIMPULAN

Coma merupakan suatu keadaan tidak sadarkan diri yang dalam hingga
penderita tidak dapat dibangunkan, bahkan dengan rangsangan yang kuat.
Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat/dibuat jembatan keledai
menjadi kalimat “SEMENITE” (Sirkulasi, Ensefalitis, Metabolik, Elektrolit,
Neoplasma, Intoksikasi, Trauma dan Epilepsi). Ensefalopati adalah istilah yang
digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak menyeluruh yang dapat akut
atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati berdasarkan penyebab dibagi
menjadi ensefalopati hepatic, uremic, Wernicke, hipertesi, infeksi, hipoksemi dain
ensefalitis tipe lain (Cerebral Palsy).

37
DAFTAR PUSTAKA

Chris, Tanto. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.


Chusid,J.G. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional.Gajah Mada
University Press.Bagian Dua. 1990. Hal. 579-583 EGC.
Cuciureanu, D. Hypertensive Encephalopathy: Between Diagnostic and Reality.
Roumanian Journal of Neurology 6/3. 2007:114-177.
DiCarlo JV, Frankel LR. Neurologic Stabilization. In: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB. (eds.) Nelson TextBook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia:
Saunders An Imprint of Elsevier Science. 2004.
Dorland, W. A. 2012. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.
Handel MV, Swaab H, De Vries LS, Jongmans MJ. Long term cognitive and
behavioral consequences of neonatal encephalopathy following perinatal
asphyxia: a review. European Journal Pediatric. 2007;166: 645-654.
Khatib O, El-Guindy M. Clinical Guidelines for the Management of
Hypertension. Cairo: WHO regional Office for the Eastern Mediterranean.
2005: 13-14.
Kurinczuk JJ, White-Koning M, Badawi N. Epidemiology of neonatal
encephalopathy and hypoksic ischemic encephalopathy. Early Human
Development. 2010;86: 329-338.
Mahar Mardjono dan Priguna Sidharta. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:
Dian Rakyat.
Sherwood, lauralee.2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.Jakarta : EGC
Wijdicks EF, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM, American Academy of N.
Evidence- based guideline update: Determining brain death in adults: Report
of the quality standards subcommittee of the American Academy of
Neurology. Neurology 2010.

38

Anda mungkin juga menyukai