Anda di halaman 1dari 12

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN CIDERA KEPALA RINGAN

A. Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada
jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi .
Disebut cedera kepala ringan bila Glasgow Coma Scale 15 (sadar penuh, otentif dan
orientatif), Tidak ada kehilangan kesadaran dan Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan
pusing.

B. Etiologi
1. Trauma tumpul : Ada dua macam yaitu kecepatan tinggi akibat tabrakan kendaraan
(mobil,motor) dan kecepatan rendah akibat terjatuh/dipukul
2. Trauma tembus : Dapat disebabkan karena tembus peluru/cedera tembus lainnya.
Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah :
1. Kecelakaan lalu lintas.

2. Terjatuh

3. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.

4. Olah raga

5. Benturan langsung pada kepala.

6. Kecelakaan industri.

C. Tanda dan Gejala


a. Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, otentif dan orientatif)
b. Tidak ada kehilangan kesadaran
c. Tidak ada Intoxicasi alcohol / obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi / hematom kulit kepala
D. Klasifikasi

Cedera Kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tingkat keparahan, dan


morfologi cidera.
1. Berdasarkan Mekanisme :

a. Trauma Tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh,


terpukul)

b. Trauma Tembus : luka tembus peluru dan cdera tembus lainnya.

2. Berdasarkan Tingkat Keparahan :

Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS. Dimana
GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu:
a. Reaksi membuka mata (Eye responses)

 Score 4: Membuka mata dengan spontan

 Score 3: Membuka mata bila dipanggil

 Score 2: Membuka mata bila dirangsang nyeri

 Score 1: Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

b. Reaksi berbicara (Verbal responses)

 Score 5: Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

 Score 4 : Bingung disorientasi waktu, tempat dan orang

 Score 3 : Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tidak berbentuk gerakan

 Score 2 : Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak berbentuk kata

 Score 1 : Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

c. Reaksi Gerakan lengan / tungkai (Motoric responses)

 Score 6 : Mengikuti perintah


 Score 5 : Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui rangsangan atau tempat

 Score 4: Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

 Score 3: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

 Score 2: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

 Score 1: Dengan rangsangan nyeri tidak ada reaksi

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi :
 Cedera Kepala Ringan (CKR) : bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah). Dapat
terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang
dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar
55% ).

 Cedera Kepala Sedang (CKS) : bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang), hilang
kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak,
disorientasi ringan ( bingung ).

 Cedera Kepala Berat (CKB) : bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat), hilang
kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya
hematoina atau edema

3. Berdasarkan morfologi

a. Fraktur tengkorak

 Kranium : linear / stelatum ; depresi / non depresi ; terbuka / tertutup.

 Basis : dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal ; dengan /tanpa kelumpuhan


nervus VII

b. Lesi intracranial

 Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral dan hematom
serebal, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan masa lesi,
pergeseran otak.
 Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

E. Patofisiologi (Terlampir)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. CT- Scan ( dengan tanpa kontras ). Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan, ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
2. MRI. Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography. Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG. Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. X – Ray. Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
6. BAER. Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7. PET. Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
8. CFS. Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
9. ABGs. Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan ( oksigenisasi ) jika
terjadi peningkatan tekanan intra cranial.
10. Kadar elektrolit. Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intrakranial.
11. Screen Toxicologi.
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

G. Penatalaksanaan

Pedoman resusitasi dan penilaian awal

1. Menilai jalan nafas

Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,
pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar
servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala orofasial
mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernapasan
Tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak berikan
oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan
atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks.
Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen
minimum 95%. Jika pasien tidak terlindung bahkan terancam atau
memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >95 mmHg dan PaCO2 > 95%)
atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi.
3. Menilai sirkulasi

Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan


dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera
intrabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena
ynag besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan dara perifer lengkap ureum,
elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid.
Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa dan dekstrosa salan salin)
menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi,
hipoksia dan hiperkapnia memburuk cedera kepala.
4. Obati kejang

Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat
diulangi sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan
fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan
tidak melebihi 50 mg/menit.
Pedoman penatalaksanaan
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala atau leher, lakukan foto tulang
belakang servikal (proyeksi antero-posterior, lateral dan odontoid), kolar
servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-
C7 normal.

2. Elevasi kepala 300


3. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, dilakukan
prosedur berikut :

a. Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau
larutan Ringer laktat : catat isotonis lebih efektif mengganti volume
intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah
edema serebri.

b. Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap,


trombosis, kimia darah, glukosa, ureum, kreatinin, masa protrombin,
atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar
alkohol bila perlu.

4. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak


diperlukan jikaCT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk
mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang atau berat,
harus dievaluasi adanya :

a. Hematoma epidural

b. Darah dalam suaracnoid dan intraventrikel

c. Kontusio dan perdarahan jaringan otak

d. Edema serebri

e. Obliterasi sisterna perimesensefalik

f. Pergeseran garis tengah

g. Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.

5. Pasien dengan cedera kepala ringan umumnya dapat dipulangkan ke


rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria
sebagai berikut :

a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya


berjalan) dalam batas normal
b. Foto servikal jelas normal

c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien


selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke
bagian gaeat darurat jika timbul gejala perburukan.

Kriteria perawatan di rumah sakit :


 Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT
Scan

 Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun

 Adanya tanda atau gejala neurologis fokal

 Intoksikasi obat atau alcohol

 Adanya penyakit medis komorbid yang nyata

 Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati


pasien di rumah.

H.Komplikasi

1. Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah


terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata atau
cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio
menyebabkan periode apnu yang singkat.

2. Hematoma Epidural adalah penimbunan darah di atas durameter. Hemotoma epidural


terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam
jiwa

3. Hematoma subdura adalah penimbunan darah dibawah durameter tetapi diatas


membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh pendarahan vena,
tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdura.
4. Pendarahan subaraknoid adalah akumulasi darah di bawah membran araknoid tetapi
diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan serebraspinalis bila dalam
keadaan normal.

5. Hematoma intraserebrum adalah pendarahan di dalam otak itu sendiri, hal ini dapat
timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka.

I. Diagnosa Keperawatan

A. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko ketidafefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema


serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.

2. Resiko tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya
sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.

3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma kepala.

4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya


tekanan intrakranial.

B. Intervensi

1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema


serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.

Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada
pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
 Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk
menurunkan tekanan vena jugularis.

 Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya tekanan intrakranial:


 Bila akan memiringkan pasien, harus menghindari adanya tekukan pada
anggota badan, fleksi (harus bersamaan)

 Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver

 Ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari


percakapan yang emosional.

 Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial


sesuai program.

 Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena


dapat meningkatkan edema serebral.

 Monitor intake dan out put.

 Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.

 Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan


pemenuhan nutrisi.

 Pada pasien , libatkan keluarga dalam perawatan pasien dan jelaskan hal-
hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

2. Resiko tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya
sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.

Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan
tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan
dalam batas normal.
Intervensi:
 Kaji Airway, Breathing, Circulasi

 Kaji apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari kepala
ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebral

 Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret
segera lakukan pengisapan lender
 Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas

 Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan
tinggikan 15 – 30 derajat.

 Oksigen sesuai program.

3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma kepala.

Tujuan : pasien akan merasa nyaman yang ditandai dengan pasien tidak
mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
 Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri,
lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat,
berkeringat dingin.

 Mengatur posisi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri.

 Kurangi rangsangan.

 Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.

 Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.

 Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.

4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau


dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit
baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
 Kaji intake dan out put.

 Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun


atau mata cekung dan out put urine.
 Berikan cairan intra vena sesuai program.

5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya


tekanan intrakranial.

Tujuan : pasien terbebas dari injuri.


Intervensi :
 Kaji status neurologis pasien: perubahan kesadaran, kurangnya respon
terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan
menurun, dan kejang.

 Kaji tingkat kesadaran dengan GCS

 Monitor tanda-tanda vital pasien setiap jam.

 Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.

 Berikan analgetik sesuai program


DAFTAR PUSTAKA

Joanne Mccloskey Docherman, Gloria M. Bulechek. Nursing Interventions Classification (NIC)


fourth edition. United States of America, Library of Congress Cataloging. 2000.

Marion Johnson, Merodean Maas. Nursing Outcomes classification (NOC) 2nd ed. United States
of America, A Harcourt Health Scences Company. 2000.

NANDA Internasional NURSING DIAGNOSES Definition & Classification 2012-2014. .


United States of America, Blackwell Publishing. 2012.

Price, S.A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed. 6. Jakarta ; Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8
Vol 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai