Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

SINDROM NEFROTIK

Pembimbing:
dr. Emilda, SpA

Oleh:
Dennis Aditya (406162132)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI - BOGOR
PERIODE 19 MARET 2018 – 26 MEI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :
Sindrom Nefrotik

Disusun oleh :
Dennis Aditya (406162132)
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Ciawi

Ciawi, April 2018

Dr. Emilda, SpA

2
DAFTAR ISI

Cover ................................................................................................................................................1
Lembar Pengesahan .........................................................................................................................2
Daftar Isi ..........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................................5
2.1 Definisi ..................................................................................................................................5
2.2 Etiologi ..................................................................................................................................8
2.3 Epidemiologi .........................................................................................................................6
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi ...............................................................................................7
2.5 Manifestasi Klinik .................................................................................................................8
2.6 Diagnosa Kerja....................................................................................................................12
2.7 Diagnosis Banding ..............................................................................................................13
2.9 Penyulit ...............................................................................................................................14
2.10 Komplikasi ........................................................................................................................15
2.11 Tatalaksana .......................................................................................................................15
2.12 Imunisasi ...........................................................................................................................19
2.13 Prognosis ...........................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................21

3
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Difteri adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria, suatu bakteri gram positif fakultatif anaerob. Hal ini ditandai dengan sakit
tenggorokan, demam rendah, dan suatu pseudomembrane pada tonsil, faring, dan / atau
rongga hidung. Difteri adalah penyakit menular yang menular melalui kontak fisik
langsung atau terhirup droplet dari napas individu yang terinfeksi. Difteri umumnya
telah diberantas di negara-negara industri dan beberapa negara berkembang.
Pemeriksaan yang khas menunjukkan pseudomembran yang khas yang terdapat
pada daerah diatas tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak kotor
dan berwarna putih yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil.
Perdarahan dapat terjadi jika dilakukan pengangkatan membran.
Diagnosa dibuat lebih awal dan penanganan dimulai segera ketika diketahui bahwa
terjadi epidemic difteri. Sediaan apus nasofaring dan tonsil diperoleh dan diletakkan
dalam medium transport yang kemudian dibiakkan pada agar MacConkey atau media
Loeffler. Strain yang diduga kemudian diuji untuk toksigenitas.
Penanganan penyakit terdiri dari dua fase : (1) Penggunaan antitoksin spesifik dan
(2) eliminasi organisme penyebab dari orofaring. Sebelum antitoksin diberikan,
sebaiknya dilakukan uji sensitivitas terhadap serum.
Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas dan membutuhkan
trakeostomi. Endocarditis dan paralisis otot dapat terjadi dan peradangan dapat menyebar
ke telinga, menyebabkan otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru
menyebabkan pneumonia.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.
Infeksi biasnya terdapat pada faring, laring, hidung, dan kadang pada kulit, konjungtiva,
genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala local dan sistemik, efek
sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat
infeksi.1
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita
difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau
berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan
predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.1

2.2 ETIOLOGI

Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob),


tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini
bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf
cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah
dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan
organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni
menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu
medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi
tinggi maka terjadi granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada
medium ini koloni akan berwarna kecoklatan.2

Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan mistis
namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang
bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa
menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu

5
jenis C.diphtheriae. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000
dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-
terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk
atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa
diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.3

Gambar I. Corynebacterium diphtheria

2.3 EPIDEMIOLOGI
Difteri tersebar luas ke seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara nyata
setelah perang dunia kedua, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula terdapat
penurunan mortalitas yang berkisar 5-10%. Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah
umur 15 tahun, meskipun demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut
umur tergantung status imunitas populasi setempat.
Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya
fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini. Orang-orang yang
berada pada risiko tertular difteri meliputi:
 Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru
 Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak sehat
 Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan
 Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri

6
Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa,
karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa dekade. Namun,
difteri masih sering ditemukan pada negara-negara berkembang di mana tingkat
imunisasinya masih rendah.
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet
(infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Partikel debu bisa menjadi media
penularan (vehicle of transmission).1
Di Indonesia, difteri muncul kembali sejak tahun 2017. Sejak Januari hingga
November 2017 tercatat 593 kasus difteri, tersebar di 95 kabupaten dan kota di 20
provinsi, dengan angka kematian 32 kasus. Dan pada bulan desember 2017 lalu, Menteri
Kesehatan telah menetapkan status difteri menjadi wabah.

2.4 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Kuman Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat
serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang menyebar ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh
tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin yang diproduksi oleh C.
diphteriae menghambat sistesis protein. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari
penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati
kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah
dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA,
diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer
RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim translokase yang aktif.
Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen
B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase
yang menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan dengan
jaringan nekrotik, membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi
toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin melebar dan terbentuklah eksudat fibrin.

7
Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman (psudo-
membrane), tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Bila dipaksa melepaskan
membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan.
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan bisa terjadi dengan
perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan
dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf
dan ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas, tetapi tidak
menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10 - 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya
terjadi setelah 3 - 7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik
dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak
edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila
pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai
gejala hipoglikemik, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut
pada ginjal.2

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa
gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer
adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C.
diphtheriae (kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara
anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada
daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2-4 hari.
Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan
sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada
lokalisasi penyakit difteria.

8
Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
a. Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.

b. Gejala local, yang tamapak berupa tonsil yang membengkak ditutupi bercak putihkotor
yang makin lama makin meluas, dan dapat menyumbat saluran nafas. Pseudomembran
ini melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bullneck ). Bila difteria mengenai
hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria) gejala yang timbul berupa pilek, sekret
yang keluar bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya
penyakit ini akan meluas ke bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring.

c. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf cranial menyebabakan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :


- Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala
hanya nyeri menelan.
- Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang
rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
- Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis
(radang ginjal). 4

2.5.1 Difteri Saluran Pernapasan

Focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94% kasus, dengan hidung dan
laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari,
terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari
38,9ºC.

9
2.5.1.1. Difteri Hidung

Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada
bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan
membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada
pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat
lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.2

2.5.1.2 Difteri Tonsil Faring

Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri
kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu,
injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau
bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring
posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan
pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala
tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat
terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni
maupun bilateral, disertai kesulitan menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias
terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara
berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan
membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.1

10
2.5.1.3 Difteri Laring

Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan


difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan
lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala
toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang
rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih
mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang
lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada
Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular.
Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian
mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial.
Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang
tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.2

11
2.5.2 Difteri Kulit

Difteri kulit berupa kelainan dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif
lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial dengan
membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari
impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan
kasus terjadi infeksi sekunder akibat dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar
atau impetigo. Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, eritema,
dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia jarang ditemui.1

2.5.3 Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga

C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-


tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif),
dan saluran genital (vulvovaginitis purulenta dan ulseratif). Adanya ulserasi,
pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari
penyebab bakteri dan virus lain.1

2.6 DIAGNOSIS KERJA


DIFTERI PADA ANAK
Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan
akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman difteri dengan sediaan langsung
kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara
fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti

12
dengan isolasi Corynebacterum diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler,
dilanjutkan dengan test oksinogenesitas secara in vivo (tikus) dan in vitro (tes Elek).
Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis
difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penelitian
lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan pseudo-membrane
dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.2

2.7 DIAGNOSIS BANDING


 Difteria Hidung : rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam
hidung,
 Difteria Faring : tonsilitis membranosa akut yang disebabkan oleh Streptokokus
(tonsilitis akut, septic sore throat), mononukleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa non-
bakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
 Difteria Laring : laringitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain yaitu
spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring.
 Difteria Kulit : impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus dan
stafilokokus.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Schick test
Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap diftery. Tes dilakukan dengan
menyuntikkan toksin diftery (dilemahkan) secara intra kutan bila tidak terdapat kekebalan
anti toksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga tes menjadi positif.
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak
berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk
pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan
yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin
akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada
orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas

13
suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif
bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang
dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi
akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.1

b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albumin ringan.
c. Pemeriksaan Mikrobiologi
d. Uji Kepekaan Moloney : untuk menentukan sensitivitas terhadap produk bakteri dari
basil difteri (hati-hati terjadi reaksi anafilaksis). Tes dilakukan dengan memberikan 0,1
ml larutan fluid diftery toksoid secara suntikan intra dermal. Reaksi positif bila dalam 24
jam timbul eritema > 10 mm. Ini berarti bahwa pernah terpapar pada basil difteri
sebelunnya sehingga terjadi reaksi hipersensitifitas.1

2.8 PENYULIT
Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin. Maka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam:
1. Obstruksi jalan nafas
Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran difteri atau oleh
karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan servikal.
2. Efek eksotoksin
Dampak eksotoksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang
dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada pasien
yang terlambat mendapat pengobatan antitoksin. Penyulit pada jantung berupa
miokardiopati toksik bisa terjadi pada minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini (minggu
pertama) atau lebih lambat (minggu ke-6). Manifestasinya bisa berupa takikardi,
suara jantung redup, bising jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung.
Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST,
perpanjangan interval PR, dan heart block.

14
Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan pada palatum
molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran
menelan. Paralisis otot mata biasanya pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi
antara minggu ke-5 dan ke-7.
Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon
reflexes, peningkatan kadar protein dalam cairan serebrospinal. Hal ini dapat
menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi
kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung.
3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain.
Setelah penggunaan antibiotika secara luas, penyulit ini sudah sangat jarang.1

2.10 KOMPLIKASI
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan
menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasi kordis. Kelumpuhan
otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga
menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernafasan.
Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.2

2.11 TATALAKSANA

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi
penyerta dan penyulit difteria.

A. Pengobatan umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan

15
serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung
protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya
komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap
minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap
bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.3

B. Pengobatan Khusus

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.


Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian
ini biasa meningkat sampai 30%.

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 Intramuscular


Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular /

Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular /

Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular /

Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena

16
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu,
oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan.
Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan
dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata
yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif,
ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihipersensitivitas
tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis
ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000U seperti
tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis
atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat.3

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk


membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap
berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan
tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat

17
jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau
eritromisin.3

Dosis :

 Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14


hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).

 Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14


hari.

 Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi


dalam 4 dosis.

 Amoksisilin.

 Rifampisin.

 Klindamisin.

Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-
10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua
biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak
24 jam sesudah selesai terapi.

3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan
gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan
bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah
miokarditis ternyata tidak terbukti.

Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.

C. Pengobatan Penyulit

18
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi.

D. Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin
40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/
edenoidektomi.3

Pengobatan Terhadap Kontak Difteria

Biakan Uji Schick Tindakan


(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi
dasar diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari
selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 U
(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan
status imunisasi

2.12 Imunisasi
Imunisasi DPT merupakan vaksin mati, sehingga untuk mempertahankan kadar
antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan, kelengkapan ataupun pemberian
imunisasi ulangan sangat diperlukan. Imunisasi DPT lima kali harus dipatuhi sebelum
anak berumur 6 tahun.

19
Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali
dengan interval masing-masing 4 minggu. Apabila imunisasi belum lengkap segera
dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang), dan
yang telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan
1x.
Waktu pasien dipulangkan :
 DPT 0,5 ml, i.m, untuk anak < 7 tahun
 DT 0,5 ml, i.m, untuk anak ≥ 7 tahun

2.13 PROGNOSIS
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotic lebih baik daripada
sebelumnya. Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50
%. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan
sering terjadi akibat miokarditis. Di Indonesia pada daerah kantong yang belum terjamah
imunisasi masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Bila antitoksin
diberikan pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%, namun
dengan penundaan lebih dari hari ke-6 akan menyebabkan angka kematian meningkat
sampai 30%. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat
disebabkan oleh karena :
1. obstruksi jalan napas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteri,
2. adanya miokarditis dan gagal jantung
3. paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah
dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
Prognosa tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada
anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran
difteri.

20
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe
nasofaring(48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik

21
Daftar Pustaka

1. Marcdante, K., Kliegman, R., Jenson, H. and Behrman, R. (n.d.). Nelson ilmu
kesehatan anak esensial.
2. Cdc.gov. (2018). Diphtheria | Diagnosis and Treatment | CDC. [online] Available
at: https://www.cdc.gov/diphtheria/about/diagnosis-treatment.html [Accessed 1
Apr. 2018].
3. Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18
4. Soepardi E., Iskandar N. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher. Edisi
Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004.
5. Foto Difteri [Internet]. Imunisasi.net. 2018 [cited 29 March 2018]. Available
from: http://www.imunisasi.net/Foto%20Difteri.html
6. Diphtheria and Other Corynebacterial Infections | Harrison's Principles of Internal
Medicine, 19e | AccessMedicine | McGraw-Hill Medical [Internet].
Accessmedicine.mhmedical.com. 2018 [cited 27 March 2018]. Available from:
https://accessmedicine.mhmedical.com/Content.aspx?bookId=1130&sectionId=7
9735340

22

Anda mungkin juga menyukai