Bambang Sulistyanto
Pusat Arkeologi Nasional, Jl. Condet Pejaten No. 4, Jakarta Selatan 12510
bsoelistyo@yahoo.com
Abstrak. Konflik warisan budaya Situs Gunung Padang merupakan isu baru yang muncul pada
2012, akibat perbedaan dalam memaknai warisan budaya. Bagi kalangan arkeologi, Gunung Padang
hanyalah situs megalitik “biasa” yang dikenal dengan istilah punden berundak. Tetapi bagi Tim
Terpadu Riset Mandiri, Situs Gunung Padang adalah piramida dan diduga berusia jauh lebih tua dari
Piramida Mesir. Konflik horisontal Gunung Padang adalah konflik perbedaan paradigma arkeologi
yang berdampak pada perbedaan pandangan dalam menafsirkan keberadaan tinggalan budaya.
Konflik tersebut, merupakan konflik murni yang terbatas pada ranah kepentingan Ilmu Pengetahuan
tanpa ada intervensi oleh berbagai faktor, termasuk faktor politis. Disisi lain arkeologi sudah lama
menjadi ajang pergulatan pemikiran para ahli. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena kajian
pokok arkeologi bersifat post-facto yang terjadi tidak sekarang, tetapi ratusan bahkan ribuan atau
jutaan tahun silam. Pada sisi lain, namanya pengetahuan itu sebenarnya bersifat relatif dan subyektif,
karena telah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan. Oleh karena itu, pengetahuan yang benar atau
realitas masa lampau itu tidak ada, yang ada hanyalah pengetahuan masa lampau versi masyarakat
masa kini. Perdebatan dalam ranah ilmu pengetahuan merupakan hal yang biasa. Jika konflik Gunung
Padang dapat diselesaikan dengan benar, justru akan memberikan manfaat, salah satunya mendorong
ke arah perubahan yang lebih baik.
Abstract. Horizontal Conflict Regarding A Cultural Heritage: The Megalithic Site of Gunung
Padang. Conflict about a cultural heritage, Gunung Padang Site, is a new issue that surfaced in
2012 due to different views in interpreting a cultural heritage. To archaeologists, Gunung Padang
is a “typical” megalithic site, which is known as terraced structure. However, to Tim Terpadu Riset
Mandiri (Integrated Team of Independent Research), it was a pyramid much older than the ones in
Egypt. The horizontal conflict about Gunung Padang is a conflict caused by different archaeological
paradigms, which impacted on different views in interpreting the existence of cultural remains. It is a
purely conflict, which scope is limited to the domain of Academic purposes with no interventions from
various factors, including political factor. Archaeology has long been an arena of debates by experts.
One of the reasons is because the main study of archaeology is post-facto – does not happen in recent
time, but hundreds and even thousands and millions of years ago. On the other hand, knowledge/
science is relative and subjective in nature because it is influenced by various interests. Therefore
there is no true knowledge/science or reality of the past. What exists is knowledge about the past
according to present-day people. Debates in knowledge/science domain are natural. In fact, if the
conflict about Gunung Padang can be resolved in the right way, it will be a benefit, among others it
will lead to a change for the better.
Naskah diterima tanggal 11 Maret 2014 dan disetujui tanggal 12 Mei 2014.
63
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
64
Bambang Sulistyanto, Konflik Horisontal Warisan Budaya, Megalitik Situs Gunung Padang.
65
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
yang tidak kalah penting di samping pendapat Terpadu Riset Madiri, LSM maupun masyarakat
arkeolog yang perlu kita dengarkan. Alasan di sekitar situs dengan bobot pertanyan yang
saya memandang penting permasalahan berbeda-beda3.
tersebut mendesak untuk segera disikapi, Ketepatan dalam pemilihan informan,
karena fakta sosial memperlihatkan, bahwa disadari merupakan salah satu faktor penting
konflik kepentingan seringkali mewarnai upaya yang sangat menentukan keberhasilan dalam
pemerintah dalam melakukan pelestarian penelitian ini. Informan yang digunakan, adalah
warisan budaya. mereka yang terlibat langsung maupun tidak
Penelitian ini merupakan penelitian langsung dalam konflik Situs Gunung Padang.
kualitatif dengan menggunakan pendekatan Dalam hal ini mereka adalah stakeholders
studi kasus (case study). Tujuan dari dan sebagian penduduk yang berkepentingan
pendekatan ini adalah untuk mengembangkan memanfaatkan sumber daya arkeologi Situs
pengetahuan yang mendalam berkenaan dengan Gunung Padang. Memperhitungkan konflik situs
objek penelitian yang bersifat eksploratif ini melibatkan banyak pihak, maka penelitian
(Kleden 1998: 23). Dengan pendekatan ini, dilengkapi pula dengan beberapa informan
diharapkan dapat diungkapkan berbagai faktor kunci4. Adapun Pengumpulan data dilengkapi
penyebab terjadinya konflik kepentingan dalam dengan diskusi kelompok terfokus, dengan cara
pemanfaatan sumber daya arkeologi Situs menghadiri seminar dan diskusi yang pada
Gunung Padang. Dipilihnya Situs Gunung waktu itu cukup sering diselenggarakan oleh
Padang sebagai obyek penelitian dengan alasan, berbagai lembaga formal maupun non formal
bahwa situs ini sangat terkenal dan menjadi dalam konteks memaknai Situs Gunung Padang.
wacana publik akibat konflik terbuka yang
hingga sekarang belum ditemukan solusinya. 2. Pengertian dan Makna Konflik
Penelitian ini, di samping mempelajari Banyak ilmuwan mendefinisikan
data sekunder, dilakukan pula penelusuran data fenomena konflik secara berbeda-beda,
primer yang dicari di lapangan melalui tiga cara tergantung dari kacamata pandang masing-
yaitu observasi, wawancara, dan diskusi terfokus masing (Luthans 1985: 386; Robbins 1996:
(Focus Group Discussion). Mempertimbangkan 428). Stoner dan Freeman (1989: 391) misalnya,
objek kajian ini adalah fakta sosial budaya mendefinisikan konflik sebagai ketidaksepakatan
yang sudah dan sedang berlangsung, maka antar individu atau kelompok yang berawal dari
pengamatan terlibat (observation participant), kebutuhan berbagai sumber daya yang terbatas
dirasakan lebih tepat untuk menjaring data atau perbedaan status, tujuan dan sasaran, serta
yang diperlukan. Teknik observasi ini berupaya
3 Sebagian besar informan sudah dikenal penulis, maka
sebanyak mungkin bertemu dan berbicara mekanisme wawancara tidak terlalu formal bahkan terlihat
dengan banyak orang yang berkepentingan akrab seperti pembicaraan biasa. Diskusi sering kali dilakukan
baik di lapangan maupun di tempat resmi, baik dengan rekan-
terhadap Situs Gunung Padang2. Hasil dari rekan Arkenas maupun dengan Tim Terpadu Riset Madiri, tetapi
sebagian besar dari mereka mungkin tidak sadar kalau sedang
observasi lapangan, dipertajam melalui diwawancarai.
wawancara mendalam yang dilakukan terhadap 4 Mereka adalah unsur-unsur kepemimpinan formal dan
informal. Kategori kepemimpinan formal dalam penelitian ini
stakeholders, seperti kalangan akademik, adalah dari bupati hingga camat dan kepala desa setempat serta
kalangan pemerintah, Lembaga Profesi, Tim pimpinan-pimpinan instansi pengelola Benda Cagar Budaya
kawasan Situs Gunung Padang baik di tingkat daerah maupun di
2 Alasan digunakannya metode ini, karena peneliti tidak akan tingkat pusat. Kategori tokoh informal, ialah sesepuh desa dan
dapat memahami proses berpikir penduduk setempat, jika tokoh masyarakat setempat yang dipandang memiliki banyak
hanya melakukan pengamatan proses interaksi secara selintas. pengalaman dan pengetahuan tentang permasalahan. Tokoh
Observasi dilakukan guna menangkap secara langsung informal seperti ini akan dijadikan informan kunci, sekaligus
fenomena-fenomena sosial-budaya masyarakat yang berkaitan sebagai saksi hidup yang diharapkan mampu memberikan data
dengan konflik warisan budaya Gunung Padang. berkenaan dengan permasalahan yang diteliti.
66
Bambang Sulistyanto, Konflik Horisontal Warisan Budaya, Megalitik Situs Gunung Padang.
perbedaan budaya. Sejalan dengan pandangan lainnya mungkin tidak menyadari apa yang
tersebut Kreitner dan Kinicki (1995: 283), dilakukan adalah menjadi faktor penyebab
menegaskan konflik adalah segala jenis oposisi konflik. Namun demikian, kedua pihak atau
(pertentangan) atau interaksi yang bersifat lebih tersebut mungkin akan tetap bertindak
antagonistis dan sering menjadi prasyarat yang sesuai dengan persepsi yang diyakininya, karena
diperlukan untuk perubahan. masing-masing merasa pihaknya yang paling
Definisi tersebut memperlihatkan, bahwa benar.
konflik memiliki dimensi sangat luas, tidak Kecenderungan konflik sebagai proses
terbatas pada pertentangan masalah materi, interaksi sosial, Stonner dan Freeman secara
tetapi juga menyangkut nilai maupun perbedaan umum membedakan peran konflik dalam
budaya. Beberapa perbedaan definisi di atas, kehidupan masyarakat menjadi dua macam,
terlihat jelas ada suatu kepakatan, bahwa konflik yakni pandangan lama (old view) dan pandangan
ditandai oleh ketidakcocokan atau perbedaan kini (current view). Pandangan lama menyatakan,
pandangan, tujuan, individu atau kelompok bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dalam
dalam memperebutkan objek yang sama pandangan ini merupakan fenomena yang
demi terwujudnya kepentingan yang berbeda negatif, merugikan, karena itu harus dihindari
(Abdurachman 2004: 34). Perbedaan pandangan atau dihilangkan. Guna memperkuat konotasi
dalam menafsirkan eksistensi warisan budaya negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah
Situs Gunung Padang inilah yang menjadi faktor violence, destruction, dan irrationality. Konflik
utama penyebab terjadinya konflik. dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat
Berangkat dari pandangan di atas, konflik komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan
dalam tulisan ini diartikan sebagai persepsi dan keterbukaan. Sementara itu pandangan
mengenai perbedaan kepentingan. Kepentingan modern, menyatakan konflik merupakan
itu sendiri adalah perasaan orang atau kelompok peristiwa yang wajar terjadi dalam kehidupan
mengenai apa sesungguhnya yang mereka masyarakat. Konflik tidak dapat dihindari
inginkan. Perasaan tersebut cenderung bersifat selama manusia menggantungkan hidupnya dari
sentralistik dalam pikiran dan mempengaruhi kehidupan orang lain. Oleh karena itu konflik
tindakan yang akan membentuk sikap, tujuan perlu diterima bahkan dipertahankan pada tingkat
dan niatnya (Raven dan Rubin 1983). Dalam minimum serta dirasionalisasikan agar memiliki
konteks kajian Situs Gunung Padang, konflik manfaat (Stoner dan Freeman 1989: 392).
secara kongkrit dimaknai sebagai hubungan Dalam pandangan ilmu sosial memang
antara dua belah pihak atau lebih yang memiliki terdapat sejumlah teori konflik yang saling
perbedaan persepsi dalam memaknai warisan bertentangan. Teori yang dikembangkan oleh
budaya. Levis Coser misalnya, sangat menentang
Dengan pendefinisian tersebut, kita dapat pandangan para ahli sosial yang melihat
memprediksi apa yang akan dilakukan oleh konflik hanya dari kaca mata negatif saja.
masing-masing kelompok yang sedang bertikai, Menurutnya, konflik memiliki sifat fungsional
karena biasanya persepsi memiliki dampak yang bagi hubungan–hubungan dan struktur-struktur
bersifat segera diwujudkan dalam bentuk sikap dalam sistem sosial sebagai suatu keseluruhan.
dan perilaku (Dean et al. 2004: 27). Di samping Konflik memberikan kontribusi terhadap
itu, pendefinisian konflik dalam pengertian integrasi sistem sosial sekaligus mewujudkan
yang bersifat perseptual ini, berarti membuka perubahan sosial sesuai yang diharapkan (Coser
kemungkinan bahwa salah satu pihak merasakan 1994). Jika konflik mampu diatasi secara bijak,
adanya konflik kepentingan, sementara pihak maka akan menghasilkan suatu konsensus baru
67
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
terhadap berbagai hal yang menjadi sumber mempunyai kebutuhan yang berbeda. Jika
munculnya perbedaan pendapat. Bahkan kebutuhan dasar dari berbagai pihak tersebut
konflik fungsional ini bukan tidak mungkin tidak terpenuhi, maka konflik dapat terjadi.
akan menghasilkan perubahan-perubahan yang Dengan demikian yang penting dilakukan
bermuara pada perbaikan bersama. Dalam adalah mengidentifikasi subjek dari berbagai
pandangan ini konflik justru perlu ‘dintensifkan’, pihak (stakeholders) dan memahami apa
artinya dimunculkan bukan disembunyikan kebutuhan masing-masing yang diharapkan
untuk mencegah munculnya masalah- dari Situs Gunung Padang. Salah satu alat
masalah baru yang lebih berbahaya di masa bantu menganalisis identifikasi kebutuhan dari
depan. Sebaliknya, jika konflik menghasilkan berbagai pihak yang terlibat dalam pengelolaan
perubahan yang mengarah pada keburukan Situs Gunung Padang tersebut, adalah analisis
maka konflik disfungsional ini diperlukan bawang bombay, sebagaimana disarankan oleh
pengelolaan serius untuk dihilangkan. Fisher et al. (2000: 17-27).
Pemahaman penting yang harus kita
sadari bersama adalah, konflik merupakan
realitas kehidupan yang wajar dan tidak dapat
dihindarkan. Selama manusia hidup dan saling
berinteraksi, konflik akan selalu terjadi baik
konflik interpersonal maupun konflik antar
kelompok (Nugroho et al. 2004: xxii). Konflik
akan selalu terjadi jika tujuan masyarakat tidak
sejalan, karena berbagai perbedaan persepsi.
Sebaliknya konflik tidak harus dikonotasikan
Gambar 1. Analisis Model Bawang.
sebagai fenomena yang negatif, sebab mungkin
saja konflik akan menjadi bagian dari solusi Cara kerja alat bantu untuk menganalis
atas suatu permasalahan. Dalam kehidupan konflik ini menggunakan analogi gambar bawang
masyarakat demokratis sekarang ini, konflik Bombay yang terdiri atas tiga lapisan, yaitu
justru diperlukan, tetapi untuk dihadapi bukan lapisan luar, lapisan tengah dan lapisan dalam
dihindari. Jika konflik dapat diselesaikan dengan (Gambar 1). Ketiga lapisan tersebut dipergunakan
cara damai penuh kesadaran, maka justru kita sebagai media penjelasan untuk mengetahui
dapat memperoleh manfaat dari konflik, yaitu perbedaan maupun persamaan kepentingan dan
salah satunya mendorong ke arah perubahan yang kebutuhan antara berbagai pihak. Lapisan luar
diperlukan (Fisher et al. 2002: 6). Hubungan merupakan posisi berbagai pihak yang terlibat
antara konflik dengan perubahan cenderung dalam pengelolaan Situs Gunung Padang secara
merupakan suatu proses yang berlangsung secara permukaan dapat dilihat oleh semua orang.
otomatis dan terus-menerus, karena perubahan Lapisan kedua dianalogikan sebagai kepentingan
dapat menimbulkan konflik, sebaliknya konflik yang ingin dicapai oleh masing-masing
menyebabkan perubahan (Lauer 1993: 290). stakeholders sesuai dengan posisinya. Lapisan
ketiga adalah merupakan kebutuhan dasar dari
3. Pemetaan Konflik Situs Gunung Padang stakeholders yang ingin mereka penuhi (untuk
3.1 Identifikasi Pihak-pihak yang Berkonflik mewujudkan kepentingan). Dengan demikian,
Warisan budaya Situs Gunung Padang, analis model bawang ini merupakan strategi
memiliki publik yang jamak, dalam arti banyak awal untuk menganalisis perbedaan pandangan
pihak berkepentingan yang masing-masing tentang konflik kepentingan sumber daya
68
Bambang Sulistyanto, Konflik Horisontal Warisan Budaya, Megalitik Situs Gunung Padang.
Tabel 1. Pihak-pihak yang terlibat dalam Pemanfaatan Warisan Budaya Situs Gunung Padang.
arkeologi Situs Gunung Padang sebagaimana Tabel 1 memperlihatkan bahwa dari aspek
terlihat pada bagan di atas. Adapun tujuan dari posisi, nampak jelas berbagai pihak yang terlibat
analisis ini adalah untuk memahami berbagai dalam pemanfaatan Situs Gunung Padang sangat
kepentingan serta kebutuhan masing-masing beragam. Keberagaman posisi masing-masing
stakeholders. Berikut hasil analisis konflik yang stakeholders, akan mempengaruhi kepentingan
disajikan dalam bentuk matriks. yang ingin mereka capai sekaligus kebutuhan
69
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
70
Bambang Sulistyanto, Konflik Horisontal Warisan Budaya, Megalitik Situs Gunung Padang.
masing yang berbeda. Penduduk Gunung mereka netral tidak berpihak pada kelompok
Padang membutuhkan lahan untuk pemenuhan manapun, karena memang kepentingan dan
kebutuhan hidup sehari-hari, bercocok tanam kebutuhan mereka tidak mengalami benturan
misalnya. LSM membutuhkan lahan untuk kepentingan dengan para kelompok yang sedang
sosialisasi kepada masyarakat, dan wartawan bertikai. Berbeda dengan kasus di atas, pihak
membutuhkan lahan untuk aktualisasi berita. Forum Peduli Situs Gunung Padang konflik
Perbedaan kebutuhan terhadap pemanfaatan konflik dengan Tim Terpadu Riset Mandiri,
lahan inilah yang pada akhirnya memunculkan bahkan sempat terjadi kekerasan, adu fisik antara
konflik kepentingan. Situs Gunung Padang kedua belah pihak. Kasus ‘kekerasan fisik’ ini
terbatas luasnya 291.800 meter persegi (Tim sampai harus diselesaikan di pengadilan5. Hasil
Peneliti 2012: 174), tetapi banyak pihak pemetaan konflik, dapat diketahui bahwa pihak
secara bersama-sama memanfaatkan dengan Tim Terpadu Riset Mandiri merupakan pihak yang
kepentingan yang berbeda-beda, maka dapat mendominasi konflik pemanfaatan Situs Gunung
dipahami jika terjadi konflik yang hingga Padang. Benturan kepentingan atau konflik
sekarang belum terselesaikan. tersebut memiliki latar belakang yang berbeda-
beda. Terlepas dari berbagai kemungkinan
3.2 Pemetaan Konflik munculnya kepentingan eksternal (politis) di
Hasil identifikasi beberapa pihak yang luar kepentingan arkeologi, konflik antara Ditjen
terlibat dalam pemanfaatan Situs Gunung Padang Kebudayaan dengan Tim Terpadu Riset Mandiri
menunjukkan, bahwa minimal ada duabelas berkaitan dengan kebijakan pelestarian6. Khusus
pihak (stakeholders) sebagaimana terlihat konflik antar kedua lembaga ini, kami menamai
pada table di atas. Dari duabelas pihak tersebut sebagai konflik laten atau konflik tersembunyi,
ternyata tidak semua terjadi konflik. Benturan karena tidak terwacanakan di depan publik.
kepentingan atau konflik hanya terdapat antara Berbeda dengan konflik antara Puslit
(1) Ditjen Kebudayaan (beserta jajaran di Arkenas dengan Tim Terpadu Riset Mandiri
bawahnya) konflik dengan Tim Terpadu Riset merupakan koflik akademik terlihat cukup frontal
Mandiri, (2) Puslit Arkenas konlik dengan Tim berkaitan dengan perbedaan paradigma dalam
Terpadu Riset Mandiri, (3) pihak akademisi memaknai Situs Gunung Padang7. Demikian pula
konflik dengan Tim Terpadu Riset Mandiri, (4) 5 Dalam rangka uji Tomografi, Tim Terpadu Riset Mandiri harus
membuat getaran atau ledakan di sekitar situs dengan mercon
pihak Ikatan Ahli Arkeologi konflik dengan berdaya keras. Nampaknya suara ledakan itu cukup keras
Tim Terpadu Riset Mandiri, (5) pihak Pelestari dan membuat terkejut warga sekitar. Adu mulut pun tidak
terhindarkan lagi hingga terjadi pemukulan yang akhirnya
konflik dengan Tim Terpadu Riset Mandiri, (6) sampai pada proses pengadilan.
pihak Pusat Survei Geologi konflik dengan Tim 6 Konflik laten atau konflik tersembunyi yang dimaksud
disini merupakan konflik yang tidak banyak diketahui oleh
Terpadu Riset Mandiri, dan (7) pihak Forum masyarakat. Konflik ini hanya dirasakan terbatas pada kalangan
tertentu yang merasa tidak menyetujui atau merasa dirugikan.
Peduli Gunung Padang konflik dengan Tim Dengan demikian, konflik tersembunyi ini merupakan konflik
Terpadu Riset Mandiri. Dari duabelas kelompok bathin yang juga di sebut konflik tertutup. Konflik laten Cagar
Budaya Gunung Padang tidak dapat dilihat mata, tetapi dapat
stakeholders yang terlibat dalam pemanfaatan dirasakan khususnya oleh kalangan arkeologi yang sebenarnya
warisan budaya Situs Gunung Padang, terdapat tidak menyetujui pandangan Tim Terpadu Riset Mandiri.
Walaupun demikian pada akhirnya mendukung juga kegiatan
7 (tujuh) pihak di antaranya terjadi konflik atau yang direncanakannya, bahkan dukungan dana. Tentu hal ini
merupakan dilema tersendiri yang tidak bisa dihindari, karena
benturan kepentingan. struktur birokrasi kekuasaan atas yang tidak mungkin ditentang
Sementara itu, pihak Pemerintah Provinsi bawahan.
7 Konflik dalam arti perbedaan pandangan atau pendapat ini
Jawa Barat beserta jajaran di bawahnya, dan terlihat jelas ketika ketika debat ilmiah terjadi dan mereka saling
wisatawan, penduduk Gunung Padang serta mempertahankan pendapatnya yang berbeda pada seminar yang
diselenggarakan oleh Puslit Arkenas pada 29 Maret 2012.
wartawan tidak konflik dengan siapapun. Posisi Lebih jauh lihat Laporan Seminar Arkeologi Sehari “Rembuk
71
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
72
Bambang Sulistyanto, Konflik Horisontal Warisan Budaya, Megalitik Situs Gunung Padang.
Pandangan tidak jauh berbeda tidak dibatasi waktu. Mengutip pandangan para
dikemukakan pakar geolog Sutikno Bronto ahli, bahwa konflik seringkali merupakan bagian
dari Pusat Survei Geologi Kementerian ESDM, dari solusi atas suatu permasalahan yang sukar
bahwa Gunung Padang adalah leher/sumbat terpecahkan. Artinya, jika konflik tersebut
lava yang berstruktur kekar kolom yang roboh dikelola secara benar, maka bukan tidak mungin
berserakan, kemudian ditata kembali oleh akan dapat mendorong ke arah perubahan yang
masyarakat masa lalu berfungsi sebagai punden diperlukan (Kiesberg 1992: 4; Fisher 2000: 6).
berundak tempat upacara keagamaan (Bronto Bahkan konflik fungsional seringkali menjadi
2012). Mengkomentari pandangan Oppenheimer, prasyarat yang diperlukan untuk mencapai
Daud Aris Tanudirdjo, mengatakan pandangan perubahan sosial yang lebih baik (Thung
Oppenheimer itu sudah lama ditinggalkan, 2005: 82). Melihat hasil pemetaan konflik
karena sekarang sudah banyak teori dan terbitan warisan budaya Gunung Padang, belum dapat
baru yang lebih terpercaya. Sejauh ini tidak ada diprediksi apakah konflik ini merupakan konflik
informasi tentang pertanian pada 10.000 tahun fungsional atau justru sebaliknya disfungsional.
yang lalu (tyl). Karena data tertua pertanian di Dalam kondisi sekarang ini, tidak seorang pun
Asia Tenggara ditemukan di Papua, sedangkan berani menebak, apakah konflik Gunung Padang
tanaman padi sudah didomestifikasi pertamakali masih akan berlanjut hingga tuntas atau berhenti
ditemukan di Serawak pada 4.000ityl. sampai di sini. Hanya yang jelas, konflik Gunung
“Permainan-permainan semacam itu, biasa Padang terjadi karena perbedaan persepsi dalam
dilukiskan dalam buku-buku Imiah popular. “Kita memaknai warisan budaya yang masing-masing
harus berbicara dalam konteks akademik, jangan pihak merasa paling benar pendapatnya. Dalam
konteks politis,” kata pakar dari Universitas ranah ilmu pengetahuan, perbedaan pandangan
Gadjah Mada itu. atau perbedaan pendapat merupakan hal yang
Menanggapi debat panjang para pakar biasa.
tentang Gunung Padang, Yunus Satrio Atmojo
mengingatkan, bahwa interpretasi antara
arkeolog dan geolog jelas berbeda. Geolog
menggunakan skala panjang ribuan bahkan
jutaan tahun, sedangkan arkeolog menggunakan
skala pendek ratusan tahun. “Kedua pendekatan
itu sebenarnya dapat ditarik benang merah
persamaan pandangan dengan cara melakukan
pembuktian penelitian secara bersama-sama”.
Demikian pandangan Ketua Ikatatan Ahli
Arkeologi dalam seminar itu. Hibauan Ketua
IAAI itu hingga sekarang belum terwujud9. Foto 2. Menjelang kunjungan Presiden SBY berpidato di
Situs Gunung Padang.
Dapat dipastikan, debat panjang tidak akan
berkesudahan, jika Seminar Gunung Padang Apa lagi jika mengingat sejarah
9 Dalam skala Nasional, himbauan pentingnya Situs Gunung perkembangan arkeologi, bahwa llmu ini
Padang secepatnya harus dilakukan penelitian terpadu dari memang sudah lama menjadi ajang pergulatan
berbagai disiplin ilmu, ditegaskan oleh Presiden ketika
berkunjung di situs ternama ini pada 27 Februari 2014. “… pemikiran para para ahli sejak dulu. Salah satu
Saya meminta kepada menteri terkait, Gubernur Jawa Barat,
faktor penyebabnya adalah karena kajian pokok
Bupati Cianjur, kemudian jajaran kepolisian dan TNI serta
kepada semua tim peneliti, untuk duduk bersama. Kita tetapkan arkeologi bersifat post-facto dan fenomenal
rencana aksi yang definitif dan akan kita tuangkan nanti dalam
satu kebijakan Nasional yang kita jalankan bersama”. yang terjadi tidak sekarang, tetapi sudah
73
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
lama (Gibbono1984) puluhan atau ribuan yang wajar terjadi dalam kehidupan masyarakat.
bahkan jutaan tahun silam. Dengan demikian Konflik tidak dapat dihindari selama manusia
data arkelogi sangat tidak lengkap, karena masih berinteraksi dengan manusia lain.
terpenggal zaman. Sifat fragmentaris data Fenomena konflik yang terjadi di berbagai situs
inilah menyebabkan kelonggaran para peneliti arkeologi selama ini, menyadarkan kepada kita,
mengembangkan berbagai sudut pandang sesuai bahwa warisan budaya memiliki posisi sejajar
dengan latar belakang keilmuan masing-masing. dengan sumber daya alam lain, karena banyak
Aliran pasca-modernisme yang berhasil pihak berkepentingan terhadapnya.
meruntuhkan aliran modernisme misalnya, Penelitian ini memperlihatkan, konflik
beranggapan, bahwa realitas dan pengetahuan warisan budaya Situs Gunung Padang merupakan
itu sebenarnya bersifat relatif dan subyektif isu baru yang muncul pada awal 2012 akibat
karena, telah dipengaruhi berbagai kepentingan perbedaan dalam memaknai warisan budaya.
sosial (Hodder 1991; Thomas 1989; Renfrew Bagi kalangan arkeologi, Gunung Padang
dan Bahn 1991; Yoffee dan Seratt 1993). Bahkan adalah situs megalitik yang biasa disebut punden
menurut Hodder, pengetahuan yang benar atau berundak, dibangun pada 2.500 – 1.500oSM,
realita masa lampau sebenarnya itu tidak ada, sebagai tempat pemujaan roh leluhur. Sementara
melainkan yang ada hanyalah pengetahuan bagi Tim Terpadu Riset Mandiri, situs ini
masa lampau versi masyarakat masa kini. adalah bangunan piramida diduga berada pada
Walaupun para ilmuwan untuk memperoleh periode 13.000-an. Kedua pemaknaan yang
realita telah menempuh dengan berbagai cara berbeda tersebut, dalam wacana publik ramai
yang saintifik, namun jika hasilnya bias, tentu diperbincangkan hingga debat sudah menjadi
ada beberapa faktor penyebabnya. Faktor konsumsi publik saat itu. Keduanya merasa
penyebab itu bisa karena karena metodologinya pendapatnya yang paling benar. Debat dalam
yang tidak tepat atau karena teori, maupun ranah ilmu pengetahuan memang sudah biasa
latar belakang penelitiannya atau mungkin ada dan bahkan perlu dikembangkan, kalau kita ingin
pamrih di baliknya, untuk kepentingan apa maju kedepan.
penelitian dilakukan (Hoddero1991; Tiley 1993; Konflik Situs Gunung Padang adalah
Shanko1992). Dalam konteks demikian itulah, konflik akademik dalam ranah kepentingan Ilmu
jika prosedur keilmiahan telah ditempuh, Situs Pengetahuan. Perbedaan pemaknaan, merupakan
Gunung Padang sejatinya bebas nilai, siapa saja faktor kunci utama yang menyebabkan
boleh meneliti lalu menafsirkan. Soal salah atau munculnya konflik yang berkepanjangan dan
benar hanyalah waktu yang akan membuktikan. belum ditemukan solusinya hingga sekarang.
Perbedaan pandangan, perbedaan sasaran dan
4. Penutup tujuan, seringkali menjadi penyebab terjadinya
Dalam sejarah pengelolaan warisan konflik yang sebenarnya dapat diselesaikan jika
budaya di Indonesia, konflik warisan budaya semua yang terlibat dalam konflik memiliki
jarang sekali mendapat perhatian secara serius, kesadaran menjunjung tinggi kebenaran. Suatu
baik dari aspek akademis maupun praktis. konflik dikhawatirkan akan berubah menjadi
Konflik selama ini cenderung lebih dipandang kekerasan jika saluran dialog dan wadah untuk
sebagai suatu fenomena buruk dan merugikan, mengungkapkan perbedaan pandangan tidak
oleh karena itu harus dihindari. Cara pandang ada atau tidak memadai. Sebaliknya, jika
yang demikian ini justru mengakibatkan konflik konflik dapat diselesaikan dengan benar, justru
semakin berkembang dan bertambah rumit, akan memberikan manfaat, yaitu salah satunya
karena konflik sebenarnya merupakan peristiwa mendorong ke arah perubahan yang lebih baik.
74
Bambang Sulistyanto, Konflik Horisontal Warisan Budaya, Megalitik Situs Gunung Padang.
Oleh karena itu, dialog dan debat konstruktif Hilman, Danny Natawijaya. 2011. “Aplikasi
antar para ahli penting untuk terus dikembangkan, Metode Geologi dalam Riset
Bencana Katastropis Purba”. Makalah
agar saluran atau wadah berdiskusi mereka tidak disampaikan pada Rembuk Nasional
macet dan berjalan secara wajar. Situs Gunung Padang, Jakarta, Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, 29 Maret
Ucapan Terima Kasih 2012.
Terima kasih disampaikan kepada Dr. Hodder, Ian. 1991a. “Post-modernism, post-
sructuralism, and post-processual
Supratikno Raharjo yang telah memeriksa archaeology” dalam Ian Hodder (ed)
sekaligus memberikan masukan artikel ini. The Meaning of Things. London, Harper
Collins.
Hodder, Ian. 1991b. Reading The Past.
***** Cambridge: University Press.
Ju Lan Thung. 2005. “Program Manajemen
dan Tranformasi Konflik LIPI”, dalam
Anwar Dewi Fortuna (ed.), Konflik
Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah,
Daftar Pustaka
Ekonomi, Politik dan Kebijakan di Asia
Abdurrachman, Sukri. 2004. “Kawasan Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor.
Pariwisata dan Konflik Pertanahan”, Kiesberg, Louis. 1992. Social Conflict, Second
dalam Sukri Abdurachman (ed.) Konflik Edition Englewood Clifft, N.Y:Prentice
Pertanahan di Era Reformasi: Hukum Hall, Inc.
Negara, Hukum Adat dan Tuntutan
Kleden, Ignas. 1998. Sikap Ilmiah dan Kritik
Rakyat. Jakarta: Puslit Kemasyarakatan
Kebudayaan. Cet. 1. Jakarta: LP3ES.
dan Kebudayaan-LIPI.
Kreitner, Robert, dan Angelo Kinicki. 1995.
Akbar, Ali. 2013. Situs Gunung Padang
Organizational Behavior. Chicago: Irwin.
Misteri dan Arkeologi. Jakarta: Change
Publication. Luthans, Fred. 1985. Organizational Behavior.
New Yo rk : M cGraw-Hi l l B oo k
Bronto, Sutikno. 2012. “Gunung Padang
Company.
Berdasarkan Pandangan Geologi
Gunung Api”. Makalah disampaikan L au er, H. R o b ert . 1 9 9 3 . P er s p ek t i f
pada Rembuk Nasional Situs Gunung Te n t a n g P e r u b a h a n S o s i a l .
Padang, Jakarta, Pusat Penelitian TerjemahanAlimandan dari Judul asli
Arkeollogi Nasional, 29 Maret 2012. Perspectives on Social Change. Jakarta:
Asdi Mahasatya.
Coser, Lewis A. 1994. The Functions of Social
Conflict. New York:Academic Press, Nimpoeno, S. John. 1980, “Fungsi Warisan
Inc. Sebagai Pembentuk Sikap Terhadap
Pembangunan”, dalam Analisis
Cleere, Henry F 1989. “Introduction:
Kebudayaan Jakarta: Departemen
the Rationale of Archaeological
Pendidikan dan Kebudayaan: 26-31.
Management”, dalam Henry F.
Cleere (ed.), Archaeological heritage Nugroho, Fera, Kana, L, Nico dan Prajarto
management in the modern world: 5-10. Dirdjosanyoto. 2004. Konflik dan
London: Unwwin-Hyman. Kekerasan pada Aras Lokal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fisher, Simon. 2002. Working with Conflict:
skill et strategis for Action. London: Macleod, D. G. 1977. “Peddle or perish:
zed Books Ltd, 7 Cynthia Street. archaeological marketing from concept
Telah diterjemahkan ke dalam bahasa to product delivery”, dalam Michael
Indonesia dengan judul “Mengelola B. Schiffer dan George J. Gummerman
Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk (eds.), Conservation Archaeology. New
bertindak: British Council, 2001. York : Academic Press.
75
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, Juni 2014 : 1-76
Pruit, G. Dean, dan Rubin Z. Jeffrey. 2004. Stoner, A.F., James dan Freeman, R., Edward.
Teori Konflik sosial. Yogyakarta: 1989. Management. Prentice- Hall, New
Pustaka Pelajar. Terjemahan dari Social York, hal. 391-392.
Conlict, Escalation, Statemen, and
Sukendar, Haris. 2001. Peninggalan Tradisi
Setlemen. New York: McGraw-Hill, Inc
Megalitik di Daerah Cianjur, Jawa
1986.
Barat. Jakarta: Pusat Penelitian
Raven, B.H., dan Rubin, J.Z. 1983. Social Arkeologi Nasional.
Psychology 2nd. New York: Wiley.
Sulistyanto, Bambang. 2006. “The pattern of
Renfrew, C. dan P. Bahn, 1991. Archaeology: conflict of benefeting in Indonesia”, di
theories, methods and practice. London: dalam: Truman Simanjuntak. dkk (ed.),
Thames and Hudson. Archaeology; Indonesian Perspective;
R.P. Soejono’s festschrift: 577-594
Robbins, Stephen P. 1996. Organizational
Jakarta: LIPI Press.
Behavior: Concepts, Controversies,
and Applications. USA: Prentice-Hall -----------. 2008. Resolusi Konflik dalam
International Editions. Manajemen Warisan Budaya Situs
S an g i ran . Di s er t a s i Un i v ers i t as
Shank, Michael. 1992. Eksperiencing the pas.
Indonesia. (tidak terbit).
London: Routege.
Tanudirjo, Daud Aris. 1997/1998. “Arkeologi
Tim Peneliti. 2012. “Penelitian Arkeologi Situs
Pasca-Modernisme untuk Direnungkan”
Gunung Padang, Kabupaten Cianjur”,
dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII,
Laporan Penelitian Arkeologi. Pusat
Jilid 2. Cipanas, 12 -16 Maret 1996.
Arkeologi Nasional. (tidak terbit).
Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi.
Thomas, David Hurst. 1989. Archaeology
Yoffee, N dan Seratt. 1993. “Introduction
Worth, Hold, Rinchart and Winston.
the sources of archaeology theory”,
Tilley, Christopher. 1993. Interpretation and dalam Yoffee, N dan Seratt (eds.),
Poelitics of the past, dalam Christopher Archaeological theory who set the
Tilley, Interpretative Archaeology. agenda? Cambridge University Press.
Providence: Berg.
Simanjuntak, Harry Truman. 2012. “Piramida
Jawa Barat dan Peradaban Atlantis
Sundaland Itu Tidak Ada.” Makalah
disampaikan pada Rembuk Nasional
Situs Gunung Padang, Jakarta, Pusat
Penelitian Arkeollogi Nasional, 29
Maret 2012.
76