Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat


tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang
disebabkan golongan jamur dermatofita. Tinea Kapitis adalah kelainan pada kulit
dan rambut kepala yang disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan dapat
ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia, dan kadang-kadang
terjadi gambaran klinis lebih berat yang disebut kerion. Di dalam klinik tinea
kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yang jelas, yaitu Grey Patch Ringworm,
Kerion dan Black Dot Ringworm.1 Insiden pada tinea kapitis adalah infeksi jamur
yang mengenai anak – anak berumur antara 4 dan 14 tahun.1,2 Kepadatan
penduduk, higienitas yang buruk, dan malnutrisi protein memudahkan seseorang
mendapatkan penyakit ini.2
Tinea kapitis juga memiliki bermacam bentuk dengan penyebab dan
gambaran klinis yang berbeda pula.1,2 Pemeriksaan KOH mikologik untuk
membantu menegakkan diagnosis terdiri dari pemeriksaan langsung sediaan basah
dan biakan, pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan histopatologik, percobaan
binatang, dan imunologik tidak diperlukan. Pada pemeriksaan KOH mikologik
untuk didapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit,
rambut, dan kuku. Untuk kelainan pada kulit kepala berambut harus dibedakan
dengan tinea kapitis. Pada umumnya pemeriksaan dengan lampu Wood pada
kasus-kasus tertentu dan pemeriksaan langsung bahan klinis dapat menentukan
diagnosis. Untuk diagnosis bandingnya yaitu alopesia arenata, dermatitis
seboroika, dan psoriasis.1,3
Terapi yang diperlukan antara lain secara topikal dengan shampoo
disinfektan antimikotik seperti larutan asam salisilat, asam benzoat, dan sulfur
presipitatum. Obat derivat imidazol 1-2% dalam krim atau larutan dapat
menyembuhkan, demikian pula ketokonazol krim atau larutan 2%. Sedangkan
untuk pengobatan sistemik dapat dengan pemberian griseofulvin 0,5-1 g untuk
orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/ kgBB. Jika

1
penyembuhan telah dicapai dan faktor-faktor infeksi dapat dihindari, prognosis
umumnya baik.1,2,3

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. AN
Umur : 4 tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : RT.25 Kec. Alam Barajo
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status Pernikahan : Belum menikah

2.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUD H. Abdul Manap pada tanggal 24 September 2018.

A. Keluhan Utama
Keropeng dan nanah pada kulit kepala yang disertai gatal sejak ± 2
minggu terakhir.

B. Keluhan Tambahan
Ketombe dan rambut rontok

C. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien mengeluhkan gatal pada kulit kepalanya sejak ± 1 bulan yang
lalu. Gatal dirasakan terus-menerus sehingga pasien menggaruk kepalanya
sampai kulit kepala berubah menjadi kemerahan. Keluhan ditambah dengan
munculnya ketombe di kulit kepala yang gatal pada 3 minggu yang lalu.
Setelah itu pasien dibawa oleh ibunya ke Puskesmas dan diberikan obat
tetapi pasien lupa nama obatnya. Setelah 1 minggu mengkonsumsi obat
Puskesmas secara rutin, pasien tidak mengalami perbaikan. Pasien masih
merasakan gatal dan perlahan-lahan rambut pasien menjadi rontok. Keluhan

3
ditambah dengan timbulnya benjolan yang berisi nanah sebanyak 5 buah.
Luka awal pada saat berobat belum sembuh dan luas luka makin meluas
selama 1 bulan ini.

D. Riwayat Penyakit Dahulu:


- Keluhan serupa sebelumnya (-)
- Riwayat penyakit kulit lainnya (-)
- Riwayat alergi (-)

E. Riwayat Penyakit Keluarga:


- Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama seperti pasien
- Riwayat alergi (-)

F. Riwayat Sosial Ekonomi:


- Os merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang memiliki hewan
peliharaan kucing

2.3 Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
2. Tanda Vital : a. Kesadaran : Compos mentis GCS 15
b. Tekanan Darah : 100/70 mmHg
c. Nadi : 82 kali/menit
d. Pernafasan : 20 kali/menit
e. Suhu : 36.7oC
f. BB : 12 kg
g. TB : 97 cm
h. Kepala
a. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
refleks cahaya (+/+), pupil isokor

4
b. THT
- Telinga : Lesi kulit (-)
- Hidung : Deviasi septum (-)
- Tenggorok : Pembesaran tonsil (-), ulkus (-)
c. Leher : Pembesaran KGB (-), lesi kulit (-)
i. Thoraks
a. Jantung : Bunyi jantung I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
b. Paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
j. Genitalia : Tidak dilakukan
k. Ekstremitas
a. Superior : Edema (-), lesi kulit (-)
b. Inferior : Edema (-), lesi kulit (-)

B. Status Dermatologi
Regio parietalis

5
Efloresensi :
1. Plak multipel, bentuk ireguer, batas sirkumskripta, eritema, distribusi
regional, permukaan kasar ditutupi krusta, konsistensi padat, daerah
sekitar eritema disertai alopesia.
2. Pustul multipel, batas sirkumskripta, distribusi regional, permukaan
halus, konsistensi tegang, sekitar eritema disertai alopesia

Palpasi : Nyeri tekan (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


-

2.5 Diagnosis Banding


- Tinea Capitis
- Dermatitis Seboroik
- Alopesia Areata

2.6 Diagnosis Kerja


Tinea capitis tipe kerion

2.7 Tatalaksana
- Non medikamentosa :
a. Penjelasan mengenai penyakit pasien bahwa penyakitnya merupakan
penyakit menular.
b. Hindari faktor pencetus :
- Hindari hewan peliharaan
- Hindari pengeluaran keringat yang berlebih
- Kurangi kelembaban tubuh
- Tingkatkan higienitas tubuh : mandi 2 kali sehari, memakai pakaian bersih
yang dicuci secara rutin, mencuci berulang kali untuk sisir rambut dan
handuk.

6
c. Tidak menggaruk kepala
d. Penjelasan mengenai tatacara pemakaian obat yang diberikan

- Medikamentosa :
 Kompres area tinea dengan menggunakan NaCl 0,9%
 Oral
Griseofulvin 1x250 mg
Cetrizine dihydrochloride 1x10 mg

 Topikal
Ketoconazole 2% scalp solution digunakan 2 kali seminggu.

2.8 Pemeriksaan Anjuran


- Pemeriksaan KOH 10%
- Pemeriksaan Lampu Wood
- Pemeriksaan Kultur

2.9 Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanationam : ad bonam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Dermatofitosis

3.1.1 Definisi

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat


tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang
disebabkan golongan jamur dermatofita.1

3.1.2 Sinonim

Tinea, ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata.1

3.1.3 Etiologi

Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.


Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk
kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton.1

Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2


spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton.
Pada tahun-tauhn terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang
terbentuk oleh dua koloni yang berlainan “jenis kelaminnya”. Adanya bentuk
sempurna ini menyebabkan dermatofita dapat dimasukkan ke dalam famili
Gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia dan Arthrderma yang masing-masing
dihubungkan dengan genus Microsporum dan Trichophyton.1

3.1.4 Faktor Resiko

Faktor penting yang berperan dalam penyebaran dermatofita ini adalah


kondisi kebersihan lingkungan yang buruk, daerah pedesaan yang padat, dan
kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat atau lembab. Obesitas dan diabetes

8
melitus juga merupakan faktor resiko tambahan oleh karena keadaan tersebut
menurunkan imunitas untuk melawan infeksi.4

3.1.5 Klasifikasi

Dermatofitosis disebut juga dengan istilah “tinea” yang dikelompokkan


menurut lokasi, yaitu:

Tabel 3.1 Klasifikasi Dermatofitosis7


Tinea kapitis Kurap di kulit kepala
Tinea barbe Kurap di daerah jenggot
Tinea fasialis Infeksi wajah di luar daerah janggut
Tinea korporis Kurap di tubuh dengan lesi anular
(sirsinata)
Tinea kruris Kurap di tungkai, tetapi istilah ini
umumnya digunakan untuk infeksi di
lipat paha dan di bagian dalam paha atas
Tinea manum Infeksi kurap di tangan
Tinea pedis Infeksi jamur di kaki
Tinea unguium Invasi kuku oleh jamur
Tinea Kurap dengan gambara klinis tersamar
inkognito akibat terapi steroid topikal atau sistemik

3.1.6 Epidemiologi

Berdasarkan urutannya, tinea corporis (57%), tinea unguinum (20%),


tinea kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe
lainnya.5
Dilaporkan penyebab dermatofitosis yang dapat dibiakkan di Jakarta
adalah T. rubrum 57,6%, E. floccosum 17,5%, M. canis 9,2%, T.mentagrophytes
var. granulare 9,0%, M. gypseum 3,2%, T. concentricum 0,5% . Di RSU Adam
malik/Dokter Pirngadi Medan spesies jamur penyebab adalah dermatofita yaitu:

9
T.rubrum 43%, E.floccosum 12,1%, T.mentagrophytes 4,4%, dan M.canis 2%,
serta nondermatofita 18,5%, ragi 19,1% (C. albicans 17,3%, Candida
lain1,8%).6

3.1.6 Patofisologi

Gambar 3.1 Patofisiologi dermatofitosis

Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu:

1. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara


langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara
sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent
“carrier”).

2. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak


langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan
melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur

10
hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama
adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.

3. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi


manusia dan menimbulkan reaksi radang. Untuk dapat menimbulkan
suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non
spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada
kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan
pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan
diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat
berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang.
Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu: perlekatan
pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon
pejamu.

Perlekatan dermatofit pada keratinosit

Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6


jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi
keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi
pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas
proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan
aktivator plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein
ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan
dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang
dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit. Tidak
semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis
strainnya.

Penetrasi dermatofit melewati dan diantara sel

Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan


kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi
proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur.

11
Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum
setelah spora melekat pada keratin.
Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk
tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:
1. Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal,
memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada
dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk
biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap
fagositosis.
2. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan
imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah
kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding
sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada
dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.
3. Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak
atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau
protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi
protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan
proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore (suatu molekul
penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk menangkap
zat besi untuk kehidupan aerobik.
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi
dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan
dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.

Respon imun pejamu

Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons
cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada kondisi
individu dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized ), cenderung
mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-

12
obatan transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan
terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.

Mekanisme pertahanan non spesifik

Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami terdiri
dari:
1. Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagai
barrier terhadap masuknya dermatofit. Stratum korneum secara
kontinyu diperbarui dengan keratinisasi sel epidermis sehingga dapat
menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya. Proliferasi epidermis
menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis, termasuk proses
keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang
dimediasi sel T.
2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi berupa
pustul, secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari
kumpulan netrofil di epidermis, dapat menghambat pertumbuhan dermatofit
melalui mekanisme oksidatif.
3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan 2-
makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.
Mekanisme pertahanan spesifik

Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan baik


imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI
yang berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya
berhubungan dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum
pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon
efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau berulang.
Respons imun spesifik ini melibatkan antigen dermatofit dan CMI.
Antigen Dermatofit

Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik menunjukkan


spesies tertentu. Dua kelas utama antigen dermatofit adalah: glikopeptida dan

13
keratinase, di mana bagian protein dari glikopeptida menstimulasi CMI, dan
bagian polisakarida dari glikopeptida menstimulasi imunitas humoral. Antibodi
menghambat stimulasi aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh keratinase,
yang dapat memberikan respons DTH yang kuat.

CMI

Pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit adalah CMI, yaitu T


cell-mediated DTH. Kekurangan sel T dalam sistem imun menyebabkan
kegagalan dalam membasmi infeksi dermatofit. Penyembuhan suatu penyakit
infeksi pada hewan dan manusia, baik secara alamiah dan eksperimental,
berkorelasi dengan pembentukan respon DTH. Infeksi yang persisten seringkali
terjadi karena lemahnya respon transformasi limfosit in vitro, tidak adanya
respon DTH, dan peningkatan proliferasi kulit dalam respon DTH. Reaksi DTH di
mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta peningkatan proliferasi kulit akibat
respon DTH merupakan mekanisme terakhir yang menyingkirkan dermatofit dari
kulit melalui deskuamasi kulit. Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan ciri
pelepasan interferon gamma (IFN- ), ditengarai terlibat dalam pertahanan pejamu
terhadap dermatofit dan penampilan manifestasi klinis dalam dermatofitosis.
Respons T Helper-1 (Th1). Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1)
terlibat dalam memunculkan respon DTH, dan IFN- dianggap sebagai faktor
utama dalam fase efektor dari reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis
akut, sel mononuklear memproduksi sejumlah besar IFN- untuk merespon
infeksi dermatofit. Hal ini dibuktikan dengan ekspresi mRNA IFN- pada lesi
kulit dermatofitosis. Sedangkan pada penderita dermatofitosis kronis, produksi
IFN- secara nyata sangat rendah yang terjadi akibat ketidakseimbangan sistem
imun karena respon Th2.
Sel Langerhans. Infiltrat radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T
CD4+ dan sel T CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel Langerhans
CD1a+. Sel Langerhans dapat menginduksi respon sel T terhadap trichophytin,
serta bertanggung jawab dalam pengambilan dan pemrosesan antigen pada
respon Th1 pada lesi infeksi dermatofit.

14
Imunitas humoral. Pejamu dapat membentuk bermacam antibodi terhadap
infeksi dermatofit yang ditunjukkan dengan teknik ELISA. Imunitas humoral
tidak berperan menyingkirkan infeksi, hal ini dibuktikan dengan level antibodi
tertinggi pada penderita infeksi kronis.

3.2 Tinea Capitis


3.2.1 Definisi
Tinea kapitis (ringworm of the scalp) adalah kelainan pada kulit dan
rambut kepala yang disebabkan oleh spesies dermatofita.1

3.2.2 Epidemiologi
Insiden tinea kapitis masih belum diketahui, tetapi biasanya ditemukan
pada anak berusia 3 tahun sampai 14 tahun. Penyakit ini jarang terjadi pada orang
dewasa. Tinea kapitis banyak ditemukan pada anak-anak keturunan Afrika, akan
tetapi belum diketahui kenapa hal tersebut dapat terjadi. Transmisi meningkat
dengan berkurangnya higienitas personal, daerah tempat tinggal yang padat, dan
status sosial ekonomi rendah. Organisme penyebab tinea kapitis dapat dikultur
dari beberapa benda yang menjadi sarang organisme tersebut seperti: sisir, topi,
bantal, mainan, dan tempat duduk bioskop. Bahkan setelah disisir, rambut masih
dapat menyimpan berbagai organisme yang menyebabkan infeksi dalam waktu
lebih dari 1 tahun. Pasien dengan carrier simtomatik sering ditemukan, dan hal
tersebut menyebabkan tinea kapitis sulit untuk dieradikasi.1,7

3.2.3 Etiologi
Dermatofit ektotrik biasanya menginfeksi pada perifolikuler stratum
korneum, menyebar ke seluruh dan ke dalam batang rambut dari bagian medial
sampai bagian distal rambut sebelum turun ke folikel untuk menembus folikel
rambut dan diangkut keatas pada permukaannya. Dan biasanya disebabkan spesies
dermatofita seperti golongan Trichophyton dan Microsporum.7

15
Tabel 3.2. Organisme yang Berhubungan dengan Tinea Capitis

Inflamasi Non-inflamasi Black Dot Favus


M.audouinii M.audouinii T.tonsurans M.gypseum
M.canis M.canis T.violaceum T.schonleinii
M.gypseum M.ferrugineum T.violaceum
M.nanum T.tonsurans
T.mentagrophytes
T.scholeinii
T.tonsurans
T.verrucosum

Spesies tersering yang menyebabkan tinea kapitis tipe meradang dan tipe
tidak meradang adalah M.audounii. T.tonsurans menjadi penyebab utama
terjadinya tinea kapitis tipe black dot dan M.gypseum menyebabkan terjadinya
tinea favus.

3.2.4 Patofisiologi
Periode inkubasi dari tinea kapitis antropofilik adalah 2 sampai 4 hari,
meskipun pada periode ini carrier asimtomatik masih dapat terjadi. Hifa tumbuh
kearah bawah menuju folikel, pada permukaan rambut, dan hifa intrafolikular
dipecah menjadi rantai spora. Hal tersebut merupakan periode penyebaran (4 hari
sampai 4 bulan) yang terjadi selama lesi membesar dan muncul lesi baru. Sekitar
3 minggu rambut mulai lepas sekitar beberapa millimeter diatas permukaan kulit.
Di dalam rambut, hifa turun ke bagian atas zona keratogenus dan pada zona inilah
Adamson “fringe” terbentuk pada hari ke 12. Tidak terdapat lesi baru muncul
selama periode refraktori (4 bulan sampai beberapa tahun). Tampilan klinis
tampak tidak berubah, dengan host dan parasit dalam keadaan yang seimbang. Hal
ini diikuti dengan periode involusi yang mana pembentukan spora mulai
berkurang. Infeksi fungal zootik mempunyai reaksi inflamasi yang lebih tinggi,
tetapi mempunyai fase evolusi yang sama.

16
Dermatofita ektotrik tipikal biasanya muncul sebagai infeksi yang
menyerang perifolikular stratum korneum, meluas ke daerah sekitarnya dan
menuju mid-to-late-anagen sebelum turun ke folikel untuk masuk kedalam folikel
rambut. Artrokonidia kemudian mencapai kortek dari rambut dan
ditransportasikan ke atas permukaan rambut. Secara mikroskopis, hanya
artrokonidia yang dapat divisualisasi pada daerah rambut yang tercabut, meskipun
hifa intrapilari masih terlihat jelas.
Patogenesis dari infeksi endotrik sama dengan ektotrik kecuali
artrokonidia masih terdapat dalam batang rambut, menggantikan keratin
intrapilari, dan mengurangi adanya intak dengan kortek. Sebagai hasilnya, rambut
mudah rusak dan lepas pada permukaan kepala dimana dinding folikular tidak
mendukung lagi, meninggalkan titik hitam kecil.1,7

3.2.5 Diagnosis
a) Manifestasi Klinis
Gambaran tinea kapitis berdasarkan dari etiologinya antara lain:7
1. Grey patch ringworm
Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus
Microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyebabnya berupa
organisme antropofilik ektotrik seperti M.audounii atau M.canis. Bentuk dari tinea
kapitis ini dikenal juga sebagai bentuk seboroik dari skuama yang menonjol.
Peradangan bersifat minimal. Rambut yang terinfeksi menjadi abu-abu dan kusam
pada selubung artrokonidianya, dan rambut putus pada bagian atas dari kulit
kepala. Umumnya, lesi memberikan tampilan berbatas tegas, hiperkeratotik,
skuama pada daerah alopecia akibat putusnya rambut. Pada pemeriksaan lampu
Wood didapatkan floresensi berwarna hijau pada sisa rambut dan skuama.
Penyakit mulai dengan papul merah yang kecil disekitar rambut. Papul ini
melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pusat dan bersisik. Keluhan
penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu – abu dan tidak berkilat
lagi. Rambut mulai patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut
dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh

17
jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat. Tempat – tempat ini terlihat
sebagai grey patch.

Gambar 3.1 Grey patch ringworm

2. Kerion celcii
Reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan
yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat
disekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum canis dan Microsporum gypseum,
pembentukan kerion ini lebih sering dilihat. Agak kurang bila penyebabnya
Tricophyton tonsurans, dan sedikit sekali bila penyebabnya adalah Tricophyton
violaceum. Tipe ini sebagai hasil dari reaksi hipersensitifitas terhadap infeksi.
Spektrum inflamasi dapat terjadi mulai dari folikulitis postular hingga kerion,
yang memberikan gambaran seperti “lumpur”, masa inflamasi dengan taburan
rambut rusak dan orifisium folikular yang mengeluarkan pus. Lesi inflamasi
biasanya gatal/pruritik, dan mungkin juga nyeri, adanya limfadenopati servikal
posterior, demam, dan lesi tambahan pada kulit kepala yang gundul. Kelainan ini
dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan
parut yang menonjol dapat terbentuk.

18
Gambar 3.2 Kerion Celcii

3. Black dot ringworm


Terutama disebabkan oleh Tricophyton tonsurans dan Tricophyton
violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai kelainan
yang disebabkan oleh genus Microsporum. Rambut yang terkena infeksi patah
tepat pada muara folikel, dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh
spora. Ujung rambut yang hitam didalam folikel rambut ini memberi gambaran
khas, yaitu black dot. Ujung rambut yang patah, kalau tumbuh kadang – kadang
masuk ke bawah permukaan kulit. Dalam hal ini perlu dilakukan irisan kulit untuk
mendapat bahan biakan jamur.

Gambar 3.3 Black dot ringworm

19
4. Tinea Favus
Tinea favus merupakan infeksi krinis dermatofita pada kepala, kulit tidak
berambut, dan atau kuku, ditandai krusta kering dan tebal dalam folikel rambut
yang menyebabkan terjadinya alopesia jaringan parut. Tinea favus umumnya
diderita sebelum dewasa hingga berlanjut sampai dewasa, dan berhubungan
dengan malnutrisi dan gizi buruk. Penyebab tersering adalah T.scholeinii, kadang-
kadang T.violaceum, dan M.gypseum. Lesi ditandai dengan bercak-bercak eritem
folikuler disertai skuama ringan peri-folikuler dan invasi hifa yang progresif
menggelembungkan folikel sehingga terjadi papul kekuningan. Dan akhirnya
terjadi krusta kekuningan cekung, mengelilingi rambut yang kering dan kusam.

Gambar 3.4 Tinea Favus

b) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan KOH
Pada pemeriksaan KOH, rambut harus dicabut tidak di potong untuk
visualisasi di mikroskop dengan pemeriksaan KOH 10 – 20%. Rambut yang
terinfeksi diletakkan pada object glass, dan ditetesi dengan larutan KOH 10 –
20%, kemudian ditutup dengan gelas penutup, dipanaskan dengan api Bunsen 2-3
kali untuk melarutkan keratin dan dilihat dibawah mikroskop dengan pembesaran
rendah.

20
Hasil positif ada 2 kemungkinan:
 Ektotrik: tampak artrokonidia kecil atau besar membentuk
lapisan mengelilingi bagian luar batang rambut.
 Endotrik: tampak artrokonidia di dalam batang rambut.

Gambar 3.5 Ektotrik dan Endotrik

Untuk bahan dari skuama, daerah lesi dibersihkan dengan kapas


alkohol, setelah kering skuama dikerok dengan scalpel terutama pada tepi lesi,
diletakkan diatas object glass dan ditetesi larutan KOH 10 – 20%, ditutup dengan
gelas penutup, dipanaskan diatas api Bunsen, dilihat di bawah mikroskop. Hasil
positif jika tampak hifa bersepta dan bercabang.1,7
2. Pemeriksaan lampu Wood
Pemeriksaan lesi yang melibatkan kulit kepala atau jenggot dengan
menggunakan lampu Wood mungkin memperlihatkan gambaran pteridin dari
patogen tertentu. Jika demikian, rambut dengan flouresensi tersebut harus
diperiksa lebih jauh. Perlu diketahui bahwa organisme ektotrik seperti
Microsporum canis dan Microsporum audouinii akan tampak flouresensi pada
pemeriksaan lampu Wood, sedangkan organisme endotrik, Tricophyton tonsurans
tidak tampak flouresensi.

21
Flouresensi positif terinfeksi oleh Microsporum audouinii,
Microsporum canis, Microsporum femgineum, Microsporum distorturn, dan
Trichopiton schoenleinii. Pada ruangan yang gelap kulit dibawah lampu ini
berflouresensi agak biru. Ketombe umumnya cerah putih kebiruan. Rambut yang
terinfeksi berflouresensi hijau terang atau kuning kehijauan.1
3. Pemeriksaan Kultur
Spesiasi jamur didasarkan pada karakteristik mikroskopik,
makroskopik dan metabolisme organisme. Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
adalah media isolasi yang paling umum digunakan dan sebagai basis untuk
gambaran yang paling morfologis. Namun kontaminasi saprobes tumbuh pesat
pada media ini.7

3.2.6 Diagnosis Banding


1. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari
oleh faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik.
Kelainan kulit terdiri dari eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan.1,7

Gambar 3.6 Dermatitis Seboroik

22
2. Alopesia Areata
Alopesia areta adalah kelainan inflamasi kronis yang mengenai rambut dan
kuku. Faktor genetik diduga merupakan penyebab, tetapi biasanya bersamaan
dengan penyakit inflamasi lain. Gambaran klinis alopesia areata yang umum
adalah bercak soliter, bercak multipel bentuk retikula dan ophiasis, alopesia areata
totalis/universalis.7

Gambar 3.7 Alopesia areata

3.2.7 Tatalaksanau
Non Medikamentosa:
1. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah
penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.
2. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian
dengan orang yang terinfeksi.
3. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk
mencegah penyebaran jamur tersebut. Bersihkan kulit setiap hari
menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran agar
jamur tidak mudah tumbuh.
4. Tidak menggaruk kepala
5. Hindari kontak langsung dengan hewan peliharaan
6. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur.

23
Medikamentosa
Anti jamur sistemik dan topikal memiliki beberapa khasiat melawan
dermatofita. Infeksi yang melibatkan rambut dan kulit memerlukan antijamur oral
untuk menembus dermatofit yang menembus folikel rambut. Pengobatan standar
tinea kapitis di Amerika Serikat masih menggunakan griseofulvin, triazol oral
(itrakonazole, flukonazol) dan terbinafin merupakan antijamur yang aman, efektif
dan memiliki keuntungan karena durasi pengobatan yang lebih pendek.1,7
 Pengobatan topikal
Shampo berguna untuk mempercepat penyembuhan, mecegah kekambuhan
dan mencegah penularan, serta membuang skuama dan membasmi spora viabel,
diberikan sampai sembuh klinis dan mikologis:
a. Shampo Selenium Sulfit 1%-1,8%
Dipakai 2-3 kali/minggu didiamkan 5 menit baru dicuci
b. Shampo Ketokonazole 1%-2%
Dipakai 2-3 kali/minggu didiamkan 5 menit baru dicuci
c. Shampo Providine Iodine
Dipakai 2 kali/minggu selama 15 menit.

 Pengobatan Sistemik
-
Griseofulvin
Griseofulvin bersifat fungistatik, dan menghambat sintesis asam nukleat,
menghambat pembelahan sel pada metafase, dan mencegah sintesis dinding sel
fungi. Griseofulvin juga merupakan anti-inflamasi. Dosis yang direkomendasikan
untuk orang dewasa 500-1000 mg dan untuk anak-anak 10-25 mg/kgBB.
Mengkonsumsi griseofulvin bersamaan dengan makanan berlemak mempercepat
absorpsi dan bioavailabilitas dari obat tersebut. Dosis yang direkomendasikan
tergantung pada formulasi yang digunakan, dosis yang lebih tinggi
direkomendasikan oleh beberapa klinisi untuk micronized griseofulvin sebagai
lawan dari ultramicronized griseofulvin, tetapi dosis diatas 25 mg/Kg masih dapat
ditoleransi. Durasi terapi tergantung pada organisme penyebab tinea (contoh:

24
infeksi T.tonsurans memerlukan pengobatan yang lebih panjang) tetapi juga
bervariasi antara 8 sampai 10 minggu.
Efek samping berupa mual dan ruam pada 8-15% penderita. Obat ini
kontraindikasi dengan wanita hamil. Keuntungan obat ini tidak mahal, berlisensi,
sirupnya mempunyai rasa yang lebih enak, dan mempunyai keakuratan dosis yang
lebih baik untuk anak-anak apabila griseofulvin dibuat dalam bentuk suspensi.
Kerugian dari griseofulvin adalah proses pengobatan yang lama, dan
kontraindikasi pada pasien lupus eritematosus, porfiria, dan penyakit hati berat.
Griseofulvin dapat bereaksi dengan warfarin, siklosporin, dan pil kontrasepsi oral.
- Flukonazol 6 mg/kg/hr/20hr
Flukonazol biasanya digunakan untuk tinea kapitis tetapi diketahui
mempunyai efek samping yang lebih sedikit. Dosis flukonazol adalah 3-5
mg/Kg per hari selama 4 minggu efektif untuk anak-anak dengan tinea kapitis.
- Itrakonazol 3-5mg/kg/hr/4-6minggu
Itrakonazol menghambat aktifitas baik fungisatatik dan fungisidal
bergantung pada konsentrasi obat pada jaringan, tetapi seperti kelompok azol
lainnya, mekanisme aksi itrakonazol yang utama adalah fungistatik, melalui
penipisan membran sel ergosterol, yang mana mengganggu permeabilitas
membran. Dosis itrakonazol 100 mg/hari untuk 4 minggu sampai 5 mg/Kg per
hari untuk anak-anak sama efektifnya dengan griseofulvin dan terbinafin.
Keuntungan itrakonazol dapat memberikan impuls regimen yang lebih pendek
jika memungkinkan. Itrakonazol dapat memiliki toksisitas yang meningkat
jika berinteraksi dengan antikoagulan (warfarin), antihistamin (terfenadine dan
astemizol), antipsikotik (midazolam), digoxin, cisapride, siklosporin, dan
simvastatin (meningkatnya resiko miopati).
- Terbinafin 3-6mg/kg/hr/2-4minggu
Terbinafin bekerja pada membrane sel fungal dan bersifat fungisidal.
Obat ini efektif melawan dermatofita. Terbinafin mempunyai keefektifan yang
sama dengan griseofulvin dan aman untuk penatalaksanaan tinea kapitis jenis
ringworm yang disebabkan oleh Trichophyton sp pada anak-anak. Keefektifan
terbinafin untuk Microsporum masih diperdebatkan. Berdasarkan evidence

25
base medicine (EBM) terbaru menyarankan agar tingginya dosis atau lamanya
terapi (> 4 minggu) bergantung pada infeksi Microsporum. Dosis tergantung
pada berat pasien, tetapi biasanya 3 dan 6 mg/Kg per hari. Efek samping
mencakup gangguan gastrointestinal, dan ruam pada 5% dan 3% kasus.
Konsentrasi plasma dapat berkurang jika berinteraksi dengan rifampisin dan
meningkat jika berinteraksi dengan simetidin.1

3.2.8 Prognosis
Baik, asalkan kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga.1

26
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada kasus An.AN usia 4 tahun 10 bulan ini ditegakkan dengan diagnosis
tinea kapitis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan dapat ditandai dengan lesi bersisik,
kemerah-merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis lebih
berat yang disebut kerion. Didalam klinik tinea kapitis dapat dilihat sebagai 4
bentuk yang jelas, yaitu Grey Patch Ringworm, Kerion dan Black Dot Ringworm,
dan Tinea Favus
Tinea capitis adalah infeksi jamur yang mengenai anak – anak berumur
antara 4 dan 14 tahun. Kepadatan penduduk, higiene yang buruk dan malnutrisi
protein memudahkan seseorang mendapatkan penyakit ini.
Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan keropeng dan kemerahan
pada kulit kepalanya disertai gatal , munculnya ketombe di kulit kepala, rambut
menjadi rontok, benjolan yang berisi nanah sebanyak 5 buah dan luka makin
meluas selama 1 bulan ini. Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya dan keluarga pasien juga tidak ada mengidap penyakit yang sama.
Pasien memelihara seekor kucing di rumahnya. Menurut teori, pada pasien tinea
capitis didapatkan gatal, rambut rontok yang diakhiri dengan kebotakan pada
daerah tinea, dan daerah tinea semakin meluas. Kontak dengan binatang
peliharaan juga merupakan fakto resiko terjadinya tinea capitis.
Dari pemeriksaan fisik, kasus ini termasuk ke dalam tinea capitis tipe
kerion yang ditandai dengan reaksi peradangan yang berat berupa pembengkakan
yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat
disekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum canis dan Microsporum gypseum,
pembentukan kerion ini lebih sering dilihat. Tipe ini sebagai hasil dari reaksi
hipersensitivitas terhadap infeksi. Spektrum inflamasi dapat terjadi mulai dari
folikulitis postular hingga kerion, yang memberikan gambaran seperti “lumpur”,
masa inflamasi dengan taburan rambut rusak dan orifisium folikular yang

27
mengeluarkan pus. Lesi inflamasi biasanya gatal/pruritik, dan mungkin juga nyeri,
adanya limfadenopati servikal posterior, demam, dan lesi tambahan pada kulit
kepala yang gundul. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat
alopesia yang menetap. Jaringan parut yang menonjol dapat terbentuk.
Untuk diagnosis bandingnya yaitu dermatitis seboroik dan alopesia areata.
Untuk dermatitis seboroik, biasanya lesi pada kulit kepala lebih merata. Adanya
lesi-lesi seboroika pada tempat-tempat predileksi lain dan blefaritis dapat
membantu menentukan diagnosis. Dermatitik seboroika mempunyai lesi-lesi kulit
yang simetris distribusinya. Pada rambut biasanya tampak berminyak, kulit kepala
ditutupi skuama yang berminyak. Pada alopesia areaata rambut dibagian pinggir
kelainan mula-mula mudah dicabut dari folikel, akan tetapi pangkal yang patah
tidak nampak. Pada kelainan ini juga tidak terdapat skuama, kulit lebih licin dan
berwarna coklat.
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, sehingga
diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik dapat ditegakkan diagnosis pasien ini adalah tinea capitis
tipe kerion. Untuk mengkonfirmasi diagnosis, maka disarankan untuk melakukan
pemeriksaan anjuran yaitu pemeriksaan KOH, lampu wood, dan kultur.
Untuk terapi yang diberikan kepada pasien meliputi terapi non-
medikamentosa berupa edukasi dan medikamentosa berupa terapi topikal dan
sistemik. Edukasi yang dapat diberikan kepada pasien yaitu menjelaskan tentang
penyakit yang sedang dialami, menjelaskan cara pengobatan, menganjurkan untuk
menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan, rajin mencuci rambut dengan shampo
untuk menjaga kebersihan kulit kepala, dan menghindari hewan peliharaan. Terapi
medikamentosa diperlukan pengobatan baik secara topikal maupun sistemik.
Terapi topikal dapat dilakukan dengan mencuci kepala dan rambut dengan sampo
disinfektan antimikotik seperti ketoconazole 2% scalp solution efektif dapat
mengurangi infektivitas penyebaran spora dan hifa. Sedangkan untuk pengobatan
sistemik dapat dengan pemberian griseofulvin 50-100 mg untuk orang dewasa dan
10-25 mg/kgBB untuk anak-anak . Mekanisme kerja griseofulvin bertujuan untuk
menghambat mitosis sel fungi sehingga menghambat perkembangan fungi.

28
Organisme yang peka antara lain Trichophyton rubrum, Trichophyton tonsurans,
Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton verrucosum, Microsporum
audouninii, Microsporum canis.
Prognosis tinea kapitis umumnya baik jika faktor-faktor yang dapat
menyebabkan infeksi dihindari dan pasien patuh saat mengikuti regimen terapi
dari dokter.

29
BAB V
KESIMPULAN

Tinea kapitis merupakan penyakit dermatofitosis paling banyak pada anak-


anak, mengenai kulit kepala dan rambut, ditandai dengan skuama dan bercak
alopesia. Etiologi penyebab tinea kapitis adalah semua dermatofita yang pathogen
terkecuali E.flocossum dan T.concentricum. Penyebab tersering adalah
T.tonsurans. Bentuk klinis dari tinea kapitis bervariasi. Dikelompokkan menjadi
gray patch, black dot ringworm, kerion celcii, dan favus. Diagnosis umumnya
ditegakkan dengan melihat gambaran klinis dan dibantu dengan pemeriksaan
laboratorik serta pemeriksaan lampu Wood.
Pengobatan tinea kapitis yaitu terapi non-medikamentosa berupa edukasi
dan medikamentosa berupa terapi topikal dan sistemik.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi
ke-7. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin FK UI;
2016
2. Siregar R. S Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2004. hal. 13-15.
3. Oliver, et al. Tinea Capitis: Diagnostic Criteria and Treatment Options;
2009. Available from URL http://www.medscape.com/viewarticle/707621
4. Lakshmipathy TD, Kannabiran K. 2013 Review on dermatomycosis:
pathogenesis and treatment. Natural Science. Diunduh di URL
:http://www.scirp.org/journal/NS/.Diakses tanggal 25 September 2018.
5. Yadav A, UrhekarAD, Mane V, Danu MS, Goel N, Ajit
KG.2013.Optimization and Isolation of Dermatophytes from Clinical
Samples and In Vitro Antifungal Susceptibility Testing By Disc Diffusion
Method.Journal ofMicrobiology and Biotechnology. 2(3):19-34
6. Kurniati., Rosita, C.,2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Surabaya ;
Fakultas Kedokteran UNAIR.
7. Fitzpatrick TB. Dermatology in General Medicine Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. New York: The
McGraw Hill Companies; 2012.

31

Anda mungkin juga menyukai