Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

Seorang Wanita 36 Tahun dengan SNNT


Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat
dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Bedah RSUD. RA. Kartini Jepara

Pembimbing :
dr. Hermawan Adi Nugroho , Sp.B

Disusun oleh :
Puspita Wijaya Rosadi
30101307045

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


RSUD. RA. KARTINI JEPARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Struma nodosa non toksik atau yang disebut goiter merupakan pembesaran
kelenjar tiroid, salahsatu cara mekanisme kompensasi tubuh terhadap kurangnya
unsur yodium dalam makanan dan minuman. Keadaan ini, dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Goiter endemik, sering terdapat di
daerah- daerah yang air minumya kurang mengandung yodium. Di Indonesia, banyak
terdapat di daerah pegunungan, namun ada juga yang ditemukan di dataran rendah
ditepi pantai, seperti Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan Sulawesi.
Kelenjar tiroid adalah salah satu dari kelenjar endokrin terbesar pada tubuh
manusia. Kelenjar ini dapat ditemui dibagian depan leher, sedikit dibawah laring.
Kelenjar ini, berfungsi untuk mengatur kecepatan tubuh membakar energi, membuat
protein dan mengatur sensivitas tubuh terhadap hormon lainnya. Kelenjar tiroid
mensekresi tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Kedua hormon ini sangat
meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh. Kekurangan total sekresi tiroid,
biasanya menyebabkan penurunan metabolisme basal kira – kira 40 -50 persen
dibawah normal. Bila kelebihan sekresi tiroid sangat hebat, dapat meningkatkan
kecepatan metabolisme sampai setinggi 60 -100 persen diatas normal (Guyton,2008).
Karena pentingnya fungsi tiroid ini, kelainan pada kelenjar tiroid akan berpengaruh
besar pada proses fisiologis tubuh.
Lokasi anatomik kelenjar tiroid berada di superfisial maka, nodul tiroid,
dengan mudah dapat dideteksi baik melalui pemeriksaan fisik maupun dengan
menggunakan berbagai moda diagnostik. Pada pemeriksaan penunjang tiroid, teraba
nodul satu atau lebih maka ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tampa disertai
tanda - tanda hipertiroidisme disebut struma non toksik. Struma nodusa, dapat
diklasifikasikan berdasarka beberapa hal yaitu berdasarkan jumlah nodul, bila jumlah
nodul hanya satu disebut struma nodusa soliter (unidosa) dan bila lebih dari satu,
disebut multinudosa. Kelainan ini sangat sering dijumpai bahkan dapat dikatakan
bahwa dari semua kelainan tiroid struma nodusa non toksik paling sering ditemukan
(Sudoyo,et al 2014).
Struma nodusa merupakan pembesaran pada kelenjar tiroid yang teraba
sebagai satu nodul (Sudoyo dkk,2009). Sekitar 10 juta orang diseluruh dunia
mengalami gangguan tiroid, baik kanker tiroid, struma nodusa non toxic, maupun
struma nodusa toxik (Amerika Thyroid Assosiation, 2013). Prevensi nodul tiroid
berkisar antara 5 % sampai 50%, bergantung pada populasi tertentu dan sensivitas
dari tehnik deteksi. Prevensi nodul tyroid meningkat, sesuai dengan umur,
keterpajanan terhadap radiasi pengion dan defesiensi iodium (Sudoyo,et al 2009).
Pada tahun 2007 sekitar 33.550 orang di Amerika Serikat menderita gangguan tiroid
dan 1.530 orang berakhir dengan kematian ( Newton, Hickey, & Marrs, 2009).
Prevalensi struma nodosa yang didapat melalui palpasi sekitar 4,7 – 51 per 1000
orang dewasa dan 2,2 – 14 er 1000 pada anak - anak ( Incidence and Prevalence
Data, 2012).Hasil survey Balitbang pada tahun 2007 didapatkan angka prevalensi
struma nodosa di Indonesia meningkat sebesar 35,38 %.
Hasil pemetaan GAKI pada tahun 2013 menunjukkan secara nasional 77,1
persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium, 14,8 persen
RT mengonsumsi garam dengan kandungan kurang iodium dan 8,1 persen RT
mengonsumsi garam yang tidak mengandung iodium. Provinsi dengan proporsi RT
yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium tertinggi adalah Bangka
Belitung (98,1%) dan terendah adalah Aceh (45,7%). Secara nasional angka ini masih
belum mencapai target Universal Salt Iodization (USI) atau “garam beriodium untuk
semua”, yaitu minimal 90 persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan
cukup iodium. Berdasarkan kecukupan konsumsi garam beriodium, maka provinsi
Jawa Tengah termasuk ke dalam provinsi dengan kategori rumah tangga mempunyai
garam cukup iodium (80,1%) (Riskesdas, 2013).
Penderita struma nodusa, biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak
adanya hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Jumlah nodul bermacam macam,
mungkin tunggal dan mungkin banyak terdapat nodul yang berkembang menjadi
mutinodular yang tidak berfungsi. Gejala awal yang ditemui adalah adanya benjolan
di area leher tanpa adanya keluhan lain yang menyerupai.
Kasus struma nodusa non toksik, harus dilakukan penanganan yang segera
dan pengobatan, serta perawatan yang adekuat, karena kemungkinan dapat
menimbulkan keganasan. Disamping itu, keluhan klien yang tidak nyaman, karena
adanya tekanan mekanik nodul terhadap organ sekitar serta adanya pertimbangan
masalah kosmetik. Tindakan bedah, juga dapat dilakukan pada satu nodul jinak.
Tindakan pembedahan untuk untuk pengangkatan struma yang membesar
(tiroidektomi) menjadi alternatif terakhir pada penderita struma nodosa. Namum,
pembedahan jika tidak dilakukan dengan baik beresiko tinggi mencederai dua unsur
penting, yakni kelenjar paratyroid dan nervus rekumen laringeal.
Salah satu komplikasi akibat tiroidektomi adalah hipotiroidisme. Kondisi ini
dapat berupa adanya rasa kebas dan kesemutan pada area wajah dan ekstrimitas,
takikardia, dan produksi keringat yang berlebih. Hal ini disebabkan terjadinya
hipokalsemia akibat edema pada paratiroid pasca pembedahan. Komplikasi ini dapat
bersifat sementara atau permanen (Vaxevanidou et al, 2010). Monitoring tanda-tanda
hipokalsemia dapat mempercepat proses pemulihan pasca pembedahan. Pemberian
post operative care pasca tiroidektomi yang optimal merupakan salah satu intervensi
mandiri keperawatan yang dapat meminimalkan komplikasi dan mempercepat
penyembuhanklien.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi karena
folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun sebagian
folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut
menjadi noduler. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid
yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme. Istilah struma nodosa menunjukkan adanya suatu proses baik
fisiologis maupun patologis yang menyebabkan pembesaran asimetris dari
kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh, maka
pembesaran asimetris ini disebut sebagai Struma Nodosa Non Toksik.

2.2 Anatomi

Glandula thyroidea terletak di daerah servikal, anterior terhadap laring, di


belakang musculus sternothyroideus dan musculus sternohyoideus setinggi
vertebra cervicalis V sampai vertebra thoracica I. Kelenjar ini terdiri dari lobus
dexter dan lobus sinister yang terletak anterolateral terhadap larynx dan trachea.
Kedua lobus dihubungkan oleh isthmus yang biasanya terletak di depan
cartilagines tracheales II-III (Moore K. & Agur A., 2002). Sebuah lobus
pyramidalis dapat berasal dari isthmus, biasanya ke sebelah kiri dari bidang
median. Glandula thyroidea terbungkus dalam capsula fibrosa yang tipis dan
memancarkan sekat-sekat ke dalam jaringan kelenjar. Di sebelah luar capsula
fibrosa ini terdapat selubung longgar yang berasal dari fascia pretrachealis
fasciae cervicalis profundae. Glandula thyroidea melekat pada cartilago cricoidea
dan cartilagines tracheales atas dengan perantaraan jaringan ikat padat. Kelenjar
ini berbetuk lonjong berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm
dan berkisar 10-20 gram (Moore K. & Agur A., 2002).

Glandula thyroidea yang vaskularisasinya amat luas, memperoleh darah dari


arteria thyroidea superior dan arteria thyroidea inferior. Pembuluh-pembuluh
ini terletak antara capsula fibrosa dan fascia pretrachealis fasciae cervicalis
profundae. Arteriae thyroidea superior, cabang pertama arteria carotis externa,
melintas turun ke kutub atas masing-masing lobus glandula thyroidea, menembus
fascia pretrachealis dan membentuk ramus glandularis anterior dan ramus
glandularis posterior. Arteria thyroidea inferior, cabang truncus thyrocervicalis,
melintas ke superomedial di belakang sarung karotis dan mencapai aspek
posterior glandula thyroidea. Arteria thyroidea inferior terpecah menjadi cabang-
cabang yang menembus fascia pretrachealis fasciae cervicalis profundae dan
memasok darah kepada kutub bawah glandula thyroidea (Moore K. & Agur A.,
2002).

Tiga pasang vena thyroidea biasanya menyalurkan darah dari pleksus vena
pada permukaan anterior glandula thyroidea dan trachea. Vena thyroidea superior
menyalurkan darah dari kutub atas, vena thyroidea media menyalurkan darah dari
bagian tengah kedua lobus, dan vena thyroidea inferior menyalurkan darah dari
kutub bawah. Vena thyroidea superior dan vena thyroidea media bermuara ke
dalam vena jugularis interna dan vena thyroidea inferior ke dalam vena
brachiocephalica (Moore K. & Agur A., 2002).

Pembuluh limfe glandula thyroidea melintas di dalam jaringan ikat antar-


lobul, seringkali mengitari arteri-arteri dan berhubungan dengan anyaman
pembuluh limfe kapsular. Dari sini pembuluh limfe menuju ke nodi lymphoidei
cervicales anteriores profundi prelaryngeales, nodi lymphoidei cervicales
anteriores profundi pretrecheales dan nodi lymphoidei cervicales anteriores
profundi paratracheales. Di sebelah lateral, pembuluh limfe mengikuti vena
thyroidea superior melintas ke nodi lymphoidei cervicales profundi. Kelenjar
tiroid sangat penting untuk mengatur metabolisme dan bertanggung jawab atas
normalnya kerja setiap sel tubuh. Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4)
dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan hormon tersebut ke dalam aliran darah.
Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom yodium pada setiap
molekul T3 (Moore K. & Agur A., 2002).
2.3 Fisiologi

Sel-sel sekretorik utama tiroid tersusun menjadi gelembung-


gelembung berongga, yang masing-masing membentuk unit fungsional yang
disebut folikel. Dengan demikian, sel-sel sekretork ini sering disebut sebagai sel
folikel. Pada potongan mikroskopik, folikel tampak sebagai cincin sel folikel yang
meliputi lumen bagian dalam yang dipenuhi koloid, suatu bahan yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan ekstrasel untuk hormon-hormon tiroid (Lauralee,
2001).

Konstituen utama koloid adalah molekul besar dan kompleks yang dikenal
sebagai tiroglobulin, yang di dalamnya berisi hormon-hormon tiroid dalam
berbagai tahapan pembentukannya. Sel-sel folikel menghasilkan dua hormon
yang mengandung iodium, yang berasal dari asam amino tirosin : tetraiodotironin
(T4 atau tiroksin) dan triiodotironin (T3). Kedua hormon ini yang secara kolektif
disebut sebagai hormon tiroid, merupakan regulator penting bagi laju
metabolisme basal keseluruhan (Lauralee, 2001).

Bahan dasar untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan iodium, yang
keduanya harus diserap dari darah oleh sel-sel folikel. Tirosin, suatu asam amino,
disintesis dalam jumlah memadai oleh tubuh, sehingga bukan merupakan
kebutuhan esensial dalam makanan. Di pihak lain, iodium, yang diperlukan untuk
sintesis hormon tiroid, harus diperoleh dari makanan (Lauralee, 2001).
Pembentukan, penyimpanan dan sekresi hormon tiroid terdiri dari langkah-
langkah berikut :

1. Semua langkah sintesis hormon tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin di


dalam koloid. Tiroglobulin itu sendiri dihasilkan oleh kompleks
Golgi/retikulum endoplasma sel folikel tiroid. Tirosin menyatu ke dalam
molekul tiroglobulin sewaktu molekul besar ini diproduksi. Setelah
diproduksi, tiroglobulin yang mengandung tirosin dikeluarkan dari sel folikel
ke dalam koloid melalui eksositosis.
2. Tiroid menangkap iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam koloid
melalui suatu “pompa iodium” yang sangat aktif atau “iodine-trapping
mechanism”-protein pembawa yang sangat kuat dan memerlukan energi yang
terletak di membran luar sel folikel. Hampir semua iodium di tubuh
dipindahkan melawan gradien konsentrasinya ke kelenjar tiroid untuk
mensintesis hormon tiroid.
3. Di dalam tiroid, iodium dengan cepat melekat ke sebuah tirosin di dalam
molekul tiroglobulin. Perlekatan sebuah iodium ke tirosin menghasilkan
monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan
diiodotirosin (DIT).
4. Kemudian, terjadi proses penggabungan antara molekul-molekul tirosin
beriodium untuk membentuk hormon tiroid. Penggabungan dua DIT
menghasilkan tetraiodotironin (T4 atau tiroksin), yaitu bentuk hormon tiroid
denagn empat iodium. Penggabungan satu MIT dan satu DIT menghasilkan
triiodotironin atau T3.

Hormon-hormon tiroid tetap disimpan dalam bentuk ini di koloid sampai


mereka dipecah dan disekresikan. Proses sekresi hormon tiroid pada dasarnya
melibatkan “penggigitan” sepotong koloid oleh sel folikel, sehingga molekul
tiroglobulin terpecah menjadi bagian-bagiannya, dan pengeluaran T4 dan T3 bebas
ke dalam darah. Apabila terdapat rangsangan yang sesuai untuk mengeluarkan
hormon tiroid, sel-sel folikel memasukkan sebagian dari kompleks hormon-
tiroglobulin dengan memfagositosis sekeping koloid. Di dalam sel, butir-butir
koloid terbungkus membran menyatu dengan lisoso, yang enzim-enzimnya
kemudian memisahkan hormon tiroid yang aktif secara biologis, T4 dan T3 serta
iodotirosin yang nonaktif, MIT dan DIT. Hormon-hormon tiroid, karena sangat
lipofilik, dengan mudah melewati membran luar sel folikel dan masuk ke dalam
darah. Sel-sel folikel mengandung suatu enzim yang dengan cepat mengeluarkan
iodium dari MIT dan DIT, sehingga iodium yang dibebaskan dapat didaur ulang
untuk sintesis lebih banyak hormon.

Gambar : Pembentukan, Penyimpanan dan Pengeluaran Hormon Tiroid


Di dalam darah sebagian besar T3 dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu
albumin, Thyroxin Binding Pre Albumin (TBPA) dan Thyroxin Binding Globulin
(TGB). Sebagian kecil T3 dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan dalam
mengatur sekresi TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh Thyroid-Stimulating
Hormone (TSH) yang dihasilkan lobus anterior glandula hypofise dan
pelepasannya dipengaruhi oleh Thyrotropine-Releasing Hormone (TRH).
Kelenjar tiroid juga mengeluarkan calcitonin dari parafolicular cell, yang dapat
menurunkan kalsium serum dan berpengaruh pada tulang.

Gambar 3.6 Regulasi Umpan Balik terhadap Sekresi Hormon Tiroid


2.4 Etiologi
Penyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa tidak
diketahui, namun sebagian besar penderita menunjukkan gejala-gejala tiroiditis
ringan; oleh karena itu, diduga tiroiditis ini menyebabkan hipotiroidisme ringan,
yang selanjutnya menyebabkan peningkatan sekresi TSH (thyroid stimulating
hormone) dan pertumbuhan yang progresif dari bagian kelenjar yang tidak
meradang. Keadaan inilah yang dapat menjelaskan mengapa kelenjar ini
biasanya nodular, dengan beberapa bagian kelenjar tumbuh namun bagian yang
lain rusak akibat tiroiditis.
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan
faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
1. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah
yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium,
misalnya daerah pegunungan.
2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
- Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam
kol, lobak, kacang kedelai).
- Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya :
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).
- Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid.
Pada umumnya ditemui pada masa pertumbuhan, puberitas,
menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya.
Dimana menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arseitektur
yang dapat bekelanjutan dengan berkurangnya aliran darah didaerah
tersebut.
Akhirnya, ada beberapa makanan yang mengandung substansi
goitrogenik yakni makanan yang mengandung sejenis propiltiourasil yang
mempunyai aktifitas antitiroid sehingga juga menyebabkan pembesaran
kelenjar tiroid akibat rangsangan TSH. Beberapa bahan goitrogenik
ditemukan pada beberapa varietas lobak dan kubis.

2.5 Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus,
masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar
tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul
tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam
molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3).
Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid
Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang
tyrodotironin (T3) merupakan hormone metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan
keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid
sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik
negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini
menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.

2.6 Klasifikasi Struma


 Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal
sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Goiter atau struma semacm ini biasanya tidak menimbulkan
gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari
kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon.
Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi
atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop
atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap
udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi,
kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu
dan penurunan kemampuan bicara.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik
hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau
adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid,
sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran
kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan
menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh
suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung
berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.
 Berdasarkan Klinisnya

Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi


sebagai berikut :
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan
struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar
luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa
akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih
benjolan (struma mult inoduler toksik). Struma diffusa toksik
(tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh
dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab
tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophthalmic goiter),
bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara
hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap
selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar
dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan
kelenjar tiroid hiperaktif. Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung
menyebabkan peningkatan pembentukan antibodi sedangkan turunnya
konsentrasi hormon tersebut sebagai hasil pengobatan penyakit ini
cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah
pembentukyna. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan
mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik
adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit
berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi
struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik
disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut
sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering
ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium
dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia. Apabila
dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini
disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak
mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme,
penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan
keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu
penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya
tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam
keadaan seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama
dengan yang diekskresi lewat urin.

 Berdasarkan jumlah nodul:


a. bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa)
b. bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.
 Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif dikenal 3 bentuk
nodul tiroid yaitu :
a. nodul dingin  bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah.
b. nodul hangat  bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. lni
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
a. nodul panas  bila penangkapan yodium lebih banyak daripada
sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
2. Berdasarkan konsistensinya
a. nodul lunak
b. nodul kistik
c. nodul keras
d. nodul sangat keras.

2.7 Manifestasi Klinis


Pada umumnya Struma Nodosa Non Toksik tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipotiroid atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT
adalah tidak adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon
tiroid dan pada palpasi dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah
satu lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-
angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya
tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan
karena menonjol kedepan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea
bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh ke arahkontra lateral. Pendorongan demikian mungkin
tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti
menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dyspnea dengan
stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan
trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena
terfiksasi pada trakea.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Pemerikasaan laboratorium yang digunakan dalam diagnosa penyakit tiroid
terbagi atas:
1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid
Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan
radioimmuno-assay (RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA)
dalam serum atau plasma darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua
penderita penyakit tiroid, kadar normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L
atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal
pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat
membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di mana basal TSH
meningkat 6 mU/L. Kadang- kadang meningkat sampai3 kali normal.

2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.


Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum
penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
a. antibodi tiroglobulin
b. antibodi microsomal
c. antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
d. antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
e. thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
3. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya
deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya
secara klinis pun sudah bisa diduga, foto rontgen leher (posisi AP danLateral)
diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi
anastesinya, bahkan tidak jarang intuk konfirmasi diagnostic tersebut sampai
memelukan CT-scan leher.
4. USG
bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
 Dapat menentukan jumlah nodul
 Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
 Dapat mengukur volume dari nodul tiroid
 Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
menangkap iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.
 Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat dilakukan,
pemeriksaan USG sangat membantu mengetahui adanya pembesaran tiroid.
 Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan
biopsi terarah
 Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
5. Pemeriksaan tiroid dengan menggunakan radio-isotop dengan memanfaatkan
metabolisme iodium yang erat hubungannya dengan kinerja tiroid bisa
menggambarkan aktifitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya. Penilaian
fungsi kelenjar tiroid dapat juga dilakukan karena adanya sistem transport
pada membran sel tiroid yang menangkap iodide dan anion lain.
6. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996).Dilakukan
khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi
jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran sel-
sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu
karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan
preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh
ahli sitologi.
7. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat
dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan
khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut
panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9oC dan dingin apabila
< 0,9oC. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua
hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan
spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain.
8. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum.
Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rata-rata
323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
2.9 Penatalaksanaan

 Medika Mentosa
a. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Perawatan Sebagian besar pasien eutiroid dengan struma kecil dan difus
tidak memerlukan pengobatan. Beberapa dokter memberikan pasien dengan struma
eksogen besar hormon tiroid untuk mengurangi stimulasi pertumbuhan kelenjar
TSH; perawatan ini dapat mengakibatkan penurunan dan / atau stabilisasi ukuran
gondok dan paling efektif untuk struma difus kecil. Gondok endemik diobati dengan
pemberian yodium.
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini
diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH.
Oleh karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon
tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi
sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid)
yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/
karbimasol.

 Non Medika Mentosa


1. Operasi/Pembedahan
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid,
sebelum pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan
akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena
jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon
dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk
menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.
Indikasi operasi pada struma adalah:
 struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
 struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
 struma dengan gangguan tekanan
 kosmetik.
Kontra indikasi operasi pada struma:
 struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
 struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain
yang belum terkontrol
 struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian
biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan
pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau
laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas
sulit dilakukan eksisi yang baik.
 struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya
karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah
dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas
yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.

Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT.


Macam-macam teknik operasinya antara lain :
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar
disisakan seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh
isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus
kanan dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior
dilakukan untuk mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N.
Rekurens Laryngeus
2. Iodium Radioaktif
Iodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada
kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak
mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi
gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar
tiroid sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya.
Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan
genetik. Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang
harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat
minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.

2.10 Komplikasi
Meskipun struma nodosa non-aktif tidak membahayakan, namun terdapat
beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh struma ini, yaitu :
 Gangguan menelan atau bernafas
 Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung
kongestif (jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh)
 Osteoporosis, terjadi akibat peningkatan proses penyerapan tulang sehingga
tulang menjadi rapuh, keropos dan mudah patah.

Selain kondisi penyakit itu sendiri yang dapat menimbulkan


komplikasi, tindakan operatif tiroidektomi itu sendiri dapat menimbulkan
beberapa komplikasi, diantaranya adalah :
 Perdarahan
 Masalah terbukanya vena besar dan menyebabkan embolisme udara
 Trauma pada nervus laryngeus recurrens
 Memaksa sekresi glandula ini dalam jumlah abnormal ke dalam sirkulasi
dengan tekanan
 Sepsis yang meluas ke mediastinum
 Hipotiroidisme pasca bedah akibat terangkatnya kelenjar paratiroid
 Trakeomalasia (melunaknya trakea). Trakea mempunyai rangka tulang
rawan, bila tiroid demikian besar dan menekan trakea, tulang-tulang rawan
akan melunak dan tiroid tersebut menjadi kerangka bagiantrakea.
BAB III
KESIMPULAN

 Struma nodusa merupakan pembesaran pada kelenjar tiroid yang


teraba sebagai satu nodul tanpa disertai tanda-tanda hipertioroidisme
 Gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan
faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain defisiensi
iodium dan kelainan metabolik kongenital
 Pemeriksaan diagnostik penyakit tiroid atara lain; pemeriksaan untuk
mengukur fungsi tiroid, pemeriksaan untuk menunjukkan peyebab
gangguan tiroid, peeriksaan radiologis, USG, pemeriksaan
radioisotop, biopsi aspirasi jarum halus (FNA), Tomografi, Petanda
tumor
 Penatalaksanaannya berupa medikamentosan dan non-medikamentosa
dengan operasi/pembedahan dan iodium radioaktif
 Komplikasi struma nodosa non toksik berupa gangguan bernafas dan
menelan, gangguan jantung dan osteoporosis
 Komplikasi tindakan operatif tiroidektomi diantaranya perdarahan,
embolisme udara, trauma pada nervus laryngeus recurrens, sepsis
yang meluas ke mediastinum, hipotiroidisme dan trakeomalasia
(melunaknya trakea).
DAFTAR PUSTAKA

Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC. Principles
of Surgery. United States of America : McGraw-Hill companies;2010
De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 2004., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC.,
Jakarta
Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta
Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta
Riset Kesehatan Dasar.2013. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI

Anda mungkin juga menyukai