Pembimbing :
dr. Hermawan Adi Nugroho , Sp.B
Disusun oleh :
Puspita Wijaya Rosadi
30101307045
Struma nodosa non toksik atau yang disebut goiter merupakan pembesaran
kelenjar tiroid, salahsatu cara mekanisme kompensasi tubuh terhadap kurangnya
unsur yodium dalam makanan dan minuman. Keadaan ini, dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Goiter endemik, sering terdapat di
daerah- daerah yang air minumya kurang mengandung yodium. Di Indonesia, banyak
terdapat di daerah pegunungan, namun ada juga yang ditemukan di dataran rendah
ditepi pantai, seperti Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan Sulawesi.
Kelenjar tiroid adalah salah satu dari kelenjar endokrin terbesar pada tubuh
manusia. Kelenjar ini dapat ditemui dibagian depan leher, sedikit dibawah laring.
Kelenjar ini, berfungsi untuk mengatur kecepatan tubuh membakar energi, membuat
protein dan mengatur sensivitas tubuh terhadap hormon lainnya. Kelenjar tiroid
mensekresi tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Kedua hormon ini sangat
meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh. Kekurangan total sekresi tiroid,
biasanya menyebabkan penurunan metabolisme basal kira – kira 40 -50 persen
dibawah normal. Bila kelebihan sekresi tiroid sangat hebat, dapat meningkatkan
kecepatan metabolisme sampai setinggi 60 -100 persen diatas normal (Guyton,2008).
Karena pentingnya fungsi tiroid ini, kelainan pada kelenjar tiroid akan berpengaruh
besar pada proses fisiologis tubuh.
Lokasi anatomik kelenjar tiroid berada di superfisial maka, nodul tiroid,
dengan mudah dapat dideteksi baik melalui pemeriksaan fisik maupun dengan
menggunakan berbagai moda diagnostik. Pada pemeriksaan penunjang tiroid, teraba
nodul satu atau lebih maka ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tampa disertai
tanda - tanda hipertiroidisme disebut struma non toksik. Struma nodusa, dapat
diklasifikasikan berdasarka beberapa hal yaitu berdasarkan jumlah nodul, bila jumlah
nodul hanya satu disebut struma nodusa soliter (unidosa) dan bila lebih dari satu,
disebut multinudosa. Kelainan ini sangat sering dijumpai bahkan dapat dikatakan
bahwa dari semua kelainan tiroid struma nodusa non toksik paling sering ditemukan
(Sudoyo,et al 2014).
Struma nodusa merupakan pembesaran pada kelenjar tiroid yang teraba
sebagai satu nodul (Sudoyo dkk,2009). Sekitar 10 juta orang diseluruh dunia
mengalami gangguan tiroid, baik kanker tiroid, struma nodusa non toxic, maupun
struma nodusa toxik (Amerika Thyroid Assosiation, 2013). Prevensi nodul tiroid
berkisar antara 5 % sampai 50%, bergantung pada populasi tertentu dan sensivitas
dari tehnik deteksi. Prevensi nodul tyroid meningkat, sesuai dengan umur,
keterpajanan terhadap radiasi pengion dan defesiensi iodium (Sudoyo,et al 2009).
Pada tahun 2007 sekitar 33.550 orang di Amerika Serikat menderita gangguan tiroid
dan 1.530 orang berakhir dengan kematian ( Newton, Hickey, & Marrs, 2009).
Prevalensi struma nodosa yang didapat melalui palpasi sekitar 4,7 – 51 per 1000
orang dewasa dan 2,2 – 14 er 1000 pada anak - anak ( Incidence and Prevalence
Data, 2012).Hasil survey Balitbang pada tahun 2007 didapatkan angka prevalensi
struma nodosa di Indonesia meningkat sebesar 35,38 %.
Hasil pemetaan GAKI pada tahun 2013 menunjukkan secara nasional 77,1
persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium, 14,8 persen
RT mengonsumsi garam dengan kandungan kurang iodium dan 8,1 persen RT
mengonsumsi garam yang tidak mengandung iodium. Provinsi dengan proporsi RT
yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium tertinggi adalah Bangka
Belitung (98,1%) dan terendah adalah Aceh (45,7%). Secara nasional angka ini masih
belum mencapai target Universal Salt Iodization (USI) atau “garam beriodium untuk
semua”, yaitu minimal 90 persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan
cukup iodium. Berdasarkan kecukupan konsumsi garam beriodium, maka provinsi
Jawa Tengah termasuk ke dalam provinsi dengan kategori rumah tangga mempunyai
garam cukup iodium (80,1%) (Riskesdas, 2013).
Penderita struma nodusa, biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak
adanya hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Jumlah nodul bermacam macam,
mungkin tunggal dan mungkin banyak terdapat nodul yang berkembang menjadi
mutinodular yang tidak berfungsi. Gejala awal yang ditemui adalah adanya benjolan
di area leher tanpa adanya keluhan lain yang menyerupai.
Kasus struma nodusa non toksik, harus dilakukan penanganan yang segera
dan pengobatan, serta perawatan yang adekuat, karena kemungkinan dapat
menimbulkan keganasan. Disamping itu, keluhan klien yang tidak nyaman, karena
adanya tekanan mekanik nodul terhadap organ sekitar serta adanya pertimbangan
masalah kosmetik. Tindakan bedah, juga dapat dilakukan pada satu nodul jinak.
Tindakan pembedahan untuk untuk pengangkatan struma yang membesar
(tiroidektomi) menjadi alternatif terakhir pada penderita struma nodosa. Namum,
pembedahan jika tidak dilakukan dengan baik beresiko tinggi mencederai dua unsur
penting, yakni kelenjar paratyroid dan nervus rekumen laringeal.
Salah satu komplikasi akibat tiroidektomi adalah hipotiroidisme. Kondisi ini
dapat berupa adanya rasa kebas dan kesemutan pada area wajah dan ekstrimitas,
takikardia, dan produksi keringat yang berlebih. Hal ini disebabkan terjadinya
hipokalsemia akibat edema pada paratiroid pasca pembedahan. Komplikasi ini dapat
bersifat sementara atau permanen (Vaxevanidou et al, 2010). Monitoring tanda-tanda
hipokalsemia dapat mempercepat proses pemulihan pasca pembedahan. Pemberian
post operative care pasca tiroidektomi yang optimal merupakan salah satu intervensi
mandiri keperawatan yang dapat meminimalkan komplikasi dan mempercepat
penyembuhanklien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi karena
folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun sebagian
folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut
menjadi noduler. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid
yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme. Istilah struma nodosa menunjukkan adanya suatu proses baik
fisiologis maupun patologis yang menyebabkan pembesaran asimetris dari
kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh, maka
pembesaran asimetris ini disebut sebagai Struma Nodosa Non Toksik.
2.2 Anatomi
Tiga pasang vena thyroidea biasanya menyalurkan darah dari pleksus vena
pada permukaan anterior glandula thyroidea dan trachea. Vena thyroidea superior
menyalurkan darah dari kutub atas, vena thyroidea media menyalurkan darah dari
bagian tengah kedua lobus, dan vena thyroidea inferior menyalurkan darah dari
kutub bawah. Vena thyroidea superior dan vena thyroidea media bermuara ke
dalam vena jugularis interna dan vena thyroidea inferior ke dalam vena
brachiocephalica (Moore K. & Agur A., 2002).
Konstituen utama koloid adalah molekul besar dan kompleks yang dikenal
sebagai tiroglobulin, yang di dalamnya berisi hormon-hormon tiroid dalam
berbagai tahapan pembentukannya. Sel-sel folikel menghasilkan dua hormon
yang mengandung iodium, yang berasal dari asam amino tirosin : tetraiodotironin
(T4 atau tiroksin) dan triiodotironin (T3). Kedua hormon ini yang secara kolektif
disebut sebagai hormon tiroid, merupakan regulator penting bagi laju
metabolisme basal keseluruhan (Lauralee, 2001).
Bahan dasar untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan iodium, yang
keduanya harus diserap dari darah oleh sel-sel folikel. Tirosin, suatu asam amino,
disintesis dalam jumlah memadai oleh tubuh, sehingga bukan merupakan
kebutuhan esensial dalam makanan. Di pihak lain, iodium, yang diperlukan untuk
sintesis hormon tiroid, harus diperoleh dari makanan (Lauralee, 2001).
Pembentukan, penyimpanan dan sekresi hormon tiroid terdiri dari langkah-
langkah berikut :
2.5 Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus,
masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar
tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul
tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam
molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3).
Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid
Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang
tyrodotironin (T3) merupakan hormone metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan
keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid
sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik
negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini
menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.
Medika Mentosa
a. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Perawatan Sebagian besar pasien eutiroid dengan struma kecil dan difus
tidak memerlukan pengobatan. Beberapa dokter memberikan pasien dengan struma
eksogen besar hormon tiroid untuk mengurangi stimulasi pertumbuhan kelenjar
TSH; perawatan ini dapat mengakibatkan penurunan dan / atau stabilisasi ukuran
gondok dan paling efektif untuk struma difus kecil. Gondok endemik diobati dengan
pemberian yodium.
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini
diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH.
Oleh karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon
tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi
sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid)
yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/
karbimasol.
2.10 Komplikasi
Meskipun struma nodosa non-aktif tidak membahayakan, namun terdapat
beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh struma ini, yaitu :
Gangguan menelan atau bernafas
Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung
kongestif (jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh)
Osteoporosis, terjadi akibat peningkatan proses penyerapan tulang sehingga
tulang menjadi rapuh, keropos dan mudah patah.
Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC. Principles
of Surgery. United States of America : McGraw-Hill companies;2010
De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 2004., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC.,
Jakarta
Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta
Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta
Riset Kesehatan Dasar.2013. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI