Anda di halaman 1dari 5

Menyelamatkan Makna Hijrah: Dari Kekalahan Menuju

Kemenangan
indoprogress.com/2018/08/menyelamatkan-makna-hijrah-dari-kekalahan-menuju-kemenangan/

Harian IndoPROGRESS August 17, 2018

SEIRING dengan maraknya tren dakwah ‘Hijrah’ para ustad di perkotaan, baik melalui
berbagai kelompok pengajian maupun saluran media sosial, tak bisa dipungkiri bahwa kata
hijrah sekarang tengah mencapai puncak popularitasnya, khususnya di kalangan
masyarakat muslim urban dengan tendensi keberislamannya yang eksklusif dan fasistik. Di
sini lah letak dilematisnya. Di satu sisi kata hijrah telah dipopulerkan dan diperbincangkan,
tapi di sisi lainnya, sebagai sebuah nilai dan konsep penting dalam Islam, hijrah makin
kehilangan relevansinya dari kondisi sosial dan politik yang mendera mayoritas kaum
muslim di Indonesia, seperti kesenjangan ekonomi, perampasan tanah (land grabbing),
rezim upah murah dsb. Seperti kata dan konsep lainnya yang kerap diperbincangkan,
bukannya makin terang makna dan pengertiannya, sebaliknya justru makin kabur dari apa
yang dimaksudkan di dalam al-Qur’an dan yang pernah dipraktikkan Nabi dan para
sahabatnya di masa Islam perdana. Hijrah hanya dimaknai secara artifisial dan tercerabut
dari konteks kehidupan umat Islam hari ini.

Kita akan mengelaborasi apa dan bagaimana konsep hijrah bila dibaca dalam konteks
kondisi sosial politik yang dihadapi umat Islam hari ini, sekaligus mengkritik kecederungan
tafsir artifisial dan ahistoris terhadapnya yang sedang mewabah seperti sekarang.

1/5
Dengan demikian, timbul beberapa pertanyaan, apakah pengertian hijrah? Bagaimana kita
memaknai hijrah di tengah maraknya fabrikasi kebencian terhadap etnis dan agama
tertentu? Apakah hijrah selalu terkait dengan pilihan busana kaum muslim, seperti
memakai hijab bagi perempuan dan memanjangkan jenggot bagi laki-laki? Apakah hijrah
juga berarti anjuran untuk pasrah menerima kezaliman dan ketidakadilan seperti
perampasan tanah (land grabbing) yang terjadi di Kulon Progo dan banyak tempat lainnya
di Indonesia?

***

Kata hijrah, jauh sebelum menjadi materi dakwah para ustad, sesungguhnya telah lama
diserap ke dalam bahasa Indonesia, dan menjadi kata yang kerap dipakai dalam
percakapan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dalam kamus Bahasa Indonesia, hijrah
bermakna berpindah atau menghindar untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat
lain dengan alasan tertentu seperti untuk keselamatan atau kebaikan.[1] Di dalam bahasa
Arab, kata hijrah memiliki kata dasar h – j – r (hajara, yahjuru, hajran) yang berarti
memutuskan hubungan, dan menjadi lawan kata al-Wasl yang berarti menyambung. Dalam
berbagai bentuknya, kata hijrah disebut di dalam 31 ayat yang tersebar dalam 17 surat di
dalam al-Qur’an. jadi, secara kalkulatif, ini menunjukkan bahwa konsep hijrah mempunyai
arti penting di dalam Islam.[2] Sebagian besar Ulama membagi hijrah menjadi dua bagian
besar: hijrah makaniyah dan hijrah maknawiyah. Hijrah makaniyah adalah perpindahan fisik
terkait ruang geografis, sedangkan hijrah maknawiyah adalah hijrah substansial yang
diantaranya menyangkut aspek pikiran, mental dan keyakinan[3]. Misalnya, dari yang
berpikiran picik menjadi terbuka, dari yang bermental pendendam menjadi pengampun db.

Di dalam beberapa ayat al-Qur’an, hijrah seringkali terkait dengan orang-orang beriman
dan jihad. Diantaranya di dalam surat al-Baqarah ayat 218, surat al-An’fal ayat 74, dan
surat at-Taubah ayat 20.[4] Di ketiga ayat tersebut secara eksplisit kaum beriman
mendapat mandat untuk melakukan hijrah dan jihad dari Allah.

Dalam sejarah Islam, pada tahun 615 M, untuk menghindari intimidasi para petinggi suku
Quraisy, Nabi memerintahkan kepada para sahabatnya untuk mencari suaka politik ke
Habasyah atau yang disebut juga sebagai Ethiopia. Di antara para sahabat yang turut
dalam rombongan hijrah ini adalah Usman bin Affan, Ja’far bin Abi Thalib, Zubair bin
Awwam, dan Abdurrahman bin Auf.[5] Kemudian, karena situasi politik di Makkah terus
memburuk, dan tak lagi memungkinkan bagi keberadaan kaum muslim yang terus menerus
berada dalam intimidasi dan represi oligarki suku Quraisy, pada tahun 622 M, Nabi dan
kaum muslim Makkah memutuskan hijrah ke kota Yastrib,[6] yang kelak namanya diganti
Madinah, yang berarti kota yang beradab yang ditandai dengan ditetapkannya perjanjian
Madinah sebagai dasar relasi sosial politik di kota tersebut.[7] Dengan adanya perjanjian
tersebut, maka perselisihan antar kelompok politik dan komunitas sosial yang ada di
Madinah, khususnya dua suku besarnya yakni suku Auz dan suku Khazraj bisa
didamaikan.

Berdasarkan contoh beberapa ayat dan kisah Nabi dan para sahabatnya tersebut, kita
menjadi mengerti bahwa pertama-tama pengertian hijrah adalah sebuah perjuangan dan
perpindahan dari kondisi tertentu yang kurang atau tidak baik menuju kondisi tertentu yang
lebih baik dalam berbagai aspeknya, baik secara lahiriah maupun batiniah.
2/5
***

Sayangnya secara banal, sekarang hijrah diidentikkan dengan segala hal yang berbau
relijiusitas personal yang ditandai dengan misalnya, perubahan selera berbusana
khususnya bagi perempuan, yang sebelumnya tidak berhijab kemudian memutuskan
berhijab. Dari yang telah berhijab namun belum bercadar kemudian memutuskan bercadar.
Sedangkan bagi para lelaki, mereka yang belum memelihara jenggot kemudian
memutuskan untuk memelihara jenggot. Dari yang celananya panjang kemudian
memutuskan untuk memakai celana yang ujungnya menggantung di atas mata kaki atau
memakai jubah ala Arab dan lain sebagainya. Pendeknya hijrah sekadar dipahami dan
dimaknai sebagai pendisiplinan tubuh oleh imperatif syariah. Pada umumnya yang menjadi
sasaran utamanya adalah tubuh perempuan yang dianggap sebagai aurat dan sumber
kemerosoton moral yang harus terlebih dulu didisiplinkan. Apapun itu, konsep hijrah
disederhanakan sedemikian rupa dan berhenti sebatas reparasi mental di ranah personal
melalui serangkain pendisiplinan yang cenderung bias gender, dan tentu ahistoris.

Di ranah ekonomi politik, hijrah telah dipakai sebagai alat legitimasi menudukung
perampasan tanah sebagaimana terjadi di Kulonprogo. Cak Nun (Emha Ainun Nadjib),
salah seorang budayawan kondang, dengan sengaja mempolitisir konsep hijrah sebagai
alat legitimasi penggusuran tanah untuk pendirian bandara NYIA di Kulonprogo. Dalam
sebuah acara yang digelar pihak PT. Angkasa Pura 1 yang diberi tema “Hijrah: Angon
Kahanan Anyar (Peradaban Baru Pasca Operasional Bandara Internasional Yogyakarta)”,
sang budayawan mengilustrasikan warga yang dirampas tanahnya tak ubahnya ulat di
dalam kepompong yang hendak bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Sedemikian,
baginya, segala nestapa perampasan tanah (bahkan intimidasi dan represi) harus dilihat
sebagai ujian hidup, seperti ulat yang sedang bertapa di dalam ruang sempit nan gelap
bernama kepompong yang kelak akan berubah menjadi hewan cantik bernama kupu-kupu.
Dengan lugas Ia mengajak masyarakat untuk berlapang dada menerima penggusuran
tanah mereka untuk pembangunan bandara NYIA, karena mereka, dalam bahasa Cak
Nun, “sedang menjalani proses hijrah dari kehidupan agraris ke kehidupan industri”.

Ia secara sengaja dan sadar turut menggiring masyarakat ke dalam imajinasi tentang masa
depan yang lebih indah, ketika warga berkenan melepaskan tanahnya untuk
pembangunan bandara baru. Dalam salah sebuah kalimat yang dikutip oleh situs resmi
Angkasa Pura 1, sebagai titik tekan untuk melegitimasi kepentingan penggusuran tanah
warga Temon, sang Budayawan mengatakan: “Hijrah! Bahwa orang-orang beriman yang
berhijrah dan berjihad dengan motivasi karena Allah dan tujuan untuk meraih rahmat dan
keridhaan Allah, mereka itulah adalah mu’min sejati yang akan memperoleh pengampunan
Allah, memperoleh keberkahan rejeki dan nikmat yang mulia, dan kemenangan di sisi
Allah. Semoga hijrah yang dilakukan masyarakat Kulon Progo ini dapat diniatkan karena
Allah sehingga memperoleh keberkahan rejeki dan kemenangan di sisi Allah SWT.
Aamiin”.[8]

Statemen ini menunjukkan bahwa sang budayawan sedang berfungsi sebagai aparatur
ideologis korporasi untuk memuluskan jalannya investasi dan perampasan tanah. Olehnya,
hijrah yang merupakan salah sebuah konsep di dalam Islam yang bertendensi progresif,
ditafsir secara fatalis agar warga terdampak bandara berkenan menyerah pasrah
menerima penggusuran rumah dan ladangnya. Padahal, seperti kita tahu, dalam sejarah
3/5
Islam, hijrah adalah titik balik (turning point) perjuangan Nabi dan para sahabatnya dalam
memperjuangkan nilai-nilai agama Islam dan rute panjang menuju pada kemenangan,
bukan kekalahan.[9]

Dengan demikian, hijrah mengalami manipulasi makna dari yang aktif menjadi pasif, dari
yang progresif menjadi fatalis. Di ketiga ayat yang telah saya singgung di awal, setidaknya
memberi sinyal bagi kaum beriman untuk selalu bertindak lurus memperjuangkan
kemenangan, yang tak lain dengan melakukan hijrah dalam pengertian generik, karena
hanya dengan hijrah, baik secara pikiran dan mental seseorang telah siap untuk
melanjutkan fase perjuangan berikutnya yakni jihad. Dengan demikian, adalah sebuah
kekeliruan menafsir hijrah secara fatalis. Karena itu, perintah hijrah ruang (exodus) yang
dilakukan Rasulullah harus dimaknai sebagai sebuah strategi menuju kemenangan, sebab
dengan strategi tersebut ada kemungkinan untuk memperoleh kemenangan besar kelak
dikemudian hari, alih-alih dibumihanguskan sebelum sempat tumbuh. Di antara contohnya
adalah keberhasilan Rasulullah membangun konsensus politik yang demokratis di Madinah
dan berhasil menaklukkan Makkah, sebuah kota yang dulu ditinggalkannya. Maka hijrah
yang dilakukan Nabi bukanlah sebuah jalan kekalahan, tapi strategi untuk menggapai
kemenangan permanen kekuatan rakyat.

***

Tentu saja saya tak memungkiri adanya keragaman tafsir terhadap hijrah. Cak Nur
(Nurcholish Madjid), misalnya, dalam sebuah esai pendeknya berjudul ‘Makna Hijrah’
memaknai hijrah sebagai ‘peningkatan kualitatif perjuangan bersama menciptakan
masyarakat yang sebaik-baiknya’ [10]. Saya sendiri setuju dengan makna tesebut yang telah
merangkum aspek positif, aktif dan progresif yang terkandung di dalam konsep hijrah.
Namun, sayangnya, Cak Nur mengilustrasikan makna hijrah secara developmentalis yang
merupakan ideology pembangunan ekonomi orde baru. Ia menganggap bahwa
masyarakat Indonesia perlu berhijrah mengikuti arah kebijakan ekonomi kapitalisme negara
orde baru menuju era yang, ia pinjam istilahnya dari Suharto, yaitu era ‘tinggal landas’.
Wajar saja, karena Cak Nur sangat dipengaruhi oleh ideologi developmentalisme yang naik
daun di tahun 80-an dan sejak semula Cak Nur juga tidak pernah secara eksplisit
menunjukkan posisinya dalam masalah ekonomi.

Di tengah kebijakan agraria orde baru hingga sekarang, dimana pemerintah lebih
memprioritaskan penyediaan tanah dalam skala besar untuk investasi dan eksploitasi
sumber daya alam ketimbang untuk rakyat, khususnya petani kecil dan tuna kisma
(landlessness), maka makna hijrah yang tengah dipopulerkan oleh para ustad dan juga
Cak Nun pada dirinya tertolak dan memunggungi semangat dan nilai perjuangan yang
terkandung di dalam konsep hijrah. Sebabnya penggusuran yang menimpa warga
Kulonprogo, alih-alih membawa kemenangan, justru menggiring mereka menjadi proletariat
dan buruh cadangan murah. Wallahua’lam.***

Denpasar, 15 Agustus 2018

—————-

[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), hal. 401.
4/5
[2] Diantara ayat-ayat tersebut adalah QS. An-Nahl [16]: 110 dan 41, QS. Al-Muzammil
[73]: 10, QS. Al-Muddassir [74]: 3-5, QS. Al-Furqan [25]: 30, QS. Al-Baqarah [2]: 218, QS.
An-Nisa [4]: 34, QS. Al-Ankabut [29]: 26, QS. Al-hajj [22]: 58, QS. An-Nisa [4]: 100. QS. An-
Nisa [4]: 97, QS. Ali-Imran [3]: 195, QS. Maryam [19]: 46, QS. Al-Mu`minun [23]: 67, QS.
At-Taubah [9]: 20, 117, dan 100, QS. Al-Anfal [8]: 72, 74, dan 75, QS. Al-Mumtahanah [60]:
10, QS. Al-Hasyr [59]: 8 dan 9, QS. Al-Ahzab [33]: 50 dan 6. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-
Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfaz Alquran (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hal. 900. Dan lihat juga
Al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat al-Faz al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 534-
537.

[3] Hijrah maknawiyah seriangkali dibagi menjadi empat: i’tiqadiyah (keyakinan), syu’uriyah
(kesenangan), fikriyah (pikiran, dan sulukiyah/khuluqiyah (akhlak).

[4] Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di
jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang (QS. al-Baqarah:218). Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi
pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar
beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki (nikmat) yang mulia (QS. al-An’fal :74).
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda
dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dan itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan (QS. At-Taubah :20)

[5] Ismail Rajil al-Faruqi, Hakikat Hijrah Strategi Dakwah Islam Membangun Tatanan Dunia
Baru,(Bandung : Mizan, 1994), hal. 10.

[6] Lih. Muhamad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1980), hal. 179.

[7] Setelah 10 tahun di Yatsrib, Nabi kemudian mengubah nama kota itu menjadi Madinah.
Kata al-madinah secara umum memang diartikan sebagai kota, tetapi sebetulnya al-
madinah itu mengandung makna peradaban. Karena dalam bahasa Arab, peradaban itu
adalah madaniyah atau tamaddun. Dalam bahasa Arab kata itu juga digunakan untuk
padanan perkataan Inggris ”civil”. Misalnya dalam bahasa Inggris ada istilah ”Civil Act”
(Undang-undang sipil), dalam bahasa Arabnya disebut ”Qanun Madani”. Kata
“madaniyah/madinah” juga menjadi padanan dari perkataan Yunani “polis”, yang dari
perkataan itu terambil perkataan politic, policy, police yang terkait dengan gagasan tentang
suatu kehidupan yang teratur dan beradab.

[8] Cak Nun & Kiai Kanjeng – Hijrah Angon Kahanan Anyar Di Laguna Pantai Glagah Indah
Kulon Progo, https://www.youtube.com/watch?v=APzqSvf2jzY , lihat juga,
https://www.ap1.co.id/id/information/news/detail/angkasa-pura-airports-gelar-pengajian-
dan-doa-bersama-masyarakat-kulon-progo

[9] Opcit., hal. 7.

[10] Lih. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 33.
5/5

Anda mungkin juga menyukai