Anda di halaman 1dari 88

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

TINGKAT KECEMASAN PASIEN HEMODIALISA


DI RUANGAN HEMODIALISIS
2014

OLEH
SIGIT SUTRISNO S.KEP
NIP : 197603261995021001
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul

“Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecemasan Pasien

Hemodialisa Di Ruangan Hemodialisis Tahun 2014”.

Makalah ini ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk pembuatan angka kredit

bagi perawat. Penulis menyadari bahwa Makalah yang dibuat ini belumlah sempurna,

oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk

perbaikan dan kesempurnaan Makalah yang akan datang.

Akhirnya semua kebaikan dan bantuan yang telah di sumbangkan oleh semua

pihak kepada penulis, penulis mengucapkan banyak terima kasih semoga Allah SWT

selalu melimpahkan rahmat- Nya kepada kita semua dan semoga Makalah ini dapat

bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi pembacanya,

Curup, Februari 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………. ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………. iii

DAFTAR TABEL………………………………………………... ......... v

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………… 1


1.2 Perumusan Masalah……………………………………… 4
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………… 4
1.4 Manfaat Penelitian………………………………………. 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kecemasan Pasien Hemodialisa…………………………. 7

2.2 Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat


Kecemasan Pasien Hemodialisa………………………….. 19
2.3 Keterbatasan Penelitian…………………………………... 30

BAB III KERANGKA KONSEP


3.1 Kerangka Konsep ………………………………………. 32
3.2 Hipotesis Penelitian …………………………………….. 35

BAB IV METODE PENELITIAN


4.1 Desain Penelitian………………………………………. 36
4.2 Waktu dan Tempat…………………………………….. 38
4.3 Populasi dan Sampel…………………………………... 38
4.4 Variabel dan Defenisi Operasional……………………. 40
4.5 Bahan Penelitian………………………………………. 41
4.6 Teknik Pengambilan Data…………………………….. 42
4.7 Teknik Pengolahan Data………………………………. 42
4.8 Analisa Data…………………………………………… 44

BAB V HASIL PENELITIAN


5.1 Analisa Univariat………………………………………. 47
5.2 Analisa Bivariat………………………………………… 50

BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Analisa Univariat………………………………………. 56
6.2 Analisa Bivariat………………………………………… 63

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN


7.1 Kesimpulan…………………………………………….. 71
7.2 Saran…………………………………………………… 72

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Pasien


Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien


Hemodialisa Di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lamanya Menjalani


Terapi Pasien Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD
CURUP

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Pembiayaan


Pasien Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan


Pasien Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

Tabel 5.6 Hubungan Umur dengan Tingkat Kecemasan Pasien Hemodialisa


di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

Tabel 5.7 Hubungan Jenis Kelamin dengan Tingkat Kecemasan Pasien


Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSI Siti Rahmah Padang

Tabel 5.8 Hubungan Lamanya Menjalani Terapi dengan Tingkat Kecemasan


Pasien Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

Tabel 5.9 Hubungan Jenis Pembiayaan dengan Tingkat Kecemasan Pasien


Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kisi – kisi kuesioner

Lampiran 2 : Kuesioner penelitian

Lampiran 3 : Master tabel

Lampiran 4 : Analisa bivariat manual


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecemasan adalah respon emosional individu terhadap suatu keadaan

yang tidak menyenangkan dan dialami semua makhuk hidup dalam kehidupan

sehari- hari. Cemas disertai dengan gejala somatik yang menandakan suatu

kegiatan berlebihan dari Susunan Saraf Autonomik (SSA) dan merupakan gejala

yang umum tetapi non-spesifik yang sering merupakan satu fungsi emosi

(Suliswati, 2005 ).

Doengoes (2000) mengemukakan bahwa pasien yang menjalani terapi

hemodialisa biasanya akan merasa cemas yang disebabkan oleh krisis situasional,

ancaman kematian, dan tidak mengetahui hasil dari terapi yang dilakukan

tersebut. Pasien dihadapkan pada ketidakpastian berapa lama hemodialisa

diperlukan dan harus dapat menerima kenyataan bahwa terapi hemodialisa akan

diperlukan sepanjang hidupnya serta memerlukan biaya yang besar

(Doengoes,2000).

Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti

fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa – sisa metabolisme atau racun tertentu dari

peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin,

asam urat dan zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah

dan cairan dialisa pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis, dan

ultra filtrasi (Anderson, 2005).


Persatuan Dokter Nefrologi Indoneesia (Pernefri) menyatakan penyakit

Gagal Ginjal berkaitan erat dengan proses kemunduran dan kerusakan dari fungsi

organ tubuh, atau dengan kata lain penyakit degeneratif dapat menyebabkan

terjadinya penyakit Gagal Ginjal Kronis. Peningkatan angka kejadian penyakit

Gagal Ginjal Kronis juga disebabkan karena terjadinya perubahan prilaku gaya

hidup yang tidak sehat, budaya di masyarakat, serta perubahan status sosial

ekonomi pada negara berkembang dan negara maju (Pernefri, 2011).

Menurut United States Renal Data System (USRDS) Penyakit Gagal

Ginjal Kronis merupakan masalah epidemik dengan perkiraan ± 36 juta kasus

pada tahun 2015. Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh

Indonesia (PDPERSI) juga menyatakan bahwa jumlah penderita Gagal Ginjal

Kronis ± 50 orang per satu juta penduduk. Peningkatan tersebut dilihat dari

jumlah pasien yang menjalani terapi hemodialisa pada tahun 2010 sebanyak 5184

orang dan terus meningkat di tahun 2011 menjadi 6951 orang (Pernefri, 2011).

Penyakit Gagal Ginjal Kronik mengakibatkan cairan elektrolit dan sisa –

sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan dari tubuh secara otomatis, sehingga

pasien harus mendapatkan Terapi Pengganti Ginjal (TPG) agar dapat terus

menjalani aktifitas sehari – hari TPG ini terdiri atas 3 yaitu: hemodialisa,

peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal (Brunner & Suddart, 2001).

Sehat menurut World Hearth Organization (WHO) merupakan suatu

keadaan yang sempurna bebas dari penyakit atau kelemahan serta mengandung

empat karakteristik, yaitu: sehat jasmani, sehat rohani, kesejahteraan sosial dan

spiritual.
Sehat diartikan sebagai keadaan yang sejahtera, memungkinkan hidup

yang kreatif, produktif secara sosial dan ekonomi dimana individu dapat

menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan internal dan lingkungan

eksternal dalam mempertahankan kesehatanya (Saam, 2012).

Peningkatan adaptasi individu terhadap makna sehat dapat dibuktikan

dengan penurunan angka penyakit menular yang cukup signifikan. Berhasilnya

program pemberantasan penyakit menular akan meningkatkan umur harapan

hidup penduduk, namun disisi lain meningkatnya umur harapan hidup maka

penyakit - penyakit degeneratif cenderung mengalami peningkatan seperti

penyakit hipertensi, arthritis rematoid, arthritis gout, diabetes militus, jantung

koroner, gagal ginjal dan lain-lain (Depkes RI, 1999)

Berdasarkan survei awal tanggal 9 Oktober 2014 di ruangan

Hemodialisis, dari 8 orang pasien yang diwawancara ditemukan 6 orang pasien

tersebut mengalami kecemasan berat dengan tanda: pasien tampak gugup dan

bingung pada saat hemodialisa akan dimulai, gelisah memikirkan biaya yang akan

dikeluarkan tiap melakukan hemodialisa, ketakutan tidak akan bisa bekerja seperti

biasa, selalu bertanya dengan wajah tegang, muka pucat, tampak raut putus asa,

merasa tidak dibutuhkan dan selalu banyak berkeringat.

Sebanyak 8 orang pasien yang diwawancarai dan sedang menjalani terapi

hemodialisa, 5 orang diantaranya mengatakan berumur > 50 tahun, berjenis

kelamin laki – laki mengatakan bingung dan cemas memikirkan sampai kapan

terapi hemodialisa akan dijalaninya. 3 orang pasien lainnya cemas setiap kali akan

memasuki jadwal terapi karena memikirkan biaya pasti yang harus dikeluarkan
setiap kali terapi dilakukan dan tidak adanya kepastian sembuh dari terapi

tersebut. Berdasarkan kejadian diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk

mengetahui ‘’Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecemasan

Pasien Hemodialisa di ruangan Hemodialisis RSUD CURUPTahun 2014’’.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti menetapkan masalah “Faktor

– Faktor apa saja yang Berhubungan dengan Tingkat Kecemasan Pasien

Hemodialisa di ruangan Hemodialisis RSUD CURUP Tahun 2014 ?’’

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Diketahuinya Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat

Kecemasan Pasien Hemodialisa di ruangan Hemodialisis RSUD CURUP Tahun

2014

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Diketahuinya distribusi frekuensi umur pasien hemodialisa di ruangan

hemodialisis RSUD CURUP tahun 2014

1.3.2.2 Diketahuinya distribusi frekuensi jenis kelamin pasien hemodialisa di

ruangan Hemodialisis RSUD CURUP tahun 2014

1.3.2.3 Diketahuinya distribusi frekuensi lamanya menjalani terapi pasien

hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD CURUP tahun 2014

1.3.2.4 Diketahuinya distribusi frekuensi jenis pembiayaan pasien

hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD CURUP tahun 2014


1.3.2.5 Diketahuinya distribusi frekuensi tingkat kecemasan pasien

hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD CURUP tahun 2014

1.3.2.6 Diketahuinya hubungan antara umur dengan tingkat kecemasan pasien

hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD CURUP tahun 2014

dinyatakan dengan chi square

1.3.2.7 Diketahuinya hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat

kecemasan pasien hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD

CURUP tahun 2014 dinyatakan dengan chi square

1.3.2.8 Diketahuinya hubungan antara lamanya menjalani terapi dengan

tingkat kecemasan pasien hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD

CURUP tahun 2014 dinyatakan dengan chi square

1.3.2.9 Diketahuinya hubungan antara jenis pembiayaan dengan tingkat

kecemasan pasien hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD CURU

Ptahun 2014 dinyatakan dengan chi square

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Pelayanan

Hasil penelitian ini diharapkan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat

agar dapat mengetahui faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan pasien

hemodialisa dan merencanakan perawatan agar meminimalkan tingkat kecemasan

pasien dengan melakukan promosi kesehatan tentang hemodialisa dan hal yang

berkaitan dengan penyakit pasien agar pasien paham tentang manfaat terapi

tersebut khususnya di ruangan hemodialysis RSUD CURUP.


1.4.3 Bagi Peneliti

Sebagai pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam menerapkan

ilmu yang didapatkan


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kecemasan Pasien Hemodialisa

2.1.1 Kecemasan

2.1.1.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang

tidak menyenangkan dan dialami semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-

hari. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif dan merupakan suatu keadaan

emosi tanpa objek yang spesifik. Keadaan ini terjadi karena adanya ancaman

terhadap harga diri yang sangat mendasar bagi keberadaan individu

(Suliswati,2005).

Kecemasan memperingatkan adanya ancaman ekternal dan internal yang

memiliki kualitas menyelamatkan hidup. Seseorang akan menderita gangguan

kecemasan ketika orang tersebut tidak mampu mengatasi stressor yang sedang

dihadapinya. Keadaan seperti ini secara klinis bisa terjadi menyeluruh dan

menetap dan paling sedikit berlangsung selama 1 bulan (Hawari, 2011).

2.1.1.2 Tingkat Kecemasan

Empat tingkat kecemasan yaitu :

1) Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dan peristiwa

kehidupan sehari – hari. Pada tingkat ini lapangan persepsi meningkat

dan individu akan berhati –hati serta waspada. Individu terdorong


untuk belajar dan akan menghasilkan pertimbangan dan kreatifitas.

Batasan karakteristik biasanya seperti agak tidak nyaman, gelisah,

insomnia ringan, perubahan nafsu makan, mengulang pertanyaan,

perilaku mencari perhatian, peningkatan kewaspadaan, peningkatan

persepsi dan pemecahan masalah.

2) Kecemasan Sedang

Pada tahapan kecemasan ini lapangan persepsi terhadap lingkungan

menurun. Individu lebih memfokuskan kepada hal yang penting dan

mengesampingkan hal lain. Batasan karakteristiknya : perkembangan

dari kecemasan ringan, konsentrasi hanya pada tugas individu, suara

gemetar, perubahan dalam nada suara, takikardi, gemetaran dan

peningkatan tegangan otot.

3) Kecemasan Berat

Pada kecemasan berat lapangan persepsi menjadi sangat menurun.

Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan

hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir realistis dan

membutuhkan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada area

ini. Batasan karakteristik : perasaan terancam, ketegangan otot yang

berlebihan, diaphoresis, perubahan pernafasan (pernafasan panjang

dan hiperventilasi, dipsnea), perubahan gastrointestinal (mual,

muntah, anoreksia, diare dan konstipasi), dan perubahan

kardiovaskuler (takikardi dan palpitasi).

4) Panik
Pada tingkat ini lahan persepsi sudah sangat sempit sehingga individu

tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa –

apa walaupun sudah diberi pengarahan / tuntunan. Pada keadaan panik

terjadi peningkatan aktifitas motorik, menurunnya kemampuan

berhubungan dengan orang lain dan kehilangan pemikiran yang

rasional (Nursalam, 2008).

2.1.1.3 Respon Kecemasan

Kecemasan dapat menyebabkan berbagai respon pada orang lain :

1) Respon Fisiologis Terhadap Kecemasan

(1) Kardiovaskuler : palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah

meningkat, denyut nadi menurun, rasa mau pingsan

(2) Saluran Pernafasan : nafas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada

dada, pembengkakan pada tenggorokan, rasa tercekik dan

terengah - engah.

(3) Neuromuskuler : peningkatan reflek, reaksi kejutan, insomnia,

ketakutan, gelisah, wajah tegang, kelemahan secara umum,

gerakan lambat, dan gerakan yang ganjal.

(4) Gastro Intestinal : kehilangan nafsu makan, menolak makan,

perasaan dangkal dan tidak nyaman pada abdominal, rasa terbakar

pada dada nausea dan diare.

(5) Saluran Kemih : tidak dapat menahan kencing atau sering kencing
(6) Sistem Kulit : rasa terbakar pada muka, berkeringat banyak pada

telapak tangan, gatal – gatal, perasaan panas dingin pada kulit,

muka pucat dan berkeringat seluruh tubuh (Hawari, 2011).

2) Respon Psikologis Terhadap Kecemasan

(1) Perilaku

Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat, tidak ada kordinasi,

kecendrungan untuk celaka, menarik diri, menghindar dan

terhambat melakukan aktifitas.

(2) Kognitif

Respon kognitif seperti hilang konsentrasi, pelupa, salah tafsir,

adanya bloking pada fikiran, menurunya lahan persepsi, kreatif,

produktifitas menurun, bingung, khawatir yang berlebihan, hlang

menilai objektifitas, takut akankehilangan kendali dan takut yang

berlebihan.

(3) Afektif

Tidak sabar, tegang, tremor, gugup luar biasa, sangat gelisah dan

sulit melakukan sesuatu.

3) Faktor Predisposisi Terhadap Kecemasan

(1) Pandangan Psikoanalitik


Kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi antara dua

elemen id dan super ego id mewakili insting dan impuls primitif

seseorang, dam super ego mencerminkan hati nurani seseorang

yang dikendalikan norma budaya.

(2) Pandangan Interpersonal

Kecemasan timbul dari perasan takut terhadap tidak adanya

penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan

berhubungan dengan trauma seperti perpisahan, kehilangan yang

menimbulkan kelemahan spesifik. Pasien dengan harga diri

rendah sengat mudah mengalami perkembangan kecemasan yang

berat.

(3) Pandangan Perilaku

Kecemasan merupakan produk frustasi segala sesuatu yang

mengganggu kemampuan seseorang mencapai tujuan hidup.

Individu yang terbiasa dihadapkan pada ketakutan yang

berlebihan lebih sering menunjukan kecemasan pada kehidupan

selanjutnya.

(4) Kajian Biologis

Menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk obat

- obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama

aminobutirat (GABA) yang berperan dalam mekanisme biologis

yang berhubungan dengan kecemasan (Nursalam, 2008).

2.1.1.4 Mekanisme Koping Terhadap Kecemasan


Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan

masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang

mengancam. Mekanisme koping untuk mengatasi kecemasan membutuhkan

banyak energy dan yang dapat dilakukan ada 2, yaitu :

1) “Taks oriented reaction” atau reaksi yang berorientasi pada tugas.

Tujuan yang ingin dicapai untuk melakukan koping ini adalah

individu mencoba menghadapi kenyataan tuntutan stress dengan

menilai secara objektif ditujukan untuk mengatasi masalah,

memulihkan konflik dan memenuhi kebutuhan.

2) “Ego oriented reaction” atau reaksi berorientasi pada ego. Koping ini

tidak selalu sukses dalam mengatasi masalah. Koping ini sering

digunakan untuk melindungi diri sendiri namun tidak membantu untuk

mengatasi masalah secara realita.

Mekanisme koping terhadap kecemasan terdiri dari menyerang: untuk

memuaskan kebutuhanya , menarik diri: respon secara fisik dengan menjauhi

sumber stress dan secara psikologis apatis merasa kalah, dan kompromi:

mengubah cara kerja atau cara penyesuaian, menganti tujuan dan mengkorbankan

salah satu kebutuhan pribadi yang bersifat konstruktif (Suliswati, 2005).

2.1.1.5 Cara Mengendalikan Kecemasan

Manajemen Kecemasan adalah kemampuan untuk mengendalikan diri

ketika situasi dan kejadian yang akan memberi tuntutan yang berlebihan. Langkah

– langkah mengendalikan kecemasan seperti :


1) Meluangkan waktu untuk santai dan memberi kesempatan pada tubuh

untuk istirahat.

2) Melihat keadaan sekitar dan beradaptasi terhadap setiap perubahan,

belajar memahami segala perubahan yang ada dan belajar

mengendalikanya dan tidak menganggap segala perubahan itu bersifat

negatif

3) Berusaha merubah tanggapan emosional dan tanggapan psikologis

terhadap stress melalui penggunaan obat penenang, mengunakan

teknik relaksasi atau imajinasi. Meditasi dan latihan pernafasan

terbukti efektif dalam pengendalian stress. Latihan fisik yang

dilakukan secara teratur dapat menghilangkan rasa marah, frustasi dan

konflik batin.

4) Mengguangkapkan perasaan dan tidak memendam perasaan dalam

hati sebab itu akan menimbulkan stress yang negatif

5) Jangan membebani diri secara berlebihan

6) Mengubah cara pandang dan belajar mengenali stress

7) Menghindari diri dari kecemasan, mencari jalan keluar yang terbaik

dalam menghadapi konflik dan belajar untuk tidak terlalu cemas.

Manajeman atau penatalaksanaan kecemasan pada tahap pencegahan dan

terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik yaitu yang

mencakup fisik (somatik), psikologik (psikiatrik), psikososial dan psiko religious

(Hawari, 2011).

2.1.1.6 Alat Ukur Kecemasan


Zung Self Rating Anxiety Scale (ZSAS) adalah penilaian kecemasan pada

pasien dewasa yang dirancang oleh William W.K Zung, dikembangkan

berdasarkan gejala kecemasan dalam Diagnostic Dan Statistical Manual Of

Mental Disorders (DSM II). Terdapat 20 pernyataan, dimana setiap pernyataan

dinilai 1 – 4. Terdapat 15 pernyataan ke arah peningkatan kecemasan, dimana

setiap pernyataan dinilai 4: selalu, 3: sering, 2: kadang – kadang dan 1: tidak

pernah. Pernyataan yang mengarah kepada penurunan kecemasan terdapat 5,

dimana setiap pernyataan dinilai 4: tidak pernah, 3: kadang – kadang, 2: sering

dan 1: selalu.

2.1.2 Hemodialisa

2.1.2.1 Pengertian

Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai penganti fungsi ginjal

untuk mengeluarkan sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah

manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat

lainya melalui membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisa

pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi.

Hemodialisa dilakukan untuk membantu beberapa fungsi ginjal yang

terganggu atau rusak saat ginjal tidak lagi mampu melaksanakannya, membantu

menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit pada tubuh, dan mengekskresikan

zat-zat sisa atau buangan. Hemodialisa mengambil alih fungsi ginjal untuk

membersihkan darah dengan cara mengalirkan melalui “ginjal buatan”. Sampah


dan air yang berlebih dibuang dari tubuh selama proses hemodialisa dan ini

biasanya dilakukan oleh ginjal yang fungsinya masih baik (Brunner & Suddarth,

2001).

2.1.2.2 Tujuan Hemodialisa

Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat – zat nitrogen yang

toksin dari dalam darah dan mengeluarkan cairan yang berlebihan dari dalam

tubuh. Hemodialisa juga mempertahankan, mengembalikan sistem buffer tubuh,

dan mempertahankan, mengembalikan kadar elektrolit tubuh. Pada hemodialisa,

darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan dipompa kedalam mesin yang akan

menyaring zat – zat racun keluar dari darah dan kemudian darah yang sudah

bersih dikembalikan kedalam tubuh penderita. Jumlah darah yang dikembalikan

dapat disesuaikan.

Mesin ginjal buatan atau hemodialiser terdiri dari membran semi

permiabel dengan lembar tipis berpori - pori yang terbuat dari selulosa atau bahan

sintetik. Ukuran pori – pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat

molekul rendah seperti urea, kreatinin dan asam urat berdifusi. Molekul air juga

sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein

plasma, bakteri dan sel – sel darah terlalu besar untuk melewati pori – pori

membran tersebut. Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut

gradient konsentrasi (Anderson, 2005).

Fungsi sistem ginjal buatan yaitu:

1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan

asam urat
2) Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding

antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif

dalam arus darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam komponen

dialisat (proses ultrafiltrasi)

3) Mengembalikan dan mempertahankan sistem buffer tubuh

4) Mempertahankan dan mengembalikan kadar elektrolit tubuh

Efektifitas ginjal buatan dapat dinyatakan sebagai jumlah plasma yang

dibersihkan dari berbagai jenis zat per menit. Kebanyakan ginjal buatan dapat

membersihkan ureum dari plasma dengan kecepatan 100 sampai 225 ml/menit

yang menunjukan bahwa sedikitnya untuk ureum ginjal buatan dapat berfungsi

dua kali lebih cepat dari pada dua ginjal normal bersama – sama yang kebersihan

ureumnya hanya 70ml/menit ( Brunner & Suddarth, 2001).

Sebagai pemegang peranan penting bagi tubuh, fungsi vital ginjal dalam

organ filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti dengan proses reabsorbsi

sejumlah cairan dan air yang sesuai disepanjang tubulus ginjal. Hilangnya fungsi

ginjal yang berat, baik pada pasien gagal ginjal akut, gagal ginjal kronis maupun

gagal ginjal terminal dapat membahayakan si pasien dan membutuhkan produk

buangan toksik yang dapat mengembalikan volume dan komposisi cairan tubuh ke

arah normal yang dapat dicapai dengan cara dialisis, terapi hemodialisa,

hemofiltrasi dan peritoneal dialisis.

Masing - masing tindakan untuk proses pengeluaran produk limbah dari

dalam tubuh ini sebenarnya sama – sama berfungsi untuk mempertahankan

kehidupan dan kesejahteraan pasien. Pada dialisis, molekul solute berdifusi lewat
membran semi permeabel dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat

(konsentrasi tinggi) ke cairan yang lebih encer (konsentrasi rendah). Untuk

peritoneal dialisis, permukaan peritoneum atau lapisan dinding abdomen berfungsi

sebagai membran semi permeabel dan pada tindakan hemofiltrasi digunakan

untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan (Anderson, 2005).

2.1.2.3 Indikasi Hemodialisa

Diperkirakan bahwa lebih dari 100.000 pasien yang akhir – akhir ini

menjalani terapi hemodialisa. Terapi hemodialisa digunakan pada pasien dalam

keadaan sakit akut dan memerlukan terapi hemodialisa jangka pendek (beberapa

hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium

terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau permanen. Sehelai

membran sintetik yang semi permiabel itu dapat mengantikan glomerulus serta

tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu.

Bagi pasien gagal ginjal kronis, terapi hemodialisa akan mencegah

kematian namun terapi hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan

penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik yang

dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas

hidup pasien. Pasien gagal ginjal kronik dan gagal ginjal terminal harus menjalani

terapi ini 1 – 2 kali seminggu 4 atau 5 jam setiap kali terapi selama hidupnya

(Brunner & Suddant, 2001).

Terapi hemodialisa juga dilakukan pada kasus intoksikasi zat kimia dan

ketidak seimbangan cairan dan elektrolit berat. Pada kasus lainya seperti pada

sindrom hepatorenal dengan kriteria kalium darah 5 meq/l, pH darah 7,10 dan
oliguri atau anuri lebih dari 5 hari. Untuk mengidentifikasi dilakukan terapi

hemodialisa juga perlu diperhitungkan kondisi dan kesiapan klien. Pada kondisi

ini perlu pembinaan mental (psikologi) klien untuk menerima kenyataan dan

adanya kesanggupan pribadi untuk disiplin serta mematuhi semua petunjuk atau

panduan yang telah ditetapkan, juga perlu pertimbangan finansial atau jenis

pembiayaan yang cukup kuat untuk bisa menjalani terapi hemodialisa regular

selama waktu yang tidak terbatas sebelum transplantasi ginjal.

Keputusan untuk memulai terapi hemodialisa dilakukan pembahasan

dengan pemikiran yang mendalam antara pasien, keluarga dan dokter. Masalah

yang dominan berhubungan dengan indikasi dialisis dan sering menuntut

perubahan gaya dan kebutuhan hidup secara drastis. Diharapkan seorang perawat

dapat berperan sebagai fasilisator yang dapat menjawab pertanyaan mereka,

menjelaskan informasi dan menyokong keputusan mereka (Brunner & Suddarth,

2001).

2.1.2.4 Prinsip – Prinsip Hemodialisa

Pada pelaksanaan terapi hemodialisa aliran darah yang penuh dengan

limbah nitrogen dialirkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut

dibersihakn dan kemudian dikembalikan ke tubuh pasien.

Prinsip – prinsip yang mendasari kerja hemodialisa yaitu :

1) Difusi, dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi

tinggi ke cairan dialisis dengan konsentrasi lebih rendah.

2) Osmosis, air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui

proses osmosis dan pengeluaran air dapat dikembalikan dengan


menciptakan gradient tekanan. Dengan kata lain air bergerak dari

daerah tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih

rendah (cairan dialisis).

3) Ultra filtrasi, gradient tekanan ditingkatkan melalui penambahan

tekanan negatif sebagai kekuatan menghisap pada membran dan

memfasilitasi pengeluaran air dengan terciptanya keseimbangan

cairan.

Pada pelaksanaan terapi hemodialisa memerlukan pengawasan yang

konstan untuk mendeteksi berbagai komplikasi yang dapat terjadi. Alat terapi

hemodialisa pada saat sekarang ini telah mengalami kemajuan teknologi.

Sebagian alat tersebut akan mengeluarkan molekul dengan berat sedang dan laju

yang lebih cepat serta melakukan ultra filtrasi dengan kecepatan tinggi yang

diperkirakan akan memperkecil kemungkinan neuropati ekstremitas bawah yang

merupakan komplikasi pada terapi hemodialisa yang berlangsung dengan lama

( Brunner & Suddant, 2001).

2.2 Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecemasan Pasien

Hemodialisa

2.2.2 Faktor Internal

2.2.1.1 Umur

Umur adalah satuan waktu yang mengukur keberadaan suatu benda atau

makhluk baik yang hidup maupun yang mati, seperti misalkan umur manusia

dikatakan lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu umur itu dihitung.

Umur adalah hal yang selalu diperhatikan dalam suatu angka kesakitan maupun
kematian dalam hampir semua keadaan. Membaca umur akan mudah untuk

melihat pola kesakitan dan kematian seseorang menurut golongan umur.

Umur dinyatakan dalam tahun, ditentukan berdasarkan tanda pengenal

yang ada (tanggal / bulan /tahun). Pembagian umur menurut WHO di ukur dari

tingkat kedewasaan: 0 – 14 tahun dikategotikan bayi dan anak – anak, 15 – 49

tahun dikategorikan muda, sedangkan diatas 50 tahun dikategorikan orang tua

(Notoadmodjo, 2003).

Pengkajian umur dilakukan ketika manusia yang mengalami masa yang

berkaitan erat dengan proses degeneratif sebagai akibat dari kemunduran atau

kerusakan dari organ tubuh. Salah satunya penyakit gagal ginjal kronis yang lebih

sering dialami oleh kaum dewasa, terutama orang – orang yang berusia lanjut

(Muhammad, 2012).

Saat berada dalam kondisi kemunduran organ, tingkat kecemasan

dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, dan sosial. Mekanisme pertahanan

diri yang kurang akan mudah memperdayakan dan meningkatkan kecemasan yang

terjadi. Secara otomatis akan mempengaruhi perilaku seseorang dengan keadaaan

penyakitnya sekarang ini (Saam, 2012).

Segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang dewasa akan lebih

dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai

akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin tua umur seseorang

akan terjadi proses penurunan kemampuan fungsi organ tubuh dan akan

mempengaruhi dalam mengambil keputusan terutama dalam menangani penyakit


yang harus dengan terapi hemodialisa sehingga pasien dihadapkan pada masalah

yang sangat kompleks (Siswanto,2007).

2.2.1.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin dibedakan menjadi 2, yaitu perempuan dan laki – laki.

Angka dari luar negeri menunjukan bahwa angka kesakitan lebih tinggi di

kalangan perempuan, sedangkan angka kematian lebih tinggi dikalangan laki –

laki, juga pada semua golongan umur.

Sebab adanya angka kesakitan yang lebih tinggi dikalangan perempuan

di luar negeri dihubungkan dengan kemungkinan bahwa perempuan lebih bebas

mencari perawatan, sedangkan angka kematian lebih tinggi pada kalangan laki –

laki disebabkan faktor intrinsik, faktor keturunan yang terkait dengan jenis

kelamin atau perbedaan hormonal. Di negara Indonesia faktor intrinsik tersebut

belum banyak diketahui karena masih kurangnya kepedulian pemerintah tentang

nasib dan pemberdayaan kaum tidak mampu dan tidak mempunyai hak – hak

untuk hidup lebih layak (Notoadmodjo, 2003).

Faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi pada keadaan ini, seperti

laki – laki lebih dominan menghisap rokok, minum minuman keras, candu,

bekerja berat, dan berhadapan dengan pekerjaan yang berbahaya. Keadaan hidup

seperti ini akan memudahkan diri berorientasi dengan penyakit degeneratif.

Kenyataan ini secara langsung akan meningkatkan kecemasan terutama pada

kaum laki – laki.

Sementara itu perempuan biasanya mempunyai daya tahan yang lebih baik

terhadap kecemasan dibanding dengan laki – laki kerena secara biologis


kelenturan tubuh perempuan akan mudah bertoleransi terhadap kecemasan

menjadi baik dibanding laki – laki (Siswanto, 2007).

Menurut penelitian yang dilakukan Ratna Wati (2006) didapatkan bahwa,

jenis kelamin / gender sangat berhubungan dalam berespon terhadap penyakit,

kecemasan, serta penggunaan koping dalam menghadapi masalah kesehatan

khususnya pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa.

2.2.1.3 Pengalaman

Robby (2009) mengatakan pengalaman masa lalu terhadap penyakit baik

yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan

pasien dalam menggunakan koping. Kebehasilan seseorang dapat membantu

individu untuk mengembangkan kekuatan koping sebaliknya kegagalan atau

reaksi emosional menyebabkan seseorang menggunakan koping yang maladaptif

terhadap kecemasan yang tertentu.

2.2.2 Faktor Eksternal

2.2.2.1 Lamanya Menjalani Terapi

Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan

kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan dalam kehidupan. Pengenalan

kebutuhan rasa aman pasien adalah elemen penting dalam pendekatan holistik

asuhan keperawatan yang meliputi aspek bio, psiko, sosial, dan spiritual, seperti

kecemasan yang dialami pasien yang menjalani terapi hemodialisa memerlukan

upaya penyesuaian dan penanganan agar individu bersikap adaptif. (Brunner &

Suddart, 2001).
Menurut Iskandarsyah (2006), mereka yang menjalani hemodialisa lebih

dari 6 bulan telah mampu menyesuaikan diri dengan penyakitnya dan menjelaskan

bahwa semakin lama pasien menjalani hemodialisa, semakin kecil tingkat

kecemasannya. Pasien yang mempunyai kecemasan tinggi cenderung merupakan

pasien yang belum lama / baru menjalani hemodialisa, karena pasien sudah lama

menjalani telah mencapai tahap yang accepted (menerima).

Pasien yang menjalani terapi hemodialisa akan merasakan kecemasan

yang disebabkan oleh :

1) Krisis Situasional

Krisis adalah situasi atau peristiwa yang menganggu equilibrium karena

prilaku untuk menanggulangi masalah yang menimbulkan stress tidak

aktif, tidak memadai disebabkan oeleh kelemahan adaptasi. Sementara

itu krisis situasional adalah krisis yang disebabkan oleh keadaan seperti

pasien yang menjalani terapi hemodialisa yang hidupnya secara fisiologis

tergantung pada mesin dan cairan dialisa.

2) Ancaman pada konsep diri/ perubahan status kesehatan dan fungsi peran

Konsep diri adalah semua pemikiran, keyakinan dan kepercayaan yang

membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi

hubungannya dengan orang lain, termasuk persepsi individu akan sifat

dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai –

nilai yang berkaitan dengan pengalaman, objek serta tujuannya. Konsep

diri terdiri dari beberapa komponen yaitu : citra tubuh, ideal diri, harga

diri, penampilan peran dan identitas personal. Situasi stressor dapat


mempengaruhi konsep diri seseorang sebagai orang yang mandiri,

meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan dating atau menurunnya

kapasitas untuk melakukan aktifitas dalam sehari – hari (Suliswati,

2005).

3) Ancaman Kematian

Klien dengan gagal ginjal kronik atau gagal ginjal terminal sudah

ditakdirkan meninggal apabila semua metode konservatif gagal. Satu –

satunya cara untuk mempertahankan hidupnya adalah dengan melakukan

terapi hemodialisa.

4) Status Sosial Ekonomi

Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi

yang terjadi pada masyarakat. Apabila terjadi kenaikan harga di

masyarakat, maka secara otomatis biaya investasi dan biaya operasional

pelayanan kesehatan akan meningkat pula. Meningkatnya biaya

kesehatan ditandai dengan makin banyak dipergunakan berbagai

peralatan modern dan canggih, seperti alat untuk hemodialisa. Terapi

hemodialisa dapat dilakukan 1 – 2 kali seminggu dan biayanya sangat

mahal sehingga dapat menimbulkan kecemasan pada pasien yang di

indikasikan untuk menjalani terapi hemodialisa (Stuart & Suddent, 2006)

5) Tidak Mengetahui Konsekuensi/ Hasil

Dalam menjalani terapi hemodialisa, klien dihadapkan pada ketidak

pastian berapa lama dilakukan hemodialisa. Klien harus dapat menerima


kenyataan bahwa terapi hemodialisa akan diperlukan sepanjang hidupnya

(Doengoes, 2000).

2.2.2.2 Jenis Pembiayaan

Pembiayaan yaitu angka yang harus dikeluarkan setiap hari untuk dapat

memenuhi dan memiliki kebutuhan yang diperlukan dalam hidup. Secara

khususnya dengan adanya pembiayaan maka seseorang dapat memanfaatkan

fasilitas termasuk pelayanan kesehatan yang ada seperti berobat dan memenuhi

kebutuhan agar tetap bisa bertahan untuk sehat, salah satunya melakukan terapi

hemodialisa pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.

Peningkatan biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang

terjadi di kalangan masyarakat. Apabila terjadi kenaikan harga kebutuhan hidup,

maka secara otomatis biaya investasi dan biaya operasional pelayanan kesehatan

akan ikut meningkat. Biaya besar yang harus dikeluarkan perhari disamping biaya

hidup lainya, merupakan pencetus gangguan kognitif dan gangguan afektif pada

pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisa.

Pasien hemodialisa harus menjalani terapi 1 – 2 kali perminggu. Biaya

terapi yang mahal secara langsung akan meningkatkan kecemasan pada pasien

tersebut. Terutama pada pasien yang tidak mempunyai asuransi kesehatan yang

dapat yang dapat mempermudah terapi yang mereka jalani (Stuart&Suddent,2006)

Keadaan ini menimbulkan gangguan kognitif dan afektif pada pasien

yang sedang menjalani terapi hemodialisa. Tanda dan gejala ditandai dengan

konsentrasi yang terganggu, malu, penurunan produktifitas, kekhawatiran dan

ketakutan (Nursallam, 2008).


2.2.2.3 Motivasi Keluarga

Motivasi berarti sesuatu yang bergerak, rangsangan, atau penggerak

untuk terjadiaya suatu tingkah laku agar tercapai tujuan tertentu. Tingkah laku

termotivasi dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan. Motivasi digolongkan

menjadi 2 : motivasi intrinsik yaitu motivasi yang terlah berfungsi dengan

sendirinya dan berasal dari diri orang itu sendiri, sedangkan motivasi ekstrinsik

adalah motivasi yang berfungsi dengan adanya dorongan dari pihak luar / orang

lain termasuk diantaranya motivasi keluarga pasien yang sedang menjalani terapi

hemodialisa.

Menurut Maslow, motivasi keluarga termasuk kedalam kebutuhan kasih

sayang dan kebutuhan harga diri. Manusia bertingkah laku karena adanya

kebutuhan yang harus dipenuhi, Jika terpenuhinya suatu kebutuhan, makn akan

menimbulkan kepuasan dan motivasi untuk ingin memenuhi pada jenjang

berikutnya.

Kebutuhan kasih sayang diperlukan karena pada pasien Gagal Ginjal yang

menjalani terapi hemodialisa cenderung merasa tersudut, malu, marasa tidak

mampu, dan khawatir karena telah mengalami kemunduran organ yang akan bisa

mengganggu aktifitas dan memerlukan biaya yang besar. Kekhawatiran yang

timbul menganggu dan mempengaruhi mekanisme pertahanan diri pasien apabila

keluarga tidak mampu memberikan motivasi yang lebih terhadap pasien tersebut.

(Saam.Z, 2012)

Kebutuhan harga diri juga merupakan hal yang perlu dikaji pada masalah

ini karena proses penurunan organ yang terjadi sering membuat pasien merasa
tidak percaya bahwa penyakit yang dideritanya dapat tertolong oleh terapi yang

diberikan. Pasien dengan kondisi seperti ini cenderung menarik diri, merasa tidak

berguna dan tidak percaya diri menghadapi hari – hari berikutnya.

(Nursalam,2010).

2.2.2.3 Tingkat Pendidikan

Secara umum pendidikan diartikan sebagai segala upaya yang direncanakan

untuk mempengaruhi usia baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka

melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidik (Notoatmodjo, 2003). Menurut

UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional. Pendidikan adalah

usaha sadar dan terencana untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan

pembimbing, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

Pengertian ini menekankan pada pendidikan formal dan tampak lebih dekat dengan

penyuelenggaraan pendidikan secara operasional (Hasbullah, 2001). Menurut UU

nomor 20 tahun 2003, jalur pendidikan sekolah terdiri dari :

1) Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan)

tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang

pendidikan menengah. Di akhir masa pendidikan dasar selama 6 (enam)

tahun pertama (SD/MI), para siswa harus mengikuti dan lulus dari Ujian

Nasional (UN) untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat

selanjutnya (SMP/MTs) dengan lama pendidikan 3 (tiga) tahun

2) Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah (sebelumnya dikenal dengan sebutan sekolah

lanjutan tingkat atas (SLTA) adalah jenjang pendidikan dasar

3) Pendidikan Menengah Umum

Pendidikan menengah umum diselenggarakan oleh sekolah menengah

atas (SMA) ,sempat dikenal dengan “sekolah menengah umum” atau

(SMU) atau madrasah aliyah (MA). Pendidikan menengah umum

dikelompokkan dalam program studi sesuai dengan kebutuhan untuk

belajar lebih lanjut di perguruan tinggi dan hidup di dalam masyarakat.

Pendidikan menengah umum terdiri atas 3 (tiga) tingkat.

4) Pendidikan Menengah Kejuruan

Pendidikan menengah kejuruan diselenggarakan oleh sekolah menengah

kejuruan (SMK) atau madrasah aliyah kejuruan (MAK). Pendidikan

menengah kejuruan dikelompokkan dalam bidang kejuruan didasarkan

pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni, dunia

industri/dunia usaha, ketenaga kerjaan baik secara nasional, regional

maupun global, kecuali untuk program kejuruan yang terkait dengan

upaya-upaya pelestarian warisan budaya. Pendidikan Menengah

Kejuruan terdiri atas 3 (tiga) tingkat, dapat juga terdiri atas 4 (empat)

tingkat sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Satuan pendidikan

penyelenggara Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah aliyah (MA),

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK)

dan Program Paket C.

5) Pendidikan Tinggi
Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah Pendidikan

Menengah. Penyelenggara pendidikan tertinggi adalah Akademi, Institut,

Sekolah Tinggi, Universitas.(Notoadmodjo,2003)

2.2.2.4 Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan menurut notoatmodjo (2005) dibagi menjadi 6 tingkat

yaitu:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa

yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

menyatakan dan sebagainya. Oleh sebab itu merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah.

2) Memahami ( Comprehension )

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestrasikan

materi tersebut secara benar.

3) Aplikasi ( aplication )

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisireal ( sebenarnya ).

4) Analisa ( analysis ) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan

materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di

dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama

lainnya.
5) Sintesis ( synthesis )

Sintesis menunjuk kepada suatukemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi-formulasi yang ada.

6) Evaluasi ( evaluation )

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada.

2.3 Keterbatasan Penelitian Tentang “Faktor – Faktor yang Berhubungan

dengan Tingkat Kecemasan Pasien Hemodialisa di Ruangan

Hemodialisis RSUD CURUP

2.3.1 Keterbatasan Rancangan Penelitian

Metode ini menggunakan metode pendekatan cross sectional sehingga

hubungan yang ditentukan dari variabel independent dan variabel dependen

bukanlah merupakan hubungan sebab akibat, karena penelitian dilakukan dalam

waktu bersamaan dan tampa adanya follow up.

2.3.2 Keterbatasan Waktu dan Tenaga Dari Peneliti

Masih banyak faktor – faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan

pasien hemodialisa dan dapat dijadikan sebagai variabel bebas dalam penelitian
ini. Namun karena kemampuan penulis, terbatasan dalam hal waktu dan tenaga,

maka variabel bebas yang digunakan terbatas.

2.3.3 Keterbatasan Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang mempunyai dampak

sangat subyektif sehingga kebenaran data tergantung pada kejujuran dari

responden. Peneliti belum menemukan standar baku kuesioner sehingga

instrument tersebut dibuat berdasarkan pemahaman dan pengalaman dari peneliti

sendiri yang tentunya sangat terbatas sebagai peneliti pemula.

2.3.4 Keterbatasan Validitas Instrument Penelitian

Kuesioner baru pertama kali digunakan walaupun hasil uji validitas dan

reablitas sudah cukup baik namun baru terbatas pada sati rumah sakit sehingga

akan menjadi valid apabila dilakukan uji coba pada rumah sakit lainnya.
BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konseptual ; Hubungan Umur, Jenis Kelamin, Lamanya

Menjalani Terapi, Jenis Pembiayaan dengan Tingkat Kecemasan

Konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal –

hal khusus. Konsep dapat diamati dan diukur melalui variabel. Variabel adalah

simbol atau lambang yang menunjukan nilai atau bilangan dari konsep dan

sesuatu yang bervariasi. Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah

kerangka hubungan antara konsep yang ingin diamati atau di ukur melalui

penelitian yang akan dilakukan (Notoadmodjo, 2005).

Faktor - faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan pasien

hemodialisa adalah: umur, jenis kelamin, lamanya menjalani terapi, jenis

pembiayaan yang merupakan komponen penting dalam membentuk perilaku

kesehatan bagi pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisa.

Mengalami penambahan umur, manusia akan berada pada proses

degeneratif akibat dari kerusakan organ tubuh, diantarannya penyakit gagal ginjal

kronis atau gagal ginjal terminal (Muhammad, 2012). Kondisi ini akan

meningkatkan kecemasan yang dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, sosial

yang mudah memperdaya dan secara langsung mempengaruhi perilaku seseorang

dengan keadaaan penyakitnya sekarang ini (Saam, 2012).

Menurut Notoadmodjo, kematian lebih tinggi pada kalangan laki – laki.

disebabkan oleh faktor intrinsik, faktor keturunan, hormonal. Selain itu, faktor
lingkungan juga mempengaruhi karena laki – laki dominan menghisap rokok,

minum minuman keras, candu, bekerja berat, dan berhadapan dengan pekerjaan

yang berbahaya. Keadaan ini memudahkan diri berorientasi dengan penyakit

degeneratif dan akan meningkatkan kecemasan yang terutama pada kaum laki –

laki (Notoadmodjo, 2003).

Berhadapan dengan pasien hemodialisa, mereka selalu bertanya sampai

kapan terapi tersebut akan dihadapinya. Keadaan ini menandakan bahwa pasien

merasa cemas dengan keadaanya. Perilaku koping yang sering ditemui pada

keadaan seperti ini yaitu pasien sering mengingkari kenyataan, menyangkal,

menangis dan takut (Nursallam, 2008).

Terjadi kenaikan harga kebutuhan hidup, secara langsung biaya investasi

dan operasional pelayanan kesehatan akan ikut meningkat. Keadaan ini dapat

difokuskan dengan pasien hemodialisa yang harus menjalani terapi 1 – 2 kali

perminggu. Biaya terapi yang mahal akan meningkatkan kecemasan pada pasien

tersebut. Terutama pada pasien yang tidak mempunyai asuransi kesehatan yang

dapat mempermudah terapi yang mereka jalani (Stuart&Suddent,2006).


Hubungan dari permasalahan di atas dilihat dari diagram 3.1 dibawah ini:

Diagram 3.1
Hubungan Agen, Host, Faktor Efek Dan Faktor Resiko
(Notoadmodjo, 2005)

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Tingkat Kecemasan Pasien Hemodialisa

Internal Eksternal

Umur Lamanya menjalani


terapi
Jenis kelamin
Jenis pembiayaan
terapi

(Agen) (Host) Pasien (Sakit) Tingkat


GGA, GGK,
Haemodialisa Kecemasan
GGT, keracunan
obat

GGA,Maka,
dan dapat terbentuklah kerangka konsep seperti di bawah ini :
keracunan obat
Variabel independent Variabel Dependent
Umur

Jenis Kelamin Tingkat kecemasan


- Cemas
Lamanya menjalani - Tidak cemas
terapi

Jenis pembiayaan
3.2 Hipotesis

3.2.1.1 Ada hubungan umur dengan tingkat kecemasan

3.2.1.2 Ada hubungan jenis kelamin dengan tingkat kecemasan

3.2.1.3 Ada hubungan lamanya menjalani terapi dengan tingkat kecemasan

3.2.1.4 Ada hubungan jenis pembiayaan dengan tingkat kecemasan


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan survey analitik dengan pendekatan cross

sectional studi untuk mengetahui Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan

Tingkat Kecemasan Pasien Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

(Notoadmodjo, 2005). Rancangan penelitian tersebut dapat dilihat pada diagram

4.1 dibawah ini

Diagram 4.1
Rancangan Cross Sectional
(Notoadmodjo, 2005)

Populasi

Pasien hemodialisa
berdasarkan umur

Tua Muda

Cemas Tidak cemas Cemas Tidak cemas


Populasi

Pasien hemodialisa
berdasarkan jenis kelamin

Laki – laki Perempuan

Cemas Tidak cemas Cemas Tidak cemas

Populasi

Pasien hemodialisa berdasarkan


lamanya menjalani terapi

Lama Baru

Cemas Tidak cemas Cemas Tidak cemas


Populasi

Pasien hemodialisa berdasarkan


jenis pembiayaan

Umum Asuransi
kesehatan

Cemas Tidak cemas Cemas Tidak cemas

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 18 Februari sampai dengan 21

Februari 2014 di ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

4. 3 Populasi Dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoadmodjo, 2005).

Penelitian ini mengunakan populasi terjangkau yaitu seluruh pasien yang

menjalani terapi hemodialisa di ruangan Hemodialisis RSUD CURUP yang

berjumlah 31 orang responden. Karakteristik populasi terdiri dari 19 orang laki –

laki dan 12 orang perempuan dengan kisaran umur 7 orang ≤ 50 tahun dan 24

orang > 50 tahun.


4.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau di anggap mewakili

seluruh populasi (Notoadmodjo, 2005).

Penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling dimana yang

dijadikan sampel yaitu pasien yang ada, bersedia dan sedang menjalani terapi

hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD CURUP Pada saat penelitian jumlah

pasien hemodialisa yang menjadi populasi sebanyak 31 orang, namun yang

menjadi responden hanya sebanyak 30 orang karena 1 orang pasien tidak datang

saat penelitian.

4.3.3 Kriteria Sampel

4.3.3.1 Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

1) Bersedia menjadi responden

2) Bisa membaca dan menulis

3) Kooperatif

4.3.3.2 Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

1) Tidak Kooperatif

2) Tidak ada pada saat penelitian berlangsung

Jumlah sampel yang didapat sesuai dengan kriteria sampel sebanyak

30 orang responden.
4.4 Variabel dan Defenisi Operasional Variabel

No Defenisi Skala
Variabel Alat ukur Cara ukur Hasil ukur
Operasional ukur

1. Independent :
- Internal
1. Umur Usia pasien Check list Angket 0: Tua > 50 Ordinal
hemodialisa Tahun
saat penelitian 1: muda ≤
berdasarkan 49 Tahun
ulang tahun (Notoadmo
terakhir. djo,2003)

2.Jenis kelamin Pembagian Check list Angket 0 : Jika Nominal


gender yang pasien
membedakan laki – laki
pasien yang 1 : Jika
menjalani pasien
terapi Perempuan
hemodialisa (Notoadmo
djo, 2003)
- Eksternal
3. Lamanya Waktu yang Check list Angket 0 : lama, Ordinal
menjalani dibutuhkan jika terapi >
terapi pasien 6 bulan
menjalani 1 : baru,
terapi jika terapi ≤
hemodialisa 6 bulan
dalam (Iskandarsy
hitungan ah, 2006)
bulan

4. Jenis Bentuk biaya Check list Angket 0: biaya Ordinal


pembiayaan yang sendiri
digunakan 1: asuransi
pasien dalam kesehatan
menjalani
terapi
hemodialisa
2. Dependent :
Tingkat Respon Skala Angket 0: cemas ≥ Ordinal
kecemasan perasaan likert Dengan 45
tampa alasan terdiri dari memberi poin, 1: tidak
terhadap 20 item. 4: selalu cemas < 44
tindakan Masing – 3: sering (Nursallam,
hemodialisa masing 2:kadang – 2011)
yang item kadang
dinyatakan terdiri dari 1: tidak
dengan 4 pilihan pernah
frekuensi (pada
munculnya pernyataan
rasa cemas mengarah
kepada
peningkatan
kecemasan)
Serta poin,
4: tidak
pernah
3: kadang –
kadang
2: sering
1: selalu (pada
pernyataan
mengarah
kepada
penurunan
kecemasan )
pada
pernyataan
6,8,13,17,18

4.5 Bahan Penelitian

Bahan penelitian / instrument adalah alat atau fasilitas yang dipergunakan

oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasilnya

lebih baik dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah di

olah (Arikunto, 2006).

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dalam

bentuk skala likert dan lembar check list.


4.6 Teknik Pengambilan Data

4.6.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti

terhadap responden. Data ini dikumpulkan melalui kuesioner dalam bentuk skala

likert dan check list untuk menyaring informasi yang ingin diketahui tentang

Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecemasan Pasien

Hemodialisa seperti: umur, jenis kelamin lamanya menjalani terapi, dan jenis

pembiayaan. Langkah – langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut:

4.6.1.2 Penjelasan tentang penelitian dan tujuan penelitian

4.6.1.2 Memahami tentang tujuan penelitian dan meminta responden untuk

menanda tangani inform consent

4.6.1.3 Setelah selesai dan data dikumpulkan

4.6.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang sudah ada, yang diperoleh dari Medical

Record pasien di ruangan hemodialisa RSUD CURUP berjumlah 31 orang

responden. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner dalam bentuk skala

likert dan lembar check list.

4.7 Teknik Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan akan diolah kemudian disajikan dalam bentuk

tabel dan grafik hingga mudah di analisa dan menarik kesimpulan. Untuk
mendapatkan hal tersebut dilakukan kegiatan pengolahan data melalui tahap –

tahap berikut:

4.7.1 Pemeriksaan Data (Editing)

Setelah data dari 30 orang responden didapat, peneliti memeriksa

kembali semua daftar checklist dan kuesioner yang di isi oleh responden. Dari 30

kuesioner yang disebarkan semua jawaban kuesioner sudah di isi dengan lengkap

oleh 30 responden.

4.7.2 Mengkode Data (Coding)

Peneliti memberikan pengkodean data pada setiap informasi yang telah

dikumpulkan pada setiap pernyataan. Kode yang diberikan adalah kode menurut

nomor urut responden dari 1 – 30. Pemberian kode berguna agar peneliti mudah

melakukan pengecekan atas data yang diperoleh nantinya.

Penggunaan kode 0 dan 1 juga digunakan pada setiap variabel untuk

mempermudah memasukan data pada master tabel. Selain itu pengkodean juga

digunakan pada lembar kuesioner tentang tingkat kecemasan pasien hemodialisa,

seperti : 4.7.2.1 Pernyataan Positif, 4 untuk selalu (SL)

3 untuk sering (SR)

2 untuk kadang – kadang (KK)

1 untuk tidak pernah (TP)

4.7.2.2 Pernyataan Negatif 4 untuk tidak pernah (TP)

3 untuk kadang – kadang (KK)

2 untuk sering (SR)

1 untuk selalu (SL)


4.7.3 Penyusunan Data (Tabulating)

Peneliti menyusun data kuesioner dan di urut menurut nilai, dan kemudian

mengelompokan data yang telah diberi nilai serta memasukan data ke tabel

distribusi frekuensi.

4.7.4 Memasukan Data (Entry)

Peneliti memasukan data dari hasil penelitian ke dalam master tabel.

Langkah selanjutnya yaitu memproses data distribusi frekuensi umur, jenis

kelamin, lamanya menjalani terapi, jenis pembiayaan, dan tingkat kecemasan serta

melihat hubungan ke empat variabel tersebut dengan tingkat kecemasan agar data

yang sudah di entri dapat di analisis.

4.7.5 Pembersihan Data (Cleaning)

Data yang sudah diperoleh diperiksa kembali oleh peneliti dan

membersihkan data dari kesalahan – kesalahan yang meliputi distribusi frekuensi

dari variabel serta menilai kelogisannya (Notoadmodjo, 2005).

4.8 Analisa Data

4.8.1 Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dari

hasil penelitian (Notoadmodjo,2005). Analisa univariat dengan menggunakan

analisa distribusi frekuensi dan statistik deskriptif untuk melihat presentase

distribusi variabel independent dan dependent berupa faktor umur, jenis kelamin,

lamanya menjalani terapi, dan jenis pembiayaan. Variabel dependent berupa

tingkat kecemasan pasien hemodialisa. Analisa ini digunakan dengan rumus :


𝑓
𝑃 = 𝑛 𝑥 100 %

Keterangan : P = Persentase

f = Jumlah pernyataan

n = Jumlah sampel (Budiarto, 2002)

4.8 2 Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel

yang diduga berhubungan (Notoadmodjo, 2005). Mencari ada atau tidaknya

hubungan variabel independent dan variabel dependent yaitu dengan mengetahui

hubungan umur dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa, hubungan jenis

kelamin dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa, hubungan lamanya

menjalani terapi dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa, hubungan jenis

pembiayaan dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa.

Analisa bivariat dilakukan dengan uji chi square dengan cara manual

pada derajat kepercayaan 95 % (α = 0,05) dengan tabel kontigensi 2 x 2 pada

derajat kebebasan, Dk = (B-1) (K-1) = 1

Chi square dapat dilihat dengan rumus :

( 𝑂 – 𝐸) 2
X2 = ∑
𝐸
Keterangan :

X2 = Statistik chi square

∑ = Jumlah

O = Observasi ( nilai yang diperoleh)

E = Ekspentasi ( nilai yang diharapkan)


Untuk mengetahui apakah ada hubungan variabel independent dengan

variabel dependent, dapat disimpulkan:

4.8.2.1 Jika X2 hitung ≥ X² tabel berarti Ho ditolak, Ha diterima atau ada

hubungan bermakna antara umur, jenis kelamin, lamanya menjalani

terapi, jenis pembiayaan dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa di

ruangan hemodialisis RSUD CURUP

4.8.2.2 Jika X2 hitung < X² tabel berarti Ho diterima, Ha ditolak atau tidak ada

hubungan bermakna antara umur, jenis kelamin, lamanya menjalani

terapi, jenis pembiayaan dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa di

ruangan hemodialisis RSUD CURUP


BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Analisa Univariat

5.1.1 Variabel Umur

Dari hasil penelitian dan pengolahan data, dapat dilihat umur pasien yang

sedang menjalani terapi hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD CURUP.

Untuk mengetahui hasil penelitian lebih jelas dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut

ini :

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Pasien Hemodialisa
di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

No Umur F %

1. Tua 23 77

2. Muda 7 23

Total 30 100

Dari tabel 5.1 diatas dapat dilihat bahwa lebih dari separoh (77 %)

responden yang menjalani terapi hemodialisa dikategorikan berumur tua.

5.1.2 Variabel Jenis Kelamin

Dari hasil penelitian dan pengolahan data dapat dilihat jenis kelamin

pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisa di ruangan Hemodialisis RSUD


CURUP. Untuk mengetahui hasil penelitian lebih jelas dapat dilihat pada tabel 5.2

berikut ini :

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien
Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

No Jenis Kelamin F %

1. Laki – laki 19 63

2. Perempuan 11 37

Total 30 100

Dari tabel 5.2 diatas dapat dilihat bahwa lebih dari separoh (63 %)

responden yang menjalani terapi hemodialisa berjenis kelamin laki - laki.

5.1.3 Variabel Lamanya Menjalani Terapi

Dari hasil penelitian dan pengolahan data dapat dilihat lamanya menjalani

terapi pasien hemodialisa di ruangan Hemodialisis RSUD CURUP. Untuk

mengetahui hasil penelitian lebih jelas dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut ini :

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lamanya Menjalani Terapi
Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

No Lamanya Menjalani Terapi F %

1. Lama 13 43

2. Baru 17 57

Total 30 100
Dari tabel 5.3 diatas dapat dilihat bahwa lebih dari separoh (57%) yang

menjalani terapi hemodialisa dikategorikan baru.

5.1.4 Variabel Jenis Pembiayaan

Dari hasil penelitian dan pengolahan data dapat dilihat jenis pembiayaan

pasien hemodialisa di ruangan HemodialisisRSUD CURUP. Untuk mengetahui

hasil penelitian lebih jelas dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut ini:

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Pembiayaan Pasien
Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

No Jenis Pembiayaan F %

1. Biaya sendiri 16 53
2. Asuransi Kesehatan 14 47

Total 30 100

Dari tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa lebih dari separoh (53 %)

responden yang menjalani terapi hemodialisa menggunakan biaya sendiri.

5.1.5 Variabel Tingkat Kecemasan

Dari hasil penelitian dan pengolahan data dapat dilihat tingkat kecemasan

pasien hemodialisa di ruangan HemodialisisRSUD CURUP. Untuk mengetahui

hasil penelitian lebih jelas dapat dilihat pada tabel 5.5 berikut ini :

Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan Pasien
Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP
No Tingkat Kecemasan F %

1. Cemas 16 53

2. Tidak cemas 14 47

Total 30 100

Dari tabel 5.5 diatas dapat dilihat bahwa lebih dari separoh (53 %)

responden yang menjalani terapi hemodialisa mengalami cemas.

5.2 Analisa Bivariat

Hubungan umur, jenis kelamin, lamanya menjalani terapi, jenis

pembiayaan dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa di ruangan

hemodialisis RSUD CURUP dilakukan dengan uji Chi Square

5.2.1 Hubungan Umur dengan Tingkat Kecemasan

Dari hasil penelitian dan pengolahan data, dapat dilihat hubungan umur

dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD

CURUP Untuk mengetahui hasil penelitian lebih jelas dapat dilihat pada tabel 5.6

berikut ini:

Tabel 5.6
Hubungan Umur dengan Tingkat Kecemasan Pasien Hemodialisa di
Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

Tingkat kecemasan Total


No Umur

F %
Cemas Tidak cemas

1. Tua 14 9 23 77

2. Muda 2 5 7 23
Total 16 14 30 100

X2 tabel = 3,481 dk = 1 X2 hitung = 2,33

Dari 23 responden yang berumur tua terdapat 14 orang yang mengalami

cemas dan dari 7 responden yang berumur muda terdapat 5 orang yang mengalami

tidak cemas. Pada tabel terlihat kecendrungan semakin tua umur maka pasien

cendrung mengalami kecemasan, sedangkan lebih muda umur pasien cendrung

kurang merasakan cemas.

Makna secara statistik hasil uji chi square dk = 1, diperoleh hasil nilai X2

tabel = 3,481 ( X2 tabel > X2 hitung = 2,33) dan dapat disimpulkan tidak ada

hubungan antara umur dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa.

5.2.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Tingkat Kecemasan

Dari hasil penelitian dan pengolahan data, dapat dilihat hubungan jenis

kelamin dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa di ruangan hemodialisis

RSUD CURUP. Untuk mengetahui hasil penelitian lebih jelas dapat dilihat pada

tabel 5.7 berikut ini:

Tabel 5.7
Hubungan Jenis Kelamin dengan Tingkat Kecemasan Pasien Hemodialisa di
Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

Tingkat kecemasan Total


No Jenis Kelamin

Cemas Tidak cemas F %

1. Laki - laki 9 10 19 63

2. Perempuan 7 4 11 37
Total 16 14 30 100

X2 tabel = 3,481 dk = 1 X2 hitung = 0,7

Dari 19 orang responden yang berjenis kelamin laki – laki terdapat 10

orang yang tidak cemas dan dari 11 responden yang berjenis kelamin perempuan,

terdapat 7 orang yang mengalami cemas. Pada tabel tampak kecendrungan bahwa

jenis kelamin laki – laki memiliki kecemasan lebih dibandingkan dengan jenis

kelamin perempuan.

Makna secara statistik hasil uji chi square dk = 1, diperoleh hasil nilai X2

tabel = 3,481 ( X2 tabel > X2 hitung = 0,7) dan dapat disimpulkan tidak ada

hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa.

5.2.3 Hubungan Lamanya Menjalani Terapi dengan Tingkat Kecemasan

Dari hasil penelitian dan pengolahan data, dapat dilihat hubungan lamanya

menjalani terapi dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa di ruangan

hemodialisisRSUD CURUP. Untuk mengetahui hasil penelitian lebih jelas dapat

dilihat pada tabel 5.8 berikut ini:

Tabel 5.8
Hubungan Lamanya Menjalani Terapi dengan Tingkat Kecemasan Pasien
Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

Tingkat kecemasan Total


Lamanya
No
Menjalani
Terapi
Cemas Tidak cemas F %

1. Lama 8 5 13 43

2. Baru 8 9 17 57
Total 16 14 30 100

X2 tabel = 3,481 dk = 1 X2 hitung = 0,6

Dari 13 orang responden yang lama menjalani terapi, terdapat 8 orang

yang mengalami cemas dan dari 17 responden yang baru menjalani terapi terdapat

9 orang yang mengalami tidak cemas. Pada tabel tampak kecendrungan bahwa

responden yang baru dan lama menjalani terapi hemodialisa memiliki tingkat

kecemasan yang sama.

Makna secara statistik hasil chi square dk = 1, diperoleh hasil nilai X2

tabel = 3,481 ( X2 tabel > X2 hitung = 0,6) dan dapat disimpulkan tidak ada

hubungan antara lamanya menjalani terapi dengan tingkat kecemasan pasien

hemodialisa.

5.2.4 Hubungan Jenis Pembiayaan dengan Tingkat Kecemasan

Dari hasil penelitian dan pengolahan data, dapat dilihat hubungan jenis

pembiayaan dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa di ruangan

hemodialisisRSUD CURUP. Untuk mengetahui hasil penelitian lebih jelas dapat

dilihat pada tabel 5.9 berikut ini:

Tabel 5.9
Hubungan Jenis Pembiayaan dengan Tingkat Kecemasan Pasien
Hemodialisa di Ruangan Hemodialisis RSUD CURUP

Tingkat kecemasan Total


Jenis
No
Pembiayaan
Cemas Tidak cemas F %

Biaya sendiri
1. 8 8 16 53
Asuransi
2. kesehatan 8 6 14 47
Total 16 14 30 100
X2 tabel = 3,481 dk = 1 X2 hitung = 0,16

Dari 16 orang responden yang menggunakan biaya sendiri, terdapat sama

banyak responden yang mengalami cemas dan tidak cemas. Dari 14 responden

yang menggunakan asuransi kesehatan, terdapat 8 orang yang mengalami cemas.

Pada tabel tampak kecendrungan bahwa pasien yang menggunakan biaya sendiri

memiliki tingkat kecemasan yang sama dengan pasien yang menggunakan

asuransi kesehatan .

Makna secara statistik hasil chi square dk = 1, diperoleh hasil nilai X2

tabel = 3,481 ( X2 tabel > X2 hitung = 0,16) dan dapat disimpulkan tidak ada

hubungan antara jenis pembiayaan dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa.


BAB VI

PEMBAHASAN

Pembahasan berisi penjelasan kecendrungan data dan kesenjangan yang

muncul setelah peneliti melakukan penelitian, kemudian membandingkan antara

teori dan hasil penelitian dengan penelitian sebelumnya.

6.1 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan berbagai keterbatasan

penelitian, Beberapa diantaranya adalah:

6.1.1 Keterbatasan Rancangan Penelitian


Metode ini menggunakan metode pendekatan cross sectional sehingga

hubungan yang ditentukan dari variabel independent dan variabel dependen

bukanlah merupakan hubungan sebab akibat, karena penelitian dilakukan dalam

waktu bersamaan dan tampa adanya follow up.

6.1.2 Keterbatasan Waktu dan Tenaga Dari Peneliti

Masih banyak faktor – faktor yang berhubungan dengan tingkat

kecemasan pasien hemodialisa dan dapat dijadikan sebagai variabel bebas dalam

penelitian ini. Namun karena kemampuan penulis, terbatasan dalam hal waktu dan

tenaga, maka variabel bebas yang digunakan terbatas.

6.1.3 Keterbatasan Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang mempunyai dampak

sangat subyektif sehingga kebenaran data tergantung pada kejujuran dari

responden. Peneliti belum menemukan standar baku kuesioner sehingga


instrument tersebut dibuat berdasarkan pemahaman dan pengalaman dari peneliti

sendiri yang tentunya sangat terbatas sebagai peneliti pemula.

6.1.4 Keterbatasan Validitas Instrument Penelitian

Kuesioner baru pertama kali digunakan walaupun hasil uji validitas dan

reablitas sudah cukup baik namun baru terbatas pada satu rumah sakit sehingga

akan menjadi valid apabila dilakukan uji coba pada rumah sakit lainnya.

6.2 Analisa Univariat

6.2.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur

Hasil penelitian terhadap 30 pasien didapatkan lebih dari separoh

responden 23 orang (77 %) berumur tua ( > 50 tahun ) dalam menjalani terapi

hemodialisa.

Pengkajian umur dilakukan ketika manusia yang mengalami masa yang

berkaitan erat dengan proses degeneratif sebagai akibat dari kemunduran atau

kerusakan dari organ tubuh. Salah satunya penyakit gagal ginjal kronis yang lebih

sering dialami oleh kaum dewasa, terutama orang – orang yang berusia lanjut

(Muhammad, 2012).

Umur dinyatakan dalam tahun, ditentukan berdasarkan tanda pengenal

yang ada (tanggal / bulan /tahun). Pembagian umur menurut WHO di ukur dari

tingkat kedewasaan: 0 – 14 tahun dikategorikan bayi dan anak – anak, 15 – 49

tahun dikategorikan muda, sedangkan diatas 50 tahun dikategorikan orang tua

(Notoadmodjo, 2003).
Bagi pasien gagal ginjal kronis, terapi hemodialisa akan mencegah

kematian namun terapi hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan

penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik yang

dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas

hidup pasien. Pasien gagal ginjal kronik dan gagal ginjal terminal harus menjalani

terapi ini 1 – 2 kali seminggu 4 atau 5 jam setiap kali terapi selama hidupnya

(Brunner & Suddant, 2006).

Segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang dewasa akan lebih

dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai

akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin tua umur seseorang

akan terjadi proses penurunan kemampuan fungsi organ tubuh dan akan

mempengaruhi dalam mengambil keputusan terutama dalam menangani penyakit

yang harus dengan terapi hemodialisa sehingga pasien dihadapkan pada masalah

yang sangat kompleks (Siswanto,2007).

Keputusan untuk memulai terapi hemodialisa dilakukan pembahasan

dengan pemikiran yang mendalam antara pasien, keluarga dan dokter. Masalah

yang dominan berhubungan dengan indikasi dialisis dan sering menuntut

perubahan gaya dan kebutuhan hidup secara drastis. Diharapkan seorang perawat

dapat berperan sebagai fasilisator yang dapat menjawab pertanyaan mereka,

menjelaskan informasi dan menyokong keputusan mereka (Brunner & Suddarth,

2001).

Menurut analisa peneliti didapatkan umur pasien yang menjalani terapi

hemodialisa banyak tergolong tua dikarenakan umur merupakan salah satu


indikator terjadinya penyakit gagal ginjal. Hal ini dikarenakan terjadi proses

penurunan kemampuan fungsi organ tubuh dan akan mempengaruhi status

kesehatan seseorang. Umur hal yang selalu diperhatikan dalam suatu angka

kesakitan maupun kematian dalam hampir semua keadaan. Membaca umur akan

mudah untuk melihat pola kesakitan dan kematian seseorang menurut golongan

umur.

6.2.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil penelitian terhadap 30 orang pasien hemodialisa didapatkan lebih

dari separoh yaitu 19 orang (63 %) responden berjenis kelamin laki – laki yang

menjalani terapi hemodialisa.

Jenis kelamin dibedakan menjadi 2, yaitu perempuan dan laki – laki.

Angka dari luar negeri menunjukan bahwa angka kesakitan lebih tinggi di

kalangan perempuan, sedangkan angka kematian lebih tinggi dikalangan laki –

laki, juga pada semua golongan umur.

Sebab adanya angka kesakitan yang lebih tinggi dikalangan perempuan di

luar negeri dihubungkan dengan kemungkinan bahwa perempuan lebih bebas

mencari perawatan, sedangkan angka kematian lebih tinggi pada kalangan laki –

laki disebabkan faktor intrinsik, faktor keturunan yang terkait dengan jenis

kelamin atau perbedaan hormonal. (Notoadmodjo, 2003).

Menurut analisa peneliti peningkatan angka kejadian hemodialisa pada

laki – laki sangat dipengaruhi oleh gaya hidup, faktor lingkungan, dan

kebudayaan. Diantaranya laki – laki lebih dominan menghisap rokok, minum

minuman keras, candu, bekerja berat, dan berhadapan dengan pekerjaan yang
berbahaya. Keadaan seperti ini akan memudahkan diri berorientasi dengan

penyakit degeneratif dan berbanding terbalik dengan teori diatas yang menyatakan

angka kesakitan lebih tinggi dikalangan perempuan dalam Notoadmodjo (2003).

6.2.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lamanya Menjalani

Terapi

Hasil penelitian terhadap 30 orang pasien hemodialisa didapatkan lebih

dari separoh yaitu 17 orang (57 %) dikategorikan baru ( ≤ 6 bulan) dalam

menjalani terapi hemodialisa.

Sebagai pemegang peranan penting bagi tubuh, fungsi vital ginjal dalam

organ filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti dengan proses reabsorbsi

sejumlah cairan dan air yang sesuai disepanjang tubulus ginjal. Hilangnya fungsi

ginjal yang berat, baik pada pasien gagal ginjal akut, gagal ginjal kronis maupun

gagal ginjal terminal dapat membahayakan pasien dan membutuhkan produk

buangan toksik yang dapat mengembalikan volume dan komposisi cairan tubuh ke

arah normal yang dapat dicapai dengan cara dialisis, terapi hemodialisa,

hemofiltrasi dan peritoneal dialisis.

Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan

kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan dalam kehidupan. Pengenalan

kebutuhan rasa aman pasien adalah elemen penting dalam pendekatan holistik

asuhan keperawatan yang meliputi aspek bio, psiko, sosial, dan spiritual, seperti

kecemasan yang dialami pasien yang menjalani terapi hemodialisa memerlukan

upaya penyesuaian dan penanganan agar individu bersikap adaptif (Anderson,

2005).
Diperkirakan bahwa lebih dari 100.000 pasien yang akhir – akhir ini

menjalani terapi hemodialisa. Terapi ini digunakan pada pasien dalam keadaan

sakit akut dan memerlukan terapi hemodialisa jangka pendek (beberapa hari

hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal

yang membutuhkan terapi jangka panjang atau permanen. Sehelai membran

sintetik yang semi permiabel itu dapat mengantikan glomerulus serta tubulus renal

dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu (Brunner & Suddant, 2001).

Menurut Analisa peneliti, pasien yang dikategorikan baru dalam menjalani

terapi hemodialisa belum mampu menyesuaikan diri dan mengadaptasikan koping

dengan keadaan yang sebenarnya terjadi. Ini akan menimbulkan kekhawatiran

bagi pasien dan keluarga atas kondisi sakitnya dan berfikir sampai berapa lama

pasien tersebut akan menjalani terapi hemodialisa.

6.2.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Pembiayaan

Hasil penelitian terhadap 30 orang pasien hemodialisa didapatkan hampir

dari separoh yaitu 16 orang (53 %) mengunakan biaya sendiri / umum dalam

menjalani terapi hemodialisa.

Pembiayaan merupakan angka yang harus dikeluarkan setiap hari untuk

dapat memenuhi dan memiliki kebutuhan yang diperlukan dalam hidup. Secara

khususnya dengan adanya pembiayaan maka seseorang dapat memanfaatkan

fasilitas termasuk pelayanan kesehatan yang ada seperti berobat dan memenuhi

kebutuhan agar tetap bisa bertahan untuk sehat, salah satunya melakukan terapi

hemodialisa pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.


Peningkatan biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang

terjadi di kalangan masyarakat. Apabila terjadi kenaikan harga kebutuhan hidup,

maka secara otomatis biaya investasi dan biaya operasional pelayanan kesehatan

akan ikut meningkat. Biaya besar yang harus dikeluarkan perhari disamping biaya

hidup lainya, merupakan pencetus gangguan kognitif dan gangguan afektif pada

pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisa.

Pasien hemodialisa harus menjalani terapi 1 – 2 kali perminggu. Biaya

terapi yang mahal secara langsung akan meningkatkan kecemasan pada pasien

tersebut. Terutama pada pasien yang tidak mempunyai asuransi kesehatan yang

dapat yang dapat mempermudah terapi yang mereka jalani (Stuart&Suddent,2006)

Dari analisa peneliti hemodialisa merupakan salah satu kebutuhan yang

dikategorikan kebutuhan keselamatan menurut Maslow pada pasien gagal ginjal

kronis dan gagal ginjal terminal. Kesimpulannya disini, sesulit dan sebesar apapun

biaya yang harus dikeluarkan setiap kali hemodialisa, pasien akan terus berusaha

agar tetap rutin menjalani terapi tersebut. Karena dengan cara seperti itulah pasien

hemodialisa bisa lebih produktif dan melanjutkan hidup.

Keadaan ini juga sesuai dengan teori harapan menurut Vroom yang

mengatakan bahwa seseorang akan termotivasi untuk melakukan sesuatu dan

bekerja keras bila adanya harapan akan hasil tertentu, harapan itu mempunyai

hasil positif bagi pasien dan usaha tersebut akan diperoleh dengan cara tertentu

(Saam,2012)

6.2.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan


Hasil penelitian terhadap 30 orang pasien hemodialisa didapatkan lebih

dari separoh yaitu 16 orang (53 %) dikategorikan cemas dalam menjalani terapi

hemodialisa.

Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan

Kuraesin (2009) lebih dari separoh responden mengalami kecemasan ringan yaitu

sebanyak 60,4%.

Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang

tidak menyenangkan dan dialami semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-

hari. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif dan merupakan suatu keadaan

emosi tanpa objek yang spesifik. Keadaan ini terjadi karena adanya ancaman

terhadap harga diri yang sangat mendasar bagi keberadaan individu

(Suliswati,2005).

Kecemasan memperingatkan adanya ancaman eksternal dan internal yang

memiliki kualitas menyelamatkan hidup. Seseorang akan menderita gangguan

kecemasan ketika orang tersebut tidak mampu mengatasi stressor yang sedang

dihadapinya. Keadaan seperti ini secara klinis bisa terjadi menyeluruh dan

menetap dan paling sedikit berlangsung selama 1 bulan (Hawari, 2011).

Hilangnya fungsi ginjal yang berat, baik pada pasien gagal ginjal akut,

gagal ginjal kronis maupun gagal ginjal terminal dapat membahayakan si pasien

dan membutuhkan produk buangan toksik yang dapat mengembalikan volume dan

komposisi cairan tubuh ke arah normal yang dapat dicapai dengan cara dialisis,

terapi hemodialisa, hemofiltrasi dan peritoneal dialisis. Keadaan seperti ini akan
membantu tubuh untuk berespon secara fisiologis dan mudah meningkatkan

kecemasan pada pasien. Ketidak seimbangan kognitif dan afektif yang dimiliki

akan sangat memperberat keadaan psikologis pasien dan kecemasan bisa berlanjut

pada tahap yang patologis.

Menurut analisa peneliti kecemasan merupakan hal yang sering terjadi

dalam hidup manusia dan dapat menjadi beban berat yang menyebabkan

kehidupan individu tersebut selalu di bawah bayang-bayang kecemasan yang

berkepanjangan dan menganggap rasa cemas sebagai ketegangan mental yang

disertai dengan gangguan tubuh yang menyebabkan rasa tidak waspada terhadap

ancaman. Kecemasan berhubungan dengan stress fisiologis maupun psikologis.

Artinya, cemas terjadi ketika seseorang terancam baik secara fisik maupun

psikologis.

6.3 Analisa Bivariat

Pengkajian analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan umur, jenis

kelamin, lamanya menjalani terapi, jenis pembiayaan dengan tingkat kecemasan

pasien hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD CURUP yang dilakukan

dengan uji Chi Square.

6.3.1 Hubungan Umur dengan Tingkat Kecemasan

Dari 23 responden yang berumur tua terdapat 14 orang yang mengalami

cemas dan dari 7 responden yang berumur muda terdapat 5 orang yang mengalami

tidak cemas dalam menjalani terapi. Pada tabel terlihat kecendrungan semakin tua

umur maka pasien cendrung mengalami kecemasan, sedangkan lebih muda umur

pasien cendrung kurang merasakan kecemasan.


Hasil analisa bivariat menunjukan bahwa hubungan umur dengan tingkat

kecemasan, berdasarkan hasil perhitungan dk = 1, hasil nilai X2 tabel = 3,481 >

X2 hitung = 2,33. Dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara umur dengan

tingkat kecemasan pasien hemodialisa.

Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan

Kurasaein (2009) menunjukan bahwa sebagian besar responden berusia 40-65

tahun (45,7%). Pada usia pertengahan 40-65 tahun mulai terjadi perubahan-

perubahan baik fisik maupun psikologis dan dari hasil analisis bivariat

menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia responden

dengan kecemasan yang dialami (P = 0,143 > = 0,05).

Penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Budi

Santoso (2008) dengan sampel yang diteliti berjumlah 35 orang menunjukan ada

hubungan yang signifikan antara umur dengan tingkat kecemasan dengan X2 =

10,503 dk = 2 P = 0,000 dinyatakan signifikan dengan taraf 0,05.

Salah satu masalah yang dialami seseorang ketika sakit adalah

kecemasan, apalagi jika seseorang tersebut harus menjalani salah satu terapi yang

direkomendasi medis yaitu hemodialisa dan berperan sebagai pasien. dari kaca

mata sebagai seorang pasien, berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi yang

akan membahayakan bagi pasien tersebut. Maka tak heran jika seringkali pasien

dan keluarganya menunjukkan sikap yang agak berlebihan dengan kecemasan

yang mereka alami (Asmadi, 2008).

Hemodialisa merupakan suatu teknologi tinggi sebagai penganti fungsi

ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran
darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat,

dan zat lainya melalui membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan

dialisa pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi.

Terapi hemodialisa juga dilakukan pada kasus intoksikasi zat kimia dan

ketidak seimbangan cairan dan elektrolit berat. Pada kasus lainya seperti pada

sindrom hepatorenal dengan kriteria kalium darah 5 meq/l, pH darah 7,10 dan

oliguri atau anuri lebih dari 5 hari. Untuk mengidentifikasi dilakukan terapi

hemodialisa juga perlu diperhitungkan kondisi dan kesiapan pasien.

Pada kondisi ini perlu pembinaan mental (psikologi) pasien untuk

menerima kenyataan dan adanya kesanggupan pribadi untuk disiplin serta

mematuhi semua petunjuk atau panduan yang telah ditetapkan, juga perlu

pertimbangan finansial atau jenis pembiayaan yang cukup kuat untuk bisa

menjalani terapi hemodialisa regular selama waktu yang tidak terbatas sebelum

transplantasi ginjal. (Brunner & Suddarth, 2001).

Banyak faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien, menurut Hawari

(2011) mekanisme terjadinya cemas yaitu psiko-neuro-imunologi atau psiko-

neuro-endokrinolog. Akan tetapi tidak semua orang yang mengalami stressor

psikososial akan mengalami gangguan cemas hal ini tergantung pada struktur

perkembangan kepribadian diri seseorang tersebut diantaranya: umur, tingkat

pendidikan, pengalaman, jenis kelamin, dukungan sosial dari keluarga, teman, dan

mayarakat.

Menurut Analisa peneliti tidak adanya hubungan umur dengan tingkat

kecemasan karena umur tua ataupun muda, semakin lama pasien menjalani terapi
hemodialisa akan terbentuk kematangan umur dalam proses berpikir dan

berorientasi terhadap masalah yang sedang dihadapi sehingga pasien mudah

mengadaptasikan diri terhadap terapi yang harus terus dijalaninya agar dapat

mempertahankan hidup.

6.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Tingkat Kecemasan

Dari 19 orang responden yang berjenis kelamin laki – laki terdapat 10

orang yang tidak mengalami cemas dalam menjalani terapi dan dari 11 responden

yang berjenis kelamin perempuan, terdapat 7 orang yang mengalami cemas dalam

menjalani terapi. Pada tabel tampak kecendrungan bahwa jenis kelamin laki – laki

memiliki tingkat kecemasan lebih dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan.

Hasil analisa bivariat menunjukan berdasarkan perhitungan dk = 1 di dapatkan

nilai X2 tabel = 3,481 > X2 hitung = 0,7 dapat disimpulkan tidak ada hubungan

antara jenis kelamin dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa.

Adanya angka kesakitan yang lebih tinggi dikalangan perempuan di luar

negeri dihubungkan dengan kemungkinan bahwa perempuan lebih bebas mencari

perawatan, sedangkan angka kematian lebih tinggi pada kalangan laki – laki

disebabkan faktor intrinsik, faktor keturunan yang terkait dengan jenis kelamin

atau perbedaan hormonal. Di negara Indonesia faktor intrinsik tersebut belum

banyak diketahui karena masih kurangnya kepedulian pemerintah tentang nasib

dan pemberdayaan kaum tidak mampu dan tidak mempunyai hak – hak untuk

hidup lebih layak (Notoadmodjo, 2003).

Faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi pada keadaan ini, seperti

laki – laki lebih dominan menghisap rokok, minum minuman keras, candu,
bekerja berat, dan berhadapan dengan pekerjaan yang berbahaya. Keadaan hidup

seperti ini akan memudahkan diri berorientasi dengan penyakit degeneratif.

Kenyataan ini secara langsung akan meningkatkan kecemasan terutama pada

kaum laki – laki.

Sementara itu perempuan biasanya mempunyai daya tahan yang lebih

baik terhadap kecemasan dibanding dengan laki – laki kerena secara biologis

kelenturan tubuh perempuan akan mudah bertoleransi terhadap kecemasan

menjadi baik dibanding laki – laki (Siswanto, 2007).

Menurut analisa peneliti tidak adanya hubungan jenis kelamin dengan

tingkat kecemasan karena umumnya seorang laki-laki dan perempuan dewasa

mempunyai mental yang kuat terhadap sesuatu hal yang dianggap mengancam

dan mencemaskan bagi dirinya. Apabila seorang telah di vonis untuk melakukan

hemodialisa oleh keadaan penyakitnya, secara cepat atau lambat penyesuaian diri

pasien terhadap keadaan tersebut akan semakin meningkat yang secara otomatis

akan membantu pasien dalam penyembuhan psikologisnya.

6.3.3 Hubungan Lamanya Menjalani Terapi dengan Tingkat Kecemasan

Dari 13 orang responden yang lama menjalani terapi, terdapat 8 orang

yang mengalami cemas dan dari 17 responden yang baru menjalani terapi terdapat

9 orang yang mengalami tidak cemas dalam menjalani terapi. Pada tabel tampak

kecendrungan bahwa responden yang baru dan lama menjalani terapi hemodialisa

memiliki tingkat kecemasan yang sama. Hasil analisa bivariat pada variabel

hubungan lamanya menjalani terapi dengan tingkat kecemasan dari hasil

perhitungan dk = 1 di dapatkan nilai X2 tabel = 3,481 > X2 hitung = 0,6 dapat


disimpulkan tidak ada hubungan yang antara lamanya menjalani terapi dengan

tingkat kecemasan responden dalam menjalani terapi hemodialisa.

Individu dengan hemodialisis jangka panjang sering merasa khawatir

akan kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam

kehidupannya. Gaya hidup terencana dalam jangka waktu lama, yang

berhubungan dengan terapi hemodialisis dan pembatasan asupan makanan dan

cairan pada pasien gagal ginjal kronik sering menghilangkan semangat hidup

sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan klien dalam terapi hemodialisis ataupun

dengan pembatasan asupan cairan.

Dukungan keluarga diperlukan karena pasien gagal ginjal kronik akan

mengalami sejumlah perubahan bagi hidupnnya yang secara otomatis akan

menghilangkan semangat hidup pasien, diharapkan dengan adanya dukungan

keluarga dapat menunjang kepatuhan pasien agar terus dapat melakukan terapi

hemodialisa (Brunner & Suddart, 2001).

Menurut analisa peneliti tidak adanya hubungan lama menjalani terapi

dengan tingkat kecemasan karena penyesuaian koping adaptif yang dimiliki oleh

masing – masing pasien terhadap tindakan hemodialisa yang rutin dilakukan.

Keadaan ini juga didorong oleh rasa membutuhkan akan terapi hemodialisa yang

harus dijalani agar pasien tetap bisa untuk mempertahankan sisa hidup yang

dimilikinya.

6.3.4 Hubungan Jenis Pembiayaan dengan Tingkat Kecemasan

Dari 16 orang responden yang menggunakan biaya sendiri, terdapat sama

banyak antara cemas dan tidak cemas pasien dalam menjalani terapi hemodialisa
dan dari 14 responden yang menggunakan asuransi kesehatan, terdapat 8 orang

yang mengalami cemas. Pada tabel tampak kecendrungan bahwa pasien yang

menggunakan biaya sendiri dan menggunakan asuransi kesehatan memiliki

tingkat kecemasan yang sama. Hasil analisa bivariat hubungan jenis pembiayaan

dengan tingkat kecemasan dari perhitungan dk = 1, nilai X2 tabel = 3,481 > X2

hitung = 0,16 dan dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang antara jenis

pembiayaan dengan tingkat kecemasan responden dalam menjalani terapi

hemodialisa.

Pembiayaan merupakan angka yang harus dikeluarkan setiap hari untuk

dapat memenuhi dan memiliki kebutuhan yang diperlukan dalam hidup. Secara

khususnya dengan adanya pembiayaan maka seseorang dapat memanfaatkan

fasilitas termasuk pelayanan kesehatan yang ada seperti berobat dan memenuhi

kebutuhan agar tetap bisa bertahan untuk sehat, salah satunya melakukan terapi

hemodialisa pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.

Peningkatan biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang

terjadi di kalangan masyarakat. Apabila terjadi kenaikan harga kebutuhan hidup,

maka secara otomatis biaya investasi dan biaya operasional pelayanan kesehatan

akan ikut meningkat. Biaya besar yang harus dikeluarkan perhari disamping biaya

hidup lainya, merupakan pencetus gangguan kognitif dan gangguan afektif pada

pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisa. Tanda dan gejala ditandai

dengan konsentrasi yang terganggu, malu, penurunan produktifitas, kekhawatiran

dan ketakutan.
Pasien hemodialisa harus menjalani terapi 1 – 2 kali perminggu. Biaya

terapi yang mahal secara langsung akan meningkatkan kecemasan pada pasien

tersebut. Terutama pada pasien yang tidak mempunyai asuransi kesehatan yang

dapat mempermudah terapi yang mereka jalani (Stuart&Suddent,2006).

Menurut analisa peneliti tidak adanya hubungan antara jenis pembiayaan

dengan tingkat kecemasan pasien ini semua tidak terlepas dari adanya dukungan

keluarga, umur, pendidikan, dan pengalaman. Hal ini sesuai dengan teori Kaplan

dan Saddock (2006) yang mengatakan bahwa dukungan psikososial keluarga

adalah mekanisme hubungan interpersonal yang dapat melindungi seseorang dari

efek stress yang buruk.

Hasil analisa ini juga didukung oleh teori Friedman (1998) dalam Kurasein

2009 yang menyatakan bahwa fungsi afektif keluarga merupakan dukungan

psikososial keluarga kepada anggota keluarganya, maka akan tampak bahwa

anggota keluarga tersebut merasa nyaman dan dicintai, namun apabila fungsi yang

penting ini tidak adekuat maka individu akan merasa diasingkan dan tidak

diharapkan oleh keluarga.


BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat ditarik

kesimpulan bahwa Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecemasan

Pasien Hemodialisa di ruangan Hemodialisis RSUD CURUP didapatkan hasil

sebagai berikut:

7.1.1 Lebih dari separoh responden yang menjalani terapi hemodialisa

dikategorikan tua

7.1.2 Lebih dari separoh responden yang menjalani terapi hemodialisa berjenis

kelamin laki - laki

7.1.3 Lebih dari separoh responden yang menjalani terapi hemodialisa

dikategorikan baru

7.1.4 Lebih dari separoh responden yang menjalani terapi hemodialisa

menggunakan biaya sendiri

7.1.5 Lebih dari separoh responden mengalami yang menjalani terapi

hemodialisa dikategorikan cemas.

7.1.6 Secara statistik tidak ada hubungan antara umur dengan tingkat kecemasan

pasien hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD CURUP namun

tampak kecendrungan semakin tua umur maka pasien cendrung

mengalami cemas, sedangkan lebih muda umur pasien cendrung kurang

merasakan cemas.
7.1.7 Secara statistik tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat

kecemasan pasien hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD CURUP

namun tampak kecendrungan bahwa jenis kelamin laki – laki memiliki

kecemasan lebih dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan.

7.1.8 Secara statistik tidak ada hubungan antara lama menjalani terapi dengan

tingkat kecemasan pasien hemodialisa di ruangan hemodialisis RSUD

CURUP namun tampak kecendrungan bahwa responden yang baru dan

lama menjalani terapi hemodialisa memiliki tingkat kecemasan yang sama.

7.1.9 Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakana antara jenis

pembiayaan dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisa di ruangan

hemodialisis RSUD CURUP namun tampak kecendrungan bahwa pasien

yang menggunakan biaya sendiri memiliki tingkat kecemasan yang sama

dengan pasien yang menggunakan asuransi kesehatan .

7.2 Saran

7.2.1 Institusi Pelayanan / Rumah Sakit

Diharapkan pada institusi pelayanan khususnya perawat di ruangan

hemodialisa agar dapat meningkatkan promosi kesehatan tentang manfaat dan

tujuan dilakukannya terapi tersebut, untuk dapat memperkecil dan mengurangi

tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani terapi hemodialisa.


7.2.2 Keluarga dan Pasien

Diharapkan keluarga dapat memberikan dukungan dan motivasi kepada

responden yang menjalani terapi hemodialisa karena dukungan yang diberikan

keluarga merupakan fungsi afektif dalam mendukung psikososial anggota

keluarganya yang menjalani terapi hemodialisa, sehingga anggota keluarga

tersebut merasa nyaman dan dicintai. Akan tetapi apabila fungsi yang penting ini

tidak adekuat ditambah dengan mekanisme koping pasien yang juga tidak

adekuat, maka pasien akan merasa diasingkan, tidak mempunyai aktualisasi diri

dan merasa tidak diharapkan oleh keluarganya.


Lampiran 1

KISI – KISI KUESIONER

Tujuan Variabel Jumlah Item

Mengetahui hubungan
umur dengan tingkat
umur 1 penyataan
kecemasan pada pasien
hemodialisa
Mengetahui hubungan
jenis kelamin dengan
jenis kelamin 1 pernyataan
tingkat kecemasan pada
pasien hemodialisa
Mengetahui hubungan
lamanya menjalani terapi
Lamanya menjalani
dengan tingkat 1 pernyataan
terapi
kecemasan pada pasien
hemodialisa
Mengetahui hubungan
jenis pembiayaan dengan
Jenis pembiayaan 1 pernyataan
tingkat kecemasan pada
pasien hemodialisa
Mengetahui tingkat
kecemasan pasien yang
Tingkat kecemasan 20 pernyataan
sedang menjalani terapi
hemodialisa
Lampiran 2

KUESIONER PENELITIAN

Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecemasan pada Pasien

Hemodialisa Di Ruangan Hemodialisis RSI Siti Rahmah

Padang

Inisial Responden : No. responden :

Umur : kurang dari 50 tahun


Lebih dari 50 tahun

Jenis Kelamin : Laki – laki


Perempuan
Lamanya menjalani terapi
hemodialisa : lebih dari 6 bulan
kurang dari 6 bulan / 6 bulan

Jenis pembiayaan : Biaya sendiri / umum


Asuransi kesehatan
Variabel Tingkat Kecemasan

Keterangan :
TP : tidak pernah
KK : kadang - kadang
SR : sering
SL : selalu
Petunjuk : berilah tanda check list ( V ) yang di anggap benar

No Pernyataan TP KK SR SL

1. Saya merasa gugup, setiap akan dilakukan


hemodialisa
2. Saya merasa cemas tanpa alasan jelas, setiap akan
dilakukan hemodialisa
3. Saya mudah marah dan panik, setiap akan
dilakukan hemodialisa
4. Saya merasa seakan tubuh saya hancur berantakan,
setiap akan dilakukan hemodialisa
5. Kedua kaki dan tangan saya gemetar, setiap akan
dilakukan hemodialisa
6. Saya merasa bahwa semuanya baik- baik saja dan
tidak ada hal buruk terjadi, setaip akan dilakukan
hemodialisa
7. Saya terganggu oleh sakit kepala, nyeri leher dan
nyeri otot, setiap akan dilakukan hemodialisa
8. Saya merasa badan saya lemah dan mudah lelah,
setiap akan dilakukan hemodialisa
9. Saya merasa tenang dan dapat duduk diam dengan
mudah setiap akan dilakukan hemodialisa
10. Saya merasa jantung saya berdebar – debar dengan
cepat, setiap akan dilakukan hemodialisa
11. Saya mengalami serangan pusing, setiap akan
dilakukan hemodialisa
12. Saya merasa ingin pingsan, setiap akan dilakukan
hemodialisa
13. Saya dapat bernafas dengan mudah, setiap akan
dilakukan hemodialisa
14. Saya merasa kaku dan mati rasa, setiap akan
dilakukan hemodialisa
15. Saya sakit perut dan mengalami gangguan
pencernaan, setiap akan dilakukan hemodialisa

16. Saya selalu merasa ingin kencing, setiap akan


dilakukan hemodialisa
17. Tangan saya biasanya kering dan hangat, setiap
akan dilakukan hemodialisa
18. Saya mudah tertidur dan istirahat, setiap akan
dilakukan hemodialisa
19. Wajah saya merasa panas dan kemerahan, setiap
akan dilakukan hemodialisa
20. Saya mengalami mimpi buruk, setiap akan
dilakukan hemodialisa
ANALISA BIVARIAT

Keterangan :

ABCD : angka observasi ( nilai yang diperoleh )

E : ekspentasi ( nilai yang diharapkan )

Dk : ( baris – 1) ( kolom – 1)

= (2–1) (2–1)

= 1 ( X2 = 3,481)

Hubungan Umur Dengan Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan
Umur Total
Cemas Tidak cemas
Tua 14 A 9 B 23

Muda 2 C 5 D 7

Total 16 14 30

Ea : 14 = ( A + B ) ( A + C ) = (23) (16) = 12,2


30

Eb : 9 = ( A + B ) ( B + D ) = (23) (14) = 10,7


30

Ec : 2 = ( C + D ) ( A + C ) = (7) (16) = 3,7


30

Ed : 5 = ( C + D ) ( B + D ) = (7) (14) = 3,2


30

∑=(O–E)2
E

a. ( 14 – 12,2 ) 2 = 0,27
12,2

b. ( 14 – 12,2 ) 2 = 0,27
10,7

c. ( 2 – 3,7) 2 = 0,78
3,7

d. ( 5 – 3,2 ) 2 = 1,01
3,2

0,27 + 0,27 + 0,78 + 1,01 = 2,33 ( X2 hitung )

O E O-E ( O – E)2 / E
14 12,2 1,8 0,27
9 10,7 -1,7 0,27
2 3,7 -1,7 0,78
5 3,2 1,8 1,01

Hubungan Jenis Kelamin Dengan Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan
Jenis kelamin Total
Cemas Tidak cemas
Laki - laki 9 A 10 B 19

Perempuan 7 C 4 D 11

Total 16 14 30

Ea : 9 = ( A + B ) ( A + C ) = (19) (16) = 10,1


30

Eb : 10 = ( A + B ) ( B + D ) = (19) (14) = 8,9


30

Ec : 7 = ( C + D ) ( A + C ) = (11) (16) = 5,9


30

Ed : 4 = ( C + D ) ( B + D ) = (11) (14) = 5,1


30

∑=(O–E)2
E

a. ( 9 – 10,1 ) 2 = 0,12
10,1

b. ( 10 – 8,9 ) 2 = 0,14
8,9

c. ( 7 – 5,9 ) 2 = 0,20
5,9

d.( 4 – 5,1 ) 2 = 0,24


5,1

0,12 + 0,14 + 0,20 + 0,24 = 0,7 ( X2 hitung )

O E O-E ( O – E)2 / E
9 10,1 -1,1 0,12
10 8,9 1,1 0,14
7 5,9 1,1 0,20
4 5,1 -1,1 0,24

Hubungan Lamanya Menjalani Terapi Dengan Tingkat Kecemasan

Lamanya Tingkat kecemasan


menjalani terapi Total
Cemas Tidak cemas
Lama 8 A 5 B 13

Baru 8 C 9 D 17

Total 16 14 30
Ea : 8 = ( A + B ) ( A + C ) = (13) (16) = 6,9
30

Eb : 5 = ( A + B ) ( B + D ) = (13) (14) = 6
30

Ec : 8 = ( C + D ) ( A + C ) = (17) (16) = 9
30

Ed : 9 = ( C + D ) ( B + D ) = (17) (14) = 7,9


30

∑=(O–E)2
E
a. ( 8 – 6,9 ) 2 = 0,17
6,9

b. ( 5 – 6,9 ) 2 = 0,17
6,9

c. ( 8 – 9 ) 2 = 0,11
9

d. ( 9 – 7,9 ) 2 = 0,15
7,9

0,17 + 0,17 + 0,11 + 0,15 = 0,6( X2 hitung )

O E O-E ( O – E)2 / E
8 6,9 1,1 0,17
5 6 -1 0,17
8 9 -1 0,11
9 7,9 1,1 0,15

Hubungan Jenis Pembiayaan Dengan Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan
Jenis Total
pembiayaan Cemas Tidak cemas

Biaya sendiri 8 A 8 B 16

Asuransi
kesehatan 8 C 6 D 14

Total 16 14 30
Ea : 8 = ( A + B ) ( A + C ) = (16) (16) = 8,5
30

Eb : 8 = ( A + B ) ( B + D ) = (16) (14) = 7,4


30
Ec : 8 = ( C + D ) ( A + C ) = (14) (16) = 7,4
30

Ed : 6 = ( C + D ) ( B + D ) = (14) (14) = 6,5


30

∑=(O–E)2
E

a. ( 8 – 8,5 ) 2 = 0,03
8,5

b. ( 8 – 7,4 ) 2 = 0,05
7,4

c. ( 8 – 7,4 ) 2 = 0,05
7

d. ( 6 – 6,5 ) 2 = 0,03
6,5

0,03+ 0,05 + 0,05 + 0,03 = 0,16 ( X2 hitung )

O E O-E ( O – E)2 / E
8 8,5 -0,5 0,03
8 7,4 0,6 0,05
8 7,4 0,6 0,05
6 6,5 -0,5 0,03

Anda mungkin juga menyukai