Anda di halaman 1dari 25

ANTAGONIS & AGONIS ADRENERGIK

KATA-KATA KUNCI
1. Agonis direk berikatan dengan reseptor sedangkan agonis indirek
meningkatkan aktivitas neurotransmitter endogen. Mekanisme kerja indirek
meliputi peningkatan pelepasan dan penurunan reuptake dari norepinefrin.
2. Efek primer dari fenilefrin adalah konstriksi perifer dengan timbulnya
resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arteri secara konkomitan.
3. Klonidin digunakan untuk menurunkan anestesi dan kebutuhan analgesik dan
menimbulkan sedasi serta anxiolysis.
4. Efedrin umumnya digunakan sebagai vasopressor selama anestesia.
Contohnya, efedrin bekerja sebagai pembanding sementara karena
penyebab hipotensi diketahui dan diulang kembali.
5. Dosis kecil dari dopamin (≤ 2 µg/kg/mnt) memiliki efek adrenergik minimal
tapi mengaktivasi reseptor-reseptor dopaminergik. Stimulasi dari reseptor
nonadrenergik (terutama reseptor-reseptor DA1) memvasodilatasi pembuluh
darah ginjal dan meningkatkan diuresis.
6. Efek terbaik dari keseimbangan oksigen myocardial membuat dobutamin
menjadi pilihan terbaik untuk pasien-pasien dengan kombinasi dari gagal
jantung kongesti dan penyakit-penyakit arteri koroner, terutama jika resistensi
vaskuler perifer dan denyut jantung telah meningkat.
7. Karena labetalol mempunyai kombinasi efek α dan β, maka ia dapat
menurunkan tekanan darah tanpa mengakibatkan takikardia.
8. Esmolol adalah antagonis β1 yang selektif yang bersifat ultra short acting
yang mengurangi denyut jantung dan juga tekanan darah.
9. Penghentian terapi β bloker selama 24 – 48 jam dapat mencetuskan
withdrawal sindrom yang ditunjukkan dengan hipertensi, takikardi dan angina
pectoris.
Gbr. 12-1. Sistem Saraf Simpatis. Inervasi organ, tipe reseptor dan respon
terhadap stimulasi. Rantai simpatis berasal dari spinal cord thoracoabdominal
(T1 – L3), yang bertolak belakang dengan distribusi craniosacral dari sistem
saraf parasimpatis. Perbedaan anatomi lain merupakan perubahan yang jauh
dari ganglion simpatis ke struktur visceral.
FISIOLOGI ADRENOSEPTOR
Istilah adrenergik awalnya menggambarkan efek dari adrenalin (epinefrin),
yang merupakan lawan dari efek kolinergik asetilkolin. Saat ini diketahui bahwa
norepinefrin (noradrenalin) merupakan neurotransmiter yang bertanggung jawab
pada hampir sebagian besar dari aktifitas adrenergik sistem saraf simpatis.
Dengan pengecualian untuk kelenjar keringat ekrin dan beberapa pembuluh
darah, norepinefrin dilepaskan oleh serat-serat simpatis postganglion dan
jaringan end organ. Sebaliknya, asetilkolin dilepaskan oleh serat-serat simpatis
preganglion dan seluruh serat parasimpatis.
Norepinefrin disintesa di sitoplasma dan dibungkus di dalam serabut
simpatis postganglionik. Setelah pelepasan melalui proses eksositosis, kerja
norepinefrin diakhiri dengan reuptake ke ujung saraf postganglionik (dihambat
oleh antidepresan trisiklik), difusi dari reseptor-reseptor atau metabolisme
monoamine oksidase dihambat oleh monoamine oksidase inhibitor dan cathecol-
0-methyltransferase. Perpanjangan aktifitas adrenergik memicu desensitisasi
dan hiporesponsiveness terhadap stimulasi yang jauh.
Reseptor-reseptor adrenergik dibagi menjadi dua kategori, yaitu α dan β.
Masing-masing dibagi lagi menjadi dua subtipe, yaitu α1 dan α2 serta β1 dan β2.

Reseptor α1
Reseptor α1 adalah adrenoseptor postsinaptik yang bertempat di otot
polos di seluruh tubuh, di mata, paru-paru, pembuluh darah, uterus, usus dan
sistem urogenital. Mekanisme kerja reseptor ini adalah meningkatkan
konsentrasi ion kalsium intrasel yang menimbulkan terjadinya kontraksi. Selain
itu, agonis α1 dihubungkan dengan midriasis (dilatasi pupil sampai terjadinya
kontraksi dari otot-otot radial mata), bronkokonstriksi, vasokonstriksi, kontraksi
uterus dan kontraksi spingter di gastrointestinal dan urogenital. Stimulasi α1 juga
menghambat sekresi insulin dan lipolisis. Miokardium dapat menunjukkan
reseptor-reseptor α1 yang memiliki inotropik positif dan efek negatif dari
kronotropik. Selain itu, efek kardiovaskuler yang paling penting dari stimulasi α1
adalah vasokonstriksi, yang meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer,
afterload ventrikel kiri dan tekanan darah arteri.

Gbr. 12-2. Sintesa norepinefrin. Hidroksilasi dari tirosin menjadi dopa memiliki
langkah yang terbatas. Dopamin secara aktif memindahkannya ke dalam vesikel
penyimpanan. Norepinefrin dapat diubah menjadi epinefrin di dalam medula
adrenal.
Reseptor α2
Kebalikan dari reseptor α1, reseptor-reseptor α2 berlokasi di saraf
terminal presinaptik. Aktivitas dari adrenoseptor tersebut menghambat aktivitas
adenylate cyclase. Hal ini mengurangi masuknya ion kalsium ke dalam saraf
terminal, yang membatasi eksositosis vesikel-vesikel penyimpanan yang berisi
norepinefrin. Kemudian, reseptor-reseptor α2 menciptakan umpan balik negatif
yang secara lebih jauh menghambat pelepasan norepinefrin dari saraf. Sebagai
tambahan, otot polos vaskuler mengandung reseptor-reseptor α2 postsinaptik
yang menyebabkan vasokonstriksi. Yang lebih penting, stimulasi dari reseptor-
reseptor α2 postsinaptik di sistem saraf pusat mengakibatkan terjadinya sedasi
dan mengurangi aliran balik simpatis, yang menyebabkan vasodilatasi di perifer
dan penurunan tekanan darah.

Reseptor β1
Reseptor β1 yang paling utama berada di membran postsinaptik di
jantung. Stimulasi dari reseptor-reseptor tersebut mengaktivasi adenylate
cyclase, yang mengubah adenosin trifosfat menjadi siklik adenosin monofosfat
dan mengawali proses fosforilase kinase. Awal dari proses rangkaian tersebut
memiliki efek kronotropik positif (meningkatkan denyut jantung), efek dromotropik
(meningkatkan konduksi) dan efek inotropik (meningkatkan kontraktilitas).

Reseptor β2
Reseptor β2 terutama sebagai adrenoseptor postsinaptik yang berlokasi di
otot-otot polos dan sel-sel kelenjar. Ia berbagi mekanisme kerja dengan reseptor-
reseptor β1, yaitu aktivasi adenylate cyclase. Selain hal itu, stimulasi β2
menyebabkan relaksasi otot polos yang mengakibatkan bronkodilatasi,
vasodilatasi dan relaksasi uterus (tokolisis), kandung kemih dan usus.
Glikogenolisis, lipolisis, glukoneogenesis dan pelepasan insulin distimulasi oleh
aktivitas reseptor β2. Agonis β2 juga mengaktivasi pompa Na-K, yang
menyebabkan kalium masuk ke intrasel dan dapat menyebabkan hipokalemia
dan disritmia.
Norepinefrin Epinefrin

MAO

Metabolic
Pathway 3,4 – Dihydroximandelic Acid
in nerve
endings
COMT

VANILLYLMANDELIC ACID
(VMA)

MAO

Normetanefrin Metanefrin
Metabolic
Pathway
in liver
COMT COMT

Norepinefrin Epinefrin

Gbr. 12-3. Metabolisme sekuensial dari norepinefrin dan epinefrin. Monoamine oksidase
(MAO) dan catechol-0-metyltransferase (COMT) menghasilkan produk akhir,
vanillylmandelic acid (VMA).

AGONIS ADRENERGIK
Agonis adrenergik berinteraksi dengan berbagai spesifisitas (selektifitas)
di α dan β adrenoseptor. Ketumpangtindihan aktivitas tersebut berkomplikasi
pada prediksi dari efek klinis. Contohnya, epinefrin menstimulasi α1, α2, β1 dan
β2 adrenoseptor. Efek pada tekanan darah arterial tergantung pada
keseimbangan antara vasokonstriksi α1, α2 dan vasodilatasi β1 serta pengaruh-
pengaruh dari β1 inotropik. Walau bagaimanapun, keseimbangan ini berubah
pada dosis yang berbeda.
Agonis adrenergik dapat dikategorikan sebagai direk dan indirek. Agonis
direk berikatan dengan reseptor, sedang agonis indirek meningkatkan aktivitas
neurotransmiter endogen. Mekanisme kerja dari indirek termasuk peningkatan
pelepasan atau penurunan pengambilan dari norepinefrin. Perbedaan antara
mekanisme kerja direk dan indirek adalah penting bagi pasien-pasien yang
mempunyai simpanan abnormal norepinefrin endogen ditubuhnya, yang timbul
bersamaan dengan penggunaan obat antihipertensi atau penghambat
monoamine oksidase. Hipotensi intra operatif pada pasien-pasien ini harus
diterapi dengan agonis direk karena respon mereka terhadap agonis indirek akan
berubah.
Beberapa buku membedakan agonis adrenergik dari struktur kimianya.
Agonis adrenergik yang memiliki struktur 3,4 dihydroxybenzene disebut
katekolamin. Obat ini memiliki tipe short acting karena dimetabolisme oleh
monoamine oksidase dan katekol-0-metiltransferase. Pasien-pasien yang
mengkonsumsi penghambat monoamine oksidase atau antidepresan trisiklik
dapat menunjukkan respon yang berlebihan terhadap katekolamin. Katekolamin
yang terbentuk secara alami adalah epinefrin, norepinefrin dan dopamin (DA).
Merubah rantai struktur (R1, R2, R3) katekolamin alamiah dapat memacu
perkembangan dari katekolamin sintetik (contoh, isoproterenol dan dobutamin)
yang lebih spesifik.
Agonis adrenergik yang digunakan dalam anestesiologi akan dibicarakan
secara terpisah. Perlu dicatat bahwa dosis rekomendasi untuk infus secara
kontinue digambarkan dengan µg/kg/mnt untuk beberapa agen dan µg/mnt untuk
yang lainnya. Dalam kasus lain, rekomendasi ini sebaiknya hanya sebagai
pegangan, karena respon individu sangat bervariasi.

Fenilefrin
Pertimbangan Klinis
Fenilefrin adalah nonkatekolamin dengan aktivitas agonis α1 direk (dosis
tinggi dapat menstimulasi reseptor-reseptor α2 dan β). Efek primernya adalah
vasokonstriksi perifer dengan kenaikan resistensi pembuluh darah sistemik dan
tekanan darah secara konkomitan. Refleks bradikardi dapat mengurangi cardiac
output. Aliran darah koroner meningkat karena efek vasokonstriksi langsung dari
fenilefrin terhadap arteri-arteri koroner yang sebelumnya mengalami vasodilatasi
karena pelepasan faktor-faktor metabolik.
Dosis dan Sediaan
Bolus intravena dosis kecil dari fenilefrin, sekitar 50 – 100 µg (0,5 – 1
µg/kg), secara cepat mengembalikan pengurangan tekanan darah yang
disebabkan oleh vasodilatasi perifer (contoh, anestesi spinal). Infus kontinue
(100 µg/ml dengan kecepatan 0,25 – 1 µg/kg/mnt) akan memelihara tekanan
darah arteri pada aliran darah ginjal. Takifilaksis timbul pada pemberian infus
fenilefrin dengan titrasi. Fenilefrin harus dilarutkan dari 1 % larutan (10 mg/1 ml
amp), biasanya hingga mencapai 100 µg/ml larutan.

Agonis α2
Pertimbangan Klinis
Metildopa, obat prototipe, merupakan analog dari levodopa. Metildopa
memasuki alur sintesa norepinefrin dan diubah menjadi α metilnorepinefrin dan α
metilepinefrin. Transmiter palsu ini mengaktivasi α adrenoseptor, khususnya
reseptor-reseptor α2 sentral. Sebagai akibatnya, pelepasan norepinefrin dan
tonus simpatis akan menghilang. Turunnya resistensi vaskuler perifer
bertanggung jawab terhadap jatuhnya tekanan darah arteri (efek puncak tercapai
dalam 4 jam). Aliran darah ginjal akan terpelihara atau bertambah. Karena
metildopa tergantung pada metabolitnya untuk menjadi efektif, maka ia
digantikan oleh obat-obat dengan aktivitas α2 langsung, meskipun hal ini masih
direkomendasikan untuk mengobati tekanan darah tinggi dalam kehamilan.
Klonidin adalah α2 agonis yang saat ini sering digunakan untuk terapi
antihipertensi (penurunan resistensi vaskuler sistemik) dan efek-efek kronotropik
negatif. Baru-baru ini, klonidin dan agonis α2 lain telah dianggap sebagai agen
yang memiliki efek sedatif. Studi penelitian telah meneliti efek anestesi dari
klonidin secara oral (3-5 µg/kg), IM (2 µg/kg), IV (1-3 µg/kg), transdermal (0,1-0,3
mg dilepas perhari), intratekal (75-100 µg) dan epidural (1-2 µg/kg).
Secara umum, klonidin dibutuhkan untuk mengurangi efek anestesi dan
analgesi dan untuk menghasilkan efek sedasi dan anxiolisis. Selama anestesi
umum, klonidin dilaporkan dapat membantu stabilitas sirkulasi intraoperatif
dengan mengurangi tingkat katekolamin. Selama anestesi regional, termasuk
blok saraf perifer, klonidin akan memperpanjang durasi dari blok tersebut. Efek
langsung pada spinal cord bisa dimediasi oleh reseptor α2 postsinaptik di dalam
dorsal horn. Keuntungan lain termasuk pengurangan kejadian menggigil
postoperatif, menghambat rigiditas otot yang dipacu oleh opioid, pelemahan dari
gejala-gejala withdrawal opioid dan pengobatan terhadap beberapa sindrom
nyeri kronis. Efek samping termasuk bradikardi, hipotensi, sedasi, depresi
respirasi dan mulut kering.
Dexmedetomidin merupakan derivat dari lipofilik α metilol dengan afinitas
yang tinggi untuk reseptor-reseptor α2 dibanding klonidin. Ia memiliki efek
sedatif, analgesia dan efek simpatolitik yang memperjelas respon-respon
kardiovaskuler (hipertensi, takikardi) yang tampak selama masa perioperatif. Bila
digunakan saat intraoperatif, dapat mengurangi kebutuhan obat-obat intra vena
dan volatile, bila digunakan setelah operasi, dapat mengurangi kebutuhan obat-
obat analgesik dan sedatif. Pasien akan tetap tersedasi bila diberi rangsangan
dini. Serupa dengan metildopa dan klonidin, dexmedetomidin merupakan
simpatolitik karena outflow simpatisnya dikurangi. Ia merupakan obat yang
berguna untuk mengurangi kebutuhan obat-obat anestesi selama operasi dan
untuk sedasi pada pasien-pasien postoperatif di post anestetic care unit (PACU)
dan di ICU karena efek anxiolitik dan analgesiknya. Hal ini terjadi tanpa depresi
ventilasi yang signifikan. Pemberian yang cepat dapat meningkatkan tekanan
darah, tapi hipotensi dan bradikardi tetap dapat timbul selama terapi berjalan.
Meskipun metildopa dan klonidin merupakan agonis adrenergik, mereka
juga dapat menjadi simpatolitik karena outflow simpatisnya dikurangi.
Dosis dan Sediaan
Klonidin tersedia dalam bentuk oral, transdermal atau parenteral. Saat ini
terbukti hanya untuk epidural atau intratekal yang digunakan sebagai tambahan
untuk analgesi dan anestesi regional. Walaubagaimanapun, klonidin biasa
digunakan di Eropa dalam dosis bolus intra vena 50 µg untuk mengontrol
tekanan darah atau denyut jantung. Obat ini memiliki onset kerja yang lambat.

Epinefrin
Pertimbangan Klinis
Stimulasi langsung dari reseptor-reseptor β1 oleh epinefrin meningkatkan
cardiac output dan kebutuhan oksigen myocardial dengan meningkatkan
kontraktilitas dan denyut jantung (meningkatkan spontanitas depolarisasi fase
IV). Stimulasi α1 menurunkan aliran splanknik dan aliran darah ginjal tapi
meningkatkan tekanan koroner dan tekanan perfusi otak. Tekanan darah sistolik
naik, meskipun vasodilatasi mediasi β2 di otot-otot rangka dapat menurunkan
tekanan diastolik. Stimulasi dari β2 juga merelaksasi otot-otot polos bronkial.
Terapi epinefrin adalah terapi farmakologi utama untuk anafilaksis dan
digunakan untuk mengobati fibrilasi ventrikel. Komplikasinya bisa terjadi
perdarahan serebral, iskemik koroner dan disritmia ventrikel. Obat-obat volatile,
khususnya halotan, berpotensi untuk terjadinya efek disritmia oleh epinefrin.
Dosis dan Sediaan
Pada keadaan darurat (contoh, shock dan reaksi-reaksi alergi), epinefrin
diberikan secara bolus intra vena sebesar 0,05 – 1 mg tergantung dari
pertimbangan beratnya gangguan kardiovaskuler. Untuk memperbaiki
kontraktilitas myocardial atau denyut jantung, tersedia juga infus kontinue (1 mg
dalam 250 ml D5W [4 µg/ml]) dengan dosis sekitar 2 – 20 µg/mnt. Beberapa
larutan lokal anestesi berisi epinefrin dengan konsentrasi sebesar 1 : 200.000 (5
µg/ml) atau 1 :100.000 (10 µg/ml) telah dikarakterisasi oleh absorbsi sistemik
dan durasi kerja yang panjang. Epinefrin tersedia dalam bentuk vial dengan
konsentrasi sebesar 1 : 1000 (1 mg/ml) dan prefilled syringes pada konsentrasi 1
: 10.000 (0,1 mg/ml [100 µg/ml]). Untuk anak-anak digunakan konsentrasi 1 :
100.000 (10 µg/ml).

Efedrin
Pertimbangan Klinis
Efek kardiovaskuler dari efedrin serupa dengan epinefrin, meningkatkan
tekanan darah, denyut jantung, kontraktilitas dan cardiac output. Selain itu,
efedrin juga merupakan bronkodilator. Ada perbedaan-perbedaan penting
diantara keduanya, yaitu efedrin memiliki durasi kerja yang panjang karena ia
merupakan nonkatekolamin, yang kurang poten, memiliki kerja direk dan indirek
dan menstimulasi sistem saraf pusat (meningkatkan MAC). Properti agonis
indirek dari efedrin dapat mencapai stimulasi sentral, pelepasan norepinefrin
perifer postsinaptik atau menghambat pengambilan norepinefrin.
Efedrin biasa digunakan sebagai vasopresor selama anestesia
berlangsung. Sebagai contoh, penatalaksanaannya harus selalu diperhatikan
ketika penyebab hipotensinya diketahui dan terulang kembali. Tidak seperti
agonis α1 yang bekerja secara langsung, efedrin tidak menurunkan aliran darah
uterin. Sehingga vasopresor ini lebih sering dipilih untuk kasus-kasus obstetri.
Efedrin juga telah dilaporkan sebagai obat-obat antiemetik, terutama yang
berhubungan dengan hipotensi yang disebabkan oleh anestesi spinal.
Pengobatan klonidin menguatkan efek dari efedrin.
Dosis dan Sediaan
Pada orang dewasa, efedrin diberikan secara bolus sebesar 2,5 – 10 mg,
pada anak secara bolus sebesar 0,1 mg/kg. Dosis selanjutnya ditingkatkan untuk
menghasilkan takifilaksis, yang bisa menyebabkan terjadinya pengurangan
simpanan norepinefrin. Efedrin tersedia dalam 1ml ampul yang terdiri dari 25
sampai 50 mg obat.

Norepinefrin
Pertimbangan Klinis
Stimulasi dari α1 langsung tanpa aktivitas β2 mencetuskan vasokonstriksi
yang intensif dari pembuluh darah arteri dan vena. Peningkatan kontraktilitas
myocardial dari efek β1 dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri,
tapi peningkatan afterload dan refleks bradicardia mencegah kenaikan dari
cardiac output. Penurunan aliran darah ginjal dan peningkatan kebutuhan
oksigen myocardial membatasi penggunaan dari norepinefrin pada pengobatan
shock yang berulang, dimana kebutuhan vasokonstriksi dilakukan untuk
memelihara tekanan perfusi jaringan. Norepinefrin telah digunakan bersamaan
dengan α bloker (contoh, fentolamin) untuk mendapatkan keuntungan dari
aktivitas β tanpa penggunaan vasokonstriksi yang disebabkan oleh stimulasi α
tersebut. Ekstravasasi dari norepinefrin dalam pemberian intra vena dapat
menyebabkan nekrosis jaringan.

Dosis dan Sediaan


Norepinefrin diberikan secara bolus (0,1 µg/kg) atau infus kontinue (4 mg
obat dalam 500 ml D5W [8 µg/ml]) dengan kecepatan 2 – 20 µg/mnt. Sediaan
ampul mengandung 4 mg norepinefrin dalam 4 ml larutan.

Dopamin
Pertimbangan Klinis
Efek klinis dari DA, agonis direk dan indirek yang non selektif, bervariasi
tergantung dari dosisnya. Dosis kecil (≤ 2 µg/kg/mnt) memiliki efek adrenergik
yang minimal tapi mengaktivasi reseptor-reseptor dopaminergik. Stimulasi dari
reseptor-reseptor dopaminergik ini (terutama reseptor-reseptor DA1)
mengakibatkan vasodilatasi dari pembuluh darah ginjal dan menghasilkan
diuresis. Pada dosis sedang (2 – 10 µg/kg/mnt) stimulasi β1 meningkatkan
kontraktilitas myocardial, denyut jantung dan curah jantung. Kebutuhan oksigen
myocardial meningkat melebihi pemasukan oksigen. Efek α1 menjadi lebih jelas
pada dosis tinggi (10-20 µg/kg/mnt), yang menyebabkan peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer dan turunnya aliran darah ginjal. Efek tidak langsung dari
DA adalah terjadinya pelepasan dari Norepinefrin, yang bertambah pada dosis
diatas 20 µg/kg/mnt.
DA umumnya digunakan pada terapi shock untuk memperbaiki curah
jantung, mempertahankan tekanan darah dan memelihara fungsi ginjal. DA
biasanya dikombinasikan dengan vasodilator (contoh, nitrogliserin atau
nitropruside), yang mengurangi afterload dan lebih jauh lagi untuk memperbaiki
curah jantung. Efek kronotropik dan disritmogenik dari DA membatasi
penggunaannya pada beberapa pasien.
Dosis dan Sediaan
DA tersedia dalam bentuk infus kontinue (400 mg dalam 1000 ml D5W;
400 µg/ml) dengan kecepatan 1 – 20 µg/kg/mnt. DA banyak tersedia dalam
ampul 5 ml yang berisi 200 – 400 mg dari DA.

Isoproterenol
Isoproterenol banyak dicari karena ia merupakan β agonis yang murni.
Efek β1 meningkatkan denyut jantung, kontraktilitas dan curah jantung. Stimulasi
β2 mengurangi resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah sistolik.
Kebutuhan oksigen myocardial meningkat ketika pasokan oksigen berkurang,
membuat isoproterenol atau agonis β murni lain menjadi pilihan yang buruk pada
beberapa situasi. Ketersediaan isoproterenol berkurang di Amerika Serikat.

Dobutamin
Pertimbangan Klinis
Dobutamin merupakan agonis β1 yang relatif selektif. Efek primer
kardiovaskulernya adalah peningkatan curah jantung sebagai akibat dari
peningkatan kontraktilitas myocardial. Penurunan tajam dari resistensi pembuluh
darah perifer disebabkan oleh aktivasi β2 yang biasanya mencegah naiknya
tekanan darah arteri. Tekanan pengisian ventrikel kiri menurun, ketika aliran
darah koroner meningkat. Denyut jantung meningkat bila dibandingkan dengan
agonis β lain. Efek menguntungkan dari keseimbangan oksigen myocardial ini
membuat dobutamin menjadi pilihan tepat untuk pasien-pasien dengan
kombinasi gagal jantung kongestif dan penyakit arteri koroner, terutama jika
resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung telah meningkat.
Dosis dan Sediaan
Dobutamin tersedia dalam bentuk infus (1 gr dalam 250 ml [4 mg/ml])
dengan kecepatan 2 – 20 µg/kg/mnt. Sediaan terdiri dari 20 ml vial berisi 250 mg.

Dopexamin
Pertimbangan Klinis
Dopexamin secara struktural merupakan analog dari DA yang memiliki
keuntungan potensial dibandingkan dopamin karena efek adrenergik β1
(aritmogenik) dan adrenergik α nya kurang. Karena kurangnya efek adrenergik β
dan efek spesifik dari perfusi ginjal, hal ini lebih menguntungkan dibandingkan
dobutamin. Obat ini secara klinis telah tersedia sejak tahun 1990 tapi belum
sepenuhnya diterima dalam praktek.

Dosis dan Sediaan


Dopexamin tersedia dalam konsentrasi 50 mg/ml dan harus diencerkan
dalam D5W. Infus harus dimulai dengan kecepatan 0,5 µg/kg/mnt, meningkat
menjadi 1 µg/kg/mnt pada interval 10 – 15 mnt hingga kecepatan maksimum
menjadi 6 µg/kg/mnt.

Fenoldopam
Pertimbangan Klinis
Fenoldopam merupakan agonis reseptor DA1 yang selektif yang memiliki
banyak kelebihan DA tapi dengan sedikit atau tidak ada aktivitas dari α atau β
adrenoseptor atau agonis reseptor DA2. Fenoldopam menunjukkan efek
hipotensi yang diperlihatkan dengan penurunan resistensi pembuluh darah
vaskuler, bersamaan dengan peningkatan aliran darah ginjal, diuresis dan
natriuresis. Obat ini diindikasikan pada pasien-pasien dengan operasi jantung
dan perbaikan aneurisma aorta, karena sifat antihipertensi dan proteksi
ginjalnya. Obat ini juga diindikasikan untuk pasien-pasien dengan hipertensi
berat, khususnya dengan gangguan ginjal.
Dosis dan Sediaan
Fenoldopam tersedia dalam ampul 1ml, 2ml dan 5ml, 10 mg/ml. Dimulai
dengan infus kontinue 0,1 µg/kg/mnt, meningkat secara bertahap menjadi 0,1
µg/kg/mnt pada interval 15-20 menit sampai target tekanan darah tercapai. Dosis
rendah diasosiasikan dengan berkurangnya refleks takikardi.
Tabel 12-1. Selektivitas reseptor dari agonis adrenergik
DRUG α1 α2 β1 β2 DA1 DA2
Phenylephrine +++ + + 0 0 0
Metyldopa + +++ 0 0 0 0
Clonidine + +++ 0 0 0 0
Epinephrine ++ ++ +++ ++ 0 0
Ephedrine ++ ? ++ + 0 0
Fenoldopam 0 0 0 0 +++ 0
Norepinephrine ++ ++ ++ 0 0 0
Dopamine ++ ++ ++ + +++ +++
Dopexamine 0 0 + +++ ++ +++
Dobutamine 0/+ 0 +++ + 0 0
Terbutaline 0 0 + +++ 0 0
0 = no effect + = agonist effect (mild, moderate, marked) ? =
unknown effect
DA1 dan DA2 = reseptor-reseptor dopaminergik
Tabel 12-2. Efek dari Agonis Adrenergik terhadap Sistem Organ
DRUG HR MAP COP PVR BD RBF
Phenylephrine ↓ ↑↑↑ ↓ ↑↑↑ 0 ↓↓↓
Epinephrine ↑↑ ↑ ↑↑ ↑/↓ ↑↑ ↓↓
Ephedrine ↑↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑↑ ↓↓
Fenoldopam ↑↑ ↓/↓↓ ↓/↑ ↓↓ 0 ↑↑↑
Norepinephrine ↓ ↑↑↑ ↓/↑ ↑↑↑ 0 ↓↓↓
Dopamine ↑/↑↑ ↑ ↑↑↑ ↑ 0 ↑↑↑
Dopexamine ↑/↑↑ ↓/↑ ↑↑ ↑ 0 ↑
Isoproterenol ↑↑↑ ↓ ↑↑↑ ↓↓ ↑↑↑ ↓/↑
Dobutamine ↑ ↑ ↑↑↑ ↓ 0 ↑
0 = no effect ↑ = increase (mild,moderate,marked) ↓ = decrease
(mild,moderate,marked)
↓/↑ = variable effect ↓/↑↑ = mild to moderate increase
ANTAGONIS ADRENERGIK
Antagonis adrenergik mengikat tapi tidak mengaktifkan adrenoseptor.
Mereka bekerja dengan mencegah aktivitas agonis adrenergik. Seperti agonis,
antagonis berbeda pada spektrum dari interaksi reseptornya.

α Bloker - Fentolamin
Pertimbangan Klinis
Fentolamin memproduksi blokade kompetitif dari reseptor-reseptor α yang
bersifat reversible. Antagonis α1 dan relaksasi langsung otot polos bertanggung
jawab terhadap vasodilatasi perifer dan penurunan tekanan darah arteri.
Turunnya tekanan darah memprovokasi terjadinya refleks takikardia. Takikardia
ini diperkuat oleh antagonis reseptor α2 di jantung karena blokade α2 memacu
pelepasan norepinefrin dengan mengeliminasi umpan balik yang negatif. Efek
kardiovaskuler ini biasanya timbul dalam waktu 2 – 15 menit. Pada antagonis
adrenergik, timbulnya respon terhadap blokade reseptor itu tergantung pada
derajat munculnya tonus simpatis. Refleks takikardi dan hipotensi postural
membatasi penggunaan fentolamin untuk pengobatan hipertensi yang
disebabkan oleh stimulasi α yang berlebihan (contoh, feokromositoma, penarikan
klonidin).

Dosis dan Sediaan


Fentolamin diberikan intra vena secara bolus intermiten (1-5 mg untuk
dewasa) atau infus kontinue (10 mg dalam 100 ml D5W [100 µg/ml]). Untuk
mencegah nekrosis jaringan yang mengikuti ekstravasase dari cairan intra vena
yang berisi agonis α, seperti norepinefrin, 5-10 mg fentolamin dalam 10 ml NaCl
dapat diberikan. Fentolamin dikemas dalam bubuk lyophilized (5 mg).

Antagonis Campuran - Labetalol


Pertimbangan Klinis
Labetalol memblok reseptor-reseptor α1, β1 dan β2. Rasio dari blokade α
dan blokade β telah diukur sebesar 1 : 7 setelah pemberian intra vena. Blokade
campuran ini mengurangi resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah
arteri. Denyut jantung dan curah jantung biasanya menurun tajam atau tidak
berubah. Kemudian, labetalol menurunkan tekanan darah tanpa refleks takikardi,
karena kombinasi dari efek α dan β. Efek puncak biasanya muncul dalam 5
menit setelah dosis intra vena. Gagal ventrikel kiri, hipertensi paradoksi dan
bronkospasme telah dilaporkan.
Dosis dan Sediaan
Dosis awal labetalol yang direkomendasikan adalah 0,1 – 0,25 mg/kg
diberikan secara intra vena setiap 2 menit. Dua kali jumlah ini dapat diberikan
dalam interval 10 menit sampai respon tekanan darah yang diinginkan tercapai.
Labetalol juga dapat diberikan dalam infus kontinue perlahan (200 mg dalam 250
ml D5W) dengan kecepatan 2 mg/mnt. Walau bagaimanapun, meski obat ini
memiliki waktu paruh eliminasi yang panjang (> 5 jam), perpanjangan infus tidak
dianjurkan. Labetalol (5 mg/ml) tersedia dalam bentuk 20 ml dan 40 ml dengan
kemasan yang multidosis, 4 ml dan 8 ml single dosis dalam prefilled syringes.

β Bloker
Reseptor β bloker memiliki derajat selektivitas yang bervariasi untuk
reseptor β1. Banyak obat yang memiliki selektif β1 kurang berpengaruh
terhadap bronkopulmoner dan vaskularisasi reseptor β2. Teorinya, selektif β1
bloker kurang memiliki efek inhibitor terhadap reseptor β2, sehingga lebih cocok
digunakan pada pasien-pasien dengan PPOK atau penyakit pembuluh darah
perifer. Pasien dengan penyakit pembuluh darah perifer secara potensial dapat
menurunkan aliran darah jika reseptor β2 diblok, yang mengakibatkan dilatasi
arteriol-arteriol.
β bloker juga diklasifikasikan berdasarkan jumlah dari ISA (Intrinsic
Sympathomimetic Activity / Aktivitas Intrinsik dari Simpatomimetik) yang mereka
miliki. Banyak dari β bloker yang memiliki aktivitas agonis, meskipun mereka
tidak menghasilkan efek yang serupa dengan agonis, seperti epinefrin, β bloker
dengan ISA tidak sebaik β bloker tanpa ISA dalam mengobati pasien-pasien
dengan penyakit kardiovaskuler.
β bloker lebih jauh lagi dapat diklasifikasi oleh obat-obat yang dieliminasi
oleh metabolisme hati (seperti atenolol atau metoprolol), oleh obat yang disekresi
di ginjal (seperti atenolol) atau oleh obat yang dihidrolisa di darah (seperti
esmolol).

Esmolol
Pertimbangan Klinis
Esmolol merupakan antagonis β1 selektif bersifat ultra short acting yang
mengurangi denyut jantung dan terutama tekanan darah. Obat ini telah berhasil
digunakan untuk mencegah takikardi dan hipertensi dalam responnya terhadap
stimulus perioperatif, seperti intubasi, rangsangan karena operasi dan keadaan
darurat. Seperti contoh, esmolol (1mg/kg) menyebabkan peningkatan tekanan
darah dan denyut jantung yang biasanya menyertai terapi elektrokonvulsif,
tanpa durasi kejang. Esmolol seefektif propanolol dalam mengontrol kecepatan
ventrikel pada pasien-pasien dengan atrial fibrilasi atau flutter. Meskipun esmolol
dipertimbangkan sebagai kardioselektif, pada dosis tinggi dapat menghambat
reseptor β2 di bronkial dan vaskularisasi otot polos.
Obat ini memiliki durasi kerja yang pendek pada keadaan redistribusi
cepat (waktu paruh eliminasi 9 menit). Efek samping dapat dihilangkan dalam
beberapa menit dengan menghentikan infus. Seperti seluruh antagonis β1,
esmolol tidak boleh diberikan pada pasien-pasien dengan sinus bradikardi,
blokade jantung lebih besar dari derajat I, shock kardiogenik atau gagal jantung.

Dosis dan Sediaan


Esmolol diberikan secara bolus (0,2 – 0,5 mg/kg) untuk terapi jangka
pendek, seperti lemahnya respon kardiovaskuler terhadap laringoskopi dan
intubasi. Pengobatan jangka panjang umumnya diawali dengan dosis loading
sebesar 0,5 mg/kg diberikan lebih dari 1 menit, diikuti dengan infus kontinue
sebesar 50 µg/kg/mnt untuk memelihara efek terapeutik. Jika terapi ini gagal
dalam menghasilkan respon yang diinginkan dalam waktu 5 menit, dosis loading
dapat diulang dan infus ditambah secara bertahap sebesar 50 µg/kg/mnt setiap 5
menit hingga maksimal 200 µg/kg/mnt.
Esmolol tersedia dalam vial multidosis untuk pemberian bolus berisi 10 ml
obat (10 mg/ml). Ampul untuk infus kontinue (2,5 g dalam 10 ml) juga tersedia
tetapi harus diencerkan terlebih dahulu hingga konsentrasinya menjadi 10 mg/ml.

Propanolol
Perimbangan Klinis
Propanolol merupakan blokade non selektif dari reseptor-reseptor β1 dan
β2. Tekanan darah arteri menjadi rendah oleh beberapa mekanisme, termasuk
penurunan kontraktilitas myocard, penurunan denyut jantung dan menghilangnya
pelepasan renin. Curah jantung dan kebutuhan oksigen myocardial menjadi
berkurang. Propanolol terutama digunakan selama iskemia myocardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Impedansi
dari ejeksi ventrikel sangat berguna bagi pasien-pasien dengan kardiomyopati
obstruksi dan aneurisma aorta. Propanolol memperlambat konduksi
atrioventrikuler dan menstabilisasikan membran myocardial, meskipun efek
berikutnya tidak signifikan pada dosis klinis. Propanolol sangat efektif dalam
memperlambat respon ventrikel menjadi takikardi supraventrikel dan sewaktu-
waktu bisa mengontrol takikardi ventrikel rekuren atau fibrilasi yang disebabkan
oleh iskemik myocardial. Propanolol memblok efek β adrenergik dari
tirotoksikosis dan feokromositoma.
Efek samping mencakup bronkospasme (antagonis β2), gagal jantung
kongestif, bradikardi dan AV blok (antagonis β10. Propanolol dapat memperburuk
depresi myocardial karena anestesi volatile (contoh, enflurane) atau karakteristik
inotropik negatif dari stimulasi jantung indirek (contoh, isoflurane). Pemberian
konkomitan propanolol dan verapamil (bloker kalsium channel) secara sinergis
dapat mendepresi denyut jantung, kontraktilitas dan konduksi AV node.
Diskontinuitas dari terapi propanolol untuk 24 – 48 jam dapat mencetuskan
terjadinya sindrom withdrawal yang ditunjukkan dengan hipertensi, takikardi dan
angina pectoris. Efek ini timbul disebabkan karena peningkatan jumlah reseptor
β adrenergik (up-regulation). Propanolol berikatan kuat dengan protein melalui
metabolisme hepar. Waktu paruh eliminasinya lebih lama bila dibandingkan
dengan esmolol.
Dosis dan Sediaan
Dosis individu dari propanolol tergantung dari tonus simpatis. Umumnya,
propanolol dititrasi hingga mencapai efek yang diinginkan, dimulai dengan 0,5
mg dan bertambah secara bertahap 0,5 mg setiap 3-5 menit. Dosis total
mencapai 0,15 mg/kg. Propanolol tersedia dalam ampul 1 ml berisi 1 mg obat.
Tabel 12-3. Selektivitas Reseptor dari Antagonis Adrenergik
DRUG α1 α2 β1 β2
Prazosin - 0 0 0
Phenoxybenzamine - - 0 0
Phentolamine - - 0 0
Labetalol - 0 - -
Metoprolol 0 0 - -
Esmolol 0 0 - -
Propanolol 0 0 - -
0 = no effect - = antagonist effect (mild, moderate, marked)

Tabel 12-4. Farmakologi dari β bloker


DRUG Selectivity for β1 ISA α2 Blockade Hepatic T½
receptors Metabolism
Atenolol + 0 0 0 6-7
Esmolol + 0 0 0 -¼
Labetalol 0 + + 4
Metoprolol + 0 0 + 3-4
Propanolol 0 0 + 4-6
ISA = Intrinsic Sympathomimetic Activity
+ = mild effect 0 = no effect

DISKUSI KASUS
Seorang laki-laki berusia 45 tahun dengan riwayat serangan nyeri kepala
paroksismal, hipertensi, berkeringat dan palpitasi, yang akan dijadwalkan untuk
reseksi pheochromocytoma abdominal.
1. Apakah pheochromocytoma itu ?
Pheochromocytoma adalah tumor pembuluh darah dari jaringan chromaffin
(umumnya medulla adrenal) yang memproduksi dan mensekresi norepinefrin
dan epinefrin. Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit ini berdasarkan efek
dari tingkatan sirkulasi yang abnormal dari agonis adrenergik endogen.
2. Bagaimana diagnosis pheochromocytoma berdasarkan hasil
laboratorium ?
Ekskresi urin yang mengandung asam vanillylmandelic (hasil akhir dari
metabolisme katekolamin), norepinefrin dan epinefrin biasanya meningkat.
Peningkatan level dari normetanefrin dan metanefrin urin menunjukkan
diagnosis yang sangat akurat. Konsentrasi plasma total dari katekolamin juga
akan meningkat. Posisi tumor dapat ditentukan dengan MRI, CT Scan, USG
atau Scintigraphy.
3. Patofisiologi apa yang dihubungkan dengan peningkatan norepinefrin
dan epinefrin kronis ?
Stimulasi α1 meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan
darah arteri. Hipertensi dapat memacu pengurangan volume intravaskuler
(peningkatan hematokrit), gagal ginjal dan perdarahan otak. Peningkatan
resistensi vaskuler perifer juga meningkatkan kerja jantung, yang merupakan
predisposisi bagi pasien-pasien untuk menjadi iskemik myocardial, hipertropi
ventrikel dan gagal jantung kongesti. Perpanjangan paparan norepinefrin dan
epinefrin dapat memacu timbulnya cardiomyopati karena katekolamin.
Hiperglikemia merupakan akibat dari penurunan sekresi insulin dalam
menghadapi peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis. Stimulasi β1
meningkatkan otomatisasi dan ektopi ventrikel.
4. Antagonis adrenergik yang mana yang dapat membantu dalam
mengontrol efek dari hipersekresi norepinefrin dan epinefrin ?
Phenoxybenzamine, suatu antagonis α1, secara efektif dapat mengembalikan
vasokonstriksi, mengakibatkan jatuhnya tekanan darah arterial dan
peningkatan volume intravaskuler (turunnya hematokrit). Intoleransi glukosa
sering terkoreksi. Phenoxybenzamine dapat diberikan secara oral dan
onsetnya lebih panjang dari pada fentolamin, suatu antagonis α1 lain. Untuk
alasan ini, phenoxybenzamine sering diberikan pada preoperatif untuk
mengontrol gejala-gejala.
Phentolamine intra vena biasa digunakan pada intraoperatif untuk mengontrol
episode hipertensi. Dibandingkan dengan agen hipotensi lain, fentolamin
memiliki onset lambat dan durasi kerja yang panjang, selain itu, takifilaksis
sering timbul.
Blokade β1 dengan agen lain seperti labetalol direkomendasikan untuk
pasien-pasien dengan takikardi atau disritmia ventrikel.
5. Mengapa reseptor α1 harus diblok oleh fenoxibenzamin sebelum
pemberian antagonis β ?
Jika reseptor β diblok terlebih dahulu, norepinefrin dan epinefrin akan
memproduksi stimulasi α yang tidak berlawanan. Vasodilatasi mediasi β2
tidak dapat mengimbangi vasokonstriksi α1 dan resistensi pembuluh darah
perifer akan meningkat. Hal ini menjelaskan hipertensi paradoksal yang
dilaporkan pada beberapa pasien dengan pheochromocytoma yang hanya
diterapi dengan labetalol. Akhirnya, jantung tidak dapat mengatasi
peningkatan kerja jantung tanpa efek inotropik dari stimulasi β1.
6. Obat anestesi apa yang secara spesifik harus dihindari ?
Suksinil kolin pencetus fasikulasi di otot-otot abdomen akan meningkatkan
tekanan intra abdomen, yang dapat menyebabkan pelepasan katekolamin
dari tumor. Ketamin merupakan obat simpatomimetik dan akan
mengeksaserbasi efek dari agonis adrenergik. Halotan mensensitisasi
jantung hingga mencapai efek disritmogenik dari epinefrin. Obat vagolitik
(contoh, antikolinergik dan pancuronium) akan memperburuk keseimbangan
dari tonus otonom.
Sejak histamin memprovokasi sekresi katekolamin oleh tumor, obat-obat
yang berhubungan dengan pelepasan histamin (contoh, tubocurarin,
atracurium, morfin sulfat dan meperidin) harus dihindari. Vecuronium,
rocuronium dan pipecuronium merupakan pilihan dari pelemas otot. Meskipun
droperidol merupakan antagonis α, hal ini telah dihubungkan dengan krisis
hipertensi pada beberapa pasien dengan pheochromocytoma.

7. Apakah teknik epidural atau spinal efektif dalam memblok hiperaktivitas


dari simpatis ?
Blok regional mayor, seperti anestesi epidural atau spinal, dapat memblok
keluarnya saraf sensoris (afferent) dan saraf simpatis (efferent) di area
operasi. Pelepasan katekolamin dari pheochromocytoma selama manipulasi
operasi dapat tetap mengikat dan mengaktifkan reseptor adrenergik melalui
tubuh. Sehingga, teknik regional ini tidak dapat memblok hiperaktivitas
simpatis yang dihubungkan dengan pheochromocytoma.
ANTAGONIS & AGONIS
ADRENERGIK

Text Book Reading

Oleh :
dr. Dessy Adhriyani, MM
BAGIAN ANESTESI DAN REANIMASI
FK UNPAD / RS. DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2006

Anda mungkin juga menyukai