Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN JURNAL READING KEPANITERAAN

KERUMAHSAKITAN RSUP DR SARDJITO

PENANGANAN PASIEN DENGAN INFEKSI


HEPATITIS, HIV, DAN TUBERCULOSIS

DISUSUN OLEH :
Herliena Dyah Indriani 10/298821/KG/8652
Indah Chairunnisa 10/299223/KG/8684
Rizka Triana 10/299553/KG/8710
Greta Fauziah 10/304982/KG/8773
Sulistyaningsih 10/299662/KG/8721

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
BAB I

PENDAHULUAN

Perawatan dental memiliki perbedaan dengan prosedur kesehatan yang

lain. Potensi untuk terjadinya infeksi silang sangat tinggi terjadi pada perawatan

dental. Perawatan dental membutuhkan penyusunan strategi untuk mencegah

transmisi penyakit dari pasien ke tenaga kesehatan maupun sebaliknya. Infeksi

menyebar jika kriteria untuk terjadinya penyebaran infeksi terpenuhi yaitu: adanya

inang yang rentan terkena infeksi, adanya mikroorganisme penyebab patogen,

adanya pintu masuk mikroorganisme ke inang.

Jika satu dari kriteria yang telah disebutkan tidak ada, maka dapat

mencegah terjadinya penyakit infeksi, sehingga tujuan dilakukannya kontrol

infeksi ialah untuk menghilangkan satu atau seluruh penyebab terjadinya infeksi.

Prosedur – prosedur yang dapat mencegah terjadinya infeksi silang antara pasien

dan tenaga kesehatan harus selalu dilakukan. Hal ini dikarenakan seseorang yang

terdapat infeksi di dalam darahnya tidak dapat diketahui seketika dan

kemungkinan seseorang belum mengetahui adanya infeksi di dalam tubuhnya.

Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan bagian penting dari

perawatan pasien. Kekhawatiran adanya kemungkinan penyebaran penyakit

melalui darah, dan dampak yang muncul, penularan lewat pernafasan dan

penyakit lainnya, memerlukan tenaga kesehatan untuk membangun,

mengevaluasi, terus-menerus memperbarui dan memantau strategi pencegahan

dan pengendalian infeksi dan protokol.


BAB II

PEMBAHASAN

A. HEPATITIS

Penularan hepatitis dapat terjadi melalui transfusi darah, paparan alat yang

terkontaminasi pada kulit, dan kontak darah. Penularan lain dapat terjadi melalui

kontak seksual dan jalur perinatal atau idiopatik. Gejala awal hepatitis yaitu

malaise, mudah lelah, anoreksia yang terjadi selama 1-2 minggu. Infeksi akut dari

hepatitis dapat menunjukkan tanda dan gejala antara lain, mual, muntah, sakit

perut, dan penyakit kuning, sedangkan infeksi kronis yaitu penyakit hati kronis

seperti sirosis dan kanker hepatoseluler. Hepatitis yang paling umum terdiri atas

hepatitis A, B, C, D, E dan G. Hepatitis B dan C merupakan penyakit yang dapat

menyebabkan kerusakan hati permanen dan kematian. Infeksi virus hepatitis B

banyak ditemui dalam praktik dokter gigi terutama melalui darah, saliva dan

sekresi nasofaringeal. Konsentrasi terbesar virus hepatitis yaitu pada sulkus

gingiva (Setia dkk., 2013).

Manifestasi oral dari hepatitis yaitu lichen planus, sjorgen syndrome, dan

sialadenitis. Gangguan hemostatis yang terjadi pada pasien dengan penyakit hati

dapat bermanifestasi dalam rongga mulut yaitu berupa petekie atau perdarahan

giginva yang hebat walau hanya dengan trauma minor apabila terjadi pada area

yang mengalami inflamasi. Hemoragi yang parah pada pasien hepatitis dapat pula

terjadi karena kurangnya faktor pembekuan darah yang disebabkan oleh

hiperspenism atau perawatan engan interferon. Lichen planus merupakan penyakit

mukokutaneus dengan penyebab yang belum diketahui yang mempengaruhi


mukosa oral. Lichen planus dapat terjadi karena adanya infeksi virus sehingga

pada pasien akan menunjukkan hasil posistif HBsAg positif. Pasien hepatitis juga

dapat mengalami xerostomia sehingga pasien menjadi rentan terhadap karies.

Kondisi xerostomia yang disertai dengan kebersihan mulut yang buruk dapat

menyebabkan pasien menderita kandidiasis. Perawatan yang dapat diberikan pada

pasien dengan xerostomia yaitu mengemut permen bebas gula dan pasien

disarankan untuk tidak makan makanan yang pedas dan panas serta penggunaan

pasta gigi berfluoride (Setia dkk., 2013).

Masalah utama yang dihadapi seorang dokter gigi yaitu kontak antara

pasien hepatitis dengan dokter gigi dan pasien lain, risiko perdarahan, dan

perubahan metabolism substansi obat tertentu yang dapat meningkatkan risiko

toksisitas (Setio dkk., 2013). Peningkatan kasus dan prognosis hepatitis yang

buruk mengakibatkan peningkatan kekhawatiran risiko penularan penyakit dari

pasien ke petugas kesehatan, sehingga penting untuk dilakukan upaya pencegahan

terhadap infeksi tersebut. Menghindari paparan darah adalah cara utama untuk

mencegah penularan HBV di layanan kesehatan. Pemeliharaan kekebalan

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pencegahan penyakit untuk

kesehatan tenaga kesehatan karena kontak mereka dengan pasien penderita

hepatitis. Jadwal imunisasi yang tepat secara substansial dapat meningkatkan

kerentanan penularan infeksi petugas kesehatan dan risiko transmisi penyakit

antara tenaga kesehatan dan pasien (Vyas dkk., 2014).

Vaksinasi hepatitis B dilakukan sebanyak 3 seri vaksinasi .Dosis kedua

harus diberikan 1 bulan setelah dosis pertama; dosis ketiga harus diberikan
setidaknya 2 bulan setelah dosis kedua (dan minimal 4 bulan setelah dosis

pertama). Jika vaksin hepatitis A dan hepatitis B (Twinrix) dikombinasikan,

berikan 3 dosis pada 0, 1, dan 6 bulan; alternatif 4 dosis Jadwal Twinrix, diberikan

pada hari ke 0, 7, dan 21-30 diikuti dengan dosis penguat pada bulan ke-12 (Vyas

dkk., 2014).

Apabila seseorang telah terpapar virus hepatitis, hal yang dapat dilakukan

adalah mencuci luka tanpa gerakan mengusap secara hati-hati karena dapat

menyebabkan inokulasi virus ke jaringan yang lebih dalam dengan menggunakan

sabun dan air atau dengan menggunakan disinfektan yang mempunyai efektivitas

tinggi dalam melawan virus yaitu larutan iodin atau klorin. Beberapa penulis juga

menyarankan untuk menekan daerah luka yang terpapar sehingga terjadi

perdarahan yang menyebabkan keluarnya material infeksi yang mungkin ada.

Langkah-langkah tersebut dilakukan untuk mengurangi jumlah unit virus sehingga

nilai ambang yang diperlukan virus untuk menginfeksi menurun.

Hal yang perlu dilakukan sebelum melakukan perawatan terhadap pasien hepatitis

B dan C, yaitu;

1. Mengumpulkan data riwayat klinis pasien yang lengkap untuk mengetahui

risiko pasien dan pemeriksaan mulut

2. Konsultasi dengan dokter umum / spesialis yang merawat pasien

3. Menyusun rencana perawatan yang adekuat sesuai dengan kondisi medis

pasien

4. Mempertimbangkan derajat keterlibatan kerusakan fungsi hati


Pasien harus diinformasikan mengenai risiko yang berhubungan dengan

perawatan dan kemudian diberikan informed consent. Pada pasien hepatitis

kronis penting untuk menentukan kemungkinan adanya gangguan yang

berhubungan penyakitnya seperti proses autoimun, diabetes dan lain-lain

untuk mencegah komplikasi langsung dan masalah dari penggunaan obat

tertentu. Penyakit hati menurunkan konsentrasi faktor koagulasi plasma

sehingga apabila akan dilakukan tindakan invasive maka perlu dilakukan tes

hemostasis dan koagulasi seperti perhitungan darah, waktu perdarahan,

prothrombin time (INR), thrombin time, thromboplastin kemudian dilakukan

konsultasi dengan hematologis dan hepatologis (Setia dkk., 2013).

Umumnya beberapa kasus tertentu perawatan dental ditunda, namun jika

sangat diperlukan maka dokter gigi harus menpersiapkan agen hemostasis

local seperti selulosa regenerasi dan oksidasi dan agen fibrinolitik (asam

traneksamat, plasma, platelet, dan vitamin K). Pasien penyakit hati biasanya

mengalami perubahan metabolism obat sehingga dokter gigi perlu melakukan

konsultasi mengenai obat yang bisa digunakan, dosisnya dan kemungkinan

interaksi obat. Pemberian analgesik, antibiotik dan anastesi local masih dapat

ditoleransi oleh pasien dengan disfungsi ringan hingga sedang. Penggunaan

antibiotik eritromisin, metronidazole dan tetrasiklin harus dihindari.

Penggunaan aminoglikosida dapat meningkatkan risiko toksisitas hati dan

harus dihindari. NSAID dapat digunakan dengan pengawasan atau dihindari

karena terdapat risiko perdarahan gastrointestinal dan gastritis. Risiko tersebut

dapat dikurangi dengan profilaksis menggunakan antacid/ antagonis reseptor


histamine. Pemberian anastesi local dapat dilakukan dengan dosis tidak lebih

dari 7 mg/kg dengan epineprin (Setia dkk., 2013).

Merokok dapat menyebabkan efek pada organ yang tidak berkontak

langsung seperti hati. Rokok menginduksi 3 efek samping utama pada hati,

baik langsung maupun tidak langsung secara immunologis maupun efek

onkogenik. Substansi kimia yang terkandung dalam rokok berpotensi secara

sitotoksik untuk meningkatkan necroinflamasi dan fibrosis. Selain itu,

merokok dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, dan

TNFa) yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel hati. Hal tersebut

berhubungan langsung dari perkembangan polisitemia sekunder dan

meningkatkan masa sel darah merah dan berkontribusi sebagai faktor

kelebihan zatbesi yang memicu kondisi stress oksifatif pada hepatosit.

Peningkatan masa sel darah merah dan omset berhubungan dengan

meningkatnya purin katabolisme yang mempromosikan produksi asam urat

berlebihan. Merokok mempengaruhi baik sel-mediator dan respon imun

humoral dengan menghalangi limfosit proliferasi dan menginduksi apoptosis

limfosit. Merokok juga meningkatkan serum dan zat besi pada hati yang

menginduksi stres oksidatif dan peroksidasi lipid yang mengarah aktivasi sel

stellata dan perkembangan fibrosis. Merokok dapat menghasilkan bahan kimia

dengan potensi onkogenik yang meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler

(HCC) pada pasien dengan virus hepatitis maupun infeksi virus independen

juga. Merokok berhubungan dengan supression p53 (gen tumor suppressor)

(El-zayadi, 2006).
B. HIV

Jumlah sel CD4 dan virus merupakan indikator untuk memonitoring

infeksi HIV. Sel CD4 adalah salah satu jenis dari limfosit (sinonim jumlah

cel T4 atau helper cells) yang berkorelasi dengan status imun pasien. Jumlah

normal untuk orang dewasa adalah 750-1000 sel/ml. Pasien dengan jumlah

sel CD4 kurang dari 200 sel/ml beresiko terhadap penyakit yang berasosiasi

dengan AIDS (infeksi oportunistik dan kanker) (Barron, 2003).

Tes virus digunakan untuk melihat jumlah virus RNA didalam plasma.

Biasanya tes ini sangat representative untuk melihat perkembangan virus

ditubuh. Tes virus juga digunakan sebagai indikator prognosis, ketika nilainya

tinggi maka resiko penurunan jumlah sel CD4 dan perjalanan penyakit

tersebut juga tinggi yang berarti dalam kategori membahayakan. Sedangkan

nilai yang rendah maka perjalanan penyakit masih rendah (Barron, 2003).

Bagi para dokter gigi, jumlah sel CD4 bisa dijadikan indikator status

imun pasien. Tes viral tidak bisa dijadikan indikator dalam perawatan dental.

Jumlah virus yang tinggi bisa diartikan pasien sedang dalam kondisi awal

penyakit yang asimptomatik. Sedangkan jumlah viral yang rendah pasien bisa

diartikan sedang dalam terapi antiviral. Pengetahuan dokter gigi tentang

marker dari kesehatan umum pasien tersebut mampu membantu dokter gigi

melihat resiko dari progress penyakit tersebut. Dokter gigi bisa sebagai

reminding pada pasien untuk follow up dari hasil tes lab yang seharusnya

rutin setiap 3 bulan sekali, karena ketika obat tidak rutin dikonsumsi bahkan
terlewatkan dalam sebulan bisa mengakibatkan virus menjadi resisten

(Barron, 2003).

a. Tanda dan gejala intraoral

Pasien dengan HIV positif memiliki manifestasi oral seperti oral

candidiasis yang berkorelasi dengan jumlah sel CD4 yang rendah yaitu

kurang dari 200 sel/ml, perokok dan penggunaan heroin/methadone. Jumlah

virus yang tinggi biasanya bermanifestasi dengan adanya hairy leukoplakia

(Greenspan, 2000). Kondisi yang biasanya terjadi sebagai tanda awal infeksi

HIV adalah oral candidiasis, oral hairy leukoplakia, severe herpetic ulcers,

dan Kaposi sarkoma (Scarlett, 2009).

Berdasarkan berbagai penelitian bahwa dua kondisi (oral candidiasis dan

Kaposi’s sarcoma) adalah indikator klinis wajar pada pasien yang mengalami

imunosupresi berat sedangkan ulkus tidak terbukti. Hairy leukoplakia bukan

merupakan indikator yang wajar pada penderita imunosupresi yang berat

(Bonito, 2002)

b. Perawatan dental untuk pasien hiv

Tidak ada pembenaran untuk modifikasi perawatan gigi hanya

berdasarkan pada status HIV Pasien, namun ada pertimbangan perawatan

khusus untuk pasien yang terinfeksi HIV, pedoman umum adalah sebagai

berikut:

1. Kesehatan umum mulut dapat mempengaruhi kesehatan sistemik secara

keseluruhan. Misalnya, bebas karies dan jaringan periodontal yang sehat

menurunkan jumlah mikroba pada system imun yang kompromais.


2. Modifikasi perawatan untuk pasien HIV sama dengan pasien kompromais

lainnya misalnya penderita diabetes memerlukan pertimbangan khusus

karena terjadi gangguan pada infeksi bakteri dan system penyembuhan

luka.
3. Disarankan adanya sikap proaktif terhadap pasien dengan HIV seperti

perawatan pencegahan
4. Perencanaan dan prioritas perawatan gigi merupakan tahap penting untuk

memenuhi penilaian permintaan individu. Hasil penilaian tersebut

dimungkinkan memerlukan modifikasi dari rencana perawatan gigi pada

umumnya (Abel, 2000)

Imunosupresan merupakan kondisi pasien HIV dan menjadi faktor penting

yang terkait dengan lesi oral. Seperti pasien imunosupresan lainnya yaitu pasien

kanker, nutrisi yang tepat sangat penting untuk menjaga kenyamanan pasien

dalam mengkonsumsi makanan karena banyak obat yang dikonsumsi setelah

makan. Perawatan pasien dengan analgesic untuk mengurangi nyeri pada oral lesi

merupakan hal penting dan perlakuan yang dilakukan sama dengan pasien HIV

negative. Perawatan lainnya bisa berupa pemberian tetesan lemon untuk merawat

pasien dengan keluhan mulut kering sebagai efek dari HAART (Highly Active

Antiretroviral Therapy) (Greenspan, 2004).

Perawatan profilaksis oral candidiasis cukup efektif jika menggunakan

fluconazole karena nyaman bagi pasien dan juga mampu memenuhi nutrisi pasien

(Goldman, 2005).

C. TUBERKULOSIS
Tuberkulosis paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis

yang merupakan bakteri BTA (Basil Tahan Asam). Sifat bakteri ini sangat

menular. Bakteri tersebut masuk ke dlam paru-paru dan menyebar sistem tubuh

lainnya. Faktor infeksi tuberkulosis adalah kepadatan dropplet/volume udara,

lama kontak dengan droplet, dan kedekatan pasien dengan penderita TB yang lain

(Amin dan Bahar, 2007).

Gejala umum TB adalah berat badan turun dalam waktu 3 bulan dan tidak

naik dalam 1 bulan disertai demam berkepanjangan. Gejala pada saluran nafas dan

saluran cerna dirassakan batuk cairan, nyeri di dada, diare, cairan dan masa di

abdomen. Gejala khususnya terdapat pembesaran kelenjar limfe, konjungtivitis

phlyctenularis, TB Kulit, TB Tulang, TB Syaraf, dan TB Otak (Amin dan Bahar,

2007).

Obat-obatan TB Paru adalah HRZES (Isoniazid, Rifampisin, pirazinamid,

Etambutol, Streptomisin). Pengobatan terbagi menjadi fase awal dan fase lanjutan.

Fase awal merupakan pengobatan selama 2 bulan kombinasi HRZE 1x1,

sedangkan fase lanjutan diberikan kombinasi HR selama 4 bulan selama seminggu

3x (Amin dan Bahar, 2007).

Manifestasi oral TB adalah sering ditemukan gingival enlargement, glossitis,

ulkus kronis pada bibir, lidah, maupun bagian mukosa bukal hingga osteomielitis.

1. Prinsip manajemen dental pada penderita gangguan pernafasan:


a. Perhatikan posisi pasien saat perawatan
b. Penggunaan rubber dam
c. Persediaan obat-obatan
d. Kebersihan klinik
e. Sirkulasi udara dan prinsip kontrol infeksi
2. Diagnosis TB
a. Riwayat perjalanan penyakit
b. PPD Skin test
c. Chest X-ray
d. Sputum Culture
(PDPI, 2006)
Faktor penentu yang dapat mempengaruhi pemilihan anestesi salah

satunya adalah riwayat penyakit sistemik seperti tuberkulosis. Setiap penyakit

yang mempengaruhi efisiensi jalan napas normal adalah kontraindikasi terhadap

anestesi umum di klinik dokter gigi. Tuberkulosis dapat mempengaruhi proses

pertukaran udara. Semua infeksi akut saluran pernafasan adalah kontraindikasi

terhadap anestesi umum di klinik dokter gigi, dan pada kasus ini harus digunakan

anestesi lokal bila pencabutan tidak dapat ditunda (Howe, 1993).

Secara ringkas, upaya pengendalian administratif ini dapat dicapai dengan

melaksanakan lima langkah penatalaksanaan pasien sebagai berikut:

1. Triase

Pengenalan segera pasien suspek atau konfirm TB adalah langkah pertama. Hal

ini bisa dilakukan dengan menempatkan petugas untuk menyaring pasien dengan

batuk lama segera pada saat datang difasilitas. Pasien dengan batuk >2minggu,

atau yang sedang dalam ivestigasi TB tidak diperbolehkan mengantri dengan

pasien lain untuk mendaftar atau mendapatkan kartu. Mereka harus segera

dilayani mengikuti langkah-langkah dibawah ini.

2. Penyuluhan

Menginstruksikan pasien yang tersaring diatas untuk melakukan etika batuk.

Yaitu untuk menutup hidung dan mulut ketika batuk atau bersin. Kalau perlu

berikan masker atau tisu untuk menutup mulut dan mencegah terjadinya aerosol.
Petugas harus mampu memberi edukasi yang adekuat mengenai pentingnya

menjalankan etika batuk kepada pasien untuk mengurangi penularan. Pasien yang

batuk / bersin diinstruksikan untuk memalingkan kepala dan menutup mulut /

hidung dengan tisu. Kalau tidak memiliki tisu maka mulut dan hidung ditutup

dengan tangan atau pangkal lengan. Sesudah batuk, tangan dibersihkan, dan tisu

dibuang pada tempat sampah yang khusus disediakan untuk ini. Petugas yang

sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien. Apabila tetap merawat pasien, maka

petugas harus mengenakan masker bedah. Apabila petugas bersin atau batuk,

maka etika batuk dan kebersihan tangan seperti di atas harus diterapkan.

3. Pemisahan

Pasien yang suspek atau kasus TB melalui pertanyaan penyaringan harus

dipisahkan dari pasien lain, dan diminta menunggu di ruang terpisah dengan

ventilasi baik serta diberi masker bedah atau tisu untuk menutup mulut dan hidung

pada saat menunggu.

4. Pemberian pelayanan segera

Pasien dengan gejala batuk segera mendapatkan pelayanan untuk mengurangi

waktu tunggu sehingga orang lain tidak terpajan lebih lama. Ditempat pelayanan

terpadu TB --‐ HIV, usahakan agar jadwal pelayanan HIV dibedakan jam atau

harinya dengan pelayanan TB atau TB--‐HIV

5. Rujuk untuk investigasi/pengobatan TB

Untuk mempercepat pelayanan, pemeriksaan diagnostik TB sebaiknya dilakukan

ditempat pelayanan itu, tetapi bila layanan ini tidak tersedia, fasilitas perlu

membina kerjasama baik dengan sentra diagnostik TB untuk merujuk/melayani


pasien dengan gejala TB secepat mungkin. Selain itu, fasilitas perlu mempunyai

kerjasama dengan sentra pengobatan TB untuk menerima rujukan pengobatan

bagi pasien terdiagnosa TB.

(Kemenkes RI, 2012)

D. ALAT PELINDUNG DIRI

Perlindungan dapat diraih dengan kombinasi antara imunisasi, teknik

pencegahan yang digunakan dan kepatuhan terhadap prisedur kontrol infeksi.

1. Imunisasi
Semua tenaga kesehatan gigi disarankan untuk melakukan imunisasi HBV

apabila tidak memiliki imun alami atau sudah melakukan imunisasi

sebelumnya
2. Seragam
Seragam yang digunakan harus diganti secara teratur dan ketika kotor.

Gaun dan apron sebaiknya dilakukan selama tindakan sehingga dapat

terhindar dari percikan darah


3. Proteksi tangan
Sarung tangan harus digunakan saat melakukan prosedur dental. Sarung

tangan harus diganti untuk setiap pasien baru. Jika sarung tangan sobek

harus segera diganti. Tangan harus dicuci secara menyeluruh dengan sabun

cuci tangan antiseptic sebelum dan sesudah menggunakan sarung tangan.

Disposable paper towels direkomendasikan untuk mengeringkan tangan.

Jika ada luka atau lecet di tangan maupun pergelangan tangan harus

ditutup dengan balutan bahan perekat yang anti air sepanjang perawatan.
4. Kaca mata masker dan pelindung muka
Kaca mata, masker, maupun pelindung muka harus digunakan ketika

operator dan asisten operator untuk memproteksi diri dari percikan yang
mungkin muncul ketika preparasi kavitas, scalling dan pembersihan

instrumen.
5. Instrument tajam dan jarum
Instrument tajam dan jarung harus ditangani dengan baik untuk mencegah

cidera yang tidak diinginkan. Jarum harus ditutup kembali dengan

meletakkan tutup jarum suntik di tray, kemudian jarum didorongkan kea

rah tutup jarum baru dikencangkan dengan penutupnya.


6. Sterilisasi instrument
Semua instrument harus dibersihkan secara menyeluruh sebelum

dilakkan sterilisasi dengan menggosok dengan air dan sabun. Percikan air

harus dihindari. Sarung tangan tebal dan pelindung muka harus dipakai.
Semua alat yang dapat melukai jaringan harus disterilisasi

menggunakan autoclave atau sterilisasi air panas. Barang yang mengenai

membrane mukosa tetapi tisak melukai jaringan juga disterilkan dengan

cara yang sama, jika tidak memungkinkan untuk distrerilisasi dilakukan

desinfeksi dengan merendam di dalam laruta glutaraldehid 2% dalam

wadah tertutup sesuai dengan cara pemakaian dari pabrik, semua bahan

kima harus dicuci dengan bersih sebelum digunakan maupun disimpan.


Handpiece dan ultrasonic scaller tips dan air syringe tips yang dapat

dilepas harus di bilas selama 30 detik, dibongkar, dibersihkan, diberi oli

jika dibutuhkan, dan di masukkan ke dalam autoclave. Handpiece yang

tidak dapat dimasukkan ke dalam autoclave dibersihkan dengan

desinfekstan yang sesuai untuk agen virusidal.


Metode sterilisasi yang direkomendasikan oleh WHO adalah; a) steam

(panas lembab) di bawah tekanan (misalnya Autoclave atau pressure

cooker); b) panas kering (seperti oven) atau; c) sterilisasi gas (dengan

etilen oksida) untuk peralatan yang tidak tahan panas (Vyas dkk., 2014).
 Panas lembab (autoklaf) dapat membunuh HIV/HBV pada 1210C selama

15 menit atau 126 0C selama 10 menit atau 134 0C selama 3-5 menit
 Panas kering pada suhu 1210C selama 16 jam, 1400C selama 3jam ,

1600C selama 2 jam atau 1700C selama 1 jam dapat membunuh HIV /

HBV
Menggunakan paparan etilen oksida antara 4 dan 16 jam, tergantung

pada objek dan volumenya. Diamkan objek selama beberapa hari untuk

membiarkan gas menguap.


Setelah dilakukan sterilisasi semua instrument harus disimpan pada

kotak yang bersih dan terhindar dari kontaminasi. Instrument bedah dan

endodontic harus disimpan di tempat yang tertutup. Instrument dapat

dilakukan steriliasi kembali sebelum digunakan kembali apabila

diperlukan.
7. Disinfeksi permukaan
Permukaan yang dapat terjadi kontaminasi dapat didekontaminasi

setelah treatmen dilakukan atau dilindungi dengan pelindung disposable

sebelum terkontaminasi. Keefektifan kontrol infeksi silang dibanu dengan

sistem penetapan dan penggunaan tray yang tersterilisasi. Prosedur yang

dilakukan dapat meminimalkan area yang disentuh dan terkontaminasi

setiap pasien dirawat.


Diantara sesi klinik, permukaan keja harus dibersihakan menyeluruh

dan dekontaminasi dengan ethyl alcohol (70%). Jika ada darah atau pus

yang terlihat di permukaan harus segera dibersihkan dan disinfeksi dengan

sodium hipoklorit (0,5%) lalu dibersihkan dengan air. Sarung tangan harus

digunakan untuk meminimalisir kontak dengan kulit, mukosa dan mata

secara langsung.
8. Aspirasi dan ventilasi
Penggunaan high volume aspiration mereduksi resiko akan infeksi silang

dari pernafasan. Resiko lebih tereduksi jika ada peredaran udara yang baik.

Tabung high volume aspirators dan saliva ejector dapat disiram saat

pergantian pasien dengan desinfekstan sodium hipoklorit 0,1% secara

regular atau disesuaikan dengan petunjuk pabrikan.

9. Pembuangan limbah
Benda tajam termasuk jarum dan scalpel dan catridge anestesi harud

ditempatkan kotak yang tidak mudah sobek dan tertutup dengan baik.

Limbah non infeksius haus dibuang di plastic hitam dan ditutup rapat.

Limbah cair sebaiknya dibuang dengan mengalirkan air bersamaan,

percikan harus dihindari.


10. Materi laboratorium
Cetakan dan alat-alat lain harus dibersihkan dari semua debris dan darah.

Sarung tangan harus digunakan saat memegang cetakan dan membuat

model. Beberapa tipe material dapat didesinfektan denan glutaraldehid

atau sodium hipoklorit. Material lain seperti alginate dan plyeter dapat

didesinfektan dengen direndam beberapa detik di sodium hipoklorit.


11. Tambahan untuk prosedur pada pasien dengan infeksi HIV
Jika memungkinkan pasien dijadwalkan paling terakhir untuk

tindakan, tim yang menangani harus sudah terlatih dan berpengalaman,

operator harus menggunakan 2 lapis sarung tangan, gaun plastic, tutup

kepala, dan pelindung mata, semua prosedur harus dilakukan dengan

meminimalkan tetesan, percikan dan utilizing high volume vacuum

aspirators.
Hindari instrument yang tidak mudak didekontaminasi. Instrumen dan

alat yang digunakna harus dibersihkan oleh staf yang berpengalaman


sebeum di autoclave. Setelah semua perawata selesai semua permukaan di

saat perawatan dan peralatan harus dibersihkan dan didekontaminasi

dnegan disinfektan yang tepat.


12. Tambahan untuk pasien TB
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di

tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpapar, sebab

kadar percik mikrorganisme tidak dapat dihilangkan dengan upaya

administratif dan lingkungan.


Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator pada saat melakukan

prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi

sputum, aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu,

respirator ini juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada

pasien atau saat menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan

XDR‐TB di poliklinik. Petugas kesehatan dan pengunjung perlu

mengenakan respirator jika berada bersama pasien TB di ruangan tertutup.

Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator partikulat

tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan

sekitarnya dari droplet.

BAB III
KESIMPULAN

Dokter gigi perlu mengetahui tentang berbagai macam penyakit infeksius

diantaranya hepatitis, HIV, dan tuberkulosis. Pemahaman yang diketahui juga

melibatkan managemen dental dan alat perlindungan diri pada pasien dengan

kondisi tersebut. Hal ini wajib dilakukan untuk menghindari bentuk infeksi silang

yang terjadi selama proses perawatan. Prinsipnya seluruh penyakit infeksius dapat

dikendalikan penularannya melalui prosedur yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Abel, Stephen N., et all, 2000, Principles of Oral Health Management for The
HIV, AIDS Patients, Dental Alliance for AIDS/HIV Care (DAAC).
Amin, Z., dan Bahar, A., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2 Edisi 4,
Balai Penerbit FK UI, Jakarta
Barron, Abbe., et.all, 2003, Practice Guidelines for The Treatment of HIV
Patients in General Dentistry, the dental steering commite of the pacific
AIDS education and training center.
Bonito AJ, Patton LL, Shugars DA, et al. 2002, Management of dental patients
who are HIV-positive. Rockville (MD): Agency for Healthcare Research
and Quality.
El-Zayadi, Abdel-Rahman, 2006, Heavy Smoking and Liver, World J.
Gastroenterol 2006 October 14, 2(38):6098-6101
Goldman M, Cloud GA, Wade KD, et al. A randomized study of the use of
fluconazole in continuous versus episodic therapy in patients with
advanced HIV infection and a history of oropharyngeal candidiasis: AIDS
Clinical Trials Group Study 323/Mycoses Study Group Study 40. Clin
Infect Dis. 2005;41(10):1473-1480
Greenspan D, Gange SJ, Phelan JA, et al. Incidence of oral lesions in HIV-1-
infected women: reduction with HAART. J Dent Res. 2004;83(2): 145-
150.
Greenspan D, Komaroff E, Redford M, et al. Oral mucosal lesions and HIV viral
load in the Women’s Interagency HIV Study (WIHS). J Acquir Immune
Defic Syndr. 2000;25(1):44-50.
Howe, Geoffrey L., 1993, Pencabutan Gigi Geligi Edisi II, Penerbit buku
kedokteran EGC, Jakarta
Kemenkes RI, 2012, Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Direktorat Bina Upaya Kesehatan,
Jakarta
PDPI, 2006, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberculosis di Indonesia,
dapat diakses di http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
Scarlett, Margaret I., Dental Treatment Issues for Patients with HIV/AIDS,
dentalaegis, 2009: 5(6).
Setia, S., Gambhir, R.S., Kapoor, V., 2013, Hepatitis B and C infection: Clinical
implications in dental practice, Europ J Gen Dent, 2(1): 13-19
Vyas, A., Vyas, D.,Parakh, D.,Rajput, R., Mazumdar, U., Purohit, C., 2014,
Management of HIV/Hepatitis Patients in Oral and Maxillofacial Surgery,
J Pre Clin Dent Res,1(3):42-47

Anda mungkin juga menyukai