Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Pasien yang membutuhkan prosedur bedah mulut harus diketahui status

medisnya yang dapat diketahui selama anamnesis pasien. Beberapa kondisi medis

tertentu berpengaruh langsung pada manajemen perawatan pasien yang mungkin

memerlukan pengubahan atau modifikasi pada manajemen perawatan untuk

keselamatan pasien. Kondisi sistemik utama yang berpengaruh pada tindakan

bedah mulut adalah gangguan perdarahan, penyakit kardiovaskular, penyakit

endokrin, penyakit hati, penyakit neurologis, penyakit ginjal, penyakit pernafasan,

dan kehamilan (Wray dkk., 2003).

Lebih dari 2 milyar penduduk dunia terinfeksi virus Hepatitis B dan 400

juta orang diantaranya menjadi pengidap kronis (Kementerian Kesehatan RI,

2011). Direktur Pengendalian Penyakit Menular, Dirjen Pengendalian Penyakit

dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, M

Subuh menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi

Hepatitis B. Hal ini berdasarkan data hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun

2007 yang menunjukan prevalensi penyakit Hepatitis B sebesar 9,4% (Republika

Online, 2012).

Tenaga professional di bidang kesehatan termasuk Dokter gigi merupakan

kelompok yang beresiko tinggi terserang hepatitis B. Suatu studi yang dilakukan

oleh American Dental Association (ADA) pada tahun 1984 menunjukkan bahwa

lebih dari 30% dokter praktek menunjukkan tes serologis positif terhadap hepatitis

1
(Pedersen, 1996). Makalah ini bertujuan untuk membahas penanganan bedah pada

pasien HBsAg positif sehingga dengan pengetahuan mengenai penatalaksanaan

pasien yang tepat dapat meminimalkan penularan hepatitis B.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. FUNGSI HATI

Hati adalah organ vital yang memetabolisme obat dan substansi endogen
dan berkontribusi terhadap ekskresi. Hati juga penting untuk sintesis protein
plasma, vitamin B12, dan produksi faktor penjendalan untuk fungsi hemostatik
normal (Balatandayoudam dkk., 2012). Hati juga menyimpan glikogen,
membantu pemrosesan lemak dari makanan, memproses obat, membantu
memroses alkohol, racun, dan toksin dari tubuh, membuat empedu yang melewati
hati sehingga dapat memecah lemak dan dapat diabsorpsi usus (Desmond, 2010).
Hati penting untuk produksi protein serum seperti albumin, protein transporter,
faktor koagulasi V, VII, IX, dan X, protrombin, dan fibrinogen (Grau-Garcia-
Moreno, 2003 sit. Balatandayoudam dkk., 2012). Pada penyakit hati, tingkat
vitamin K menurun sehingga terjadi reduksi produksi faktor koagulasi yang
tergantung dengan vitamin K sehingga terjadi kecenderungan perdarahan
(DePaola, 2003 sit. Balatandayoudam dkk., 2012).

(Desmond, 2010).
Pasien dengan kelainan hati menjadi perhatian dokter gigi karena hati
berperan dalam fungsi metabolik, termasuk sekresi empedu untuk absorpsi lemak,
pengubahan gula menjadi glikogen, ekskresi bilirubin, dan pembuangan hasil
metabolisme hemoglobin. Kerusakan fungsi hati dapat menimbulkan abnormalitas

3
terhadap metabolisme asam amino, protein, karbohidrat, dan lemak. Banyak
fungsi biokimia dilakukan oleh hati seperti sintesis faktor koagulasi dan
metabolisme obat yang akan terpengaruh (Krasteva dkk., 2008).

B. HEPATITIS B

1. Definisi Hepatitis B

Hepatitis B adalah proses nekroinflamatorik pada hati yang

disebabkan oleh infeksi Virus Hepatitis B (VHB). Gambaran hepatitis B

tidak banyak berbeda dengan gambaran hepatitis virus pada umumnya.

Secara keseluruhan, manifestasi kinik hepatitis B semakin jelas seiring

dengan peningkatan umur pasien. Hepatitis B pada anak relatif

asimtomatik sedangkan hepatitis B pada orang dewasa mempunyai gejala

yang lebih jelas. Masa tunas VHB berkisar antara 6 minggu sampai 6

bulan. Fase prodromal hepatitis B biasanya lebih panjang dan lebih samar

dibandingkan hepatitis A dan berlangsung antara beberapa hari sampai

beberapa minggu.Panas badan lebih jarang dijumpai pada prodromal

hepatitis B dibandingkan dengan hepatitis yang lain (Soemoharjo, 2007).

Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus DNA yang berlapis ganda

dengan diameter 42 nm. Bagian luar virus ini terdiri dari HBsAg sedang

bagian dalam adalah nukleokapsid yang terdiri dari HBcAg. Dalam

nukleokapsid didapatkan kode genetik VHB yang terdiri dari DNA untai

ganda dengan panjang 2300 nukleotida (Soemoharjo, 2007).

4
2. Manifestasi klinis Hebatitis B

Pada umumya kasus Hepatitis B berada pada fase subklinik dan

anikterik terutama pada anak-anak. Infeksi yang diperoleh secara

parenteral lebih dapat memunculkan manifestasi klinis dan abnormalitas

biokimiawi. Fase awal dari infeksi penyakit ini cukup berbahaya. Hal ini

ditandai dengan periode prodromal yang berlangsung selama 2-10 hari

meliputi anoreksia, kelelahan, nyeri otot, dan ketidaknyamanan abdominal

dan nyeri pada kuadran kanan atas. Demam biasanya ringan dan nyeri

kepala biasanya tidak ada. Hal yang umum terjadi adalah limfadenopati

region cervical posterior. Perkembangan penyakit dari fase preikterus ke

fase ikterus yang ditandai oleh jaundice. Pada umumnya terjadi

peningkatan enzim hati (biasanya 5-10x dari normal) dan limfositosis.

Periode ini berlangsung 4- 6 minggu dan diikuti oleh manifestasi

extrahepatic serumsicknesslike dari artritis, nyeri pada telapak kaki,

maculopapular skin rash, polyarthritis nodosa, membranous

glomerulonephritis (Bricker, 1994).

3. Penanda Serologik pada Hepatitis B

Berikut ini adalah beberapa macam penanda serologik pada hepatitis

B:

a) HBsAg (Hepatitis B Surface Antigen)

Merupakan protein selubung luar partikel VHB. HBsAg yang

positif menunjukkan bahwa pada saat itu yang bersangkutan mengidap

infeksi VHB (Soemoharjo, 2007).

5
b) Anti-HBs

Merupakan antibodi terhadap HBsAg. Antibodi ini baru muncul

setelah HBsAg hilang. Anti-HBs yang positif menunjukkan bahwa

pada saat itu yang bersangkutan telah kebal terhadap infeksi VHB baik

yang terjadi setelah infeksi VHB alami atau setelah dilakukan

imunisasi hepatitis B (Soemoharjo, 2007).

c) Anti-HBc

Antibodi terhadap protein core. Antibodi ini muncul pada semua

kasus dengan infeksi VHB pada saat ini (current infection) atau infeksi

pada masa yang lalu (past infection). Anti-HBc dapat muncul dalam

bentuk IgM anti-HBc yang sering muncul pada hepatitis B akut. Oleh

karena itu, positifnya IgM anti-HBc pada hepatitis B akut dapat

memperkuat diagnosis. Namun, karena IgM anti-HBc bisa kembali

menjadi positif pada hepatitis kronis dengan reaktivasi, IgM anti-HBc

tidak dapat dipakai untuk membedakan hepatitis B akut dengan

hepatitis B kronis secara mutlak (Soemoharjo, 2007).

d) HBeAg

Suatu protein non-struktural dari VHB yang disekresikan ke dalam

darah dan merupakan produk gen precore dan gen core. Didapatkan

pada fase awal hepatitis akut atau kronik. Positifnya HBeAg

merupakan petunjuk adanya aktivitas replikasi VHB yang tinggi dari

seorang individu HBsAg positif (Soemoharjo, 2007).

6
e) Anti-HBe

Antibodi yang timbul terhadap HBeAg pada infeksi VHB tipe liar.

Positifnya Anti-HBe menunjukkan bahwa VHB ada dalam fase non-

replikatif. Berbeda dengan anti-HBs atau anti-HBc yang bertahan

lama, anti-HBe biasanya hilang dalam beberapa bulan atau tahun

(Soemoharjo, 2007).

f) DNA VHB

Positifnya DNA VHB dalam serum menunjukkan adanya partikel

VHB yang utuh dalam tubuh penderita. DNA VHB adalah penanda

jumlah virus (viral load) yang paling peka. Belakangan ini penguuran

DNA VHB secara kuantitatif memegang peranan yang sangat penting

untuk menentukan tingkat replikasi VHB, menentukan indikasi terapi

antiviral, dan menilai hasil terapi (Soemoharjo, 2007).

Penampilan penanda serologik pada infeksi HBV tergantung dari

waktu pengambilan contoh darah. HBsAg menjadi positif didalam darah

sekitar 6 minggu setelah infeksi dan biasanya akan hilang 3 bulan setelah

awal gejala penyakit. Bila HBsAg tetap positif setelah 6 bulan, infeksi

hepatitis B akan menetap. Besarnya titer HBsAg tidak berhubungan

dengan parahnya penyakit dan seringkali terjadi hubungan terbalik antara

titer HBsAg dengan derajat kerusakan sel. Sebagai contoh, titer HBsAg

sangat tinggi pada penderita dengan imunosupresi dan rendah pada pasien

hepatitis kronik dan rendah sekali pada pasien hepatitis fulminan

(Soemoharjo, 2007).

7
Anti-HBs muncul 3 bulan setelah awal gejala dan akan menetap. Anti-

HBs ini merupakan penanda kesembuhan dan kekebalan. Ada sekitar 10-

15% penderita hepatitis akut yang tidak memproduksi Anti-HBs. HBeAg

berhubungan dengan sintesis virus dan daya tular. HBeAg muncul dalam

waktu pendek dan bila HBeAg tetap positif dalam waktu lebih 10 minggu,

akan terjadi kronisitas (Soemoharjo, 2007).

Pada hepatitis akut IgM anti-HBc positif dalam titer tinggi. Bila IgM

anti-HBc tetap dalam waktu lama sering terjadi hepatitis kronik. IgG anti-

HBc dalam titer tinggi tanpa adanya anti-HBs menunjukkan persistensi

dari infeksi HBV (Soemoharjo, 2007).

4. Gambaran Laboratorik

Pada hepatitis akut, AST dan ALT sudah mulai mengalami

peningkatan pada fase prodromal. Tingginya kadar AST dan ALT tidak

mempunyai korelasi dengan derajat kerusakan sel hati. Nilai tertinggi AST

dan ALT berkisar antara 400-4000 IU tetapi kadang-kadang didapatkan

nilai yang lebih tinggi lagi. Kadar bilirubin berkisar antara 5-10 mg%.

Kadar bilirubin seringkali masih meningkat walau sudah terjadi penurunan

kadar AST dan ALT. Kadar bilirubin lebih dari 6 mg% dan menetap

biasanya disertai oleh penyakit yang berat. Pengukuran waktu protrombin

(PTT) penting karena panjangnya PTT sering merupakan gambaran

parahnya penyakit (Soemoharjo, 2007).

8
5. Gejala Klinik Hepatitis Akut

Setelah masa inkubasi berakhir, akan terjadi gejala prodromal yang

dapat berupa anoreksia, mual, muntah, mialgia, altralgia yang

berkisarselama 1-2 minggu. Fase ini disusul dengan fase ikterik yang

ditandai dengan timbulnya ikterus dan berkurangnya keluhan-keluhan

prodromal. Pada saat itu hepar teraba dan nyeri tekan. Dapat timbul

limfadenopati dan splenomegali. Terkadang terdapat tanda-tanda

kolestasis yang disertai ikterus berkepanjangan serta gatal-gatal. Setelah

fase ikterik yang berlangsung selama beberapa minggu, penderita masuk

ke dalam fase penyembuhan. Selama masa penyembuhan, gejala-gejala

konstitusional menghilang tetapi hepatomegali masih tetap ada dan

kelainan-kelainan biokimia masih tampak. Penyembuhan sempurna

berkisar antara 1-2 bulan tetapi dapat mencapai 4 bulan (Soemoharjo,

2007).

6. Spektrum Gejala Klinik Hepatitis B Akut

Ada bermacam-macam bentuk klinik hepatitis akut:

a. Hepatitis akut tanpa gejala

Bentuk ini hanya ditandai oleh meningkatnya enzim transaminase

didalam darah tanpa gejala maupun keluhan yang khas (Soemoharjo,

2007).

9
b. Hepatitis akut non-ikterik

Selain meningkatnya kadar enzim transaminase, bentuk ini juga

disertai gejala gastrointestinal dan flu-like symptoms tetapi tidak

disertai ikterus (Soemoharjo, 2007).

c. Hepatitis akut ikterik

Bentuk ini diawali dengan periode prodromalyang bisa

berlangsung antara 3-4 hari hingga 2-3 minggu dengan gejala antara

lain gejala gastrointestinal, khususnya anoreksia dan nausea.

Selanjutnya, bisa ditemukan demam ringan dan nyeri perut kanan atas.

Gejala lain yang menonjol adalah malaise yang meningkat pada sore

hari (Soemoharjo, 2007).

Periode prodromal ini akan diikuti dengan periode ikterik yang

ditandai oleh timbulnya air seni berwarna sepeti the dan tinja yang

berwarna pucat. Selanjutnya keluhan berkurang dan ikterus.

Hepatomegali didapatkan pada 70% sedngkan splenomegali

didapatkan pada 20% penderita (Soemoharjo, 2007).

Setelah ikterus berlangsung 1-4 minggu, penderita masuk ke dalam

periode penyembuhan. Warna tinja kembali normal dan nafsu makan

pun pulih. Rasa lemah badan akan hilang selama beberapa minggu.

Pada umumnya masa penyembuhan klinis dan biokimiawi berlangsung

dalam waktu 6 bulan (Soemoharjo, 2007).

10
d. Hepatitis akut dengan ikterus berkepanjangan (prolomged jaundice)

Pada bentuk ini, terjadi ikterus berat yang umumnya kolestatik dan

umumnya disertai gatal-gatal. Setelah beberapa minggu, penderita

merasa lebih baik dan tidak ditemui tanda fisik lain kecuali ikterus dan

hepatomegali ringan. Ikterus dapat berlangsung 8-29 minggu tetapi

masih dapat terjadi kesembuhan sempurna (Soemoharjo, 2007).

e. Hepatitis akut dengan relaps

Bentuk ini ditandai oleh peningkatan kembali kadar SGOT dan

SGPT yang sebelumnya telah menurun, tetapi belum kembali normal;

kadang-kadang disertai pula oleh peningkatan kadar bilirubin. Relaps

bisa terjadi beberapa kali dan penyembuhan umumnya sempurna

(Soemoharjo, 2007).

f. Hepatitis akut fulminan

Bentuk fulminan umumnya terjadi dalam waktu 10 hari pertama

setelah gejala awal penyakit. Kadang-kadang bentuk ini bisa

berlangsung sangat cepat. Pada bentuk ini, seringkali ikterus tidak

menonjol dan adanya ensefalopatia hepatic menyebabkan penderita

sering dikira menderita psikosis akut atau meningoensefalitis.

Umumnya setelah diawali gejala-gejala hepatitis akut, ikterus menjadi

mendalam, terjadi febris dan muntah-muntah yang profus, serta timbul

koma dan perdarahan. Hepatitis akut fulminan perlu dicurigai bila

waktu protrombin dan INR sangat memanjang. Dengan ultrasonografi

(USG), didapatkan ukuran hati mengecil dengan cepat. Sering

11
didapatkan tanda-tanda edema dan gagal ginjal. Angka kematian

sangat tinggi (>80%) pada penderita yang mengalami koma

(Soemoharjo, 2007).

7. Gejala Klinik Hepatitis B Kronis

Secara sederhana manifestasi klinis Hepatitis B Kronis dapat

dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

a) Hepatitis B Kronis yang masih aktif (Hepatitis B kronis aktif). HBsAg

positif dengan DNA VHB lebih dari 105 kopi/ml, didapatkan kenaikan

ALT yang menetap atau intermiten. Pada biopsy hati didapatkan

gambaran peradangan yang aktif. Menurut status HBeAg, pasien

pasien dikelompokkan menjadi hepatitis B kronis HBeAg positif dan

hepatitis B kronis HBeAg negatif.

b) Carrier VHB inaktif (inactive HBV carrier state). Pada kelompok ini

HBsAg positif dengan titer DNA VHB yang rendah yaitu kurang dari

105 kopi/ml. Pasien menunjukkan konsentrasi ALT normal dan tidak

didapatkan keluhan. Pada pemeriksaan histologik terdapat kelainan

jaringan minimal. Sering sulit membedakan hepatitis B kronis HBeAg

negatif dengan pasien carrier VHB inaktif karena pemeriksaan DNA

kuantitatif masih jarang dilakukan secara rutin. Dengan demikian perlu

dilakukan pemeriksaan ALT berulang kali untuk waktu yang cukup

lama (Sudoyo dkk., 2010).

12
8. Perjalanan Penyakit Hepatitis B Kronis

Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronis yaitu

fase immunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearance, dan

fase non-replikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau masa

dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga

konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak

terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam

fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-

HBe negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT yang relative

normal. Fase ini disebut fase immunotoleransi. Pada fase immunotoleransi

sangat jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan dan terapi untuk

menginduksi serokonversi HBeAg tersebut biasanya tidak efektif (Sudoyo

dkk., 2010).

Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya

replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang

tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai

mengalami kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase

imunoaktif atau fase immune clearance. Pada fase ini tubuh berusaha

menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang

terinfeksi VHB. Pada fase imunoaktif serokonversi HBeAg baik secara

spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70%

dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar

partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini,

13
titer HBsAg rendah dengan HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe

yang menjadi positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal,

menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30%

pasien hepatitis B kronis dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi

dan menyebabkan kekambuhan (Sudoyo dkk., 2010).

Pada sebagian pasien dalam fase residual, pada waktu terjadi

serokonversi HBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis.

Hal ini disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi

pada kekambuhan yang berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi

tersebut. Dalam fase residual, replikasi VHB sudah mencapai titik minimal

dan penelitian menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada pasien yang

anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan pasien HBeAg positif.

Penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi hepatitis B menjadi tenang

justru resiko untuk terjadi karsinoma hepatoselular (KHS) mungkin

meningkat (Sudoyo dkk., 2010).

C. PEMERIKSAAN LABORATORIK PASIEN HEPATITIS B

PREOPERATIF

Pasien dengan penyakit hepatitis B memerlukan beberapa pemeriksaan

laboratorik untuk mengetahui apakah terdapat kondisi yang akan mengganggu

jalannya bedah maupun pasca bedah. Beberapa pemeriksaan laboratorik yang

harus diperiksa antara lain:

14
1. Complete Blood Count (CBC)

CBC merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi mengenai sel

yang ada di darah pasien. Sel yang diperiksa meliputi eritrosit,

Hemoglobin, Hematokrit, Angka Leukosit, Neutrofil, Limfosit, Monosit,

Eosinofil, basofil, dan Trombosit. Pengukuran tersebut untuk mengetahui

apakah pasien dalam keadaan sehat, terinfeksi, atau terdapat kelainan pada

darah.

2. ALT / SGPT

ALT pada umumnya diperiksa sebagai evaluasi terhadap jejas pada sel hati

untuk menentukan derajat kesehatan hati. Range normal nilai ALT adalah

10-40 IU/L (Wang dkk., 2012).

3. AST / SGOT

AST umum digunakan sebagai penanda kesehatan hati. AST sama halnya

dengan ALT merupakan enzim yang berhubungan dengan sel parenkim

hati. Rentang normal AST adalah 8-40 IU/L (Wang dkk., 2012).

4. Protrombin Time (PT)

Protrombin Time dan kadar turunannya yaitu Protrombin Ratio dan

International Noralized Ratio (INR) adalah kadar yang diukur di dalam

extrinsic pathway dari system penjendalan darah. Kadar tersebut

digunakan untuk mengetahui kecenderungan perdarahan akibat kerusakan

hati maupun status kecukupan Vitamin K. nilai normal PT adalah 10–14

detik. Rentang normal INR pada orang yang sedang tidak mengkonsumsi

15
antikoagulan adalah 0,8-1,2 sedangkan pada penggunaan antikoagulan

rentang normalnya adalah 2-3 (Fritsma, 2002)

5. Serum Albumin

Serum albumin merupakan protein pada plasma darah yang diproduksi di

hati. Fungsi serum albumin antara lain adalah sebagai molekul pembawa

obat-obatan. Rentang normal serum albumin adalah 3,5- 5 g/dL (Farrugia,

2010)

D. MANAJEMEN PASIEN PREOPERATIF DAN PASCAOPERATIF

HBsAg adalah antigen yang menentukan bahwa di dalam darah

pasien terdapat virus hepatitis B aktif. Pasien dengan hepatitis B aktif tidak

dapat menerima perawatan dental rutin seperti biasa, tetapi harus

dilakukan beberapa modifikasi (Bricker dkk., 2002). Konsultasi medis

diperlukan sebelum melakukan perawatan yang mendesak. Konsekuensi

penderita hepatitis adalah penurunan fungsi hati seperti proses pembekuan

darah, selain itu pasien juga rentan terhadap penyebaran infeksi hepatitis

(Waite dkk., 2004). Dengan persetujuan dari dokter, dokter gigi harus

terlebih dahulu memeriksakan prothrombin time (PT) untuk menentukan

kemampuan hati dalam melakukan proses penjendalan darah (Bricker

dkk., 2002). Jika terjadi defisiensi vit K, pemberian vit K intravena dapat

diberikan sebanyak 5-10 mg dalam waktu 3-5 menit untuk memperpendek

PT dalam 4-12 jam. Selain itu, pemberian fresh frozen plasma parenteral

juga dapat dilakukan untuk mengontrol penjendalan darah saat operasi

16
(Waite dkk., 2004). Perhatian khusus juga perlu diperhatikan dalam

kontrol infeksi. Hanya perawatan konservatif yang diperbolehkan. Terapi

bedah dan prosedur dengan tingkat stress tinggi harus ditunda hingga

pasien sembuh (Bricker dkk., 2002).

Pasien dalam keadaan terinfeksi hepatitis seminimal mungkin

diberikan obat-obatan yang dimetabolisme di hati seperti acetaminophen,

barbiturate, dan beberapa antibiotic termasuk ampicillin, erythromycin,

penicillin, tetracycline. Obat yang didunakan untuk anestesi dan analgesia

mungkin memerlukan modifikasi. Anestesi pada umumnya aman

digunakan kecuali beberapa obat seperti halothane, fentanyl dan nitrogen

oxide yang bersifat hepatotoxic (Waite dkk., 2004). Jika diperlukan

penggunaan obat-obatan yang dimetabolisme hati, dapat digunakan dalam

dosis kecil atau memperpanjang interval konsumsi obat. Erythromycin

harus dihindari karena kaitannya dengan penyakit hati pada cholestatic

hepatitis, sama halnya dengan halothane yang bersifat hepatotoxic.

(Bricker dkk., 2002).

Untuk mengontrol transmisi virus hepatitis pada pasien HBsAg

positif perlu dilakukan beberapa perlakuan basic precaution, antara lain:

1. Perlakukan semua pasien sebagai pembawa infeksi

2. Pakai sarung tangan untuk semua tindakan dental

3. Lakukan perlakuan khusus untuk terhindar dari tertusuk ujung

jarum

17
4. Pakai kacamata pelindung untuk perlindungan diri dari penularan

infeksi

5. Gunakan alat-alat sekali pakai dan sterilisasi dengan autoclave

untuk alat yang tidak bisa sekali pakai.

6. Imunisasi untuk mencegah terinfeksi hepatitis B

Sarung tangan, masker dan pelindung mata hanya menyediakan

proteksi sebagian. Penggunaan sarung tangan lapis 2 diperlukan untuk

menghindari transmisi infeksi hepatitis B. imunisasi merupakan proteksi

yang paling penting untuk mencegah transmisi hepatitis B dari pasien ke

dokter (Cawson dkk., 2002).

18
BAB III

PEMBAHASAN

A. Laporan Kasus

Departemen Kesehatan menemukan kasus hepatitis B pada 1 April

2002. Wanita berusia 60 tahun menunjukkan simptom pada 11 Februari

2002 yaitu berupa sakit dan pembengkakan pada beberapa persendian dan

kelelahan. Departemen Kesehatan tidak menemukan faktor resiko selama

investigasi kasus (tidak aktif secara seksual, tidak ada paparan darah terkait

pekerjaan, tidak menerima obat secara intravena, tidak menjalani transfusi

darah, tidak berkontak dengan seseorang yang terkena hepatitis B, tidak ada

riwayat hemodialisis selama 6 bulan terakhir). Akan tetapi, wanita tersebut

melaporkan bahwa pernah menjalani bedah mulut pada Rabu, 10 Oktober

2001. Ia menjalani ekstraksi 7 gigi pada pukul 10.50 – 11.16 dengan ahli

bedah mulut A dan 3 asisten yaitu yang mengontrol kepala pasien,

memonitor anestesi, dan satu lagi bertugas pada area operasi dan

kebersihan. Maka dari itu, dilakukan identifikasi terhadap pasien yang

mengunjungi pusat bedah mulut yang sama pada hari Senin hingga Jumat

pada minggu yang sama dengan wanita tersebut. Selain itu juga dilakukan

review terhadap catatan kesehatan pekerja melalui tes serologis HBV

pekerja yang berkontak langsung dengan pasien di tempat tersebut sehingga

dapat ditemukan catatan infeksi HBV sebelumnya dan vaksinasi HBV

melalui interpretasi penanda serologis HBV.

19
Hasil investigasi menemukan catatan seorang pasien yang terinfeksi

HBV yang menjalani bedah mulut di tempat yang sama dan pagi hari yang

sama dengan wanita tersebut di atas. Pasien ini adalah wanita berusia 36

tahun dengan catatan medis yang cukup kompleks, termasuk hepatitis B

sejak tahun 1999. Wanita ini menjalani ekstraksi 3 gigi di bawah anestesi

umum dengan oksigen diberikan melalui masker nasal. Bedah dilaksanakan

sejak pukul 8.09 – 8.51. Kemudian terdapat 3 pasien setelah ia dan sebelum

pasien pertama dirawat. Semuanya dilakukan oleh ahli bedah dan asisten

yang sama. Kedua pasien ini menerima methohexital, diazepam,

dexamethasone, fantanyl, dan droperidol secara intravena serta lidokain

lokal dan oksigen nasal.

Perlu diketahui bahwa tempat praktek menggunakan tempat duduk

pasien yang ditutup plastik, tempat penyimpanan obat yang bersih, dan

tempat mencuci yang bersih. Handpiece bedah yang digunakan juga

diautoklaf dan dikemas dalam plastik sekali pakai antar pasien, termasuk

peralatan anestesi dan monitor. Jarum suntik juga digunakan sekali pakai.

Masker nasal yang dapat digunakan kembali untuk nitrous oxide dan

oksigen biasa dibersihkan dengan larutan desinfektan, sabun, dan air lalu

didisinfeksi dengan spray. Instrumen bedah dibersihkan pula dengan sabun,

dialiri air, dan dikeringkan sebelum disterilisasi dengan autoklaf dan

dikemas. Program cuci tangan, pemakaian sarung tangan, baju bedah, dan

masker juga dilakukan antar pasien.

20
Serum dari wanita berusia 60 tahun diuji pada 12 Februari 2002 dan

menunjukkan level aspartat aminotransferase (AST) 311 U/L, alanin

aminotransferase (ALT) 533 U/L. Alkalin fosfatase 200 U/L, bilirubin total

0,3 mg/dL, HBsAg positif, IgM anti-HBc positif, dan antibodi total terhadap

virus hepatitis A negatif. Tes pada 22 Februari 2002 menunjukkan level

AST 994 U/L, ALT 1674 U/L, anti-HBs negatif, HBeAg positif, dan anti-

HBe negatif. Tes serologis pada wanita 36 tahun pada 1 Februari 2002

menunjukkan HBsAg positif, anti-HBs negatif, total anti-HBc positif, dan

IgM anti-HBc seimbang. Tes pada 3 September 2002 menunjukkan hasil

yang sama dan menunjukkan HBeAg positif dan anti-HBe positif dengan

konsentrasi DNA HBV 3.210.000 IU/mL. Hasil ini menunjukkan bahwa

pasien menderita hepatitis B kronis dengan beban viral tinggi saat

melakukan bedah mulut.

B. Pembahasan

Laporan investigasi kasus yang dibahas merupakan transmisi virus

hepatitis B antar pasien yang jarang ditemukan terkait bedah mulut. Virus

HBV merupakan virus yang dapat bertahan dalam darah kering pada

permukaan hingga seminggu lebih sehingga masih tetap dapat menginfeksi

walaupun kita tidak menyadari adanya darah yang dapat mengontaminasi

dan mentransmisikan penyakit (Samandari dkk., 2005 dan Bond dkk., 1981

sit. Redd dkk., 2007).

21
Pasien dengan kelainan hati menjadi perhatian dokter gigi karena hati

berperan dalam fungsi metabolik, termasuk sekresi empedu untuk absorpsi

lemak, pengubahan gula menjadi glikogen, ekskresi bilirubin, dan

pembuangan hasil metabolisme hemoglobin. Kerusakan fungsi hati dapat

menimbulkan abnormalitas terhadap metabolisme asam amino, protein,

karbohidrat, dan lemak. Banyak fungsi biokimia dilakukan oleh hati seperti

sintesis faktor koagulasi dan metabolisme obat yang akan terpengaruh

(Krasteva dkk., 2008).

Infeksi HBV adalah infeksi yang cukup berbahaya bagi profesi

kedokteran gigi. Beberapa laporan menyatakan tingginya insidensi HBV

pada staf kedokteran gigi, terutama bedah mulut, periodontal, dan

endodontik (Krasteva dkk., 2008). Studi menunjukkan resiko pemaparan

HBV untuk dokter gigi umum sekitar 3-4 kali lebih besar dan untuk

spesialis bedah mulut yang tidak diimunisasi sekitar 6 kali lebih besar

daripada populasi umum (Polakoff dan Tillet, 1982 dan Cottone dan

Molinari, 1989 sit. Paul dkk., 1999). Prosedur dalam kedokteran gigi yang

tidak melibatkan kemungkinan luka terhadap tangan dokter gigi seperti

pemeriksaan oral, radiologi. Beberapa prosedur yang tergolong rawan dalam

bidang kedokteran gigi adalah bedah maksilofasial dan bedah oral termasuk

ekstraksi gigi, bedah periodontal, bedah endodontik, dan bedah implant

(Queensland Government, 2012).

Vektor infeksi HBV dalam praktek kedokteran gigi adalah darah,

saliva, dan sekresi nasofaringeal (Mori dkk., 1984 sit. Krasteva dkk., 2008).

22
Konsentrasi paling besar infeksi hepatitis B di oral adalah di sulkus gingiva

(Itharatana dkk., 1998 sit. Krasteva dkk., 2008).Penyebaran virus HBV

kebanyakan melalui rute parenteral atau inokulasi perkutan, cairan sekresi

seperti ASI, saliva, semen, cairan vagina, dan urin memiliki potensi infeksi.

HBsAg terdeteksi sebanyak 76% pada sampel saliva, virus ini dapat

ditransmisikan dengan cara ciuman atau berbagi makanan dan mainan

(Bricker dkk., 2002) Kita harus waspada dengan resiko kontaminasi virus

sebagai tenaga kesehatan gigi akibat infeksi silang dengan pasien, resiko

perdarahan, dan perubahan metabolisme substansi obat yang menyebabkan

toksisitas obat. Konsultasi dengan dokter pasien dibutuhkan untuk tindakan

yang tepat pada pasien gigi dengan penyakit hati. Konsultasi dengan

hematologis dan hepatologis disarankan sebelum memulai perawatan gigi

ketika abnormalitas ditemukan. Infeksi silang dapat dicegah dengan metode

penghambat yang tepat, sterilisasi yang efektif, dan teknik disinfeksi

(Balatandayoudam dkk., 2012). Riwayat klinis secara detail juga penting

sebelum dilakukan perawatan untuk menentukan resiko yang dapat terjadi.

Jika tindakan invasif diperlukan, maka harus dilakukan pemeriksaan tes

darah lengkap, waktu perdarahan, waktu protrombin / International

Normalized Ratio (INR), waktu trombin, waktu tromboplastin, dan biokimia

hati (GOT, GPT, GGT) (Cruz-Pamplona, 2011).

Semua aspek manajemen instrumen, penyimpanan, sterilisasi,

standard precaution, disinfeksi permukaan, pemberian medikasi intravena

dan anestesi harus dievaluasi. Dokter gigi dan stafnya harus mengikuti

23
protokol kontrol infeksi yang direkomendasikan seperti teknik bedah,

penggunaan peralatan protektif, sterilisasi handpiece, instrumentasi, dan

disinfeksi permukaan kontak perawatan karena kontaminasi silang dapat

terjadi (DePaola, 2007). Rekomendasi untuk tenaga kesehatan gigi :

1. Vaksinasi HBV untuk staf klinis. American Dental Association

merekomendasikan semua tenaga kesehatan gigi menerima vaksinasi

melawan hepatitis B. Satu bulan kemudian, lakukan tes imunitas HBV

– anti HBs (Krasteva dkk., 2008).

2. Cuci tangan sebelum menemui pasien (Krasteva dkk., 2008), sebelum

dan sesudah kontak dengan pasien, ketika terkontaminasi darah atau

cairan tubuh lain, sebelum menyentuh mata, hidung, atau membran

mukus lain, sebelum mamasang lensa kontak atau menggunakan

makeup

3. Gunakan alat perlindungan diri seperti sarung tangan (ganti tiap

pasien dan hati-hati dengan alergi lateks) dan penutup mata seperti

side shields.

4. Gunakan masker (yang diakui FDA, yaitu menyaring 95% partikel

dengan diameter 3 – 5 mikron, ganti antar pasien, dipakai ketika ada

kemungkinan spray atau aerosol) dan seragam (dipakai ketika ada

kemungkinan spray atau aerosol, harus menutupi pakaian di dalamnya

maka sebaiknya pakaian berlengan pendek) untuk perlindungan

melawan percikan darah dan saliva

24
5. Sterilisasi panas instrumen yang menyentuh jaringan atau membran

mukus dan atau tidak menyentuh langsung kulit, termasuk hand-piece,

antara pasien. Peralatan pasien harus dibersihkan dan disinfeksi.

6. Monitoring biologis sterilisasi panas setiap minggu (CDC, 2003 sit.

DePaola, 2007)

7. Semua pasien dengan riwayat hepatitis virus dianggap berpotensi

terinfeksi (Krasteva dkk., 2008). Desmond (2010) menambahkan

beberapa orang yang memiliki resiko tinggi terhadap hepatitis B

sebagai berikut :

a. Orang dengan tanda klinis hepatitis

b. Pasien yang pernah menggunakan jarum suntik

c. Pasien yang sedang menjalani hemodialisis

d. Pasien yang heteroseksual atau memiliki pasangan multipel

e. Ibu hamil dan bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HBV

f. Resipien transplan organ dan produk darah

g. Pendonor organ atau darah

h. Pasien dengan perawatan imunosupresi atau kemoterapi

i. Migran dari negara dengan prevalensi hepatitis B tinggi.

j. Pekerja kesehatan dan publik yang belum divaksinasi

8. Penanganan jarum suntik secara tepat misal menutup kembali jarum

dengan alat recapping dan pembuangan jarum suntik pada kontainer

khusus (CDC, 2003 sit. DePaola, 2007)

25
9. Jika terkena luka jarum suntik atau luka benda tajam lain yang

mengenai darah atau cairan tubuh lain maka cuci jarum suntik dan

luka dengan air dan sabun, bersihkan hidung, mulut, dan kulit dengan

air, irigasi air dengan air bersih, salin, atau irigan steril, tekan luka

sebentar untuk mengeluarkan material infeksius, cari pertolongan

medis, laporkan kejadian ke pembimbing (Cruz-Pamplona, 2011).

10. Minimalisasi trauma selama prosedur bedah minor oral

11. Jika resiko perdarahan meningkat, agen hemostatik lokal dapat

diberikan

12. Hindari pemberian obat yang dimetabolisme di hati (DePaola, 2003,

Greenwood dan Meecham, 2003 sit. Balatandayoudam dkk., 2012).

Table 1. (ASA) klasifikasi status resiko fisik: panduan untuk kelainan

gastrointestinal(Bricker dkk, 2002)

Panduan assessment

Pasien dengan Hepatitis B termasuk dalam kategori ASA III maka hal

tersebut membutuhkan konsultasi medis dan beberapa modifikasi

perawatan dental(Bricker dkk, 2002).

26
Pengurangan stress/ panduan ansiolitik

Pasien yang menggunakan perawatan kortikosteroid seperti pada

hepatitis fulminant (akut) memiliki ketahanan stress yang rendah

terutama saat perawatan dental. Maka dari itu pengurangan stress harus

disertakan dalam manajemen dental. Beberapa hal yang dapat dilakukan

adalah :

1. Sedatif dapat diberikan dan diminum malam sebelum perawatan, hal ini

dapat membantu membuat pasien santai.

2. Waktu perjanjian pasien dapat dijadwalkan pada awal atau akhir

praktek dan tindakan dilakukan secepat dan seefektif mungkin.

3. Sedasi ketika prosedur operasi misalnya melalui oral, inhalasi, dan

intravena dapat digunakan.

4. Pasien harus istirahat dengan layak ketika malam sebelum perawatan,

dan pasien harus mengurangi jadwal pekerjaan dan kegiatan lain pada

hari perawatan.

5. Dosis steroid harus dipertimbangkan dan harus berkonsultasi dengan

dokter umum untuk menentukan kebutuhan steroid tambahan.

(Bricker dkk, 2002)

Panduan posisi kursi

Pasien dengan penyakit hati akan merasa tidak nyaman pada posisi DC

inklinasi karena terjadi peningkatan ukuran dan beban abdominal dan akan

27
menyebabkan tekanan berlebih pada pembuluh darah abdominal. Beberapa

hal yang harus diperhatikan adalah:

1. Dudukkan pasien agak ke atas atau pada posisi DC agak turun.

2. Biarkan pasien untuk beristirahat dan mengambil nafas selama prosedur

dental.

Panduan anestetika

Pasien dengan kelainan hati parah tidak dapat mendetoksifikasi

anestetika tipe amida dosis besar. Hal yang dapat dilakukan adalah :

1. Gunakan anestetika tipe amida dengan dosis kecil atau ganti dengan

anestetika tipe ester

2. Berikan tambahan anestetika local dengan analgesi nitrous oksida.

3. Hindari penggunaan anestetika general halotan karena gas tersebut

bersifat hepatotoksik

(Bricker dkk, 2002)

Panduan analgesi

Pasien dengan kelainan hati seperti hepatitis B memerlukan beberapa

modifikasi dalam pemberian analgesic. Asetaminofen merupakan obat

hepatotoksik dan harus dihindari memberikan dosis besar kepada

pasien(Bricker dkk, 2002).

Panduan antibiotic

Eritromisin estolat dapat menyebabkan kolestatik hepatitis dan tidak

boleh digunakan pada pasien dengan penyakit liver(Bricker dkk,

2002).

28
Panduan kontrol infeksi

1. Pasien dengan hepatitis aktif tidak boleh dirawat hingga penyakitnya

membaik.

2. Imunisasi aktif harus diberikan kepada semua orang yang terlibat pada

prosedur dental.

3. Staf dental (yang belum diimunisasi) yang terpapar virus hepatitis B

harus menerima hepatitis B immune globulin (HBIG) 0,06 ml/kg

intramuscular pada hari itu juga, dan dosis kedua diberikan 1 bulan

kemudian.

4. Larutan glutaraldehid, hipoklorit, dan iodofor dapat digunakan sebagai

disinfektan efektif pada seluruh permukaan yang terpapar pasien.

5. Instrument harus disterilisasi dengan autoklaf, panas kering, atau gas

etilen oksida.

6. Pasien harus dijadwalkan pada akhir waktu praktek untuk mengurangi

resiko kontaminasi silang karena sudah tidak terdapat pasien lagi

setelah itu, dan prosedur pembersihan dapat dilakukan dengan lebih

optimal.

(Bricker dkk, 2002)

29
BAB IV

KESIMPULAN

Perlu adanya perhatian khusus terhadap resiko transmisi penyakit akibat

kontaminasi silang, baik personel kesehatan gigi maupun pasien. Vaksinasi

terhadap mahasiswa kedokteran gigi, tenaga kesehatan, dan pasien sangat

diperlukan sebagai salah satu bentuk kewaspadaan terhadap infeksi virus hepatitis.

30
DAFTAR PUSTAKA

Balatandayoudam A, Karthigeyan R, Sathyanarayanan R, Kumar SB, Selvakumar


R. 2012. Dental Considerations for Patients with Hepatic Dysfunction,
JIDENT. 1(1) : 6 – 10.
Bricker SL, Langlais RP, Miller CS. 2002. Oral Diagnosis and Oral Medicine.
Ontario: BC Dekker Inc. 286-98.
Cawson RA, Odell EW, Porter S. 2002. Cawson’s Essentials of Oral Pathology
and Oral Medicine. Edinburg: Churchill Livingstone
Cruz-Pamplona M, Margaix-Munoz M, Sarrion-Perez MG. 2011. Dental
considerations in patients with liver disease. J Clin Exp Dent. 3(2) : e127-
34.
DePaola LG. 2007. Patient-to-Patient Transmission of Hepatitis B Virus
Associated with Oral Surgery : How Did It Happen? .The Infection Control
Forum. 5(3).
Desmond P. 2010. The Dentist and Hepatitis B. Booklet. HBV Foundation.
Farrugia A. 2010. "Albumin usage in clinical medicine: tradition or
therapeutic?". Transfus Med Rev. 24 (1): 53–63.
Fritsma, George A. 2002. “Evaluation of Hemostasis." Hematology: Clinical
Principles and Applications. Ed. Bernadette Rodak. W.B. Saunders
Company: Philadelphia. 719-53.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Saatnya Lawan Hepatitis.
http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/43newsslide
r/1613-saatnya-lawan-hepatitis.html. Diunduh pada 1/1/2013.

Krasteva A, Panov VI, Garova M, Velikova R, Kisselova A, Krastev Z. 2008.


Hepatitis B and C in Dentistry. Journal of IMAB 2 : 38 – 40.
Paul T, Maktabi A, Almas K, Saeed S. 1999. Hepatitis B Awareness and Attitudes
amongst Dental Health Care Workers in Riyadh, Saudi Arabia, Odonto-
Stomatologie 86 : 9 -12.
Pedersen GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Queensland Government. 2012. Queensland Health Standard : Management of
the Infected Healthcare Worker QH-IMP-321-3: 1 – 14.
Redd JT, Baumbach J, Kohn W, Nainan O, Khristova M, Williams I. 2007.
Patient-to-Patient Transmission of Hepatitis B Virus Associated with Oral
Surgery. The Journal of Infectious Diseases 195 : 1311-4.

31
Republika Online. 2012. Indonesia Endemis Hepatitis B.
http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/infosehat/12/08/02/m84dwi-
indonesia-endemis-hepatitis-b. Diunduh pada 1/1/2013.
Soemoharjo S. 2007. Hepatitis Virus B Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Sudoyo AW, Setiyahadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2010. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Waite PD, Larsen PE, Ghali GE. 2004. Peterson’s Principles of Oral and
Maxillofacial Surgery, 2nd ed. London: BC Decker Inc.
Wang CS, Chang Ting-Tsung, Yao Wei-Jen, Wang Shan-Tair, Chou Pesus. 2012.
"Impact of increasing alanine aminotransferase levels within normal range
on incident diabetes". J Formos Med Asso. 111 (4): 201–8.
Wray D, Stenhouse D, Lee D, Clark AJ. 2003. Textbook of General and Oral
Surgery. Churchill Livingstone: Elsevier Science Limited.

32

Anda mungkin juga menyukai