Anda di halaman 1dari 7

KONSEP INSAN KAMIL DALAM TASAWUF Antara Spiritualitas Dan

Tanggung Jawab Sosial

PENDAHULUAN
Manusia merupakan kajian menarik yang penuh misteri, mengkaji tentang manusia tidak
akan pernah ada habisnya. Dan yang menarik adalah menyangkut pencapaian
kesempurnaan manusia.
Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah pengantar (Murtadha Muthahhari, 1994)
mengatakan bahwa manusia merupakan miniatur dari alam raya. Jika pada alam raya
terdapat tiga tingkat alam yaitu : rohani, khayali, dan jasmani, maka pada manusia ketiga
alam tersebut juga terwujud yaitu dalam bentuk ruh, nafs(diri), dan jism(tubuh). Tingkatan
alam ini menunjukkan sejauh mana ia menyerap cahaya Tuhan. Roh adalah bagian yang
paling terang dan jism adalah bagian yang paling gelap, sedangkan nafs adalah jembatan
yang menghubungkan antara keduanya.
Abbas Mahmud al-Aqqad(1996) dalam buku Menggugat Tasawuf (H.M. Amin Syukur, 2002)
mencoba merumuskan definisi Qur’ani bahwa manusia adalah makhluk yamg
terbebani(mukallaf) dan makhluk yang diciptakan sesuai dengan bentuk(shurah) Tuhan atau
dalam bentuk “copi”Nya. Definisi ini sesuai dengan sebuah hadits yang berbunyi :
‫إن هللا خلق آدم على صورته‬
Pendefinisian manusia yang kadua ini sejalan dengan kejadian manusia dalam Ilmu
Tasawuf. Al-Hallaj berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan
rohani. Unsur jasmani terdiri dari materi, sedangkan unsur rohani dari Tuhan, Karena itulah
manusia mempunyai sifat kemanusiaan(nasut) dan ketuhanan(lahut) (R.A.Nicholson, 1969
dalam H.M. Amin Syukur, 2002).
Pandangan-pandangan tentang manusia juga lahir dari dunia barat. Nietzsche berpendapat
bahwa seseorang bisa dikatakan sempurna ketika ia telah mendapatkan kekuasaan dan
kebebasan secara penuh. Sedangkan menurut Arthur Schopenhauer manusia akan
mencapai kesempurnaan ketika ia telah manamui kamatian. Kedua pendapat diatas jika
dianalisis maka kan tampak kekurangannya yaitu unsur jasmani lebih ditonjolkan dan
cenderung fatalistik, disamping itu kedua pendapat tersebut sangat dangkal dalam
memahami eksistensi manusia.
Sedangkan jika ditinjau dari kacamata Islam, Karena manusia terdiri dari unsur jasmani dan
rohani maka kesempurnaan manusia meliputi kedua aspek tersebut. Dari aspek jasmani
sudah tampak kesempurnaan manusia disbanding makhluk Allah yang lain.Dalam
kesempurnaan manusia ini aspek rohani lebih kuat pengaruhnya. Hal ini sesuai dengan
konsep insan kamil dalam dunia tasawuf.
Dalam tasawuf kesempurnaan manusia merupakan kesempurnaan dari citra Ilahi Karen
manusia diciptakan dalam bentuk Tuhan. Al Qur’an menegaskan bahwa manusia adalah
wakil Tuhan di dunia ini untuk melaksanakan “blueprint”Nya membangun surga di dunia ini.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Insan Dan Kamil
Sebelum membahas tentang insan kamil ada baiknya jika kita terlebih dahulu
memahami makna dari insan dan kamil secara terpisah.
Insan(manusia) adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan sebaik-baiknya
penciptaan. Sebagaimana firman Allah
‫لقد خلقنا فى أحسن تقويم‬
Masalah penciptaan manusia Al Qur’an telah menjelaskan secara global. Peoses kejadian
manusia pertama(adam) dalam Al Qur’an dirumuskan dalam tiga konteks(Quraish Shihab,
1997)
 Bahan awal manusia dari tanah
 Bahan tersebut disempurnakan
 Setelah proses penyempurnaan selesai, ditiupkan kepadanya Ruh Ilahi (Q.S. Al-Hijr: 28-29 dan
Shad: 71-72).
Secara biologis manusia mempunyai beberapa unsur antara lain: mineral termasuk
didalamnya materi yang mengandung atom dengan segala dayanya, tumbuh-tumbuhan
yaitu daya nabati antara lain makan(nutrition), tumbuh(growth), dan berkembang
biak(reproduction), unsur hewan yang yaitu penginderaan(sense perception) dan
gerak(harakah, locomation) (Mulyadhi Kartanegara, 2002). Disamping itu yang pasti dan
harus dimiliki oleh manusia yaitu jiwa(daya) insani yang di sinilah terletak intelektualitas,
moralitas, dan rasa seni. Ruhani adalah yang mengendalikan, dan memberikan visi dan nilai
bimbingan-bimbingan kepada jiwa-jiwa nabati, hewani, dan insani (Ahmad Najib Burhani,
2002). Dari sini dapat di lihat bahwa manusia merupakan puncak evolusi yaitu manusia telah
mencapai tingkat kesempurnaan penuh.
Namun dari aspek spiritual manusia akan mencapai puncak evolusi ketika ia telah
mencapai kesatuan dengan Tuhan. Peringkat manusia sebagai makhluk terbaik, termulia
dengan kualitas fisik dan psikisnya diciptakan oleh Allah dengan tujuan tertentu anatara lain:
agar manusia menjadi hamba(abid)Nya yang baik, sekaligus menjadi khalifah-Nya di muka
bumi, serta bertanggung jawab terhadap apa yang diperbatnya selama hidup di dunia ini.
Sedangkan mengenai kata “kamil” Muthahhari (2001) membedakan antara
sempurna(kamil) dan lengkap(tamam), keduanya erat kaitannya namun tidak sama persis.
Perbedaannya adalah kta “lengkap” mengacu sesuai dengan rencana seperti rumah atau
masjid. Bila suatu bagiannya belum selesai maka bangunan tersebut tidak lengkap(cacat).
Tetapi sesuatu mungkin saja lengkap sekalipun ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu
atau beberapa tingkat, dan itulah yang dinamakan “sempurna”. “lengkap” adalah kemajuan
horisontal ke arah pengembangan yang maksimum, sedang “sempurna” adalah penanjakan
yang vertikal ke tingkat yang maksimum.
Dari pengertian istilah yang di kemukakan oleh Muthahhari terlihat bahwa
kesempurnaan itu bertingkat. Dengan demikian bila suatu kesempurnaan itu tercapai, maka
masih ada kesempurnaan yang di atasnya sampai pada tingkat kesempurnaan yang
sesungguhnya. Jika ada manusia yang sempurna maka pasti ada yang lebih sempurna. Dan
kesempurnaan yang sesungguhnya hanya ada Yang Maha Sempurna (Yunasril Ali, 1997).
B. Konsep Spiritual Insan Kamil
Konsep insan kamil yang di ungkapkan oleh para tokoh tasawuf sebenarnya ada titik
persamaannya yaitu bahwa manusia adalah sebagai wadah tajalli Tuhan atau manusia
sebagai cermin Tuhan. Namun dari konsep-konsep yang ada ada sedikit perbedaan yang
muncul, yang pasti perbedaan tersebut tidak bersifat esensial. Dibawah ini akan dibahas
konsep insan kamil menurut beberapa tokoh tasawuf:
 Konsep al-Hallaj
Konsep al-Hallaj tentang insan kamil bermuara dari doktrin al-hulul, yang ketika hulul
lidah al-Hallaj mengucapkan “Ana ‘l-Haqq”. Munurutnya manusia(adam) adalah sebagai
penampakan lahir dari citra Tuhan yang azali kepada zat-Nya yang mutlak yang tidak
mungkin di sifatkan itu. Lebih jauh al-Hallaj berpendapat bahwa Allah mempunyai dua unsur
dasar yaitu sifat ketuhanan(lahut) dan sifat kemanusiaan(nasut), demikian juga manusia.
Sehingga mungkin saja terjadi penyatuan antara Allah dan manusia dan hal itu akan terjadi
ketika manusia telah membersihkan batinnya sehingga sifat-sifat kemanusiaan lebur ke
dalam sifat-sifat ketuhanan, kejadian itu dinamakan hulul. Saat itulah manusia telah
mencapai derajat kesempurnaanya.
Disamping itu al-Hallaj juga mengemukakan teori “Nur Muhammad(al-haqiqah al-
Muhammadiyah) (Yunasril Ali, 1997). Baginya Nabi Muhammad mempunyai dua
esensi. Pertama esensinya sebagai nur(cahaya) azali yang qadim yang menjadi sumber
segala ilmu dan ma’rifat, pandangan ini sesuai dengan hadits qudsi yang mengatakan”Kalau
bukan karenamu tidak akan ku ciptakan alam semesta ini”. Kedua Muhammad sebagai
esensi baru yang terbatas dalam ruang dan waktu. Dan Nabi Muhammad adalah contoh
manusia sempurna dalam Islam.
 Konsep Ibn ‘Arabi
Berbicara tentang Ibn ‘Arabi tidak akan lepas dari doktrin wahdatul
wujud dengan tajalli Tuhan yang selanjutnya membawa kepada ajaran insan
kamil. Mengenai insan kamil Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa insan kamil adalah duplikasi
Tuhan(nuskhah al-Haqq) (H.M.Amin Syukur, 2002).
Yang paling tampak kekamilannya di antara manusia adalah Nabi. Di belakang Nabi
terdapat al-Haqiqah al-Muhammadiyah(kebenaran atau esensi Muhammad) yang
merupakan kekuasaan kreatif Tuhan. Insan kamil adalah tujuan penciptaan, yang
merupakan mikrokosmos yang merefleksikan keagungan Tuhan, makrokosmos. Karena
para nabi adalah refleksi manusia sempurna maka mereka adalah wali(sahabat) Tuhan.
Kualitas ini lebih tinggi daripada kualitas kenabian (Isma’il. R. al-Faruqi & Lois Lamya al-
Faruqi, 1998).
Menurut Ibn ‘Arabi manusia mempunyai dua aspek. Jika menurut al-Hallaj manusia
mempunyai dua unsur, maka Ibn ‘Arabi menggabungkan keduanya menjadi satu aspek yaitu
aspek batin yang merupakan esensi, aspek ini disebut al-haqq. Dan yang kedua aspek luar
yang merupakan aksiden desebut al-khalq. Semua makhluk dala aspek luarnya berbeda tapi
dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq (http:// media
.isnet.org/islam/paramadina/konteks/tasawuf HN4.html).
Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
‫كنت كنزا مخفيا فأحببت أن عرف فخلقت الخلق فبي عرفوني‬
Dari hadits tersebut tampak bahwa Allah ingin dikenal maka di ciptakan-Nya makhluk, dan
melalui makhluklah Allah dikenal. Dari sini semakin jelas bahwa manusia
adalah tajalli Tuhan.
 Konsep al-Jili
Dalam kitabnya al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awa’il, al-
Jili mengidentifikasi insan kamil dalam dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam
pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian
demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak
yaitu Tuhan. Kedua, insan kamil yang jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-
safat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997).
Al-Kamal(kesempurnaan) menurut al-jili(1975) (dalam H.M.Amin Syukur,
2002)mungkin dimiliki manusi secara potensial(bil quwwah), dan mungkin pula secara
aktual(bil fi’li) seperti yang terdapat pada diri wali dan Nabi, namun intensitasnya berbeda-
beda. Dan yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad. Al-Jili juga menandaskan bahwa
insan kamil merupakan mikrokosmos dan makrokosmos, jami’ al-haqaiq al-wujudiyah,
qalbnya = arasy), aqalnya = qalam, nafsnya = lauh al-mahfudz, mudrikahnya = kaukab, al-
qawiy = al-muharrikahnya = asy-syams, dan lain sebagainya.
Proses tajalli menurut konsep al-Jili sebenarnya di mulai dari tajalli Dzat pada Sifat
dan Asma kemudian pada perbuatan-perbuatan sehingga tercipta alam semesta. Akan
tetapi dalam rangka meningkatkan martabat rohani, tajalli tersebut di tempatkan pada urutan
terbalik, di mulai tajalli perbuatan-perbuatan(tajalli al-af’al), tajalli nama-nama(tajalli al-
asma’), tajalli sifat-sifat(tajalli al-shifat), dan yang terakhir tajalli dzat(tajalli al-dzat) (Yunasril
Ali, 1997).
Al-Jili mempunyai konsep tanazul(turun) dan taraqqi(pendakian). Dalam
pengalaman al-Jili proses tanazul Tuhan mengambil tiga tahap
yaitu ahadiyah, huwiyah dan aniyah. Pada tahap ahadiyah Tuhan dalam keabsolutan-Nya
baru keluar dari al-‘ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiyah nama
dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada
tahap aniyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-
Nya. Dan tajalli Tuhan yang paling sempurna terdapat pada insan kamil (http://media
.isnet.org/islam/paramadina/konteks/tasawuf HN4.html).
Untuk mencapai tingkat insan kamil sufi mesti mengadakan taraqqi melalui tiga
tingkatan yaitu: bidayah, Tawassuth, dan khitam. Pada tingkat bidayah seseorang mulai
dapat merealisasikan asma-asma dan sifat-sifat Tuhan. Pada tingkat tawassuth seseorang
tampak sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan dan sebagai realitas kasih saying Tuhan.
Dan pada tingkat khitam seseorang telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh
(Yunasril Ali, 1997). Pada tingkat inilah seorang sufi menjadi insan kamil (http://media
.isnet.org/islam/paramadina/konteks/tasawuf HN4.html).
 Konsep Nuruddin al-Raniri
Insan kamil bagi al-Raniri adalah hakikat muhammad, merupakan hakikat pertama
yang lahir dari tajalli Satu Dzat kepada dzat yang lain(Allah dengan Nur Muhammad).
Hakikat Muhammad itu menghimpun seluruh kenyataan yang ada, karena seluruh alam ini
merupakan wadah bagi Asma dan Dzat Allah. Dari sini posisi insan kamil menjadi penting
bagi bagi semua keberadaan alam ini dan sekaligus sebagai cermin Allah untuk melihat
hasil perjalanannya (H.M.Amin Syukur, 2002). Jadi seseorang bisa dikatakan insan kamil
ketika dia telah memiliki Nur Muhammad dalam dirinya, yang dengan itu menjadi
wadah tajalli Ilahi yang paripurna.
Selain itu insan kamil juga disebutnya sebagai khalifah Allah pada rupa dan
makna.Yang dimaksud dengan dengan rupa adalah pada hakikat wujudnya. Wujud khalifah
itu terjadi dari wujud Allah yang menciptakannya sebagai khalifah. Dengan kata lain, dia
diciptakan dari sebab wujud-Nya (Nur ad-Din ar-Raniri, 2003).
C. Insan Kamil dan Tanggung Jawab Sosial
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paling
paripurna. Oleh karena apa-apa yang ada pada insan kamil tentunya sudah dapat di jamin
kesempurnaannya. Karena tidak mingkin manifestasi Tuhan bersifat tidak sempurna,
walaupun sebagaimana yang di katakana Muthahhari tingkat kesempurnaan insan kamil
sifatnya bertingkat-tingkat.
Sudah di akui bahwa timgkatan insan kamil tertinggi ada pada Nabi Muhammad, baik
kapasitasnya sebagai al-haqiqah al-Muhammadiyah maupun sebagai utusan Allah untuk
umat manusia yang terbatas oleh ruang dan waktu.
Nabi Muhammad sebagai insan kamil dalam kehidupannya di dunia merupakan suatu
pribadi yang multi dimensi. Nabi Muhammad di kenal sebagai seorang nabi yang ibadahnya
luar biasa kuat, sehingga kalau malam shalat sampai kakinya bengkak. Tapi di siang hari
beliau mengatur ekonami, mengatur polotik bahkan mengatur perang. Rasulullah dan para
sahabat di zaman Rasul sering digambarkan sebagai ruhbanun bi al-lail wa fursanun di al-
nahar, mereka itu rahib-rahib di waktu malam hari dan kstria-ksatria di siang hari (Ahmad
Najib Burhani.(ed.), 2002).
Kesempurnaan Nabi Muhammad di akui oleh dumia, tidak hanya dari satu kalangan
saja. Karen Amstrong seorang ilmuan barat mencoba meneliti agama Islam dengan meneliti
tokoh utamanya, Nabi Muhammad. Ketika melaporkan tentang beliau, ia menjadi seorang
pambela yang luar biasa. Karen mengatakan (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1997) menjelang
tahun 622 tampak sudah seakan-akan kehendak Tuhan akan terjadi di Arabia. Berbeda
dengan nabi-nabi terdahulu Muhammad bukan saja mengajarkan laki-laki dan perempuan
tentang visi dan harapan baru, tetapi ia juga telah berusaha nemikul tugas untuk
memyelamatkan sejarah manusia dan menciptakan masyarakat yang adil, yang
memberikan peluang kepada setiap manusia laki-laki dan perempuan untuk
mengaktualisaikan potensinya yang sebenarnya. Dari sini tampak bagaimana peran nabi
dalam kehidupan sosialnya.
Gambaran lain dari potret seorang insan kamil adalah Imam Ali bin Abi Thalib.
Oleh Jalaluddin Rakhmat (1999) digambarkan bahwa pada dirinya kita melihat sufi yang rela
hidup dalam kefakiran, tetapi pada saat yang sama membenci kefakiran. Dari pribadinya
sebagian orang akan beranggapan bahwa kemiskinan adalah kebajikan dan kekayaan
adalah kemaksiatan. Tetapi dari kepribadiannya pula sebagian yang lain melihat
kesungguhan untuk melenyapkan kemiskinan, dan meyakini bahwa kemiskinan adalah
musuh yang harus di musnahkan.
Dalam hal insan kamil ini Iqbal tidak sepaham dengan konsep-konsep terdahulu.
Menurutnya konsep-konsep tersebut akan membunuh individualitas dan
melemahkan khudi(jiwa). Iqbal sepakat bahwa Nabi Muhammad adalah insan kamil, tetapi
tanpa penafsiran secara mistik. Insan kimil versi Iqbal tidak lai adalah sang mukmin yang di
dalamnya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan kebijaksanaan. Yang merupakan
makhluk moralis, yang di anugarahi kemamapuan rohani dan agamawi. Untuk
menumbuhkan kekuatan yang ada dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan
menghayati akhlak Ilahi (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997).
Menurut Iqbal proses lahirnya insan kamil melalui tiga tahap yaitu: pertama, ketaatan pada
hukum. Kedua, penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang
pribadi. Ketiga, kekhalifahan Ilahi (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997).
Sering kali dalam memahami tasawuf terjadi kesalah pahaman di dalamnya. Dunia sufi di
pahami tak lebih dan tak kurang sebagai tempat suaka psikologi belaka, dengan melupakan
dahwa di dunia sufi juga mengerek pesan-pesan solidaritas sosial (Muhy-i al-Din, 2001).
Secara garis besar amal saleh terbadi menjadi dua bagian. Pertama, amal saleh kepada
Allah (hablun min Allah) yang disebut juga ibadah mahdlah. Kedua, amal saleh untuk
sesama manusia (hablun min al-nas) yang disebut juga ibadah ghoiru mahdlah. Dan yang
menarik adalah bahwa hubungan kemanusiaan (muamalah) sangat menetukan
ibadah mahdlah. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits yang menunjukkan bahwa
manusia yang baik adalah manusia yang membawa kemaslahatan kepada umat manusia.
Hadits tersebut berbunyi :
‫خير الناس أنفعهم للناس‬
PENUTUP
Konsep insan kamil merupakan salah satu kajian dalam dunia sufi yang cukup besar
menarik perhatian berbagai kalangan. Insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang
paling sempurna. Posisi insan kamil tidak hanya di tempati oleh satu orang tertentu, tetapi
setiap orang berpotensial untuk mencapai derajat insan kamil ketika dia telah mampu
memantulkan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dan telah mencapai kesadaran secara
penuh mengenai kesatuan hakikatnya dengan Tuhan.
Dan yang paling tinggi tingkatannya adalah Nabi Muhammad, dengan tanpa menutup
kemungkinan bahwa masih ada manusia-manusia lain yang bisa saja sampai pada derajat
insan kamil. Namun yang bisa sampai pada tingkatan khitam yaitu tingkatan tertinggi dalam
derajat insan kamil hanya satu yaitu Nabi Muhammad.
Jika di lihat, Nabi Muhammad yang merupakan manusia yang paling sempurna ternyata
merupakan makhluk multi dimensi. Artinya dalam hal spiritual tidak ada yang mampu
melebihi Nabi, namun disamping itu dalam kehidupan sosialnya Nabi adalah manusia yang
sangat perduli terhadap kondisi masyarakatnya, bahkan beliau rela mengorbankan diri,
keluarga, dan hartanya untuk kepentingan sosial.
Seorang muslim sudah selayaknya mengetahui tentang apa itu insan kamil, kepribadian dan
intelektualnya. Agar dapat membangaun dirianya dan masyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Najib Burhani(ed.), Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif,
IIMaN, Jakarta, 2002
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: sufisme dan tanggung jawab sosial abad 21, Pustaka
Pelajar, Yogayakarta, 2002
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, P.T. Raja Grafindo Persd, Jakarta, 1999
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997
Isam’il Raji’ al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Mizan, Bandung,1998
Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik: Halaman Akhir “Fikri Yathir”, Pustaka Hidayah,
Bandung, 1997
________________ , Iskam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, Mizan, Bandung, 1999
M. Quraish Syihab, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung,1997
Muhy-i al-Din, Jalan Menuju Hikmah: Mutiara Ihya’ al-Ghazali Untuk Orang Modern, Kreasi
Wacana, Yogyakart, 2001
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, Mizan, Bandung,
2002
Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna: Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia,
Lentera, Jakart, 1994
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili,
Paramadina, Jakarta, 1997
http://media.isnet.org/islam/paramadina/konteks/tasawuf HN4.html
http://media.isnet.org/islam/paramadina/konteks/SempurnaDiri.html

Anda mungkin juga menyukai