Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi
bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam
dinamika dan perubahan sosial-politik. Konflik memiliki dampak positif dan dampak
negatif, dampak positif dari konflik sosial adalah konflik tersebut memfasilitasi
tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Kebanyakan konflik tidak berakhir
dengan kemenangan disalah satu pihak dan kekalahan dipihak lainnya.
Konflik yang terjadi di Indonesia, ada juga yang dapat diselesaikan dengan baik
hingga berdampak baik bagi kemajuan dan perubahan masyarakat, akan tetapi ada
beberapa konflik justru berdampak negatif hingga mengakibatkan timbulnya kerusakan,
menciptakan ketidakstabilan, ketidakharmonisan, dan ketidakamanan bahkan sampai
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Dewasa ini konflik seringkali terjadi di berbagai
elemen masyarakat. Hal demikian dikarenakan berbagai latar belakang kebudayaan
dan status sosial ekonomi.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya
atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu interaksi.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya,
integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis dapat memahami perlunya mengkaji faktor-faktor
dari konflik yang kemudian pemateri sendiri mendapatkan suatu rumusan masalah untuk
dapat dijadikan suatu pembahasan diantaranya:
1. Bagaimana teori konflik menurut para ahli ?
2. Bagaimana peran pendidikan dengan konflik ?
3. Bagaimana faktor-faktor konflik ?
4. Bagaimana solusi meminimalisir adanya konflik ?

1
C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, kami dapat menegtahui:
1. Teori konflik menurut para ahli.
2. Peran pendidikan dengan konflik.
3. Faktor-faktor Penyebab konflik.
4. Solusi meminimalisir adanya konflik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Konflik Menurut Para Ahli


a. Teori Konflik Mark
Teori ini muncul sebagai pengritik dari teori struktural fungsional. Struktural fungsional
lebih memandang masyarakat dari sisi keseimbangannya. Padahal masyarakat penuh
dengan ketegangan dan selalu berpotensi melakukan konflik.
Mark mempunyai beberapa pandangan tentang kehidupan sosial yaitu:
 Masyarakat sebagai arena yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk
pertentangan.
 Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk
memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property), perbudakan
(slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesamaan.
Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena berkerjanya lembaga paksaan
tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan, dan penindasan.
Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan sosial.
 Bagi Mark, konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat
untuk memperebutkan asset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik antara individu,
konflik antara kelompok, dan bahkan konflik antar bangsa. Tetapi bentuk konflik
yang paling menonjol menurut Marx adalah konflik yang disebabkan oleh cara
produksi barang barang yang material.
 Karl Mark memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan pada
kepemilikan sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar.
 Kelas borjuis adalah kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi yang dalam
hal ini adalah perusahaan sebagai modal dalam usaha.
 Kelas proletar adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi sehingga
dalam pemenuhan akan kebutuhan ekonominya tidak lain hanyalah menjual
tenaganya.
b. Teori Konflik Ralf Dahrendof
Ralf Dahrendof menyatakan bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas atas dasar
pemilikan kewenangan (authority), yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dan
kelas yang tidak memiliki kewenangan (subjeksi).

3
Secara garis besar pokok-pokok teori ini adalah:
 Setiap kehidupan sosial berada dalam proses perubahan, sehingga perubahan
merupakan gejala yang bersifat permanen yang mengisi setiap perubahan
kehidupan sosial. Gejala perubahan kebanyakan sering diikuti oleh konflik baik
secara personal maupun secara interpersonal.
 Setiap kehidupan sosial selalu terdapat konflik didalam dirinya sendiri, oleh
sebab itu konflik merupakan gejala yang permanen yang mengisi setiap
kehidupan sosial. Gejala konflik akan berjalan seiring dengan kehidupan sosial
itu sendiri, sehingga lenyapnya kehidupan sosial.
 Setiap elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi pertumbuhan dua
variabel yang saling berpengaruh. Elemen-elemen tersebut akan selalu
dihadapkan pada persamaan dan perbedaan, sehingga persamaan akan
mengantarkan pada akomodasi sedangkan perbedaan akan mengantarkan
timbulnya konflik.
 Setiap kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi di atas penguasaan atau
dominasi sejumlah kekuataan-kekuataan lain. Dominasi kekuatan secara
sepihak akan menimbulkan konsiliasi, akan tetapi mengandung simpanan benih-
benih konflik yang bersifat laten, yang sewaktu-waktu akan meledak menjadi
konflik terbuka.
c. Teori Konflik C. Wright Mills
Mills adalah salah satu sosiolog Amerika yang berusaha menggabungkan
perspektif konflik dengan kritik terhadap keteraturan sosial.
Jadi dari beberapa teori konflik di atas dapat di ambil kesimpulannya, teori konflik
yaitu elemen-elemen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda sehingga
mereka berjuang untuk saling mengalahkan satu sama lain guna meperoleh
kepentingan yang sebesar-besarnya. Menurut karl Marx konflik merupakan salah satu
kenyataan sosial yang bisa di temukan diman-mana, sedangkan menurut Ralf
Dahendorf masyarakat mempunyai dua wajah yakni konflik dan konsensus, kemudian
menurut Jonathan Turner konflik sebagai suatu proses dari peristiwa-peristiwa yang
mengarah pada interaksi yang disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih, lalu
menurut Lewis Coser Ia memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi dari konflik,

4
dan yang terakhir menurut C. Wright Mills Ia menggabungkan perspektif konflik
dengan kritik terhadap keteraturan sosial.1
B. Peran Pendidikan dengan Konflik
Pendidikan dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek
kepribadian manusia yang mencakup pengetahuannya (kognitif), nilai dan sikapnya (afektif),
serta keterampilannya (psikomotorik). Dalam hal ini pendidikan bertujuan untuk mencapai
kepribadian individu yang lebih baik. Pendidikan sama sekali bukan untuk merusak
kepribadian manusia.
Pendidikan sangat berpengaruh dalam mengatasai suatu konflik social dalam kelas,
trutama peran seorang guru. Dalam konflik, guru pembimbing sangat dibutuhkan dalam
menangani masalah ini. Dengan cara mendiagnosis konflik siswa, diagnosis dilakukan dalam
rangka memberikan solusi terhadap siswa yang mengalami konflik.2
Untuk mendapatkan solusi secara tepat atas konflik, guru harus terlebih dahulu melakukan
identifikasi dalam upaya mengenali gejala-gejala secara cermat terhadap fenomena-fenomena
yang menunjukkan kemungkinan adanya konflik yang melanda siswa. Diagnosis dilakukan
untuk mengetahui dan menetapkan jenis konflik yang dihadapi klien lalu menentukan jenis
bimbingan yang akan diberikan. Dalam melakukan diagnostik konflik siswa perlu ditempuh
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengenal peserta didik yang mengalami konflik
Dalam mengenali peserta didik yang mengalami konflik sosial, cara yang paling mudah
adalah dengan melaksanakan sosiometri. Sosiometri merupakan suatu metode untuk
mengumpulkan data terntang pola dan struktur hubungan antara individu-individu dalam
suatu kelompok. Sehingga, akan tergambar siswa yang mengalami konflik sosial.
b. Memahami sifat dan jenis konflik
Langkah kedua dari diagnosis konflik ini mencari dalam hubungan apa saja peserta
didik mengalami konflik. Dalam hal ini guru pembimbing memperhatikan bagaimana
perilaku siswa dalam pergaulan, baik di sekolah, rumah dan masyarakat.
c. Menetapkan latar belakang konflik
Langkah ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang latar belakang yang
menjadi sebab timbulnya konflik yang dialami siswa. Cara ini dilakukan dengan
mengamati tingkah laku siswa yang bersangkutan, selanjutnya dilakukan wawancara

1
Hammer, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: 2000: Rineka Cipta), hlm. 67-72.
2
J. Winardi, Pendidikan dan Organisasi. (Jakarta: 2003: Rajawali Press), hlm. 43.

5
dengan guru, wali kelas, orang tua dan pihak-pihak lain yang dapat memberikan informasi
yang luas dan jelas.
d. Menetapkan usaha-usaha bantuan
Setelah diketahui sifat dan jenis konflik serta latar belakangnya, maka langkah
selanjutnya ialah menetapkan beberapa kemungkinan tindakan-tindakan usaha bantuan
yang akan diberikan, berdasarkan data yang diperoleh.
e. Pelaksanaan bantuan
Langkah ini merupakan pelaksanaan dari langkah sebelumnya, yakni melaksanakan
kemungkinan usaha bantuan. Pemberian bantuan dilaksanakan secara terus menerus dan
terarah dengan disertai penilaian yang tepat sampai pada saat yang diperkirakan. Bantuan
untuk mengentaskan konflik terutama menekankan akan penerimaan sosial dengan
mengurangi hambatan-hambatan yang menjadi latar belakangnya. Pemberian bantuan ini
bisa dilakukan melalui layanan konseling kelompok yang memanfaatkan dinamikan
kelompok.
f. Tindak lanjut
Tujuan langkah ini ialah untuk menilai sejauh manakah tindakan pemberian bantuan
telah mencapai bantuan telah mencapai hasil yang diharapkan. Tindak lanjut dilakukan
secara terus menerus, baik selama, maupun sesudah pemberian bantuan. Dengan langkah
ini dapat diketahui keberhasilannya.3
C. Faktor-faktor Penyebab Konflik
a. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan
perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan
sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial,
sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan
kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman,
tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena
berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

3
Ibid. At. 44-46.

6
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang
berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian
kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan
menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya
konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi
yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai
masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti
menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam
organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan
nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi
pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan
terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan
masyarakat yang telah ada.4
Asumsi setiap orang memiliki kecenderungan tertentu dalam menangani konflik.
Terdapat 5 kecenderungan:
• Penolakan: konflik menyebabkan tidak nyaman
• Kompetisi: konflik memunculkan pemenang
• Kompromi: ada kompromi & negosiasi dalam konflik untuk meminimalisasi kerugian
• Akomodasi: ada pengorbanan tujuan pribadi untuk mempertahankan hubungan

4
https://agsasman3yk.wordpress.com/2009/07/14/struktur-sosial (Diakses Pada 12 Maret 2018 pukul 00:18).

7
• Kolaborasi: mementingkan dukungan & kesadaran pihak lain untuk bekerja bersama-
sama.5
D. Solusi Meminimalisir Adanya Konflik
a. Bersikap dan bertindak bijak terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain (orang tua,
pasangan hidup, sahabat atau orang yang kurang kita sukai).
Sikap bijak lahir dari kesadaran diri bahwa tiada manusia yang sempurna. Kekurangan
orang lain kerap kali menyulut konflik ketika kita tidak siap dan tidak mau
menerimanya. Kelebihan orang lain pun tak jarang membuat kita merasa iri, benci
memusuhi dan akhirnya jadi dengki. Kekurangan seseorang, baik moral maupun
material bukan untuk dihakimi. Kekurangan adalah sisi ketidaksempurnaan yang patut
kita lengkapi dengan pengertian, serta keikhlasan untuk membantu memperbaikinya.
Sedangkan kelebihan orang merupakan anugerah Allah SWT yang sangat pantas kita
syukuri. Berani mengakui kelebihan orang dan menghargainya adalah bagian dari
memuliakan Yang Maha Bijaksana. Memang tidak mudah merealisasikannya karena
butuh keikhlasan untuk melakukannya. Namun, dengan belajar dan berlatih memahami
orang lain akan menuntun kita pada sikap dan tindakan yang bijak.
b. Bersikap dan bertindak bijak terhadap diri sendiri dengan mensyukuri kelebihan yang
kita miliki, memanfaatkan kelebihan diri dengan rendah hati di jalan kebaikan dan
kebenaran, serta menyadari kekurangan diri dan selalu berupaya memperbaiki diri.
Sebaik-baik manusia adalah yang tidak sibuk mengutuk kekurangan diri, tetapi selalu
berusaha memperbaiki diri. Banyak di antara kita yang mungkin masih menganggap
kekurangan (diri sendiri dan orang lain) sebagai aib yang harus di-genocida secara
mutlak. Padahal, kekurangan bisa membuat kita dicintai selama kita terus berusaha
memperbaikinya dan tidak selalu mengharap dikasihani. Menyadari kekurangan diri
akan mmbenamkan hati kita ke dalam keinsyafan bahwa kita membutuhkan orang lain
untuk berbagi, saling mengisi dan saling melengkapi.
c. Melunakkan hati dan memaafkan. Untuk melakukan kedua hal ini diperlukan
kesabaran dan ketulusan. Konflik seringkali membuat kita merasa tersakiti dan ingin
mengakhiri sebuah hubungan dengan siapa saja. Nafsu harus dikendalikan agar tidak
memicu konflik yang berkepanjangan.
Memaafkan kesalahan orang lain memang tidak mudah. Butuh waktu, kesabaran,
keikhlasan dan lagi-lagi pengertian. Orang berbuat salah tidak selalu disengaja.

5
http://www.apyusa.com/2015/10/-konflik-sosial-dan.html (Diakses Pada 14 Maret 2018 pukul 22:15).

8
Seperti yang pernah diungkapkan K.H. Abdullah Gymnastiar dalam tausyiahnya
bahwa ada orang yang berbuat salah karena ia tidak menyadari bahwa ia salah dan ada
orang yang melakukan kesalahan kemudian ia mengetahui perbuatannya salah, tetapi
ia belum sanggup memperbaikinya. Mungkin orang lain yang berkonflik dengan kita
juga menganggap kita yang salah dan tidak bisa dimaafkan. Makanya, agama
menyuruh kita untuk saling memaafkan, selalu mengingat kebaikan orang lain
terhadap kita dan melupakan jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain agar kita
dapat melatih diri mengelola emosi (nafsu amarah). Dengan melupakan jasa diri
terhadap orang lain, kita bisa menghilangkan rasa sakit hati ketika orang tersebut tidak
menghargai kebaikan kita. Dengan mengingat kebaikan orang lain, kita dapat
melunakkan hati kita untuk tidak memasung hati dalam kebencian. Bagaimanapun,
kebencian yang kita tanam akan membuat hati semakin keras dan angkuh (merasa diri
tak pernah berbuat salah).6

6
https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik (Diakses Pada 14 Maret 2018 pukul 18:19).

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi
yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Konflik sendiri
tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik
yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat
positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.
B. Saran
Sebaiknya kita sebagai bangsa dan negara yang beragama dan juga bernegara
hukum, seharusnya kita berusaha menghindari adanya konflik sosial di antara
masyarakat, agar Negara kita ini bisa menjadi Negara yang penuh dengan kedamaian,
kerukunan dan bebas dari segala jenis konflik dan pertentangan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Hammer. 2000. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.


J. Winardi. 2003. Pendidikan dan Organisasi. Jakarta: Rajawali Press.
https://agsasman3yk.wordpress.com/2009/07/14/struktur-sosial (Diakses Pada 12
Maret 2018 pukul 00:18).
https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik (Diakses Pada 14 Maret 2018 pukul 18:19).
http://www.apyusa.com/2015/10/-konflik-sosial-dan.html (Diakses Pada 14 Maret
2018 pukul 22:15).

11

Anda mungkin juga menyukai